Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“SUMBER AJARAN ISLAM”

DISUSUN OLEH :
1. DELIATRI ARYUNA
10823226
2. SHANTIKA OKTAVIA R
10823918
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………


ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….
iii

BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………… 4


A. LATAR BELAKANG …………………………………………………………………... 4
B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………….. 4
C. TUJUAN ………………………………………………………………………………... 5
BAB II. PEMBAHASAN
A. SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM………………………………………...………....
6
B. DEFINISI DAN SEJARAH AL-QUR’AN………………………………………………..7
C. DEFINISI HADIST………………………………….…………………………...……...
12
D. DEFINISI RA’YU………………………………………………. …………………….. 13
BAB III. PENUTUP
A. KESIMPULAN ………………………………………………………………………… 15
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………
16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan
yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun terdapat perbedaan dari segi
penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya harus dijadikan
rujukan. Dari keduanya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama. Oleh karena itu,
kajiankajian terhadapnya tidak pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring
dengan kebutuhan umat Islam. Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar antara alQur’an
dan Hadis. Untuk al-Qur’an, semua periwayatan ayatayatnya berlangsung secara mutawatir,
sedangkan untuk Hadis sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian
berlangsung secara ahad.1 Selain itu al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Rasulullah saw dan
dilakukan oleh sekretaris resmi yang di tugaskan langsung oleh Rasulullah. Sedangkan, secara
keseluruhan hadis belum ditulis di zaman Nabi Muhammad saw, bahkan beliau dalam suatu
kesempatan melarang sahabat yang menulis hadis. Namun, upaya sahabat dalam menulis hadis
sudah ada sejak masa Rasulullah saw.

Hadis, yaitu ucapan-ucapan dan tindakan- tindakan nabi. Tidak diragukan lagi bahwa nabi
adalah manusia yang paling baik dalam memahami maksud-maksud Kitab suci. Dia dapat
secara tepat menafsirkan ayat-ayat tersebut dan bertindak sesuai dengan apa yang
diperintahkannya. Dia juga seorang petunjuk par excellence bagi umat Islam. Umat Islam akan
datang kepada nabi dan bertanya tentang perbagai persoalan dan mencari petunjuk di hampir
semua masalah. Nabi memberikan petunjuk langsung kepada mereka, atau menunggu wahyu
dari Allah. Ketika dia berkata atau bertindak sesuatu, hal itu secara hati-hati dicatat dan kata-
katanya dihafal untuk disampaikan kepada orang lain

B. Rumusan Masalah

1. Apa sumber ajaran Agama Islam?


2. Apa definisi dan sejarah Al-Qur’an?
3. Apa definisi dari Hadist?
4. Apa definisi dari Ra’yu?

4
C. Tujuan

1. Memahami hukum ini dihadirkan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan.
2. Memahami pengetahuan manusia tentang pedoman dan pegangan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT.
3. Paham akan ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya
merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
4. Membantu diri agar terus mengingat semua akan larangan dan perintah dari Allah SWT.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM

Sumber ajaran agama Islam adalah segala sesuatu yang menjadi dasar dan acuan dalam
memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Sumber ajaran Islam terdiri dari empat macam,
yaitu Al-Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyas.

 Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-
Qur'an merupakan sumber ajaran Islam yang utama dan pertama. Al-Qur'an berisi
pedoman hidup yang lengkap bagi umat manusia, mulai dari akidah, ibadah,
muamalah, hingga hukum-hukum lainnya.

 Hadits adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh sahabat-sahabat beliau. Hadits merupakan sumber ajaran Islam
yang kedua setelah Al-Qur'an. Hadits berfungsi untuk menjelaskan dan memperjelas
ayat-ayat Al-Qur'an, serta memberikan contoh-contoh nyata dari kehidupan Nabi
Muhammad SAW.

 Ijma' adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum Islam. Ijma'
dianggap sebagai sumber ajaran Islam yang ketiga karena dianggap sebagai salah satu
cara untuk memahami Al-Qur'an dan Hadits.

 Qiyas adalah metode pengambilan hukum Islam dengan cara menganalogikan suatu
masalah baru yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an dan Hadits dengan masalah
yang sudah ada di dalam Al-Qur'an dan Hadits. Qiyas dianggap sebagai sumber
ajaran Islam yang keempat karena dianggap sebagai salah satu cara untuk
memperluas jangkauan hukum Islam.

Keempat sumber ajaran Islam tersebut saling melengkapi dan membentuk suatu sistem
hukum yang komprehensif. Al-Qur'an sebagai sumber utama, Hadits sebagai penjelas Al-
Qur'an, Ijma' sebagai kesepakatan ulama dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits, serta Qiyas
sebagai metode untuk memperluas jangkauan hukum Islam.

6
B. DEFINISI DAN SEJARAH AL-QUR’AN

Kata Al-Qur’an berasal dari kata qaraa yang berarti “ membaca, menelaah, mempelajari, dan
mengumpulkan” Menurut terminologi, dapat dipahamni dari beberapa pendapat ulama sebagai
berikut:

1. Mannaa’ al-Qaththaan dalam bukunya Mabaahits fiy ‘Uluum al-Qur’an


menulis:
‫اﻟﻘﺮآن ﻫﻮ ﻛﻼم اﷲ اﳌﻨﺰل ﻋﻠﻰ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﳌﺘﻌﺒﺪ ﺑﺘﻼوﺗـﻪ‬

Artinya:
Al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada
Muhammad saw. dan membacanya adalah ibadah.

2. Dr. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya Tariikh Al-Qur’an al- Kariim menulis:
‫اﻟﻘﺮان ﻫﻮ ﻛﻼم اﷲ ﺗﻌﺎﱃ اﳌﻨﺰل ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﳌﻜﺘﻮب ﰱ اﳌﺼﺎﺣﻒ‬
‫اﳌﻨﻘﻮل اﻟﻴﻨﺎ ﻧﻘﻼ ﻣﺘﻮاﺗﺮا اﳌﺘﻌﺒﺪ ﺑﺘﻼوﺗﻪ اﳌﺘﺤﺪى ﺑﺎﻛﺜﺮ ﺳﻮرة ﻣﻨﻪ‬

Artinya:
Al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad saw. Yang
tertulis dalam mshaf-mushaf, dinukilkan kepada kita dengan mutawatir, membacanya
merupakah ibadah, dan sebagai penentang (bagi orang yang tidak percaya) walaupun surah
yang terpendek.

 Pengertian Tafsiran Al-Qur’an


Tafsir Al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang
bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan),
menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya .menyangkut ayat-ayat yang
tidak di pahami dan samar artinya

7
 Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Penafsiran Al-Qur’an telah terjadi sejak masa awal-awal pertumbuhan dan perkembagan
Islam. Penafsir pertama pada masa pertumbuhan Islam adalah Rasulullah saw. Upaya
penafsiran Al- Qur’an masih tetap bejalan pasca wafatanya Rasulullah saw yang dilanjutkan
oleh para sahabat, tabiin, hingga masa saat ini.
Menelusuri sejarah penafsiran Al-Qur’an, Muhammad az-Zahabi membagi sejarah tafsir ke
dalam tiga fase/periode (marhalah). Pertama, adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi
dan para sahabat. Kedua, yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi‘in. Ketiga, yaitu fase
perkembangan tafsir pada masa penyusunan dan pembukuan (kodifikasi), yang dimulai dari
zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa hidup az-Zahabi sampai masa sekarang)

 Metodologi dan Bentuk Tafsir Al-Qur’an


Metodologi :
1. Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir
ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-
nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat Al-Qur'an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal
hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosakata dan lafazh,
menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-
unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil
dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain
sebagainya.

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak
sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan
pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat”
generasi berikutnya.

2. Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan
menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga
mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan
dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

8
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan
dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada
penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan
tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

3. Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan
hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan
tertentu dari objek yang diperbandingkan itu.

4. Metode Maudhu’i (Tematik)


Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Al-Qur'an untuk kemudian menghimpun
seluruh ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk
menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari
jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan
satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan
masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat
tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Bentuk :
1. Tafsir bi al-Ma`tsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan)
karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan
masa lalu dari generasi sebelumnya, terus sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu
menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah, karena ia berfungsi
sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat. Para sahabatlah yang dianggap
paling memahami Kitabullah. Setelah itu barulah perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in,
karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Menurut Al-Zarkasyi istilah tafsir Bil Al-matsur merupakan gabungan dari tiga fakta tafsir,
bi, dan al-ma’tsur. Secara bahasa tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Bi berarti
dengan. Sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil. Sedangkan secara etimologis
pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu :

“Tafsir bi al-ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi

9
menjelaskan kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in
karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.

Diatas telah dibahas tentang perbedaan dalam memaknai tafsir bi al-ma’tsur. Pertama
adalah pendapat yang meyakini tafsir bi al-ma’tsur dengan penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat, dan tabi’in. kedua, tafsir yang berupa kompilasi
penafsiran nabi, shahabat, dan tabi’in. sekilas redaksionalnya berdekatan, namun hakikat
dari kedua definisi ini sangat jauh berbeda.

Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat mempunyai nilai
tersendiri. Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status hukum marfu’
(disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan semua hal yang
tidak mungkin dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’yu maka
statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada
Rasulullah.

2. Tafsir bi ar-Ra'yi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena


tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar
peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-
ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan
ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk
menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-
ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

“ ‫”َخ َلَق اِاْل ْنَس اَن ِم ْن َع َلٍۚق‬


(Al-Alaq : 2)

Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang berarti
segumpal darah yang kental.

Adapun istilah tafsir bir-ra’yi dijadikan sebagai lawan dari tafsir bil ma’tsur, dengan makna
ra’yu adalah logika, pendapat, akal dan opini. Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat
bukan didasarkan pada riwayat dan sanad yang sampai ke shahabat atau Rasulullah SAW,
melainkan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri. Kadang juga diistilahkan
dengan tafsir bid-dirayah dimana maknua dirayah itu sama saja dengan makna ra’yu, yaitu
yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Bahkan menurut Syekh Muhammad
Ali As-Shobuni yang dimaksud ra’yu adalah al-ijtihad.

10
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad atau tafsir
bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada
penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi
dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam
menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar atau
salah, maka tafsir bi al-ra’yi juga demikian adanya. Ada yang dianggap benar yang
karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang
dan karenanya maka harus dijauhi.

Misalnya ketika menjelaskan makna bahasa suatu kata dalam Al-Quran, sang mufassir
menjelaskan bahwa secara makna bahasa, kata yang dimaksud itu punya akar kata terentu
dan juga dijelaskan bagaimana penggunaannya oleh orang Arab. Tentu penjelasan secara
kebahasaan seperti ini tidak datang dari Nabi SAW, para shahabat atau tabi’in, melainkan
datang dari diri sang mufassir sendiri yang mana dia memang ahli di bidang bahasa Arab.
Atau misalnya ketika seorang mufassir menjelaskan pelajaran yang bermanfaat yang
didapat dari suatu ayat, tentu saja ini pun tidak ada penjelasan dari Nabi SAW atau atsar
para shahabat. Sebab menguraikan pelajaran serta hikmah apa yang bisa didapat dari suatu
ayat tentu bisa dilakukan oleh setiap orang.

Dan di masa modern para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan seringkali mengaitkan
informasi di dalam suatu ayat dengan apa-apa yang mereka temukan dalam fakta-fakta
ilmiyah. Tentu temuan mereka ini juga tidak bersumber dari atsar, melainkan dari hasil
pengamatan mereka sendiri serta fakta-fakta dalam ilmu pengetahuan sendiri. Maka semua
hal itu oleh kebanyakan ulama masih dianggap sebagai bagian dari bentuk penafsiran Al-
Quran, dan dinamakanlah dengan istilah tafsir bir-ra’yi, sebagai antitesis dari tafsir bil
ma’tsur. Dalam implementasinya, tafsir bir-ra’yi ini oleh para ulama dibagi menjadi dua
macam, yaitu tafsir dengan logika yang terpuji dan tasfir dengan logika yang tidak terpuji.
Memang begitulah istilah yang digunakan, yaitu terpuji dan tidak terpuji. Nampaknya
penggunaan istilah ini ingin menghindari klaim benar atau salah

3. Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah
yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-
isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-
isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan
tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang
biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

‫َو ِاْذ َقاَل ُم ْو ٰس ى ِلَقْو ِمٖٓه ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن َتْذ َبُحْو ا َبَقَر ًةۗ َقاُلْٓو ا َاَتَّتِخ ُذ َنا ُهُز ًو اۗ َقاَل َاُع ْو ُذ ِباِهّٰلل َاْن َاُك ْو َن ِم َن اْلٰج ِهِلْيَن‬
(Surat Al Baqarah: 67)

11
Yang mempunyai makna zhahir adalah “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah”

C. DEFINISI HADITS

Hadis secara etimologi merupakan kata benda dari kata al-Tahdis yang berarti pembicaraan.
Sedangkan hadis menurut istilah ulama muhadditsin adalah segala yang dinukilkan dari Nabi
SAW baik berupa perkataan, perbuatan taqrir maupun hal ihwal Nabi.

Hadis Nabi memiliki kedudukan sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, dan telah
diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Hadis Nabi memiliki hubungan erat
dengan Al-Qur‟an, hubungan dan kaitan hadis dengan Al-Qur‟an ini biasa disebut dengan
fungsi hadis terhadap Al-Qur‟an. Hadis berfungsi untuk menjelaskan dan menerangkan
makna Al-Qur‟an yang tersembunyi.

Al-Qur‟an dan hadis tidak terlepas dari perkembangan budaya dari waktu ke waktu, terutama
hadis yang merupakan sumber hukum yang berasal dari Nabi atas kejadian atau peristiwa
tertentu pada saat itu yang erat kaitannya dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu,
diperlukan kreatifitas untuk lebih sering menggunakan hadis pada saat ini.
Kehadiran Islam dengan adanya ketetapan yang terdapat dalam sumber hukum yaitu Al-
Qur‟an dan hadis merupakan berkah bagi umat manusia termasuk perempuan. Dulu
perempuan berada dikelas kedua dibawah laki-laki sehingga banyak perlakuan yang tidak
menyenangkan dirasakan oleh perempuan.4 Ketika Islam datang, posisi perempuan diangkat
setinggi-tingginya. Akan tetapi tetap saja terdapat beberapa ulama yang memposisikan
perempuan dibawah laki-laki atas dasar hadis Nabi yang melarang perempuan bepergian
tanpa didampingi mahramnya. Adapun hadis tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari sebagai berikut:

‫َح َّد َثَنا ِإْسَح اُق ْبُن ِإْبَر اِهيَم اْلَح ْنَظِلُّي َقاَل ُقْلُت َأِلِبي ُأَس اَم َة َح َّد َثُك ْم ُع َبْيُد ِهَّللا َعْن َناِفٍع َعْن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا َأَّن الَّنِبَّي‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل اَل ُتَس اِفْر اْلَم ْر َأُة َثاَل َثَة َأَّياٍم ِإاَّل َم َع ِذ ي َم ْح َر ٍم‬

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzholah berkata; Aku berkata,
kepada Abu Usamah apakah „Ubaidullah telah menceritakan kepada kalian dari Nafi‟ dari
Ibnu „Umar radliallahu „anhuma bahwa Nabi shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
“Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan diatas tiga hari kecuali bersama
mahramnya”. (H. R. Bukhari. No. 1024).

12
Hadis tersebut diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak mengandung illat dan
syadz. Hadis tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukhari yang sudah pasti kualitasnya
shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah atau rujukan.

Jika dipahami dengan cara tekstual, hadis tersebut dapat dipahami bahwa Islam melarang
perempuan bepergian tanpa didampingi mahramnya, tentu saja hal itu seolah menghalangi
atau menghambat kegiatan dan aktivitas perempuan apalagi jika dikaitkan dengan zaman
sekarang. Perempuan akan kesulitan melakukan aktivitasnya.

Atas dasar hadis tersebut yang berstatus mahram boleh menemani karena tidak boleh
menikahi dan yang bukan mahram tidak boleh menemani karena boleh menikahi, demikian
menurut Al-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim. Sedangkan Jumhur ulama
memahami hadis tersebut cenderung literalistik, sehingga menurut mereka bagaimanapun
seorang perempuan ketika akan melakukan perjalanan jauh yang sifatnya mubah atau sunah
harus didampingi oleh mahramnya.

Untuk memaknai hadis tersebut adalah dengan menelusuri kembali aspek sosio- historis akan
kemunculan teks hadis larangan perempuan bepergian tanpa mahram. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosio-historis dalam memahami hadis
tersebut.

Pendekatan historis dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadis dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi SAW.
Adapun pendekatan sosiologi berangkat dari definisi sosiologi yaitu suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan gejala sosial yang yang
berkaitan dengannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosio-historis dalam hal ini
adalah memahami hadis dengan melihat kembali kondisi sosial dan historis ketika hadis itu
muncul.

Sangat mungkin kondisi sosial dan historis pada saat itu keamanan khususnya bagi
perempuan tidak seperti sekarang, karena pada saat itu Nabi SAW khawatir akan keselamatan
perempuan yang hendak bepergian jauh sendirian tanpa didampingi mahram. Mengingat
pada saat itu ketika seorang bepergian ia bisa menggunakan kendaraan onta dan bighal
(sejenis kuda) atau keledai. Jalan yang ditempuh pun tidak senyaman saat ini, dulu jalan yang
ditempuh adalah padang pasir yang luas dan sangat memungkinkan orang akan berbuat
kejahatan terutama kepada perempuan. Selain itu, dinilai kurang etis ketika perempuan
bepergian jauh sendiri tanpa didampingi mahramnya.

13
D. DEFINISI RA’YU
Secara etimologi kata (ra’yu) berasal dari bahasa Arab yang berarti “melihat”.4 Menurut Abû
Hasan kata ra’yu memiliki arti: pengelihatan dan pandangan dengan mata atau hati, segala
sesuatu yang dilihat oleh manusia, jamaknya (al-Ara’). Secara terminologi, ra’yu menurut
Muhammad Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui proses
berfikir dan merenung. Lebih spesifik lagi, apa yang diungkapkan oleh Mahmud Hamid ‘Usman,
seorang pakar usul fikih, mendefinisikan makna dari kata ra’yu, meskipun terjadi perbedaan
penafsiran, bukan berarti satu mazhab dapat menyalahkan mazhab yang lain. Karena setiap
individu memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat dengan berpegang pada dalil yang sama-
sama di- dapat dari Alquran dan hadis, oleh sebab itu nalar manusia dipersilahkan untuk memilih
jalan mana yang diyakininya lebih mendekati kebenaran. Seperti ungkapan indah yang
disampaikan Abû Hanîfah: kami mengetahui ra’yu ini, dan ra’yu itu adalah ketetapan terbaik
yang dapat kami lakukan. Maka barang siapa dapat membuat ra’yu yang selain itu, maka baginya
ra’yu tersebut, dan bagi kami apa yang menjadi ra’yu kami.
bahwa ra’yu merupakan “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan untuk
memberikan solusi terhadap suatu permasalahan hukum yang belum pernah ada sebelumnya di
dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan kaedah yang telah
ditetapkan”. Kata ra’yu adalah bentuk masdar dari kata (ra’â-yarâ-ru‘yan). Penggunaan kata
ra’yu bisa berubah arti sesuai dengan tempat penggunaannya. Jika seseorang melihat bulan
dalam keadaan sadar maka Perbedaan antara ra’yu dan ijtihad: ijtihad adalah mencari kebenaran,
adapun ra’yu adalah menemukan/memahami suatu kebenaran. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa ra’yu yang benar adalah apa yang telah kamu/kita lihat, ra’yu yang benar tidak dapat
tercapai kecuali dengan sempurnanya ijtihad dan menemukan (memahami) suatu masalah. 10
Artinya: Ra’yu adalah menentukan dampak/akibat yang baik (yang dikehendaki ra’yu adalah
suatu akibat yang paling baik).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumber ajaran agama Islam terdiri dari Al-Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Al-Qur'an adalah
kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Hadits adalah perkataan, perbuatan, atau
ketetapan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat beliau. Ijma' adalah
kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum Islam. Qiyas adalah metode
pengambilan hukum Islam dengan cara menganalogikan suatu masalah baru yang tidak terdapat
di dalam Al-Qur'an dan Hadits dengan masalah yang sudah ada di dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Keempat sumber ajaran Islam tersebut saling melengkapi dan membentuk suatu sistem hukum
yang komprehensif. Al-Qur'an sebagai sumber utama, Hadits sebagai penjelas Al-Qur'an, Ijma'
sebagai kesepakatan ulama dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits, serta Qiyas sebagai metode
untuk memperluas jangkauan hukum Islam.

Dengan memahami keempat sumber ajaran agama Islam tersebut, umat Islam diharapkan dapat
mengamalkan ajaran Islam dengan benar dan tepat. Berikut adalah kesimpulan dari sumber
ajaran agama Islam:

 Al-Qur'an adalah sumber utama dan pertama ajaran Islam.


 Hadits adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur'an.
 Ijma' adalah sumber ajaran Islam yang ketiga.
 Qiyas adalah sumber ajaran Islam yang keempat.

Keempat sumber ajaran Islam tersebut saling melengkapi dan membentuk suatu sistem hukum
yang komprehensif.

Dengan memahami keempat sumber ajaran agama Islam tersebut, umat Islam diharapkan dapat
mengamalkan ajaran Islam dengan benar dan tepat.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://www.neliti.com/publications/58139/rayu-sebagai-sumber-hukum-islam

https://www.merdeka.com/jabar/tajwid-adalah-ilmu-dalam-membaca-alquran-yang-baik-dan-
benar-berikut-penjelasannya-kln.html

https://www.merdeka.com/jabar/tajwid-adalah-ilmu-dalam-membaca-alquran-yang-baik-dan-
benar-berikut-penjelasannya-kln.html

file:///C:/Users/user/Downloads/1730-Article%20Text-3470-1-10-20170102%20(2).pdf

file:///C:/Users/user/Downloads/4_bab1%20(1).pdf

16

Anda mungkin juga menyukai