Anda di halaman 1dari 33

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MATERI SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAH

Dosen Pengampu:
Dr. Multazam M.Ag

Kelompok 4:
Archil Inayatus Sa’idah (2305070041)
Muhammad Ariel Alfiansyah (2304020095)
Nisrina Luthfiyah Khoirunnis (2304060062)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


2023
KATA PENGANTAR

Menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-
Nya kepada kami semua, sehigga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah tentang
Syari’ah, Ibadah dan Muamallat.
Makalah ini kami selaku anggota penyusun hanya sebatas ilmu dan pengalaman yang dapat
kami sajikan dengan topik “Syari’ah, Ibadah dan Muamallat”. Makalah ini telah kami susun
berdasarkan materi yang kita pelajari terlebih dahulu
Akhir kata, kami selaku anggota penyusun makalah ini berharap semoga makalah tentang
“Syari’ah, Ibadah dan Muamallat” ini dapat memberikan manfaat maupun dapat diterapkan di
kehidupan sehari-hari.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan manusia di dunia yang diberikan kepada Allah SWT sungguh sangat nikmat
sehingga kadang membuat manusia lupa akan dirinya sebagai hamba dan pemberi nikmat
tersebut. Untuk hal itu manusia perlu bimbingan agar selalu pada jalan Allah SWT yaitu
dengan mengamalkan syariat Islam. Dengan berpedoman pada syariat, hidup akan lebih
teratur karena adanya tuntutan-tuntutan Allah SWT yang diberikan melalui kitab Al-Qur'an
dan hadits yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Salah satu cara mengamalkan syariat
adalah dengan melakukan ibadah, dengan kita beribadah itu adalah bukti konkret bahwa kita
melaksanakan syariat.
Ibadah adalah taat kepada Allah SWT dengan melaksanakan perintahnya melalui
tuntutannya yaitu para rasul. Ibadah harus dilandasi dengan hukum yang jelas semisal Al-
Qur'an dan As Sunnah (Perkataan, Perbuatan,dan Ketetapan Nabi Muhammad SAW)
hendaknya kita beribadah kepada pencipta langit dan bumi dengan hati yang tulus, ikhlas,
dan sesuai syariat agar kita dapat mendapatkan nikmat dari ibadah itu sendiri. Semoga
dengan bimbingan syariat kita dapat selamat dunia dan akhirat.
Berdasarkan latar belakang tersebut kita akan lebih dalam membahas tentang syariat dan
ibadah.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dan maksud dari Syari’ah dan ibadah ?


2. Bagaimana perbedaan dalil syara’ yang disepakati dan tidak disepakati dalam sumber hukum
islam ?
3. Apa perbedaan dari syari’ah dan fikih dalam ajaran agama islam ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa pengertian dan maksud Syariat, Ibadah, dan Muamalah.
2. Untuk menjelaskan perbedaan antara dalil syara’ yang disepakati dan tidak disepakati pada
hokum islam?
3. Dapat mengetahui perbedaan dari syari’ah dan ilmu fikih
1.4 Manfaat Penulisan
Karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui beberapa
informasi terkait beberapa ngaruh nya manusia dalam Islam.
BAB II
SYARI’AH

2.1 Pengertian Syari’ah


Dalam Alquran, kata “syariah” dan pecahannya dalam Alquran ditemukan sebanyak lima kali.
Menurut Djazuli kata “syariah” secara etimologi mempunyai banyak arti. Salah satunya berarti
ketetapan dari Allah bagi hamba-hambanya. Ia juga bisa dimaknai sebagai jalan yang ditempuh oleh
manusia atau jalan yang menuju ke air atau juga bisa berarti jelas.
Menurut Syaltut dalam “Al-Islam Aqidah wa Syari’ah” menyebutkan bahwa kata “syariah”
berarti jalan menuju sumber air yang tidak pernah kering. Kata syariah juga diartikan sebagai jalan
yang terbentang lurus.
Hal tersebut sejalan dengan fungsi syariah bagi kehidupan manusia. Baik dalam hubungannya
dengan Tuhan ataupun sesama umat manusia. Hubungan dengan sesama tidak memandang agama
dan kepercayaan. Terlepas muslim atau tidak, kita wajib beerbuat baik kepada sesama dan alam
semesta.
Sementara itu, Muhammad Syalabi, etimologi syariah yakni sebagai sesuatu yang dirujuk pada
sejumlah hukum Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tercatat dalam
Alquran dan sunnah nabi.
Dilihat dari sisi terminologi, syariah merupakan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk
hamba-hambanya yang dibawa oleh seorang rasul Muhammad SAW, baik hukum tersebut
berhubungan dengan cara tingkah laku, yaitu yang disebut dengan hokum-hukum furu‘.

2.2 Sumber Hukum Islam


Sumber hukum tidak hanya dimiliki oleh suatu negara. Tetapi dalam kehidupan beragama,
khususnya dalam Islam, juga memiliki sumber hukum yang selama ini digunakan oleh seluruh umat
Muslim. Keberadaan sumber hukum Islam dipergunakan sebagai pedoman ataupun rujukan bagi
Muslim ketika menjalani kehidupannya di dunia ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan di dunia, ada saja masalah yang muncul, baik itu
masalah dalam beragama maupun dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, ketika masalah tersebut
muncul, dibutuhkan sumber hukum Islam yang bisa dijadikan sebagai landasan atau pun pedoman
bagi umat Islam.
Para ulama sudah saling bersepakat bahwa sumber hukum Islam yang selama ini digunakan oleh
umat Islam berjumlah empat. Di antaranya berupa Alquran yang merupakan kitab suci agama Islam,
kemudian hadis, ijma, dan yang terakhir adalah qiyas. Sebagai umat Islam alangkah lebih baiknya
jika mengetahui dan memahami keempat sumber hukum Islam tersebut. Untuk mengetahui
penjelasan lebih lengkap terkait dengan sumber hukum Islam, berikut sebagaimana yang telah
dirangkum melalui berbagai sumber. Dalam Islam terdapat sumber hukum islam yaitu dalam dalil
syara’ yang disepakatai dan dalil syara’ yang tidak disepakati. Tersapat 4 dalil syara’ yang disepakati:
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam sebagai Mukjizat yang paling besar dan agung, melalui Malaikat Jibril dengan jalan
mutawatir sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, dan merupakan pahala bagi yang membacanya.
1. Muhammad A. Summa (1997)
Al-Qur’an adalah kitab suci ini memuat aturan-aturan yang sangat jelas tentang kehidupan
manusia, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah.
2. Al Qur’an Secara Bahasa (Etimologi)
Dari segi bahasa atau etimologi, istilah Al Qur’an berasal dari Bahasa Arab, yakni merupakan
suatu jamak (banyak) dari masdar fi’il, yaitu qara’a -yaqra’u-qur’anan yang artinya adalah
“bacaan” atau lebih mudahnya “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”.
3. Al Qur’an Secara Terminologi
Dalam pandangan Islam, Al Qur’an adalah Kitab Suci Seseorang yang menganut Agama
Islam yang di dalam bentuknya, berisi firman (kalam) Allah SWT yang diturunkan Nabi
Muhammad SAW sebagai mukjizat, dengan disampaikan dengan jalan mutawatir dan bagi
Dari pengertian Al-Qur’an menurut para ahli diatas, dapatlah dikatakan jika setiap orang,
masyarakat khususnya umat Islam harus senantiasa atau selalu mempertahankan,
menyebarluaskan dan mengaplikasikan pengetahuan mengenai Al-Qur’an. Alasannya karena Al-
Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang paling sempurna. Al-Quran adalah kalamullah, atau
kalimat Allah SWT dan berasal dari sisi Allah SWT.
Sebagai sumber hukum Islam, ada beberapa hal yang disampaikan secara rinci dalam Al-
Quran dan ada juga yang disampaikan secara umum. Misalnya saja terkait dengan ibadah yang
dijelaskan secara rinci. Sedangkan untuk masalah yang lainnya tidaklah dijelaskan dengan rinci.
Oleh karena itu, dibutuhkanlah sumber hukum Islam lainnya sebagai pendukung agar nantinya
Al-Quran bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadi pedoman ketika muncul
suatu permasalahan.

B. Hadits
Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits. Melalui hadits inilah yang akan memberikan
penjelasan lebih lanjut dari apa yang tercantum di Al-Quran. Hadits adalah satu dari 4 sumber
hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk
menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits
dimaknai sebagai jadid, qorib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang baru.
Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi. Sementara itu, khabar artinya warta
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang lainnya.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi adalah sabda, perbuatan, dan persetujuan dari
Rasulullah SAW.
Sedangkan secara bahasa, hadis berarti perkataan, percakapan, berbicara. Definisi hadits
dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah), dan segala
keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits
melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan, dan
taqrir para sahabat dan Tabi’in.
Pada dasarnya, Al-Quran dan hadits tidaklah bisa dipisahkan, tetapi saling melengkapi. Oleh
karena itu, keduanya selama ini telah menjadi pedoman bagi masyarakat, terutama umat Muslim.
Jika umat Muslim menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan ternyata masih belum
menemukan titik terang dari suatu permasalahan, maka hadits akan menjadi pedoman yang
berikutnya setelah Al-Quran. Jadi, hadits dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al-Quran.
Terdapat 4 macam fungsi hadits terhadap Al Quran yang ditetapkan oleh ulama Atsar,
sebagai berikut:
1. Bayan at-Taqrir
2. Bayan at-Tafsir
3. Bayan at-Tasyri
4. Bayan an-Nasakh

C. Ijma
Ijma berasal dari bahasa Arab ‫ ِإْج َم اٌع‬ijmā yang berarti konsensus. Istilah ini berasal dari kata
‫ َأ َم َع‬ajma‘a yang artinya menyepakati. Kata ini berakar dari ‫ َج َم َع‬jama‘a yang berarti
‫ْج‬
mengumpulkan atau menggabungkan. Menurut KBBI, pengertian Ijma adalah kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa. Secara etimologi,
pengertian ijma mengandung dua arti. Pertama, Ijma berarti ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu atau memutuskan berbuat sesuatu. Kedua, Ijma berarti sepakat.
Pengertian Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijma adalah
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati dan hasil dari ijma adalah fatwa.
Pengertian Ijma merupakan bagian dari hukum Islam. Dalam Islam, Al-Qur’an dan hadits
adalah dasar hukum yang digunakan. Para ulama menggunakan Al-Qur’an dan hadits sebagai
dasar menetapkan Ijma. Pengertian Ijma penting dipahami ketika mempelajari hukum Islam.
Secara bahasa, ijma adalah mengumpulkan masalah yang setelah itu diberi hukum atas masalah
tersebut lalu diyakini.
Sedangkan menurut istilah, ijma adalah kesepakatan pendapat dari seluruh ahli ijtihad setelah
Rasulullah Muhammad SAW wafat. Kedudukan ijma ini adalah sebagai sumber hukum Islam
yang ketiga setelah Al-Quran dan hadits. Jadi, Ijma adalah salah satu cara menetapkan hukum
yang tidak didapatkan di Al Qur’an dan hadits.
Pada awalnya, ijma ini dijalankan oleh para khalifah serta para petinggi negara. Dari
musyawarah yang sudah mereka lakukan, lalu hasilnya akan dianggap sebagai perwakilan dari
pendapat umat Muslim.
Setelah berjalannya waktu, musyawarah yang dilakukan pun semakin banyak diikuti.
Terutama diikuti oleh ahli ijtihad dan dilanjutkan hingga saat ini. Ijma sendiri dibagi menjadi dua
yaitu ijma sharih dan ijma sukuti.
Ijma sharih atau lafzhi adalah suatu kesepakatan dari para mujtahid yang dilakukan melalui
pendapat atau pun dari perbuatan terhadap suatu hukum perkara tertentu. Untuk ijma sharih ini
tergolong jarang terjadi.
Sedangkan ijma sukuti adalah kesepakatan dari para ulama melalui seorang mujtahid yang
sudah mengutarakan pendapatnya mengenai hukum suatu perkara. Setelah itu pendapat dari
mujtahid tersebut pun menyebar dan banyak orang yang mengetahuinya. Dalam hal ini, mujtahid
lainnya tidak menyatakan ketidaksetujuan pada pendapat tersebut setelah melakukan riset atau
penelitian tentang pendapat itu.
Penetapan Ijma tetap berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan pengertian Ijma, maka
dapat dikatakan bahwa Ijma berasal dari Ijtihad para ulama. Selain itu, Ijma menjadi alat
penafsiran hukum sesuai syariat Islam dan sebagai wujud toleransi terhadap tradisi yang berbeda
dalam Islam.
Menurut istilah para ahli ushul fiqh, pengertian Ijma adalah kesepakatan terhadap
permasalahan hukum syara pada suatu peristiwa. Kesepakatan ini dilakukan para mujtahid
Muslim pada suatu masa tertentu setelah Rasulullah wafat.

D. Qiyas
Dikutip dari buku Ushul Fiqih oleh Amrullah Hayatudin, qiyas terdiri dari empat rukun dan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Antara lain sebagai berikut:
1. Ashl
Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik
dalam nash maupun ijma. Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai
dan maqis ‘alaih atau tempat meng-qiyas-kan. Dalam arti sederhana, ashl adalah kasus yang
akan digunakan sebagai ukuran atau pembanding.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus
memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar pada
jalur sam’isyar’i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui illat pada ashal. Selain
itu, ketetapan hukum pada ashal harus bukan berdasarkan qiyas, melainkan karena nash atau
ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar dari aturan-aturan qiyas.
2. Far’u
Far’u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus yang sudah
ada hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far’u dapat ditetapkan dalam qiyas antara
lain far’u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma, harus ditemukan
illat ashl pada far’u dengan kadar sempurna dan tidak boleh kurang dari kadar illat yang
terdapat pada ashl.
3. Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum terhadap far’u.
4. Illat
Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan dalam
hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan yang diperhatikan
syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.
Jadi, dalam menjalani kehidupan ini, umat Islam harus mengikuti hal-hal apa yang boleh
dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran
merupakan sumber hukum Islam tertinggi.

Selain penjelasan dari keempat dalil syara’ yang disepakati, terdapat juga dalil syara’ yang
tidak disepakati. Terdapat 6 dalil syara’ yang tidak disepakati, berikut ini penjelasannya:
A. Istihsan

B.Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
C.menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
D.kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
E. Az Zuhaili terdiri dari dua
definisi:
F. a. Memakai qias khafi dan
meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
G.qiasi
H.b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
I. tersebut. Disebut istihsan
Istinai’.
J. Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
K.menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
L. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
M. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
N.a. Memakai qias khafi dan
meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
O.qiasi
P. b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
Q.tersebut. Disebut istihsan
Istinai’.
R.Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
S. menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
T. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
U.Az Zuhaili terdiri dari dua
definisi:
V.a. Memakai qias khafi dan
meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
W. qiasi
X.b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
Y.tersebut. Disebut istihsan
Istinai’.
Z. Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
AA. menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
BB. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
CC. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
DD. a. Memakai qias khafi
dan meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
EE. qiasi
FF. b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
GG. tersebut. Disebut
istihsan Istinai’.
Istihsan menurut Bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Sedangkan
menurut istilah Ushul yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari qias jalli (jelas)
kepada qias khafi (tersembunyi), atau dari hukum kulli kepada hukum istinai. Menurut
Wahbah Az Zuhaili terdiri dari dua definisi:
1. Memakai qias khafi dan meninggalkan qias jaili karena ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan qiasi.
2. Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk
untuk hal tersebut.
B. Marsahah Mursalah
Menurut Abdul Khalaf, sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak ada ketegasann
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil yang mendukung maupun yang
menolaknya, sehingga ia dikatakan Maslahah al Mursalah (maslahah yang lepas dari dalil
secara khusus).

Para ulama' belum sepenuhnya sepakat bahwa maslahah al mursalah dapat dijadikan
sumber hukum islam artinya maslahah al mursalah termasuk sumber hukum Islam yg masih
di pertentangkan, golongan mazhab Syafi'i dan Hanafi tidak menganggap maslahah al
mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya dalam katagori
bab qiyas, jika dalam suatu maslahah tidak didapatkannya nash yg bisa dijadikannya acuan
dalam qiyas maka maslahah tersebut di anggap batal/tidak diterima. Sedangkan Imam malik
dan Imam Hambali mengatakan bahwa maslahah dapat diterima dan dapat dijadikan sumber
hukum apabila memenuhi syarat. Adapun syaratnya yaitu:

1. Adanya persesuian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan tujuan syariat (maqashid as syari'ah).

2. Maslahah harus masuk akal (rationable)


3. Penggunan dalil maslahah adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi
(rafu haraj lazim), seperti firman Allah surah Al Hajj ayat 78 yang artinya "dan Dia
tidak sekali kali menjadikan untuk kamu suatu kesempitan".
C. Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba )‫ استصحب‬dalam shigat
is-tifal )‫ ((استفعال‬yang berarti :: ‫ استمرار الصحبة‬Kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan sahabat" atau "teman",
dan ‫تمرار‬KK‫ اس‬diartikan selalu" atau "terus-menerus", maka istishab itu secara lughawi artinya
adalah: "selalu menemani" atau "selalu menyertai".

Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh
para ulama, di antaranya ialah:

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah
ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada. Adapun syarat-syarat istihab yaitu:

Muhammad Abu Zahroh membagi Istishhab menjadi 4 bagian:

1. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut: seperti tidak
adanya kewajiban melaksanakan syari'at bagi manusia, sehingga ada dalil yang menunjukan dia
wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah
ketika dia sudah baligh.

2. Ishtishhab ma dalla asy-Syar'i au al-'Aqli 'ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash
menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan) sehingga ada dalil yang
menghilangkan hukum tersebut sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang
diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
3. Istishhab al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat
hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan
tetapnya sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau
baunya.
D. ‘Urf

Kata 'urf secara etimologi berarti "sesuatu yang dipandang baik dan diterima akal sehat".
Sedangkan secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu "Sesuatu yang tidak asing lagi
bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka
baik berupa perbuatan maupun perkataan.

Oleh karna itu Ulama Mazhab Maliki dan Hanafi bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan
'urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari'i. Adapun pembagian 'Urf
dibagi menjadi dua macam yaitu:

1. 'Urf yang Fasid (rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu 'Urf yang bertentangan dengan
Nash Qath'i
2. Urf yang shahih (baik/Benar), suatu kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan syariat
E. Syara’ dari agama sebelum Islam

a. Pengertian Syar'u Man Qablana


Yaitu syari’at atau ajaran nabi-bani sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada
mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw.

b. Hukum Syar'u Man Qablana

Para ulama ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam
Quran dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat
Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat
sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Qur’an adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan
bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw.
F. Mashab Sahab

A. Pengertian

Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam
masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah SAW, dan RasululIah SAW
memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah SAW meninggal dunia, maka
kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-
sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan
fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it tabi'in
dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan,
apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?

B. Hukum Madzhab Sahabat

Para ulama sepakat bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah,
yaitu:
a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari
Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya
b. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya

HH. Pengertian istihsan


menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
II.menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
JJ. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
KK. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
LL. a. Memakai qias khafi
dan meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
MM. qiasi
NN. b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
OO. tersebut. Disebut
istihsan Istinai’.
PP. Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
QQ. menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
RR. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
SS. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
TT. a. Memakai qias khafi
dan meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
UU. qiasi
VV. b. Hukum pengecualian
dari kaidah kaidah yang
berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal
WW. tersebut. Disebut
istihsan Istinai’.
XX. Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
YY. menurut istilah Ushul
yaitu memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
ZZ. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
AAA. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
BBB. a. Memakai qias khafi
dan meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
CCC. qiasi
DDD. b. Hukum
pengecualian dari kaidah
kaidah yang berlaku umum
karena ada petunjuk untuk
hal
EEE. tersebut. Disebut
istihsan Istinai’.
FFF.Pengertian istihsan
menurut bahasa adalah
mengembalikan sesuatu
kepada yang baik,
GGG. menurut istilah
Ushul yaitu
memperbandingkan,
dilakukan oleh mujtahid
dari qias jalli (jelas)
HHH. kepada qias khafi
(tersembunyi), atau dari
hukum kulli kepada hukum
istinai’. Menurut Wahbah
III. Az Zuhaili terdiri dari
dua definisi:
JJJ. a. Memakai qias khafi
dan meninggalkan qias jalli
karna ada petunjuk untuk itu
disebut istihsan
KKK. qiasi
LLL. b. Hukum
pengecualian dari kaidah
kaidah yang berlaku umum
karena ada petunjuk untuk
hal
MMM.tersebut. Disebut
istihsan Istinai
2.3 Asas-asas Syari’ah Islam
Asas-asas dalam syari’ah islam adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan kepicikan (kesempitan)
2. Menyedikitkan beban (taklif)
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hokum
4. Sejalan dengan kemaslahatan yang merata
5. Mewujudkan keadilan yang merata
2.4 Fungsi Syari’ah
Fungsi utama syariah adalah memberikan bimbingan dan arahan bagi umat Islam untuk menjalani
kehidupannya sesuai dengan kehendak Allah. Syariah didasarkan pada Al-Qur'an dan Hadits, yang
merupakan sumber utama hukum Islam
Fungsi syariah dalam lingkup hukum Islam adalah sebagai jalan atau jembatan bagi umat
manusia dalam berpijak dan berpedoman. Selain itu, syariah juga menjadi media dalam menjalankan
kehidupan di dunia agar sampai pada tujuan akhir dengan selamat.
Dengan kata lain, supaya manusia dapat membawa dirinya di atas jalur syariah sehingga bisa
hidup dengan teratur, tertib dan tentram. Ini bisa digambarkan dalam menjalin hubungan baik dengan
Sang Khalik yang disebut habluminallah dan hubungan dengan sesama manusia atau
hablumminannas.
Hubungan yang baik ini akan bernilai ibadah dan dianggap baik oleh Allah SWT. Hingga pada
akhirnya, seorang Muslim mampu mencapai tujuan hidup hasanah fi dunya dan hasanah fil akhirat.
. Mengutip buku Syariah Islamiyah oleh Dr. H. Sutisna, ada dua macam manusia jika dilihat dari
fungsi syariah secara garis besar, yaitu:
 Manusia sebagai seorang hamba yang harus mengabdikan dirinya kepada Allah SWT.
 Manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mengurus dan mengatur tatanan kehidupannya.
Maka, jika manusia ingin menjalankan fungsinya sebagai seorang hamba dan khalifah di muka
bumi, ia harus mematuhi syariah terlebih dahulu. Sebab Allah telah menurunkan syariah Islam yang
berguna untuk mengantarkan manusia menuju ridho-Nya.
Sehingga manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki sesuai dengan tuntunan
Alquran dan sunah. Fungsi syariah dapat membuat kehidupan manusia menjadi ma’rufat (baik),
serta mewujudkan keadilan sesuai dengan firmanNya.

2.5 Tujuan Syari’ah


Tujuan utama syariah adalah untuk memajukan kesejahteraan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Syariah mempunyai beberapa fungsi, antara lain:
• Sebagai pedoman hidup: Syariah memberikan pedoman bagi umat Islam untuk menjalani
kehidupannya sesuai dengan kehendak Allah.
• Sebagai sistem hukum: Syariah menyediakan sistem hukum komprehensif yang mencakup
seluruh aspek perilaku manusia.
• Sebagai kode moral: Syariah memberikan kode moral yang mengatur perilaku umat Islam dalam
segala aspek kehidupan.
• Sebagai sistem sosial: Syariah menyediakan sistem sosial yang mengedepankan keadilan dan
kesetaraan sosial.
• Sebagai sistem perekonomian: Syariah menyediakan sistem perekonomian yang berdasarkan
pada prinsip kewajaran, keadilan, dan kesetaraan.
Ringkasnya, syariah merupakan bagian integral dari Islam yang memberikan bimbingan dan arahan
bagi umat Islam untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan kehendak Allah.

2.6 Ciri Hukum Islam


Hukum Islam memiliki beberapa ciri-ciri utama yang membedakannya dengan hukum manapun
di dunia ini. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah sifat yang ilahiyah, fleksibel, humanistik universal,
dinamis, seimbang, dan aplikatif
Hukum Islam juga memiliki dua istilah kunci, yaitu syariat dan fikih. Syariat terdiri dari wahyu
Allah dan Sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman
manusia tentang Syariah. sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang
Syariah.
Hukum Islam juga memiliki ciri-ciri seperti bersifat ketuhanan, bersifat universal dan dinamis,
bersifat kemanusiaan, bersifat ta'aquli dan ta'abbudi, dan bersifat wasathiyah. Berikut ini merupakan
pengertian dari sifat ta’aquli, sifat ta’abbudi dan sifat wasathiyah :
A. Sifat Ta’aquli
Sifat ta’aquli merupakan sifat ketaatan terhadap aturan yang bersifat rasional dan
mengandung maslahat yang umumnya telah diketahui oleh manusia, yaitu sebagai contoh ibadah
yang ada sebab dan alasannya seperti membersihkan anggota badan dari hadas dan najis, karena
jika terdapat hadas dan najis maka harus membersihkannya terlebih dahulu jika hendak
menjalankan ibadah khususnya sholat.

B. Sifat Ta’abbudi
Sifat ta’abbudi ini merupakan ketaatan mutlak yang bersifat non rasional, namun memiliki
nilai ta’aqquli tersebut, sebagai contoh yaitu ibadah yang tak ada alasannya kenapa dilakukan,
seperti sholat maghrib dikerjakan tiga rakaat karena sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT.

C. Sifat Wasathiyah
Sifat Wasathiyah merupakan ketegasan seseorang untuk bersikap adil, seperti contoh yang
diibaratkan sebagai seorang wasit didalam pertandingan sepak bola (ia tidak harus berada
ditengah tetappi dituntut dapat menegakkan keadilan dalam sebuah pertandingan).

2.7 Pengertian Fikih


Kata fiqih berasal dari kata fuqaha yang artinya “memahami”. Sedangkan menurut istilah fiqih
adalah hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai kebutuhan masyarakat.
Jadi fiqih adalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyyah yang berhubungan dengan segala
tindakan manusia baik berupa ucapan atau perbuatan. Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan
as-Sunnah al-Maqbulah. As-Sunnah Al-Maqbulah artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis
sunnah al-Maqbulah dibagi menjadi dua, Hadis Shahih dan Hadis Hasan.
2.8 Perbedaan Syari’ah dan Fikih
Syariah dan fiqh adalah dua konsep yang berkaitan dengan hukum Islam. Syariah mengacu pada
peraturan dan ketentuan yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW,
sedangkan fiqh mengacu pada pemahaman dan penafsiran manusia terhadap peraturan dan ketentuan
tersebut. Fiqh adalah disiplin hukum Islam yang membahas penerapan praktis prinsip-prinsip hukum
Islam. Perbedaan utama antara syariah dan fiqh adalah bahwa syariah bersifat ketuhanan dan tidak
berubah, sedangkan fiqh bersifat manusiawi dan dapat berubah seiring berjalannya waktu.

BAB II
IBADAH

2.1 Pengertian Ibadah


Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut
syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi
itu antara lain adalah:
a. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-
Nya.
b. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
c. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa
Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.

2.2 Pembagian Ibadah


Ada sebagian pandangan yang mengelompokkan ibadah berdasarkan bentuknya dalam dua
kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Arti kata mahdhah sendiri adalah
murni atau tak bercampur. Sedangkan ghairu mahdhah berarti tidak murni atau bercampur hal lain.
Ibnu Rusydi, Ulama kenamaan mazhab Maliki, memiliki sudut pandang lain dalam menilai
ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Menurutnya, ibadah mahdhah adalah ibadah yang maksud
penerapannya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, misalnya seperti shalat. Bagi Ibnu Rusyd,
manusia tidak dapat memahami maksud di balik kewajiban melaksanakan ibadah shalat oleh syariat.
Maka dari itu, pensyariatan shalat dimaksudkan murni untuk mendekatkan diri (qurbah) pada Allah
subhanahu wa wa’ala. Selain dikenal dengan ibadah mahdhah, ibadah yang masuk dalam kategori ini
dikenal pula dengan nama ta’abbudi. Ibadah mahdhah ini, menurut Ibnu Rusydi pasti membutuhkan
niat dalam pelaksanaannya. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah, adalah ibadah yang maksud
penerapannya dapat dijangkau oleh akal. Seperti mensucikan sesuatu yang terkena najis sebelum
melaksanakan ibadah shalat, tujuan diwajibkannya hal tersebut dapat dijangkau oleh akal manusia.
Sebab menghadap pada manusia saja alangkah baiknya jika berada dalam kondisi yang bersih dan
suci tubuh dan pakaiannya, termasuk dari kotoran najis. Terlebih ketika menghadap pada Allah SWT
saat melaksanakan ibadah shalat. Ibadah jenis ini juga dikenal dengan sebutan ta’aqquli atau
ma’qulatul ma’na. Ibadah ghairu mahdhah ini, tidak membutuhkan niat dalam pelaksanaanya, cukup
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat.

2.3 Hikmah Ibadah


1. Tidak Syirik, ‫ َو اْسُجُد ْو اِ ِهلل اَّلِذ ْى َخ َلَقُهَّن ِاْن ُكْنُتْم ِاَّياُه َتْعُبُد ْو َن‬..dan melainkan bersujudlah kepada Allah, yang
telah menciptakan mereka, jika benar-benar hanya kepada Nya kamu menyembah (beribadah) [Ha
Mim As Sajdah 41:38]. Seorang hamba yang sudah berketapan hati untuk senantiasa beribadah
menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui
segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud
lain yang dapat mengungguli Nya dan dapat dijadikan tempat bernaung.
2. Memiliki ketakwaan, ‫ يَاُّيَها الَّناُس اْعُبُد ْو ا َر َّبُك ُم اَّلِذ ْى َخ َلَقُك ْم َو اَّلِذ ْيَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقْو َن‬Hai manusia, sembahlah
Tuhan mu yang telah menjadikan kamu dan juga orang-orang sebelummu supaya kamu bertakwa [Al
Baqarah 2:22]. Ada dua hal yang melandasi manusia menjadi bertakwa, yaitu karena cinta atau
karena takut. Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia setelah
merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan keindahan
Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya. Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa
takut timbul karena manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai
kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak
ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankan kewajiban.
3. Terhindar dari kemaksiatan, ...‫ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر‬.. Sesungguhnya shalat mencegah orang
dari kekejian dan kejahatan yang nyata [Al Ankabut 29:46]. Ibadah memiliki daya pensucian yang
kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa
dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selalu dipakai
dimanapun manusia berada.
4. Berjiwa sosial, ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan
disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya.
Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-
orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan orang-orang
dalam kondisi ini.
5. Tidak kikir, ‫ َو اَتى اْلَم اَل َعلى ُحِّبه َذ ِوى اْلُقْر بى َو اْلَيتمى َو اْلَم سِكْيَن َو اْبِن الَّس ِبْيِِلال َو الَّساِئِلْيَن َو ِفى اّلِرَقاِبج‬dan karena cinta
kepada Nya memberikan harta benda kepada ahli kerabat, dan anak-anak yatim, dan orang-orang
miskin, dan kaum musafir, dan mereka yang meminta sedekah dan untuk memerdekakan sahaya. [Al
Baqarah 2:178]. Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah SWT
yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan manusia yang
begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan
hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia
menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya
semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan harta untuk
keperluan umat.

BAB IV
KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas kita dapat simpulkan Syariah adalah hukum yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, sedangkan fiqih merupakan ilmu yang memperdalam tentang hukum syariah, yaitu
tentang tata cara ibadah secara lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih memiliki hubungan yang sangat
erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi oleh perasaan ikhlas, cinta, takut, dan harap pada Allah
semata dan sesuai tuntunan Rasullullah. Dengan begitu diharapkan kita dapat memperoleh kesejahteraan,
kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat kelak.
NOTULIS

1. Pertanyaan pertama (Restu Maidi Aprila Fajri 23050100137)


Kenapa terdapat dalil syara’ yang tidak disepakati?
Jawab: Dalil syara’ yang tidak disepakati adalah hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan
tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-
dalil tersebut. Sebagian diantara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai lasan
penetepan hukum dan sebagian mengingkari.

2. Pertanyaan kedua (Akita Deco Zaki Al Faruqi 2305070033)


Bagaimana takaran wajar yang dimaksud dalam perekonomian syari’ah?
Jawab: Ekonomi syari’ah distribusikan kekayaan dalam islam bisa dilakukan lewat dua mekanisme
yaitu mekanisme ekonomi berupa jual-beli dan mekanisme non-ekonomi berupa zakat, infak,
sedekah, wakaf, warisan, hadiah dan hibah. Selain itu, system ekonomi dalam islam terdapat 4 prinsip
yaitu tauhid (keimanan), adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilaffah (pemerintahan) dan ma’ad
(hasil).

3. Pertanyaan ketiga (Egi Diah Rimosan 2305090103)


Apa perbedaan tentang dalil syara’ yang disepakati dan berikan contohnya dalam kehidupan sehari-
hari?
Jawab: Perbedaan dalil syara’ yang disepakati dalam kehidupan manusia contohnya adalah sholat,
didalam al quran hanya ada ada perintah sholat tidak ada penjelasan bagaimana sholat itu. Lalu
didalam hadis oleh Nabi Muhammad SAW. Dijelaskan sebagaimana sholat itu dilaksanakan.

4. Pertanyaan keempat (El Angger Catur Prasetia 2301070025)


Bagaimana sistem hukum dalam syari’ah dan berikan contohnya?
Jawab: Sistem hukum islam itu ada lima yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Untuk
contoh seperti berikut wajib (sholat lima waktu), sunnah (puasa senin & kamis), muba (makan &
minum), dan makruh (mendahulukan anggota badan yang kiri daripada kanan saat berwudhu)

5. Pertanyaan kelima (Naila Afifatun Ni’mah 2304030046)


Apa yang dimaksud dari berangsur-angsur dalam menetapkan hukum dan berikan contohnya?
Jawab: Yang dimaksud berangsur-angsur dalam menetapkan hukum adalah proses dalam menetapkan
hukum tidak boleh langsung dari bawah urutannya harus tepat dari al quran lalu hadits lalu ijma lau
qiyas karena semua itu sudah ada kehujjahannya (alasannya).

DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Hidaya Agung,1990), h. 321 5

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiieqy, Falsafah Hukum Islam, ( Semarang:Pustaka Rizki
Putra,2001), h.29

Gramedia.com. Tidak ada tahun. Pengertian Syariah Sebagai Pedoman Beragama Umat Islam. Diakses
pada 20 September 2023, dari https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-syariah/

Gramedia.com. Tidak ada tahun. Memahami 4 Sumber Hukum Islam yang Telah Disepakati Lebih
Dalam. Diakses pada 20 September 2023, dari https://www.gramedia.com/literasi/sumber-hukum-islam/

Al Manhaj.or.id. Tidak ada tahun. Pengertian Ibadah Dalam Islam. Diakses pada 21 September 2023, dari
https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html

NU.or.id. 19 Juli 2019. Perbedaan Ibadah Mahdhah dan Ghoiru Mahdhah. Diakses pada 23 September
2023, dari https://nu.or.id/syariah/perbedaan-ibadah-mahdhah-dan-ghairu-mahdhah-xYfKF

Islam religius.blogspot.com. Tidak ada tahun. Hikmah Ibadah. Diakses pada 23 September 2023, dari
https://islamireligius.blogspot.com/2009/08/hikmah-ibadah.html
Luhfi Cahyadi, dkk (2021) Makalah Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati. Karawang: Universitas
Singaperbangsa Karawang

Anda mungkin juga menyukai