Anda di halaman 1dari 18

Islam Sebagai Agama Wahyu

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu Adib Fachri, M. E. Sy

Disusun Oleh
Kelompok 2
Perbankan Syariah ‘B

1. Ida Ayu Subekti ( 1951020333 )


2. Ilma Amelia ( 1951020101 )
3. Rani Nurmaniswara ( 1951020410 )
4. Shevi Rosmalina ( 1951020444 )

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1441 H / 2020 M
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur atas rahmat & ridho
Allah SWT, karena tanpa Rahmat & RidhoNya, kami tidak dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Islam Sebagai Agama Wahyu ini dengan baik dan selesai
tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
mendukung pada penyusunan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan
data-data dalam pembuatan makalah ini.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum
kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman
maupun pihak lain. Demi tercapainya makalah yang sempurna.

Bandar Lampung, 25 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................2

C. Tujuan..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat Wahyu Al-Qur’an...............................................................3

B. Fungsi Al-Qur’an ............................................................................5

C. Hubungan Al-Qur’an dengan Hadis, Ijma, dan Qiyas.....................8

D. Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an .....................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................14

B. Saran.................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam datang untuk meluruskan agama-agama sebelumnya yang telah
diselewengkan oleh pengikutnya. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Dengan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang otentitas sebagai wahyu Allah
SWT. tidak diragukan lagi. Allah SWT. menantang manusia yang
meragukannya sebagai wahyu Allah SWT untyk membuat ayat yang serupa
dengan Al-Qur’an, tetapi manusia tidak sanggup membuat tandingannya yang
kekhasan dan keunikannya sama dengan Al-Qur’an.
Tiada ungkapan yang paling indah dan menyejukkan jiwa selain
lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia merupakan obat (Syifa’) dan kasih sayang
(rahmah) bagi umat manusia. Berdialog dengan Al-Qur’an sangat
menyenangkan. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya memikat jiwa.
Sepantasnya, kitab suci inilah yang dijadikan sumber pemecahan segala
persoalan hidup yang dihadapi manusia. Al-Qur’an tidak akan memberikan
sesuatu jika tidak membaca, tidak dipelajari, tidak dipahami, dan tidak
dihayati.
Sebagai kalam Allah SWT. Yang telah dikodifikasikan dalam bentuk
teks, diperlukan pendekatan dan cara yang sesuai dalam memahaminya. Islam
mempunyai cara sendiri untuk memahami kitab sucinya, yaitu dengan
penafsiran. Dalam metode tafsir, tidak hanya dilihat secara parsial (hanya
melihat teks), tetapi latar yang melingkupi dan menimbulkan teks (asbabun
nuzul) tersebut juga menjadi pertimbangan dalam penafsiran sehingga dapat
diambil makna tersirat (spirit) dari teks secara lahir.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakikat Wahyu Al-Qur’an?
2. Apa saja Fungsi dari Al-Quran?
3. Apa Hubungan Al-Qur’an dengan Hadis, Ijma’ dan qiyas?
4. Bagaimana Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hakikat Wahyu Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui Fungsi dari Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui Hubungan Al-Qur’an dengan Hadis, Ijma’ dan Qiyas
4. Untuk mengetahui Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Wahyu Al-Qur’an


1. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu, yang artinya suara,
api dan kecepatan. Al-Wahyu diartikan juga dengan bisikan, isyarat,
tulisan dan kitab. Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar. Dia
menunjukkan pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat.
Oleh sebab itu, dikatakan wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan
cepat khusus ditunjukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.
Dalam wacana keislaman, al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan,
risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya.
Dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah
kepada orang-orang yang menjadi pilihannya untuk diteruskan kepada
umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidupnya.1
Wahyu menurut ilmu bahasa adalah isyarat yang cepat dengan
tangan dan suatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Selain itu,
juga bermakna surat dan tulisan sebagaimana yang kita sampaikan kepada
orang lain untuk diketahuinya.
Menurut istilah wahyu adalah sebutan bagi sesuatu yang dituangkan
dengan cara cepat dari Allah SWT. ke dalam dada Nabi-nabi-Nya (Hasbi
Ash Shiddieqy, 1976 :10).
Sebagian ulama berkata bahwa wahyu adalah pengetahuan dalam
jiwa yang meminta agar dikerjakan oleh yang menerimanya tanpa
dilakukan ijtihad dalam menyelidiki hujjah agama.2

1
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet 14,
2016), Hal. 31
2
Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014), Hal. 68

3
2. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.untuk menjadi pedoman hidup dan melemahkan bangsa Arab yang
terkenal kemajuan sastranya (fasih) dan tinggi susunan bahasanya.3
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Al- Qur’an, diantaranya
sebagai berikut.
a) Asy-Syafi’i, salah seorang imam mazhab terkenal (150-204 H)
berpendapat bahwa kata “Al-Qur’an” ditulis dan dibaca tanpa hamzah
(Al-Quran, bukan Al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia
adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan
kepada Nabi Muhammad SAW., sebagaimana nama Injil dan Taurat
yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah SWT.yang diberikan
kepada Nabi Isa a.s. dan Nabi Musa a.s.
b) Al-Farra’, pengarang kitab Ma’anil Qur’an tidak menggunakan
hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya
indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat Al-Quran
serupa satu dengan yang lain maka seolah sebagian ayat-ayatnya
merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa.
c) Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H) berpendapat bahwa
lafazh Al-Quran berhamzah, bentuknya masdar dan diambil dari kata
qara’a, yang artinya membaca. Hanya, lafazh Al-Quran menurut Al-
Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul. Jadi, Al-Quran artinya
maqru (dibaca).
d) Subhi Ash-Shahih, pengarang kitab Mabahits fi’ulumil Qur’an
mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafazh Al-
Quran itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafazh qira’ah.4

3. Otentitas Kewahyuan Al-Quran


3
Abdul Aziz, Qur’an Hadis,(Semarang: CV. Wicaksana, 1994), Hal. 2
4
Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014), Hal. 69

4
Perdebatan sekitar otentitas Al-Quran sebagai firman Allah SWT.
(Wahyu) telah terjadi sejak Al-Quran diturunkan. Manusia tidak akan
mampu menyusun satu ayat pun sebagaimana Al-Quran, baik segi
susunan dan keindahan bahasanya maupun maknanya, lebih-lebih lagi
kepastian dan kebenaran isinya yang berlaku mutlak dan tidak bisa
dimungkiri.
Banyak sekali rumusan mengenai Al-Quran, tetapi pada prinsipnya
sama bahwa Al-Quran adalah kalam Allah SWT.yang disampaikan
dalam bahasa arab, diturunkan secara berangsur-angsur melalui Malaikat
Jibril kepada nabi Muhammad SAW. Sebagai mukjizat, disampaikan
kepada penganutnya secara mutawatir, yang telah tertulis dalam Mushaf
Usmani dan telah dihafalkan dengan baik oleh umat Islam sejak masa
Nabi Muhammad SAW. Hidup sampai akhir zaman, dimulai surat Al-
Fatihah diakhiri Surat An-Nas, merupakan ibadah bagi yang
membacanya dan dinilai kafir bagi yang mengingkarinya.5

B. Fungsi Al-Qur’an
Al-Quran memiliki beberapa fungsi di tengah-tengah manusia, yaitu
menjadi maw’izhah, syifa’ al-ghaib, hudan, rahmah, dan al-furqan.
1. Maw’izhah
Kata maw’izhah merupakan mashdar mimi dari kata wa’azha. Secara
harfiah, maw’izhah berarti an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir bi al-awanib
(memberi peringatan yang disertai ancaman). Ibnu sayyidih, seperti
dikutip oleh Ibnu nazur, mendefinisikan al-mau’idzhah sebagai
“peringatan yang diberikan kepada manusia untuk melanakkan hatinya
yang disertai dengan ganjaran dan ancaman”.
Al-Quran menyebut dirinya sebagai al-mau’idzhah. Hal ini berarti
bahwa ia sebagai pemberi nasihat dan peringatan kepada manusia. Nasihat
Al-Quran disertai jani-janji, baik ancaman berupa neraka bagi orang yang
melanggar nasihat tersebut maupun ganjaran berupa surga bagi orang yang
mengikutinya. Nasihat dan peringatan itu dapat melunakkan dan
5
Atang Abdul Hakim dkk, Metodologi Studi Islam, (Bandung PT: Remaja Rosdakarya, 2011),
Hal. 69

5
meluluhkan hati sehingga jiwa diharapkan tertarik pada kebenaran yang
disampaikannya.
Orang yang dapat menangkap maw’idzhah hanyalah orang-orang
yang hatinya benar-benar mencari dan merindukan kebenaran. Membaca
dan memahaminya berangkat dari ketulusan hati dan kepercayaan yang
penuh terhadapnya. Sebaliknya, mempelajari Al-Quran yang didasarkan
atas keraguan, bahkan ketidakpercayaan terhadapnya, tidak akan
melunakkan hati dan jiwa.

2. Syifa’ (Obat)
Secara harfiah, syifa’ berarti obat. Al-Quran sebagai asy-syifa’
merupakan obat bagi manusia. Artinya, Al-Quran dapat mengobati
penyakit yang timbul di tengah-tengah komunitas manusia, baik penyakit
individual maupun penyakit masyarakat, seperti hedonisme, kecanduan
narkoba, dan krisis moral lainnya.
Pengobatan Al-Quran diarahkan pada hati karena ia adalah sumber
segala perbuatan jahat ataupun perbuatan terpuji. Penyakit yang sedang
minimpa peribadi dan masyarakat berasal dari hati yang sakit. Penyakit itu
adalah kesombongan, keangkuhan, mencintai dunia dan jabatan yang
sangat berlebihan, riya, dengki, dan sebagainya. Penyakit-penyakit inilah
yang melahirkan perampokan, prositusi, korupsi, hedonisme, arogansi, dan
pembelaan terhadapnya. Al-Quran diturunkan kepada manusia dalam
rangka mengobati penyakit-penyakit tersebut.

3. Hudan (Petunjuk)
Kata hudan berasal dari kata hada. Dari kata ini juga terbentuk kata
hidayah dan al-hadi, dan yang terakhir merupakan salah satu Asmaul
Husna. Al-hadi berarti memperlihatkab dan memperkenalkan kepada
hamba-Nya jalan mengetahui-Nya sehingga para hamba mengakui
rububiyah-Nya. Secara istilah, hidayag berarti “tanda yang menunjukkan
hal-hal yang dapat menyampaikan seseorang yang dituju”.

6
Al-Quran sebagai hudan atau hidayah berati bahwa fungsi Al-Qutan
adalah menjelaskan dan memberi tahu manusia tentang jalan yang dapat
menyampaikan pada tujuan hidup, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan kata lain, Al-Quran bagaikan rambu-rambu dan isyarat yang
mengarahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Jika
menuruti rambu-rambu, manusia akan selamat ke tujuan.

4. Rahmat
Hijazi mendefinisikan rahmat sebagai “kelembutan hati yang
melahirkan perbuatan baik (ihsan), ramah, dan kasih sayang terhadap
orang lain”.
Al-Quran sebagai rahmat mempunyai tiga arti. Pertama, ajaran yang
terkandung di dalamnya mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi
menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk. Kedatangan Nabi
Muhammad SAW. dengan membawa Al-Quran dibagmbarkan sebagai
rahmat bagi semesta alam. Artinya, seluruh ajaran, gagasan, ide, dan
ketentuan yang terkandung dalam Al-Quran yang dibawanya dibangun
atas perinsip kasih sayang. Tidak ada ketentuan ajaran Al-Quran yang
tidak mengandung kasih sayang.
Kedua, ajaran-ajaran tersebut bermaksud menanamkan perasaan
lembut dan kasih sayang terhadap orang lain, bahkan alam sekitar.
Perintah dan larangan serta ketentuan lainnya yang terdapat dalam Al-
Quran bermaksud membimbing manusia agar berada dalam kehidupan
yang harmonis, saling mencintai, saling asih, dan saling menghargai.
Ketiga, kitab suci merupakan perwujudan rahmat Allah SWT. bagi
manusia. Dengan kata lain, Allah SWT. memberikan rahmat kepada
manusia melalui Al-Quran.

5. Furqan (Pembeda)
Secara harfiah, kata furqan berasal dari kata fuqara, yang berarti
pembeda. Al-Quran menyebut dirinya sebagai pembeda (furqan) antara
yang benar dan yang salah, antara yang hak dan yang batil, antara

7
kesesatan dan petunjuk, serta antara jalan yang menuju keselamatan dan
jalan yang menuju kesengsaraan.6

C. Hubungan Al-Qur’an dengan Hadis, Ijma’, Dan Qiyas


Al-Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya dan wajib dipatuhi. Tidak ada perbedaan sedikit pun
di antara umat Islam bahwa Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam.
Dari Al-Quran lah diambil segala pokok syariat dan cabang-cabangnya. Dari
Al-Quran pula dalil-dalil syar’i mengambil kekuatan. Dengan demikian, jelas
bahwa Al-Quran merupakan dasar pokok bagi ajaran Islam dan mencakup
segala hukum. Isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap, dan
penjelasan isi Al-Quran ini terdapat dalam sunnah Nabi, cara menggunakan
atau melaksanakan hukum yang tercantum dalam Al-Quran.
Jika suatu nas hukum tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah,
barulah digunakan ijma’, yaitu pendapay ulama atau ijtihad, atau dengan
qiyas, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah pasti
hukumnya.
Dalam agama Islam, pikiran setiap manusia berhak dipergunakan
sebaik-baiknya, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran afala ta’qilun, yang
artinya pergunakanlah pikiranmu. Tidak boleh mengikuti begitu saja jika
diketahui salah berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.7

1. Kehujjahan Al-Quran
Al-Quran menempati kedudukan pertama dari sumber hukum lain
dan merupakan aturan dasar tertinggi. Oleh karena itu, sumber hukum dan
norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Al-Quran
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan disampaikan kepada umat
manusia untuk diamalkan segala perintah-Nya dan ditinggalkan segala
larangan-Nya. Dasar kehujjah Al-Quran terdapat pada surat An-Nisa ayat
105.

6
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, Cet 1, 2009), Hal. 176-177
7
Mohammad Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum sejarah Islam Timbul dan Berkembang
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinaf Grafika, Cet 2, 1998),
Hal. 75

8
2. Kehujjahan As-Sunnah
Sunnah secara bahasa artinya jalan yang ditempuh atau jalan yang
sudah terbiasa, sedangkan menurut istilah, Sunnah adalah sesuatu yang
berasal dari Rasulullah SAW. baik berupa perkataan, perbuatan maupun
penetapan pengakuan. Allah SWT. memerintahkan kita dalam Al-Quran
agar taat kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Fungsi Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, menurut
pendapat ulama ada tiga macam, yaitu memperkuat Al-Quran,
menjelaskan atau merinci aturan-aturan yang digariskan oleh Al-Quran,
dan menetapkan hukum baru yang belum diatur secara eksplisit oleh Al-
Quran. (Abdul Aziz, 1994:36).
Jika As-Sunnah bukan hujjah dan bukan penjelasan atas Al-Quran,
tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, beribadah dan melaksanakan
ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Quran maupun berupa penetapan
suatu hukum, wajib ditaati.8

3. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau sependapat tentang
suatu hal. Menurut istilah, Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid tentang
hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW.
wafat.
Dasar hukum Ijma’ berupa Al-Quran, As-Sunnah, dan akal fikiran.
Misalnya, pada surat Ali Imran ayat 103. Ayat ini memerintahkan kaum
muslim bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam
pengertian bersatu adalah ber-Ijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-
berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan yang telah disepakati para
mujtahid. Apabila para mujtahid telah melakukan Ijma’ tentang hukum
(syara’) dari suatu peristiwa atau kejadian, Ijma’ itu hendaklah diikuti. Hal
ini karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk
melakukan kesalahan, apalagi kemaksiatan dan dusta.9
8
Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014), Hal. 74
9
Beni Ahmad Saebani dkk, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung CV: Pustaka Setia, 2009), hal 165-176

9
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan, membandingkan, atau
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya, dengan cara
membandingkan dengan suatu kejadian atau peristiwa lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena persamaan illat (alasan)
antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Jadi, suatu Qiyas hanya dapat
dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau
kejadian.
Jadi, dapat disimpulkan hubungan Al-Quran dan As-Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas adalah sebagai sumber dalil syar’i yang ketiganya (As-Sunnah,
Ijma’, dam Qiyas) digunakan setelah melihat dalam Al-Quran tidak
terdapat penyelesaian dan penjelasannya.10

D. Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Quran


Al-Quran berupa teks dan dipengaruhi oleh konteks yang ada (asbabun
nuzul). Jadi, dalam pendekatannya, diperlukan interpretasi teks tanpa
melakukan konteksnya. Pendekatan Al-Quran di kenal dengan metode tafsir
dan takwil.
Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara, yang semakna dengan
awdhaha dan bayyana, yaitu tafir sebagai mashdar dari fassara semakna
dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan menjadi
menjelaskan atau menyatakan. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan
makna ayat Al-Quran, keadaan kisah, dan sebab turunnya ayat tersebut
dengan lafazh yang menunjukkan makna lahir. Secara sederhana Adz-
Dzahabi mendefinisikan tafsir pada penjelasan kalam Allah SWT. atau
menjelaskan lafazh Al-Quran dan pengertianya.
Menafsirkan Al-Quran berarti menangkap makna yang terkandung di
dalamnya. Karena Al-Quran merupakan pesan-pesan ilahi yang datang dari
Allah SWT. berarti seorang musafir berusaha dengan kemampuan yang

10
Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama, 1986), Hal. 70

10
dimilikinya untuk menangkap makna pengertian yang dimaksud Allah SWT.
dalam ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, seorang musafir berarti menemui
makna, bukan mengadakan makna.
Adapun takwil merupakan mashdar dari awwala, yaitu awwala,
yuawwilu, takwil. Secara bahasa, takwil berarti ruju’ (kembali) pada asal.
Menurut istilah, takwil berarti “memalingkan suatu lafazh dari makna lahir
pada makna yang tidak lahir yang juga dikandungoleh lafazh tersebut, jika
kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah.
Menurut ulama salaf (Kadar M. Yusuf, 2009: 126-130), takwil
mempunyai dua arti, pertama, menafsirkan ungkapan dan menjelaskan
maknanya, baik sesuai dengan makna lahir maupun tidak. Takwil dalm arti
ini semakna dengan tafsir, merupakan dua istilah yang mudarif (sama).
Kedua, sesuatu yang dikehendaki oleh suatu ungkapan. Jika ungkapan itu
perintah melakukan suatu makna, takwil-Nya adalah perbuatan tersebut, jika
ungkapan itu dalam bentuk berita, takwil-Nya adalah berita yang disampaikan
itu.
Dilihat dari segi teknis atau cara mufasir menjelaskan makna ayat-ayat
Al-Quran, tafsir dapat dikategorikan dalam beberapa macam, yaitu Tahili,
Muqaran, Ijmali, dan Maudhu’i.
1. Tahili
Tafsir tahili (analisis), yaitu menafsirkan Al-Quran berdasarkan
susunan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf. Seorang musafir
dengan menggunakan metode ini menganalisis setiap kosakata atau lafazh
dari aspek bahasa dan makna. Metode tahili merupakan cara yang
dipergunakan oleh para musafir klasik masa lalu.

2. Muqaran
Secara harfiah, muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir
muqaran berarti metode atau teknik menafsirkan Al-Quran dengan cara
membandingkan pendapat seorang musafir dengan musafir lainnya
mengenal tafsir sejumlah ayat. Dalam perbandingan, seorang musafir
menjelaskan kecenderungan setiap musafir dan mengkap sisi subjektivitas

11
mereka yang tergambar pada legimitasi terhadap mazhab yang dianutnya.
Selain itu, tafsir muqadan juga membandingkan suatu ayat dengan ayat
lainnya, atau antara ayat dan hadis. Hal ini yang diperbandingkan itu
adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis.

3. Ijmali
Tafsir ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-
Quran dengan cara mengemukakan makna global. Tafsir ijmali dapat
diartikan sebagai penjelasan maksud ayat Al-Quran secara umum, tidak
terperinci, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi yang
terkandung dalam suatu ayat. Para musafir yang menggunakan metode ini
menyajikan isi kandungan ayat, tanpa mengulas secara luas sehingga
mudah dipahami oleh para pembaca dan penafsirannya tidak jauh dari
konteks.

4. Maudhu’i
Tafsir maudhu’i (tematik), yairu menafsirkan ayat Al-Quran tidak
berdasarkan urutan ayat atau surat yang terdapat dalam mushaf, tetapi
berdasarkan masalah yang dikaji. Musafir yang menggunakan metode ini,
menentukan permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam Al-Quran.
kemudian, mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah
tersebut yang tersebar dalam berbagai surat.
Tafsir dan takwil mempunyai makna yang sama, seperti yang telah
disinggung sebelumnya. Sebagian ulama berbeda pedapat tentang arti
kedua kata tersebut. Ada yang melihat tafsir dan takwil sebagai dua istilah
yang berbeda dan tidak sependapat dalam menjelaskan perbedaan itu,
yaitu sebagai berikut:
a) Sebagian ulama mengatakan tafsir lebih umum dari takwil karena ia
digunakan dalam kitab Allah SWT. dan lainnya, sedangkan takwil
lebih banyak dipergunakan dalam kitab Allah.

12
b) Tafsir pada umumnya dipergunakan pada lafazh dan mufradat
(kosakata), sedangkan takwil pada umumya dipergunakan untuk
menunjukkan makna dan kalimat (jumlah).
c) Tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayat, sedangkan takwil
adalah penjelasan yang didasarkan atas dirayah.
d) Takwil diartikan pada memalingkan makna suatu lafazh dari makna
yang kuat pada makna yang kurang kuat, sedangkan tafsir
menjelaskan makna suatu makna ayat berdasarkan makna yang kuat.11

11
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, Cet 1, 2009), Hal. 143-146

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pada hakikatnya, Al-Quran adalah kalam Allah SWT.yang disampaikan
dalam bahasa arab, diturunkan secara berangsur-angsur melalui Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.sebagai mukjizat, disampaikan
kepada kita penganutnya secara mutawatir yang telah dituliskan dalam
Mushaf Usmani.
2. Fungsi Al-Quran dapat diketahui berdasarkan nama-namanya, yaitu
sebagai maw’izah (nasihat), syifa’ (obat), hudan (petunjuk), rahmat
(kasih sayang), dan furqan (pembeda).
3. Hubungan Al-Quran dengan As-Sunnah, ijma’, dan qiyas adalah sebagai
sumber dalil syar’i yang ketiganya digunakan setelah melihat dalam Al-
Quran tidak terdapat penyelesainnya dan penjelasan.
4. Ada beberapa metode dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu tahlili,
muqaran, ijmali dan maudhu’i.

B. SARAN
Untuk pengembangan lebih lanjut, pembaca nantinya dapat melengkapi
isi makalah ini dengan menambahkan pokok bahasan lain demui menunjang
pengembangan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta,PT: Raja Grafindo Persada,


2013).
Atang Abdul Hakim dkk, Metodologi Studi Islam, (Bandung, PT: Remaja
Rosdakarya, 2011).
Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2014)
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, cet 14, 2016)
Abdul Aziz, Qur’an Hadis,(Semarang: CV. Wicaksana, 1994)
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, Cet 1, 2009)
Mohammad Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum sejarah Islam Timbul dan
Berkembang Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Sinaf Grafika, Cet 2, 1998)
Beni Ahmad Saebani dkk, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung CV: Pustaka Setia, 2009)
Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986)

15

Anda mungkin juga menyukai