Anda di halaman 1dari 17

SUMBER TASAWUF

(Kehidupan Nabi dan Sahabat, dasar Al-Qur’an dan Hadist Nabi)


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ AKHLAK TASAWUF ”

Dosen Pengampu : Dr. Mukhtar Hadi, M. Si

Disusun Oleh :
1. Ardia Regita Cahya (1901080001)
2. Rima Emilia (1901081026)

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugerah Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Sumber Tasawuf” ini. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus
berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugerah terbesar bagi
seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi
tugas mata kuliah akhlak tasawuf dengan judul “Sumber Tasawuf”. Makalah ini
berisikan tentang sumber-sumber tasawuf berdasarkan kehidupan Nabi dan
sahabat, dasar Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini sehingga dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik serta masukan yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Dan kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

2 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………............................. 1
KATA PENGANTAR………………………………………………………... 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. 3

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………...... 4
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………........ 4
C. Tujuan Masalah……………………………………………………….... 5

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………...... 6
A. Sumber Tasawuf Al-Qur’an....................................................................
.. 7
B. Sumber Tasawuf Al-Hadits ....................................................................10
C. Sumber Tasawuf Kehidupan Nabi dan Para Sahabatnya........................13

BAB III PENUTUP………………………………………………………… 16


Kesimpulan………………………………………………………………... 16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… .. 17

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah bagian dari syari’at islamiah yakni wujud dari ihsan. Salah satu
dari kerangka ajaran islam (iman, islam, dan ihsan), oleh sebab itu, perilaku
tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari’at islam. Tasawuf merupakan
perwujudan dari ihsan yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-
Nya. Apabila tidak mampu, maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita
adalah penghayatan seseorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf
umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri
manusia, yaitu dorongan untuk merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai
makhluk yang secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal.
Al-Qur’an dan hadist bukanlah sebuah aturan kaku yang membatasi ruang
gerak manusia. Al-Qur’an dan hadist adalah panduan hidup yang menggiring
manusia mnuju ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang
sempurna adalah kebahagiaan yang meliputi dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan
dimensi akhirat. Kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan bertemu dan
berkomunikasi dengan Sang Maha Pemilik ruh, yaitu Allah SWT.
Di dalam makalah ini, akan membahas mengenai sumber-sumber ajaran
tasawuf pada kehidupan Nabi, dan sahabat nabi, sunnah Al-Qur’an, dan Hadist
Nabi, yang sangat penting untuk diketahui apa yang para sufi jadikan dasar
sehingga mereka mengamalkan ilmu tasawuf tersebut. Atas dasar tersebut, maka
perlu dan penting sekiranya memahami darimana sumber tasawuf itu agar dalam
pengamalannya tidak dikategorikan sesat dan menyesatkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Al-Qur’an menjadi sumber ilmu tasawuf?
2. Bagaimana hadist menjadi sumber ilmu tasawuf?
3. Bagaimana Kehidupan para Nabi dan sahabat menjadi sumber ilmu
tasawuf?

4
C. Tujuan
1. Memahami bagaimana Al-Qur’an dapat menjadi sumber ilmu tasawuf
2. Memahami bagaimana hadist menjadi sumber ilmu tasawuf
3. Mengetahui bagaimana kehidupan para nabi dan sahabat dapat dijadikan
sumber tasawuf

5
BAB II
PEMBAHASAN

Para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan cendikian muslim
memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawuf adalah bersumber dari
al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan
sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Ajaran-ajaran tentang
khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal, syukur, shabar, ridha, ikhlas, ketenangan dan
sebagainya secara jelas diterangkan dalam al-Qur’an. Antara lain tentang
mahabbah (cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat
dalam surat al-Tahrim ayat 8, tentang tawakal terdapat dalam surat at-Tholaq ayat
3, tentang syukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7, tentang shabar terdapat
dalam surat al-Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat dalam surat al-Maidah ayat
119, dan sebagainya.
Sejalan dengan apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, bahwa al-Hadits juga
banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah sebagaimana yang ditekuni oleh
kaum sufi setelah Rasulullah. Dua hadits populer yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim :“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila
engkau tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu” dan juga sebuah hadits yang
mengatakan: “Siapa yang kenal pada dirinya, niscaya kenal dengan Tuhan-Nya”
adalah menjadi landasan yang kuat bahwa ajaran-ajaran tasawuf tentang masalah
rohaniah bersumber dari ajaran Islam.
Ayat-ayat dan hadits di atas hanya sebagian dari hal yang berkaiatan dengan
ajaran tasawuf. Dalam hal ini Muhammad Abdullah asy-Syarqowi mengatakan:
“awal mula tasawuf ditemukan semangatnya dalam al-Qur’an dan juga ditemukan
dalam sabda dan kehidupan Nabi SAW, baik sebelum maupun sesudah diutus
menjadi Nabi. Begitu juga awal mula tasawuf juga dapat ditemukan pada masa
sahabat Nabi beserta para generasi sesudahnya. Selanjutnya, Abu Nashr As-Siraj
al-Thusi mengatakan, bahwa ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari al-Qur’an
dan as-Sunah, karena amalan parasahabat, menurutnya tentu saja tidak keluar dari
ajaran al-Qur’andan as-Sunnah. Demikian pula menurut Abu Nashr, bahwa para

6
sufi dengan teori-teori mereka tentang akhlak pertama-pertama sekali
mendasarkan pandangan mereka kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah(Yasir
Nasution, 2007: 18).
Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan kerangka acuan pokok yang selalu
dipegang umat islam. Kita sering mendengar pertanyaan dalam kerangka landasan
dalil naqil ini, “apa dasar Al-Qur’an dan Al-Hadist nya?” pertanyaan ini sering
terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau
menemukan persoalan-persoalan unik yang mereka temui, termasuk dalam
pembahasan tasawuf. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai
sumber-sumber tasawuf :
A. Al-Qur’an
Al- Qur’an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan
malaikat jibril, dimulai dengan surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-
naas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara
mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.
Dalam islam, Al-Qur’an adalah hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat
bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk
umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya. Berikut ini
dalil-dalil Al-Qur’an mengenai tasawuf, diantaranya:
1. Taubat
Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan
maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah
kembali. Kata taba memiliki arti kembali, maka taubat maknanya juga kembali.
Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syari’at menuju sesuatu yang
dipuji dalam syari’at. Allah SWT berfirman:

َ‫َوتُوبُوا ِإلَى هَّللا ِ َج ِميعًا َأيُّهَ ْال ُمْؤ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
Artinya: “Dan bertaubatlah kamu kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman, agar kamu beruntung” (Q.S An-Nuur : 31).

7
Bagi Dzu Al-Nun bin Ibrahim Al-Mishri (264H/861M). Taubat itu dilakukan
karena seorang salik mengingat sesuatu dan terlupakan mengingat Allah SWT.
Dia kemudian membagi taubat kelompok khash (awliya’). Kelompok orang
khash melakukan pertaubatan karena dia lupa mengingat Allah SWT
sedangkan kelompok awam bertaubat karena mengerjakan perbuatan dosa.
Baginya, hakikat taubat adalah keadaan jiwa yang merasa sempit hidup diatas
bumi karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

2. Ikhlas
Ustaz Syaikh berkata, ikhlas adalah penunggalan Al-Haqq dalam
mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata tanpa lain, tanpa dibuat-
buat, tanpa ditunjukkan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia
atau makna-makna lain selain pendekatan diri kepada Allah. Bisa juga
diartikan ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dan campuran
semuamakhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ِ ِ‫ْج ٍد وَّا ْد ُعوْ هُ ُم ْخل‬


‫ص ْينَ لَـهُ ال ِّد ْينَ  ۗ  َك َما بَ َداَ ُك ْم‬ َ  ‫قُلْ اَ َم َر َرب ِّْي بِا ْلقِ ْس ِط‬
ِ ‫ۗ واَ قِ ْي ُموْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم ِع ْن َد ُكلِّ َمس‬
َ‫ ۗ تَعُوْ ُدوْ ن‬
Artinya: Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah
wajahmu (keoada Allah) pada setiap shalat dan sembahlah dia dengan
mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. kamu akan
dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu diciptakan semula. (Q.S Al-
A’Raf : 29)

3. Sabar
Junaid mengatakan, “Perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah
dan menyenangkan bagi orang-orang beriman, putusnya hubungan makhluk
disisi Allah SWT adalah berat perjalanan dari diri sendiri (jiwa) menuju Allah
adalah sangat berat, dan sabar kepada Allah tentu akan lebih berat”. Ia ditanya
tentang sabar, lalu dia menjawab “ menelan kepahitan tanpa bermasam muka”.

8
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ‫صب ِْر َوا لص َّٰلو ِة ۗ  َواِ نَّهَا لَ َكبِ ْي َرةٌ اِاَّل َعلَى ْال ٰخ ِش ِع ْين‬
َّ ‫ ۙ  َوا ْستَ ِع ْينُوْ ا بِا ل‬
Artinya: "Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 45).

4. Syukur
Menurut satu pendapat, bersyukurnya Allah berarti memberikan pahala atas
perbuatan pelakunya sebagaimana ungkapan bahwa hewan yang bersyukur
adalah hewan yang gemuk karena selalu diberi makanan. Hal ini dapat
dikatakan bahwasannya hakikat syukur adalah memuji (orang) yang
memberikan kebaikan dengan mengingat kebaikannya. Syukurnya hamba
kepada Allah adalah memuji kepada-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya,
sedangkan syukurnya Allah kepada hamba berarti Allah memuji kepadanya
dengan mengingat kebaikannya. Perbuatan baik hamba adalah taat kepada
Allah, sedangkan perbuatan baik Allah adalah memberikan kenikmatan dengan
memberikan pertolongan sebagai tanda syukur. Hakikat syukur bagi hamba
ialah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap kenikmatan yang telah
diberikan oleh Allah SWT.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫فَا ْذ ُكرُوْ نِ ۤ ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُکرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬


Artinya: "Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.
Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku." (QS. Al-
Baqarah 2: Ayat 152)

5. Tawakal
Menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, yang dimaksud tawakal
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bakar Ad-Daqaq adalah menolak
kehidupan pada masa sekarang dan menghilangkan cita-cita pada masa yang
akan datang. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl bin
Abdullah bahwa yang dimaksud tawakal adalah melepaskan segala apa yang

9
dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT dengan sebenar-
benarnya, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim disaat Allah SWT
berfirman kepada malaikat Jibril: Ibrahim telah berpisah (bercerai denganmu)
dirinya telah hilang bersama Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada yang
mengetahui orang yang bersama Allah kecuali Allah SWT.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫هّٰللا‬
ْ‫ب اَل ْنفَضُّ وْ ا ِم ْن َحوْ لِكَ  ۖ فَا عْفُ َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِر‬ ِ ‫ۚ ولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِ ْيظَ ْالقَ ْل‬
َ  ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِّمنَ ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم‬
َ‫اورْ هُ ْم فِى ااْل َ ْم ِر ۚ فَا ِ َذا َعزَ ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمت ََو ِّكلِ ْين‬
ِ ‫لَهُ ْم َو َش‬

Artinya: "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah
mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakal." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 159)

B. Al-Hadist
Hadist yang jamaknya ahadist memiliki padanan kata yang cukup beragam.
Dari sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang
berarti lama, abadi, dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan,
dan hal-hal tentang Nabi dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-
Qur’an yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama’ah sebagai firman Allah yang
qadim. Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-Hdist merupakan sumber hukum
islam yang kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun Al-Hadist tetap
menjadi rujukan setelah Al-Qur’an. Berikut akan diuraikan hadits-hsdits
mengenai tasawuf, mengingat dalam tasawuf hadits juga tergolong sebagai
sumber kedua.

1. Taubat

10
Sahabat Anas bin Malik r.a berkata, saya pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda :

ٌ‫ض َّرهُ ذ ْنب‬ ِ ‫التَّاِئبُ ِمنَ ال َّذ ْن‬


َ ‫ب َك َم ْن اَل َذ ْن‬
ُ َ‫ َواِ َذا اَ َحبَّ هللاُ َع ْبدًا لَ ْم ي‬,ُ‫ب لَه‬
Aartinya: “Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa,
dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan
membahayakannya. (Hadits diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan dikeluarkan Ibnu
Majah sebagaimana tersebut dalam Al-Jami’ ush-Shaghir, Al-Hakim, At-
Tirmudzi dari Abu Sa’id, As-Suyuthi di Al-Jami’ USH-Shaghir Juz 1, halaman
3385).

2. Ikhlas
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna ikhlas, lalu beliau
menjawab:
‫ ماهو؟ قال‬,‫ سألت رب العزة عن االخالص‬:‫ ما هو؟ قال‬,‫َسألت جبريل عليه السالم عن االخالص‬
‫سرمن سري استودعته قلب من أحببته من عبادي‬

Artinya: “Saya bertanya kepada Jibril tentang ikhlas, apa itu? Kemudian dia
berkata, saya bertanya kepada Tuhan tentang ikhlas, apa itu? Dan Tuhan pun
menjawab, yaitu rahasia dari rahasia-Ku yang aku titipkan pada hati orang
yang aku cintai diantara hamba-hamba Ku.” (Hadits dikeluarkan oleh Al-
Qazwaini dalam Musalsalat-nya dari Khudzaifah).

3. Sabar
Dari Aisyah r.a diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‫ان الصبر عند الصدمة االولى‬
Artinya : “Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi
cobaan) yang pertama. (Hadits riwayat Anas bin Malik dan dikeluarkan
Imam Bukhari didalam “Al-Jana’iz” Bab Sabar 3/138, sedangkan imam
muslim juga mengelompokkannya dalam “Al-Jana’iz” Bab Sabar Nomor
626, Abu Dawud di nomor 3124, At-Rurmudzi di nomor 987, dan An-
Nasa’i mencantumkan di 4/22).

11
4. Zuhud
Jika mencermati sirah, sejarah hidup rasul maka akan terpapar dengan
jelas bahwa ada hubungan erat antara pola hidup Rasulullah yang penuh
kezuhudan dan kesederhanaan, dengan kehidupan kaum zuhud di masa
permulaan islam. Kemudian kaum sufi sejati setelah mereka yang menimpa
diri mereka dengan aneka macam Riya’dhah dengan tujuan memanimalisir
tuntutan-tuntutan fisik agar jiwa mereka mudah menjalankan berbagai macam
ibadah, berkomunikasi dengan Allah, dan kedekatan dengan Nya. Nabi SAW
bersabda:
‫اذا رايتم الرجل قداوتي زهدا في الدنيا ومن تقا فاقتربوا منه فانه يلقن الحكمة‬

Artinya: “Jika diantara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu
zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang
yang mengajarkan kebijaksanaan. (Hadits disebutkan dalam Al-Kanz jilid 3
halaman 183 nomor 6069, diriwayatkan oleh Abu Khalad dan Abu Na’im
bersama Al-Baihaqi meriwayatkannya juga darinya, sementara As-Sut=yuthi
menganggapnya lemah didalam Al-Jami’ ush-Shaghir jilid 1 halaman 86
nomor 635).

5. Wara’
Abu Dzar Al-Ghifari berkata, Rasulullah SAW bersabda :
‫من حسن اسالم المرء تركه ماال يعنه‬
Artinya: “Sebagian dari kesempurnaan islam seseorang adalah meninggalkan
sesuatu yang tidak berarti.” (Hadits dikeluarkan oleh Imam Malik bin Anas
didalam Muwatha’-nya jilid 2 halaman 903).

6. Khowf
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW beersabda:
‫ ولبكيتم كثيرا‬,‫لو تعلمون مااعلم لضحكتم قليال‬

12
Artinya: “Seandainya engkau mengetahui apa yang saya ketahui, pasti engkau
akan tertawa sedikit dan menangis banyak.” (Hadits diriwayatkan Abu
Hurairah dan dikeluarkan Imam Bukhari 11/273).

C. Kehidupan Nabi dan para Sahabat


Ketika Rasulullah Saw berhijrah dari Mekah ke Madinah, konon terdapat 70
orang berasal dari Mekah dan perkampungan-perkampungan lainnya yang ikut
serta bersama beliau. Mereka merupakan orang-orang miskin yang, kelak menjadi
teladan bagi umat Islam. Tidak ada satu pun dari mereka memiliki baju perang
ataupun alat-alat lain yang dapat menjaga diri mereka dari serangan musuh. Di
Madinah, mereka tidak memiliki tempat yang dapat melindungi diri dari udara
dingin dan sengatan matahari. Bahkan, ada di antara mereka yang tidak memiliki
pakaian lengkap. Mereka adalah para sahabat dekat Rasulullah Saw, yang
dikemudian hari oleh sebagian kalangan diberi sebutan Ahl al-Suffah.
Pendapat lain mengatakan, Ahl as-Suffah adalah orang-orang yang tinggal di
Suffah, sehingga mereka bersih dan terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa.
Menurut beberapa sumber, istilah ‘tasawuf’ dan ‘sufi’ diambil dari nama dan
kondisi kelompok Ahl as-Suffah tersebut. diriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw.sering berkumpul bersama mereka. Di antara sahabat Nabi yang termasuk
Ahl as- Suffah adalah Bilal bin Rabah, Barra’ bin Malik, dan Ju’ail bin Saraqah.
Selain itu juga Khabbab bin al-Art, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Ummi
Maktum yang menjadi sebab diturunkannya awal Surah ‘Abasa.
Pada kisah tersebut, setidaknya hal yang bisa diambil pelajaran diantaranya
adalah aspek kesederhanaan, kesabaran, kepasrahan (tawakkal), dan proses
pendekatan diri dengan beribadah. Sehingga cukup beralasan ketika muncul
pendapat bahwa sesungguhnya sufi telah ada sejak zaman Nabi, karena jika dilihat
dari pola kehidupan Nabi menunjukkan bahwa beliau adalah seorang sufi. Hanya
saja saat itu istilah sufi itu sendiri belum lah dikenal.
Tasawuf sebagai gerakan kerohanian untuk mendekatkan diri kepada Allah,
pada perkembangan awal memang didorong oleh ajaran Islam sendiri yaitu al-
Qur’an dan contoh kehidupan Nabi Muhammad Saw. Ajaran perilaku
kesederhanaan dan zuhud sebagaimana dicontohkan Nabi itu ditiru oleh

13
parasahabat misalnya Abu Dhar al-Ghifari dan Salman al-Farisi. Pada
perkembangan selanjutnya, yaitu di masa tabi’in, lahir penganjur kehidupan
tasawuf yaitu Hasanal-Basri yang digelari Abu Sa’id (21-110 H). Beliau
mengajarkan khauf (takut) kepada Tuhan. Ketika beliau wafat secara bersambung
muncul para sufi lain misalnya Dhunnun al-Misri (180-245 H) yang dikenal
sebagai Bapak Makrifat, karena beliau mengajarkan ma’rifah (selanjutnya akan di
Indonesia akan menjad imakrifat) atau gnosis (pengetahuan), yang berarti
mengetahui dan mengenal Tuhan dari dekat. Sedangkan Sufyan al-Thauri (602-
732 M) mengajarkan kehidupan zuhud dan menentang kemewahan dengan sikap
menjaga muru’ah (kehormatan diri), ia berusaha sendiri tidak mengemis kepada
raja-raja.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat banyak
petunjuk yang menggambarkan dirinya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad
telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Dia
menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan harta. Dikalangan para sahabat pun juga kemudian
mengikuti pola hidup seperti yang dilakukan oleh NabiMuhammad SAW. Abu
bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam
ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Demikian pula sahabat-
sahabat beliau lainnya seperti Umar bin Khottob, Ustman bin Affan, Ali bin
AbiThalib, Abu Dzar al-Ghiffari, Bilal, Salman al-Farisyi dan Huzaifah al-
Yamani16.
Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi
SAW yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi
pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian
dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang
menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena sahabat sebagai
murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka
senantiasa mengikuti kehidupan Nabi. Oleh sebab itu, perilaku kehidupan mereka
dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali dalam hal-
hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidak-tidaknya kehidupan para

14
sahabat adalah kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-
Qur’an memuji mereka:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) diantara
orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar.” (Q.S 9 : 100).
Karena hal itulah para sufi menjadikan kehidupan para sahabat Nabi sebagai
sumber ke tiga dari ajaran tasawuf. Dengan harapan bisa menjadi pengikut yang
sebaik-baiknya agar dapat tergolongkan kepada orang-orang yang mendapatkan
ridho Allah dan surga-Nya seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut.

15
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sumber pokok tasawuf dalam islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama
islam itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf
islam itu timbul sebab adanya pengaruh dari luar islam. Dan kata sufi sendiri tidak
disebutkan atau diterangkan dalam Al-Quran maupun Al-Hadits. Namun, apabila
kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-
Hadits, maka banyak sekali didapati dari Ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits itu yang
berfungsi sebagai sumber tasawuf. Adapun sumber-sumber kajian ilmu tasawuf
sebagaimana yang diuraikan diatas bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits selalu
mempunyai kedudukan dalam setiap disiplin ilmu keagamaan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami, bahwa teoriasal usul tasawuf
bersumber dari ajaran Islam. Semua praktek dalam kehidupan para tokoh-tokoh
sufi dalam membersihkan jiwa mereka untuk mendekatkan diri pada Allah
mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Teori-teori mereka tentangtahapan-tahapan menuju Allah (maqomat) seperti
taubat, syukur,shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas,
ataupengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja
dan khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran Islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Samudi Abdullah.Analisa Kritis Terhadap Tasawuf. (Surabaya: PT. Bina Ilmu,


1982), 5-14.

Hamka.Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf. (Jakarta: Republika Penerbit,


2016), 84.

Hafiun, Muhammad. Teori Asal Usul Tasawuf. Jurnal Dakwah. Vol. XIII, No. 2
Tahun 2012

Alif Julizun Anwar. Tasawuf dan al-Qur’an Tinjauan Dunia Ilmu Pengetahuan
dan Praktek Kultural-Religius Ummat. Intizar, Vol. 19, No. 2, 2013

Riski Afwandi, dkk. Makalah Sumber-Sumber Ilmu Tasawuf. 2016.


http://tgkkia.blogspot.com/2016/04/sumber-sumber-ilmu-
tasawuf.html?m=1 (Diakses pada, 27 Februari 2021)

Rudini. Sumber-SumberTasawuf. 2013.


http://harunnilah.blogspot.com/2013/10/sumber-sumber-
tasawuf_29.html?m=1 (Diakses pada, 2 Maret 2021)

17

Anda mungkin juga menyukai