Anda di halaman 1dari 18

KAJIAN AL QUR’AN : SUMBER AJARAN DAN

PENAFSIRANNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Yayan Suryana, M.Ag.

Disusun Oleh:
Atika Nur Azizah (22107010117)
Vina Khoiriyatu Nisa (22107010139)
Khodijah Zahra (22107010128)
Supriadin (22107010136)

PROGRAM SARJANA PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN SUNAN KALIJAGA
2022

1
Kata Pengantar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Puji syukur atas karunia Allah Subhanahu Wa


Ta’ala berkat Ridho-Nya, dan nikmat sehat serta sempat kami mampu
menyelesaikan makalah dengan judul “Kajian Al Qur’an : Sumber dan
Penafsirannya” tepat waktu. Kedua, shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam, beserta keluarganya, para sahabatnya
dan semua ummatnya yang selalu istiqomah sampai akhir zaman.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Pengantar Studi Islam. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
mengenai Al-Qur’an.

Kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Yayan Suryana,


M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Studi Islam yang telah
membimbing kami. Tidak lupa, kami juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa kami dalam menyusun makalah ini banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami mengharap krititk dan saran yang membangun demi
perbaikan kami kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi kita semua.

Yogyakarta, 19 Oktober 2022

2
DAFTAR ISI

Halaman judul………………………………………………………………. 1
Kata Pengantar……………………………………………………………… 2
Daftar Isi …………………………………………………………………… 3
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ……………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 5
C. Tujuan…………………………………………………………………. 5
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Qur’an ………………………………………………….. 6
B. Al Qur’an sebagai Sumber Ajaran Islam……………………………… 6
C. Pengertian Tafsir………………………………………………………. 8
D. Metode Tafsir………………………………………………………….. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 17
Daftar Pustaka……………………………………………………………… 18

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam yang berperan sebagai
petunjuk hidup bagi manusia agar tetap berada di jalan yang benar. Al Qur’an
merupakan firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril dan merupakan salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepada
Nabi Muhammad. Al Qur’an memiliki peran yang sangat penting dalam agama
Islam.
Sumber dari segala sumber ajaran Islam ialah Al-Qur’an. Kitab suci Al-
Qur’an menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman, tetapi juga merupakan inspirator dan
pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah
pergerakan umat ini. Ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an ibarat lautan yang amat
luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan
pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan
memahami betapa dalam isi kandungan Al-Qur’an diperlukan tafsir. Penafsiran
terhadap Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi
kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu. maka dibutuhkan
pemahaman terhadap isi kandungan Al-Qur’an tersebut.
Pemahaman Al-Qur’an bagi seorang mukmin merupakan suatu hal yang
penting dalam rangka memahami ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya
dengan tujuan agar manusia secara keseluruhan dan muslim khususnya akan
menjadi manusia yang bahagia dunia dan akhirat. Kitab suci Al-Qur’an diturunkan
dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang
dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam segala
aspeknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang digunakannya. Hal

4
semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami Al-Qur’an secara utuh dan
menyeluruh.1
Dalam makalah ini akan dibahas Al Qur’an sebagai sumber, penjelasan
mengenai tafsir dan hubungan tafsir dengan Al Qur’an sebagai sumber

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tentang kajian Al Qur’an : Sumber
dan penafsirannya di atas maka bisa dirumuskan beberapa masalah berikut ini:
1. Apa yang dimaksud dengan al-Qur’an?
2. Bagaimana peran Al Qur’an sebagai sumber?
3. Apa yang dimaksud dengan tafsir?
4. Bagaimana cara menafsirkan al Qur’an?
5. Apa hubungan Al Qur’an sebagai sumber dengan tafsir Al Qur’an?

C. Tujuan
Tujuan pembahasaan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui makna Al Qur’an.
2. Untuk mengetahui peran al Qur’an sebagai sumber.
3. Untuk mengetahui dan memahami tafsir.
4. Untuk mengetahui dan memahami cara menafsirkan al Qur’an.
5. Untuk mengetahui dan memahami hubungan Al Qur’an sebagai sumber
dengan tafsir.

1
Nana Mahrani, Tafsir Al Isyari, Jurnal Hikmah, Vol 14, 2017, hlm. 56

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al Qur’an
Al Qur’an secara bahasa berasal dari kata bahasa arab qiraatan yakni sesuatu
yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah merupakan Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan sampai kepada kita secara mutawatir
serta membacanya berfungsi sebagai ibadah.2
Menurut Az-Zuhali “Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
mu’jiz(melemahkan atau mengalahkan lawan lawannya) yang diturunkan kepada
nabi Muhammad yang tertulis dalam mashahif merupakan ibadah dalam
membacanya, yang diriwayatkan secara mutawatir diawali dengan surat al Fatihah
dan diakhiri dengan an-Nas.3
Al Qur’an merupakan firman Allah Swt. yang disampaikan kepada nabi
Muhammad Saw., melalui malaikat Jibril, merupakan mukjizat yang tidak ada
tandingannya, membacanya dinilai ibadah dan merupakan sumber utama Islam. Al
Qur’an memiliki isi kandungan yang meliputi aspek kehidupan manusia, seperti
masalah akidah, ibadah, muamalat, akhlaq, hukum, sejarah dan dasar-dasar sains.Al
Qur’an juga berbicara terkait masalah pendidikan dalam Islam.
Al Qur’an memiliki banyak nama. Seperti Al Furqan(yang membedakan,
membedakan yang benar dan salah), Al Huda(petunjuk hidup), Ad-Dzikru
(pengingat), As-Syifa(obat/penyembuhan ruhani).

B. Al Qur’an sebagai Sumber Ajaran Islam


Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama islam. Al Qur’an sebagai
sumber ajaran agama islam meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti sumber
hukum, sumber ilmu pengetahuan, dan sumber disiplin ilmu. Dalam Al Qur’an
terdapat ayat-ayat yang berisi tentang hukum yang menjadi pegangan bagi umat

2
Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2007,
hal. 14
3
Az-Zuhaili, at Tafsir al Munir, Juz 1, Damsyiq, Dar al Fikr,1991, 13

6
muslim, seperti hukum bagi pencuri. Hal tersebut menunjukkan al Qur’an sebagai
sumber hukum. Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus
dicari sumber hukum dalam al-Qur’an seperti macam-macam hukum dibawah ini
yang terkandung dalam Al-qur’an , yaitu:
1. Hukum akidah/keimanan (I’tiqadiyah)
Merupakan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang harus dipercaya
oleh setiap mukallaf mengenai malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari
kiamat (akidah/keyakinan).
2. Hukum Etika (Khuluqiyyah)
Merupakan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang harus dijadikan
perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri
dari kehinaan (akhlak). Etika adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan
menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki,
sombong.
3. Hukum Amaliah
Adalah suatu perilaku sehari hari yang berhubungan dengan tindakan setiap
mukalaf, meliputi masalah ucapan perbuatan akad (contract) dan pembelanjaan
pengelolalaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain. Hukum amaliyah
terbagi menjadi 2 yaitu mu’amalah ma’a Allah yaitu pekerjaan yang berhubungan
dengan Allah seperti ibadah. Yang kedua mu’amalah ma’a an nas yaitu pekerjaan
ang berhubungan dengan manusia seperti jual beli, hukum pidana, kontrak kerja
dan lain sebagainya.
Al Qur’an merupakan sumber ajaran yang masih bersifat umum. Sebagaian
hukum dijelaskan bersifat global dan beberapa bersifat mendetail. Penjelasan ajaran
Islam dalam al Qur’an terdiri dari 3 cara yaitu:4
a. Ijmali (global)

4
Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, “Metode al Qur’an dalam menampakkan Ayat Ayat Hukum”,
hlm. 69-70

7
Penjelasan dalam Al- Qur’an masih bersifat umum dan akan dijelaskan oleh
sunnah nabi secara lebih mendetail. Contohnya dalam perintah mendirikan
shalat dan membayar zakat.
b. Tafshili (terperinci)
Al Qur’an memaparkan hukum secara terperinci dan sunnah nabi akan
berperan sebagai penguat. Contohnya hukum waris, tata cara dan hitungan
dalam thalaq, dan mahram.
c. Isyarah (isyarat)
Penjelasan al Qur’an hanya sebatas pokok hukum dan sunnah nabi akan
memberikan hukum yang terkandung. Seperti dalam firman Allah dalam surat
An-Nisa yang berisi isyarat hukuman yang belaku pada budak yaitu setengah
hukuman dari hukuman yang ditimpakan kepada orang yang merdeka.
Al Qur’an merupakan sumber ajaran bagi umat muslim. Dalam al Qur’an
banyak ayat yang mengajak untuk berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan
yang kemudian mendorong terwujudnya ilmu pengetahuan dan melahirkan para
ilmuwan islam. Hal tersebut membuktikan peran al Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Al Qur’an juga merupakan sumber disiplin ilmu. Dalam al Qur’an
terkandung banyak aspek yang kemudian dikembangkan para ahli sehingga lahir
berbagai ilmu pengetahuan yang mengacu pada al Qur’an seperti ilmu tauhid, ilmu
hukum islam, ilmu akhlaq, ilmu filsafar, dan ilmu bahasa al Qur’an (nahwu, Sharaf,
qira’at)

C. Pengertian Tafsir

Secara bahasa, kata tafsir berasal dari kata dalam bahasa arab fassara-
yufassiru atau kata al fasr yang berarti penjelaskan, pengungkapan, penjabaran dan
menjelaskan makna yang abstrak.5 Maksudnya yaitu penjelasan mengenai
kalamullah atau lafadz-lafadz Al Qur’an dan pemahamannya.

5
Manna‘ Khalil al-Qattan:1996, 456

8
Secara istilah, tafsir menurut al Zarkasyi yaitu ilmu memahami Kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang menjelaskan makna-maknanya,
serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.6 Sedangkan menurut Al Kilbiy, tafsir
adalah menjelaskan Al Qur’an dan menerangkan maknanya, menjelaskan apa yang
dikehendaki nash tersebut, atau tujuannya.

Dari pengertian pengertian tafsir tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan dan
fungsi tafsir adalah memahami Al Qur’an, menjelaskan makna-makna yang
abstrak, dan mengeluarkan hukum dan hikmah. Penafsiran Al Qur’an dilakukan
untuk menggali muatan muatan nilai yang terkandung dalam ayat-ayat Al Qur’an.
Memahami al Qur’an sendiri telah diperintahkan Allah melalui Rasulullah SAW
dalam al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman :

‫اختِ َﻼفًا َكثِي ًْرا‬ َ ‫اَفَ َﻼ يَت َ َدب ُﱠر ْونَ ْالقُ ْر ٰانَ ۗ َولَ ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد‬
ْ ‫غي ِْر ﱣ ِ لَ َو َجد ُْوا ِف ْي ِه‬

“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? Sekiranya (Al-


Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya.” (Q.S An Nisa : 82)

Hikmah diturunkannya Al Qur’an adalah agar manusia dapat mentadaburi


ayat ayat al Qur’an dan dapat mengambil nasihat darinya. Cara untuk mentadaburi
adalah dengan mempelajari Al Qur’an beserta lafal-lafal dan makna-maknanya.
Dengan mempelajarinya dengan tafsir, maka seorang muslim bisa mengamalkan al
Qur’an sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah ta’ala.

D. Metode Tafsir

Dalam kajian tafsir terhadap Al Qur’an, dibutuhkan seperangkat


pengetahuan dan pemahaman mengenai tafsir al Qur’an sehingga tidak semua
orang bisa melakukannya. Seorang mufassir atau penafsir al Qur’an harus
memenuhi kriteria seorang mufassir. Manna’ Khalil Qatha memberikan persyaratan

6
Muhammad ibn ‘Abd Allah al Zarkasyi, Al Burhan fi ulum Al Qur’an hlm. 174.

9
yang begitu ketat. Selain memiliki kriteria bagi mufassir terhadap teks, yang
terpenting dalam penafsiran al Qur’an adalah ketepatan dalam menggunakan
metode dalam penafsiran Al Qur’an.

Metode-metode penafsiran terhadap teks Alquran terbagi menjadi beberapa


segi, yaitu segi sumber, segi intensitas, segi langkah dan segi perspektif/corak
(laun). Metode tafsir dari segi sumber terbagi dua yaitu bi al-Ma’tsur dan bi al-
Ra’yi. Metode tafsir dari segi intensitasnya terbagi kepada ijmali dan tahlili. Metode
tafsir dari segi langkah terbagi pada muqarran, maudhu’i, dan tartib suar. Terakhir,
metode tafsir dari segi perspektif terbagi kepada fiqh, falsafi, sufi, ‘ilmi dan lain
sebagainya. Penelitian terhadap tafsir juga membutuhkan metode. Metode
penelitian tafsir lebih cenderung menggunakan metede kualitatif, ketimbang
metode kuantitatif.

Muhammad ‘Ali al-Shabuni menerangkan, “secara umum metode tafsir


yang sering dipakai ulama tafsir ada tiga, yakni tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al ra’yi,
dan tafsir bi al-isyari. Adapun tafsir bi al-ma’tsur adalah tafsir yang didasarkan
atas periwayatan. Lalu, tafsir bi al-ra’yi adalah suatu metode dalam tafsir yang
mengandalkan nalar dan rasio (kemampuan daya pikir yang dimiliki manusia).
Adapun tafsir bi al isyari adalah medel tafsir yang mengandalkan atas isyarat atau
indikasi.7 Berikut metode-metode tafsir yang paling sering dipakai para ulama :

a. Tafsir bi al Ma’tsur

Tafsir bi al-ma’tsur sering disebut tafsir bi al riwayah atau bi al-naqli.


Metode penafsiran ini merujuk pada penafsiraan Al Qur’an dengan dasar
periwayatan, Riwayat Al Qur’an, sunnah dan perkataan sahabat. Menurut Mana’ al
Qatthan Tafsîr bi al-ma’sûr adalah tafsîr yang berdasarkan pada kutipan-
kutipan/riwayat yang shahîh, berupa tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, atau dengan
Sunnah (karena Sunnah berfungsi sebagai penjelasan bagi kitab Allâh), atau dengan
riwayat yang berasal dari para sahabat (karena mereka termasuk orang yang paling

7
Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis hlm.7.

10
mengerti dengan kitab Allâh), atau dengan perkataan para tabi’in besar, karena
mereka senantiasa mendapatinya dari para sahabat. 8

Dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran Al Qur’an


berdasarkan Al Qur’an, penafsiran al-Qur’an berdasarkan hadis, dan penafsiran Al
Qur’an berdasarkan perkataan/penuturan para sahabat. Metode tafsir ini memiliki
kekuatan yang paling tinggi dibandingkan dengan metode tafsir lain dan seharusnya
dijadikan sumber utama. Dalam tafsir bi al ma’tsur penafsiran Al Qur’an dengan
perkataan nabi merupakan penafsiran yang paling otoritatif karena nabi adalah
orang yang paling paham mengetahui tafsir wahyu yang diturunkan Allah
kepadanya.

Contoh penafsiran dengan metode tafsir bi al ma’tsur berdasarkan al Qur’an.


Dalam surat Al Fatihah ayat 6, Allah berfirman

‫ط ْال ُم ْست َ ِقي َْم‬


َ ‫ص َرا‬
ّ ِ ‫اِ ْه ِدنَا ال‬

Tunjukilah kami jalan yang lurus (Q.S Al Fatihah : 6)

Kata shiratal mustaqim dijelaskan dalam ayat selanjutnya yaitu

ِ ‫غي ِْر ْال َم ْغضُو‬


َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َو َﻻ الضﱠا ِلّين‬ َ َ‫ط الﱠذِينَ أَ ْنعَ ْمت‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S Al
Fatihah : 7)

Contoh penafsiran dengan metode tafsir bi al ma’tsur berdasarkan perkataan


nabi. Dalam surat Al Baqarah ayat 187, Allah berfirman

۟ ‫ض ِمنَ ْٱل َخي ِْط ْٱﻷَس َْو ِد ِمنَ ْٱلفَجْ ِر ۖ ث ُ ﱠم أ َتِ ﱡم‬
‫وا‬ ۟ ‫وا َوٱ ْش َرب‬
ُ ‫ُوا َحتﱠ ٰى يَتَبَيﱠنَ لَ ُك ُم ْٱل َخ ْي‬
ُ َ‫ط ْٱﻷ َ ْبي‬ ۟ ُ‫ۚ َو ُكل‬
‫ام ِإلَى ٱلﱠي ِْل‬
َ َ‫صي‬
ّ ِ ‫ۚٱل‬

8
Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2007, hal.
338

11
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,”(Q.S Al
Baqarah : 87)

Seorang sahabat Nabi, 'Adi bin Hatim mengambil benang putih dan benang
hitam, dan melihatnya, tetapi ia tidak dapat membedakannya. Pagi harinya, ia
mendatangi Nabi dan me nanyakan kepadanya. Nabi menjelaskan ‫ض‬ ُ ‫ْٱل َخ ْي‬
ُ َ‫ط ْٱﻷ َ ْبي‬
maksudnya adalah siang, dan ‫ ْٱل َخيْطِ ْٱﻷَس َْو ِد‬adalah malam.9

Contoh lain, dalam firman Allah :

۟ ‫ط ٰى َوقُو ُم‬
٢٣٨ َ‫وا ِ ﱠ ِ قَ ٰـنِتِين‬ َ ‫صلَ ٰوةِ ْٱل ُو ْس‬ ِ ‫صلَ ٰ َو‬
‫ت َوٱل ﱠ‬ ‫علَى ٱل ﱠ‬ ۟ ‫ظ‬
َ ‫وا‬ ُ ‫َح ٰـ ِف‬

“Peliharalah semua shalatmu dan peliharalah shalat al-wustha,”(Q.S Al Baqarah


: 238)

Para sahabat juga menanyakan kepada Nabi perihal shalat al-wustha,


kemudian dijawab, bahwa yang dimaksud adalah shalat ashar.

Metode tafsir bi al ma’tsur banyak digunakan oleh para ulama. Seperti Ibnu
Katsir dalam kitabnya Tafsir Al Adzim atau yang popular disebut Tafsir Ibnu Katsir,
kemudian At Thabari dalam kitabnya Jami’ Al Bayan fi tafsir Al Qur’an yang
popular dengan Tafsir At Tabari, dam Abu Laits Nashr bin Muhammmad As-
Samarqandi dalam kitabnya Tafsir Bahr al Ulm.

b. Tafsir bi Al Ra’yi

Metode penafsiran ini disebut juga tafsir bi al ma’qul atau tafsir bi al


dirayah. Menurut Mana’ Khalil al Qathan Yaitu tafsîr yang mufassîrnya di dalam
menjelaskan makna hanya mengandalkan pemahaman dan mengistinbathkannya
dengan menggunakan logika semata. 10

9
Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis hlm.9.
10
Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 2007,
hal. 351

12
Sesuai namanya, tafsir ini tidak menyandarkan pada periwayatan melainkan
kepada kekuatan rasional/ijtihad. Sandaran dalam penafsiran al Qur’an dengan
tafsir bi al ra’yi adalah kemampuan bahasa, aspek peradaban Arab, pemahaman
gaya bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi, dan penggunaan sains dan ilmu
pengetahuan yang lain yang menopang dalam penafsiran suatu ayat. Yang
dimaksud dengan tafsir bi al ra’yi ialah penafsiran dengan menggunakan ijtihad
yang berdasarkan atas prinsip prinsip logika yang benar, system berfikir yang sah
dan syarat yang ketat.11 Jadi bukan berdasarkan atas hawa nafsu dan pendapat akal
semata.

Tafsir bi al ra’yi diterangkan oleh al Shaubuni dibagi menjadi dua, yaitu


tafsir terpuji dan tafsir tercela. Tafsir terpuji ialah tafsir yang tepaat sasaran dengan
tujuan yang dikandungnya, terbebas dari kesesatan daan kebodohan. Selaras dengan
kaidah bahasa arab yang benar dan berpijak pada dasar dasar memahami nash Al
Qur’an. Sedangkan tafsir tercela yaitu menafsirkan ayat Al Qur’an tanpa didasari
pengetahuan yang memadai, menafsirkan hanya dengan memperturutkan
ambisinya, tanpa didasari penguasaan kaidah-kaidah bahasa arab dan rambu rambu
syariat.

Tafsir terpuji ialah tafsir yang dilakukan oleh ulama yang menguasai kaidah
kaidah bahasa, paham akan gaya bahasa, dan aturan syariat. Sedangkan tafsir yang
tercela kebalikan dari tafsir terpuji. Tafsir tercela didasari hawa nafsu, kebodohan
dan kesesatan.

Seorang mufasir mesti memiliki sejumlah kualifikasi yang harus dipenuhi.


Al-Suyuthi mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufasir.
Pertama, mengeta hui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, yang meliputi pe
ngetahuan, tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi. Kedua, memiliki
pengetahuan tentang retorika, meliputi ilm al-ma'âni, Um al-Bayan, 'ilm al-badi'.
Ketiga, menguasai 'ilm ushal al-figh, meliputi pengetahuan tentang khds, 'àmm, muj
mal, mufashshal, dan yang terkait. Keempat, 'ilm asbab al nuzul, latar belakang dan

11
Prof Dr.H Amroeni Drajat, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm 149

13
hal-hal terkait. Kelima, mengetahui "ilm nasikh wa mansukh. Keenam, 'ilm al-
qira'at. Ketujuh, 'Um al-mawhibah (gifted knowledge).12 Ilmu-ilmu di atas merupa
kan sejumlah perangkat yang harus dimiliki seorang mufasir. Dapat dibayangkan
tanpa pemahaman yang memadai, maka seorang mufasir akan terjatuh pada
penyimpangan, distorsi, dan salah penafsiran. 13

Dalam penggunaan metode tafsir bi al ra’yi ini, banyak dari para ulama
yang berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya. Kedua
pihak masing masing memiliki argumen. Dan apabila kedua argument
dikompromikan, sekalipun sama menggunakan dalil naqli, Hadis Nabi dan
pertimbangan sahabat, namun seseorang dapat meng analisisnya untuk dapat
mengambil suatu kesimpulan argumen mana yang layak dipegangi. Dari hasil
analisis itu, mayoritas ulama cenderung pada argumen yang membolehkan
penggunaan tafsir bi al-ra'yi yang tentunya dengan persyaratan yang disepakati
keabsahannya, dan dengan mengerahkan segenap kemampuan pemikiran dan
penalarannya dalam mengambil istinbath-nya.14

Contoh tafsir bi al ra’yi ialah menafsirkan kata al-qalam (‫ )القلم‬misalnya


dalam surat Al-Alaq ayat 4 dan surat al-Qalam ayat 2. Kata al-qalam oleh para
mufassir klasik (salaf), bahkan mufassir kontemporer (khalaf) sekalipun umum
diartikan dengan pena. Penafsiran demikian tentu saja tidak salah mengingat alat
tulis yang paling tua usianya yang dikenal manusia adalah pena. Tapi untuk
penafsiran kata qalamun / al-qalam dengan alat-alat tulis yang lain seperti pensil,
pulpen, spidol, mesin tik, mesin stensil, dan komputer pada zaman sekarang,
agaknya juga tidak bisa disalahkan mrngingat arti asal dari kata qalamun seperti
dapat dilihat dalam berbagai kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis. Dan
kita tahu bahwa alat-alat tulis itu sendiri banyak jenisnya mulai dari pena, gerip,
pensil, pulpen, dan lain-lain; hingga kepada mesin tik, mesin stensil dan komputer.
Jadi lebih tepat memang jika menafsirkan kata al-qalam dengan alat-alat tulis yang

12
Ibid, hlm.159.
13
Prof Dr.H Amroeni Drajat, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm 151
14
Prof Dr.H Amroeni Drajat, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm 154

14
menggambarkan kemajuan dan keluasan wawasan alquran tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi daripada sekedar mengartikannya dengan pena yang
bisa jadi hanya menyimbolkan kesederhanaan dunia tulis-menulis di saat-saat
alquran mengalami proses penurunannya. Jika pengertian pena untuk kata qalamun
/ al-qalam ini masih tetap dipertahankan hingga sekarang, maka seolah-olah hanya
menggambarkan keterbatasan dan kejumudan dunia tulis menulis yang pada
akhirnya menunjukkan kebekuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. 15

Metode tafsir bi al ra’yi digunakan sejumlah ulama. Para ulama yang


menggunakan metode ini seperti Ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al Ghaib, ‘Abd
Allah bin Umar Al Baidhawi dalam kitabnya Anwar at Tanzil wa Asrar al Ta’wil
dan As Suyuti dalam Tafsir Jalalain serta masih banyak lagi.

c. Tafsir bi al Isyari

Isyarah secara etimologi berarti penunjukan, memberi isyarat. Sedangkan


tafsir al isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat Al-Qur’an Al-Karim tidak
seperti zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh
orang yang berilmu dan bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan makna
zahir ayat–ayat Al Qur’an dari beberapa sisi syarhis. 16 (Suma, 2001:97).

Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat


Al Qur’an bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani,
setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud.17 Tafsir
bi al Isyari menafsirkan al Qur’an dengan hati Nurani. Metode tafsir ini dilatar
belakangi oleh perkembangan sufi dan menafsirkan al Qur’an sesuai dengan
paham sufi yang dianut. Kaum sufi memahami al Qur’an bukan hanya dari lahir
yang tersurat namun juga secara batin atau secara tersurat.

Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir bi al isyari,


sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian

15
Ibid hlm.74
16
Suma, 2001:97
17
Zuhri, 2007: 190

15
lainnya melarangnya (Az-Zarqani: 546). 18 Tafsir al-isyârî hanya dapat diterima
jika memenuhi lima kriteria yaitu tidak ada pertentangan dengan makna lahir Al
Qur'an, tidak mengklaim bahwa yang maksud adalah makna batin saja tanpa
memperhatikan makna lahirnya, pentakwilan tidak terlalu jauh dan berlebih-
lebihan,19 tidak bertentangan dengan hukum syara' dan akal sehat, dan adanya
pembenaran syara' sebagai penguat.20

Dalam menggunakan tafsir isyârî ini, mufasir juga perlu memperhatikan dua
hal penting lainnya. Pertama, berupaya sungguh-sungguh menerangkan makna
yang ter dapat dalam Al-Qur'an. Kedua, dalam menggunakan metode tafsir isyâri
ini seorang mufasir tidak dipengaruhi oleh bisikan bisikan setan.

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

‫اذهب إلى فرعون إنه طغى‬

“Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS.


Thaahaa: 24)

Dalam hal ini para sufi mentakwilkan Fir’aun dengan Hati. Maksudnya
bahwa Fir’aun itu sebenarnya hati setiap manusia yang mempunyai sifat
melampaui batas. Contoh kitab tafsir al isyari yang terkenal yaitu Tafsir Al
Qur’an al Karim yang ditulis oleh Sahl bin ‘Abd Allah Tustari.

18
Az-Zarqani : 546
19
seperti menafsirkan firman Allah "dan sungguh Allah SWT beserta orang-orang yang berbuat
kebajikan." Dengan mengartikan lama'a dibaca menjadi fi'il madhi dan al-muhsinun menjadi maful
bih, sehingga berarti "dan sungguh Allah SWT mencerahkan, mengkilapkan orang-orang yang
berbuat kebajikan;
20
Prof Dr.H Amroeni Drajat, M.Ag, Ulumul Qur’an, hlm. 166

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al
Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril. Al Qur’an memiliki isi kandungan mengenai masalah akidah,
masalah ibadah, muamalat, akhlaq, hukum, sejarah dan dasar dasar sains. Oleh
karena itu, Al Qur’an merupakan sumber dan pedoman pokok agama Islam.
Dalam menjelaskan hukum, Sebagian Al Qur’an masih bersifat umum atau
global sehingga Al Qur’an membutuhkan penafsiran. Penafsiran Al Qur’an
digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna yang masih abstrak.
Hasil dari penafsiran akan menjelaskan hukum dan hikmah yang lebih mudah
dipahami dan diamalkan oleh Umat Muslim. Dalam menafsirkan Al Qur’an,
dibutuhkan seperangkat pengetahuan dan pemahaman mengenai tafsir al Qur’an.
Orang yang memiliki, memahami, serta mengamalkan mengenai tafsir al Qur’an
disebut mufassir. Tidak semua orang dapat menjadi mufassir karena untuk menjadi
mufassir harus mememenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Para ulama
merumuskan pengetahuan tentang tafsir sehingga muncullah ilmu tafsir. Dalam
ilmu tafsir terdapat metode-metode yang digunakan para ulama. Metode yang
paling sering digunakan yaitu tafsir bi al ma’tsur (tafsir berdasarkan Al Qur’an,
sabda nabi, perkataan sahabat, dan tabi’in), tafsir bi al ra’yi (tafsir berdasarkan akal
pikiran atau logika) dan tafsir bi al isyari (tafsir berdasarkan intuisi)

17
DAFTAR PUSTAKA

Prof Dr.H Amroeni Drajat, M.Ag, Ulumul Qur’an, Kencana Prenadamedia Group

Nana Mahrani, Tafsir Al Isyari, Jurnal Hikmah Vol.14 No. 1 Januari-Juni 2017

Aldomi Putra, Metodologi Tafsir, Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018

Septi Aji Fitra Jaya, Al Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal
INDO-ISLAMIKA, Volume 9, No. 2 Juli-Desember 2019

Dr. Makhmud Syafe’i., M.Ag., Al Qur’an sebagai Sumber Nilai Islam, 2001

M.Muniron, 2015, Al Qur’an : Sumber Utama dan Pertama Islam, IAIN Kediri

As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Dasar Dasar Ilmu Tafsir Al


Qur’an, 2015, Wasarotul Anbiya Press

Syaikh Shafiyyurahman al Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 2006, Pustaka


Ibnu Katsir

18

Anda mungkin juga menyukai