Anda di halaman 1dari 11

RESUME BUKU ARGUMEN ISLAM RAMAH BUDAYA

UJIAN TENGAH SEMESTER ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

Dosen Pengampuh : Dr. Sofyan A.P Kau, S.H.I., M.H.I.

DISUSUN OLEH:

SUDIRMAN AIRMAS

NIM: 202032040

Hukum Pidana Islam


FAKULTAS SYARIAH
INSITUT AGAMA ISLAM NEGRI GORONTALO
TAHUN 2020/2021
Islam Agama dan Budaya

A. Budaya dan Agama

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata budaya diartikan dengan akal budi, hasil, adat
istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), dan sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Berbudaya berarti mempunyai pikiran, dan akal yang sudah
maju. Sedangkan membudayakan berarti mengajar supaya mempunyai adab atau beradab, berbudaya.
Term buddhayah memiliki dua makna. Pertama, pluar yang berarti banyak budaya. Kedua, majemuk,
yaitu terdiri dari atas dua kata, budi dan daya. Itu berarti budaya adalah daya dari budi yang berupa
cipta, karsa dan rasa. Atas dasar ini, koentjaraningrat (w. 1999 M) mendefinisikan budaya sebagai daya
budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia
segala hal yang ada dalam pengalamannya, meliputi pengalaman lahir dan batin. Sedangkan rasa adalah
kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Jika
budaya merupakan cipta, karsa dan rasa manusia, maka kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa itu sendiri. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari akal akan ikhtisar manusia. Jelasnya
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.

B. Islam sebagai Agama dan Budaya

Islam didefinisikan sebagai agama yang ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Sebagai rasul. Sedangkan ajaran non dasar ialah ajaran berupa
hasil ijtuhad manusia dalam bentuk tafsir, interpretasi, atau pemikiran ulama yang menjelaskan tentang
ajaran dasar dan implementasinya dalam kehidupan nyata.

Dalam terminology Syafiq Hasyim (lahir 1971 M), ajaran dasar tersebut adalah agama,
sedangkan ajaran non dasar adalah pemikiran agama dan atau pemikiran keagamaaan. Agama tentu
berbeda dengan pemikiran agama. Tafsir, fiqih,kalam dan tasawuf adalah pemikiran agama, bukan
agama itu sendiri, karena ilmu-ilmu tersebut muncul dan dihasilkan dari pemikiran terhadap agama.
Oleh karena itu, membedakan penafsiran agama dan agama, atau pemikiran keagamaan dengan agama
adalah penting. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi sakralisasi terhadap penafsiran agama dan pemikiran
agama. Al-qur’an dan sunnah sebagai sumber ajaran agama adalah benar dan kebenarannya diyakini
sebagai kebenaran absolute. Sedangkan kebenaran penafsiran atas kedua sumber otoritatif agama islam
tersebut bersifat relatif.

Kebenaran mutlak yang terkandung dalam al-qur’an dan as-sunnah adalah hal-hal yang bersifat
normal. Sedangkan penafsiran atas ajaran normative tersebut bersifat historis. Factor budaya, sosial dan
politik adalah unsure-unsur historis yang melatarbelakangi bentuk dan corak penafsiran dan pemikiran
islam. Karena itu hasil pemikiran dan penafsiran-atas sumber ajaran-islam dinamakan historitas islam.
Historitas Islam bukan berarti nihilisasi, melainkan reposisi pemikiran. Yaitu memposisikan keseluruhan
hasil pemikiran ulama dalam konteks dan peta historis. Dalam perkembangannya, sekuruh hasil dari
penafsiran ulama tersebut akhirnya melahirkan dua konsep, yaitu Islam sebagai agama dan Islam
sebagai budaya. Dengan demikian, Islam sebagai budaya adalah keseluruhan hasil pemikiran ulama atas
penafsiran al-qur’an dan hadis. Hasil pemikiran ulama berwujud karya-karya tafsir, hadis, kalam, tasawuf,
filsafat, sejaran dan fiqih. Kajian terhadap hasil pemikiran ulama ini, kemudian disebut studi Islam.

C. Islam Normatif dan Islam Historis

1. Islam Normatif

Terminology Islam normatif merupakan katagori pemetaan atas ajaran islam. Ajaran islam
normatif tersebut adalah ajaran dasar yang terdiri atas tiga aspek yaitu tauhid, ibadah dan akhlak. Jika
tauhid bersifat abstrak karena-keimanan itu-berada pada hati (qalb), maka ibadah bersifat konkret
karena pengamalannya dilaksanakan oleh anggota tubuh (jawarih). Semua aspek ritual salat, puasa,
zakat dan haji bersifat tetap sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Saw., para sahabat, tabi’in; baik
ketentuan jumlah maupun waktu pelaksanaannya Maupun syarat dan rukunnya. Pengurangan dan
penambahan dalam konteks ibadah mahdhah dikatagorikan bid’ah. Itu berarti, ibadah mahdhah tidak
tidak membutuhkan inovasi dan pemikiran manusia, karena sifat ibadah mahdhah adalah murni
pengabdian.

Adapun akhlah adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang dari padanya lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian.
Sebaliknya, jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak tercela (akhlaq
mazmumah). Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, maka suatu
perbuatan baru disebut akhlak kalau terpenuhi beberapa syarat: Pertama, perbuatan itu dilakukan
secara berulang-ulang. Jika perbuatan itu dilakukan hanya sekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak.
kedua, perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti terlebih dahulu sehingga ia
benar-banar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setengah
dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang, maka tidak disebut akhlak.

2. Islam Historis

Islam historis artinya Islam yang menyejarah. History sendiri mempunyai pengertian sebagai
peristiwa yang benar-benar terjadi, yang terikat oleh ruang dan waktu. Itu berarti, Islam historis adalah
Islam yang benar-benar terjadi, benar-benar diamalkan oleh manusia atau masyarakat, terkait dengan
konteks ruang dan waktu, kapan dan dimana Islam diamalkan umat Islam, ada juga Islam dipikiran ulama
Islam. Fikih pun demikian. Fikih sebagai “Kompilasi hukum syara’ yang bersifat praktis yang di ambil dari
dalil yang terperinci adalah hasil ijtihad ulama fiqih (fukaha). Hasil ijtihad tersebut terwujud dalam
bentuk karya-karya fikih, seperti al-Umm Karya Imam al-Syafi’I (w. 204 H); Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, karya Ibnu Rusyd (w. 592 H); Al-fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah karya
Muhammad Jawad Mughniyah (w.1979 M); fiqih al-sunnah, karya Sayyid Sabiq (w. 2000 M); dan Al-fiqh
al-Islami wa Adillatuhu,karya Wahbah al-Zuhaili (w. 2015 M).

Dalam bidang kalam (teologi), muncul beragam orientasi teologis-religio-politik, seperti Khawarij,
Syi’ah, Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan Sunni. Mereka semula adalah berpihak kepada Ali
bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), tetapi keluar (Arab: kharaja, yang dari kata ini mereka dinamai khawarij)
karena tidak setuju menerima tahkim dengan pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 60 H/680 M). Dalam
pandangan mereka yang terlibat dalam perang Shiffin telah melakukan dosa besar, dan karenanya
dihukumi kafir. Dari sini mereka memulai perdebatan panas seputar ‘muslim,’ ‘mukmin’, ‘kafir’, dan
‘musyrik’. Mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib (w. 40H/661 M) dinamakan syi’ah. Pandangan
Khawarij tentang pelaku dosa besar adalah kafir di atas ditolak oleh kaum Murjiah. Menurut Murji’ah,
iman seseorang tidak diputuskan semata atas dasar perbuatannya, melainkan berdasarkan
perkataannya. Karena itu, seorang muslim yang melakukan perbuatan syirik tidak boleh dianggap tidak
beriman (kafir).Sementara Jabariyah, sebagaimana namanya, percaya bahwa manusia tidak memiliki
kekuatan untuk mengontrol atas semua tindakannya karena semua tindakan itu sudah ditakdirkan oleh
Allah. Karena itu, jika penguasa melakukan kezaliman atas rakyat, maka tidak bias dihukumi kafir, karena
Allah telah menakdirkan tindakan tersebut.

Adapun Qadariyah dengan pandangan teologisnya meyakini bahwa Allah tidak mendeterminasi
apa yang manusia lakukan. Maka manusia punya pilihan untuk berbuat antara yang benar dan yang
salah. Pandangan Qadariyah tentang kebebasan manusia ini, tidak ditolak Mu’tazilah karena sejalan
dengan pemikiran mereka tentang kebebasan manusia (freewill) dalam menentukan kebenaran;
kebenaran mana yang biasa diperoleh dengan akal atau rasio. Karena itu pandangan mereka tentang al-
Qur’an sebagai makhluk (cipta Allah), karena secara rasio hanya Allah yang kekal. Sedangkan ciptaannya
adalah binasa. Sedangkan sunni yang lahir antara abad 1-3 H/7-9 M dalam konteks teologi dan religi-
politik, menghasilkan sintesis. Berbagai sikap dan pandangan yang diadopsi oleh semua kelompok yang
disebutkan di atas akhirnya disaring dan dikembangkan menjadi apa yang mungkin disebut sebagai
pandangan mainstream. Mainstream ini kemudian dikenal sebagai ahlussunah (orang-orang yang
mengikuti sunnah Nabi Saw.), atau Islam Sunni, yang menerima seperangkat akidah dan mazhab-
mazhab hukum agama.

Tasawuf yang dalam terminology Imam al-Ghazali (w. 1111 M), dimaknai sebagai ketulusan
kepada Allah dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia. Dalam konteks ini, ketulusan berarti
keikhlasan niat. Niat yang ikhlas adalah melaksanakan perintah Allah tanpa pamrih. Sedangkan
pergaulan dengan manusia didasarkan atas tata krama yang baik atau mengacu kepada etika pergaulan.
Dengan demikian tasawuf yang menekankan kepada pengamalan syariat, moralitas, dan ketulusan
dalam beribadah. Lebih jauh lagi, tasawuf memusatkan perhatiannya terhadap hal-hal yang bersifat
esoteric; berbeda dengan fiqih yang menekankan aspek eksoterik. Sedangkan ahli fiqih lebih
menekankan aspek lahir, dan karenanya mereka sering disebut ahl al-zhawahir. Fiqih menyoroti aspek
af’al al-mukallafin, yaitu perbuatan seseorang yang secara syar’i telah dibebani kewajiban melaksanakan
hukum syara’ (taklif), karena secara hukum telah akil baligh (mukallaf)
Adapun Islam yang diamalkan adalah ajaran Islam yang diekspresikan umat Islam sesuai dengan
konteks budaya yang melingkupinya. Islam yang dihayati, diekspresikan dan dipraktikkan di Indonesia-
misalnya-berbeda dengan Islam yang ada di Arab Saudi. Karena itu, sebutan Islam Indonesia merujuk
kepada penghayatan, pemahaman dan ekspresi umat Islam Indonesia terhadap keragamaan dan
keislaman sesuai dengan nilai-nilai kultural.

Relasi Agama dan Budaya


A. Relasi Agama dan Budaya

Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Agama adalah wahyu Tuhan yang berisi
petunjuk hidup (dunia) dan kehidupan (akhirat) kepada manusia terkait dengan teologi, akhlak dan
ibadah. Sedangkan budaya adalah kreasi manusia secara interlektual terkait dengan kehidupan sosial,
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan seni. Agama bersifat sakral, karena ia mengatur relasi antara
hamba dengan Tuhan. Sedangkan budaya bersifat profane, berkenaan dengan norma dan tata aturan
kehidupan sosial manusia. Sebagai sebuah petunjuk, ajaran agama bersifat umum dan global. Budaya
menerjemahkan ajaran agama yang bersifat umum tersebut secara spesifik-aplikatif. Nabi Saw,
menyatakan bahwa tanda keimanan adalah memuliakan tamu (man kana yu’minu billahi wal yawmil
akhir falyukrim dhaifahu). momuhuto taluhu mopatu adalah bahasa budaya Gorontalo dalam
mengekspresikan dirinya dalam memuliakan setiap tamu yang berkunjung ke rumah. Momuhuto taluhu
mopatu tidak ditegaskan dalam hadis. Hadis hanya menegaskan bahwa siapa yang beriman dan percaya
adanya hari kiamat, maka hendaklah memuliakan tamu. Bentuk dan cara memuliakan tamu diserahkan
kepada manusia untuk merumuskannya sesuai dengan budaya dan nilai-nilai lokalitas yang hidup
ditengah masyarakat. Karena itu, masing-masing daerah tidak sama dalam memperlakukan tamu.
Menunjukkan bahwa salah satu fungsi budaya terhadap ajaran agama adalah mewujudkan kehendak
agama dalam bentuk yang praktis. Karena itu, setiap bentuk praktik implementatif ajaran agama, tidak
cukup dikembalikan kepada bunyi literal teks keagamaan.Jika budaya lokal menerjemahkan kehendak
ajaran agama secara implementatif-praktis, maka itu berarti budaya berfungsi mewujudkan ajaran
normatif dalam bentuk lokalitas. Dengan ungkapan lain, relasi agama dan budaya adalah relasi
fungsional. Karena itu, menurut Nurcholish Madjid (w. 2005 M), agama dan budaya adalah dua bidang
tidak dapat dipisahkan, tetapi dibedakan. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah
sekunder.

2. Perdaan dan Karakteristik Agama dan Budaya

Agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda. Tidak juga menjadikan agama sebagai
budaya, karena agama bukan ciptaan manusia melainkan wahyu Tuhan. Yang tak kalah penting adalah
agar kita tidak menghakimi kreasi budaya dan inovasi kultural sebagai penyimpangan agama. Sebagai
wahyu Tuhan dan pedoman hidup, agama dapat saja memberikan peminaan, arahan dan kritik terhadap
kreasi budaya dan inovasi kultural. Karena itu, mendudukkan dan memposisikan agama dan budaya
adalah penting agar kita tidak mencampuradukkan keduanya. Karena itu penting dibedakan antara
agama dan budaya Arab. Untuk membedakannya, K.H. Ali Mustafa Yaqub (w. 2016 M) memberikan tiga
kriteria. Pertama, ajaran agama islam diamalkan oleh kaum muslimin saja, sementara budaya diamalkan
oleh kaum muslimin dan juga non muslim. Kedua, beberapa budaya terkandung sudah ada sebelum
Islam dating, misalnya budaya al-jummah. Adapun agama atau syarat islam tidak ada kecuali setelah
datangnya agama islam. Karenanya wajib mengikuti apa yang dibawah oleg Rasulullah Saw, jika hal itu
berupa agama, namun tidak wajib mengikuti apa yang dibawah oleh Rasulullah Saw, jika hal itu bukan
berupa agama. Ketiga, beberapa budaya ada yang muncul sebelum islam dating kemudian turun wahyu
dari Allah SWT., memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya. Maka setelah turunnya wahyu,
budaya tersebut menjadi syarat islam.

C. Landasan Teologis dan Normatif

1. Landasan Teologis

Relasi agama dan budaya, secara teologi dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan secara normatif, terdapat sejumlah norma dan kaidah yang dirujuk ulama dalam melihat
budaya. Kata al-‘urf dalam surat al-A’raf ayat 199 dalam ayat disebut (bil ‘urfi) merajuk kepada tradisi
atau budaya lokal. Menurut al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H), al- ma’ruf adalah setiap hal atau
perbuatan yang oleh akal dan agama diketahui sebagai hal yang baik. Karena itu, dalam pengamatan
Abu Ajilah, mayoritas ulama tafsir memaknai al- ma’ruf sebagai “kebiasaan yang biasa dikenal dalam
suatu masyarakat tertentu”. Adapun hadis yang dijadikan landasan teologis atas akomondasi Islam
terhadap budaya diantaranya adalah “Apa yang dinilai baik kaum muslimin, baik pula di sisi Allah”. Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (w. 855 M/421 H), al-Bazzar (w. 292 H), al-Thabrani (w. 360 H) dalam
kitab Al-Mu’jam al-Kabir dari Ibnu Mas’ud (w. 652 M)

Secara tekstual, perkataan di atas secara tegas member ruang bagi akal public dalam
menentukan suatu kebaikan. Itu berarti, kaum muslimin diberi hak untuk menentukan suatu kebaikan
berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang dianutnya. Jika hadis di atas dalam bentuk sikap dan respons Nabi
Saw, atas tradisi, di antaranya: “Takaran bagi penduduk Madinah, dan timbangan untuk penduduk
Mekah’. Hadis ini menunjukkan dua tradisi: tradisi penduduk kota Mekah dan tradisi penduduk kota
Madinah. Apa yang telah manjadi kebiasaan penduduk kota Mekah dan Madinah tidak dihapus,
melainkan memperoleh legitimasi dari Nabi Saw. Sebagai termaksud dalam hadis tersebut. Dengan kata
lain, Nabi Saw. tidak menegasikan tradisi kedua penduduk tersebut, melainkan menjustifikasi kedua alat
ukur tersebut sebagai alat yang sah dalam transaksi jual beli.

2. Landasan Normatif

Secara normatif, terdapat norma dan kaidah yang menjadi pedoman ulama dalam mengapreasi
budaya. Norma dan kaidah yang dimaksud adalah al-‘urf dan al-adatu al-muhakkamah. Secara
etimologis, ‘urf berarti sesuatu yang diketahui. Menurut Muhammad Abu Zahrah (w. 1974 M), ‘urf (adah)
adalah sesuatu yang dibiasakan manusia dalam urusan mu’amalah. Abdul Wahhab Khallaf (w. 1956 M)
mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu yang dikenal manusia dan dijalankan secara biasa, baik perbuatan
maupun perkataan.
Pengertian urf diatas menunjukkan bahwa ‘urf adalah sesuatu yang diketahui dan dipandang
baik oleh masyarakat secara akal sehat. Tegasnya, ‘urf adalah tradisi masyarakat dalam aspek
mu’amalah baik berkenaan dengan perkataan maupun perbuatan. Kategori al-‘urf al-lafzhi dan al-‘urf al-
‘amali adalah kategori ‘urf dilihat dari segi objek atau bentuknya. Sedangkan dilihat dari segi cakupan
ruang lingkup keberlakuannya, ‘urf dapat dibedakan kepada al-‘urf al-‘am, al-‘urf al-khash dan al-‘urf al-
syar’i. Al-‘urf al-‘am adalah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan. Sedangkan al-‘urf
al-khash adalah ‘urf yang hanya berlaku atau hanya dikenal di suatu tempat saja, sedangkan di tempat
lain tidak berlaku. Adapun al-‘urf al-syar’I adalah lafal-lafal yang digunakan syara’ yang menghendaki
makna khusus. Sementara al-‘urf al-fasid adalah adat kebiasaan yang bertentangandengan
ketentuansyara’, seperti menghalalkan yang haram atau menggugurkan kewajiban.

Interaksi Islam dengan Budaya Arab Pra Islam


A. Ritus-Ritus Peribadatan

Islam yang dibawa dan didakwahkan Nabi Saw., bukan dalam ruang yang hampa budaya. Salah
satu misi kenabian adalah menyempurnakan kehidupan moralitas, sebagaimana dalam hadis:”Aku tidak
ditus, kecuali memperbaiki akhlak mulia” itu berarti kehadiran Nabi Saw., dan islam yang dibawanya
tidak membabat hadis tradisi Arab pra-Islam, melainkan menyempurnakan hal-hal yang tidak sempurna.
Bahkan dalam Al-Qur’an ditegaskan, beliau diutus-satu diantaranya-membenarkan ajaran-ajaran
sebelumnya. Adapun salat diwajibkan atas setiap muslim ditetapkan saat Nabi Muhammad Saw.,
melakukan isra’dan mi’raj. Bahkan para Nabi sebelumnya telah melaksanakannya; meskipun berbeda
bentuknya dengan salat yang sekarang kita kenal. Haji pun demikian. Para Nabi dan Rasul, serta umat
terdahulu telah melaksanakannya. Tempat pelaksanaan haji pra islam, hanya terpusat di Ka’bah, karena
dinilai sakral. Rasululllah menyebutkan secara eksplisit bahwa haji adalah Arafah. Nabi Ibrahim as.,
melaksanakan haji setelah meninggikan Ka’bah, setinggi 7 hasta, dibantu putranya Ismail as. Setelah
membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim as., dating ke Mekah untuk melakukan Haji setiap tahun. Ketika islam
dating, Ka’bah dikelilingi oleh berbagai berhala. Tidak kurang dari 360 berhala terdapat di sekitar Ka’bah.

Selama priode tersebut, suasana di sekitar Ka’bah layaknya seperti sirkus. Laki-laki dan
perempuan mengelilingi Ka’bah dengan telanjang. Mereka menyerakan harus menampilkan diri
dihadapan Allah dalam kondisi yang sama seperti saat lahir. Kecuali itu, para pezina Ka’bah dating dan
bebas bernyanyi, dan minum arak, melakukan zina, dan perbuatan amoral lainnya. Pada 630 M, Nabi
Muhammad Saw. Dan orang-orang Muslim kembali dari Madinah ke Makkah serta membebaskan
Ka’bah dari ritual kaum pagan dan penyembah berhala.

B. System perkawinan

1. Bentuk perkawinan

Sebelum islam datang, bahasa Arab pra Islam telah melakukan perkawinan. Ada yang menikah
dengan maksud memperoleh keturunan. Bentuk perkawinan ini dinamakan perkawinan al-wiladah. Ada
juga yang menikah dengan tujuan memperoleh keturunan, bukan melalui dirinya dan istrinya, tetapi
melalui pria lain. Keturunan yang diinginkan adalah bagus dan luhur. Karena itu, sang suami meminta
istrinya agar berhubungan seks dengan pria terpandang. Bentuk perkawinan ini disebut al-istibdha’.
Bentuk perkawinan berikut wanita menikah dengan banyak pria, yang disebut perkawinan al-rahth dan
al-rayah. Al-Rahth adalah seorang wanita dikawini oleh sekelompok pria-biasanya kurang dari 10 orang.
Sedangn\kan perkawinan al-rayah adalah sejumlah lelaki mendatangi rumah yang di depannya
tertancap bendera (al-rayah). Bendera ini sebagai simbol atau tanda bolehnya laki-laki yang melintasi
rumah tersebut dapat memasukinya. Lelaki tersebut dapat berhubungan seks dengan orang yang di
dalam rumah tersebut. Jika salah seorang wanita dalam rumah tersebut hamil, maka ia memanggil pra
lelaki yang penah singgah di rumah tersebut agar meraka berkumpul.

Selain ketiga bentuk perkawinan yang telah dijelaskan, terdapat juga tradisi bangsa Arab pra
Islam yang menikahkan putrinya dengan lelaki lain, atau saudara lelaki menikahkan saudari
perempuannya dengan pria lain tanpa mahar agar ia dapat menikahi putri atau saudari dari lelaki yang
menikahi putrid atau saudara permpuannya. Keempat bentuk perkawinan pra islam (al-istibdha, al-rahth,
al-rayah dan al-syighar) diharamkan oleh islam, kecuali yang disebut pertama, yaitu perkawinan al-
wiladah. Dalam hadi diriwayatkan Imam Abu Dawud (w. 889 M) yang bersumber dari Aisyah binti Abi
Bakr (w. 678 M) disebutkan empat bentuk pernikahan zaman jahiliah, semuanya diharamkan kecuali
pernikahan seperti orang-orang sekarang.

2. Relasi Suami-Istri

Bentuk-bentuk perkawinan pra Islam di atas sebetulnya merupakan bentuk implementatif dari
konsep kepemilikan (tamalluk) dalam perkawinan. Relasi antara suami isri adalah seperti relasi antara
Tuhan, majikan dan pemilik; relasi antara penguasa dengan hamba, budak, yang dimiliki, yang dikusai.
Karena itu, dalam tradisi pra Islam, perempuan diperlakukan tidak adil. Jika suami mati meninggalkan
istri dan anak-anak tiri, maka anal lelaki tertua berhak mendapatkan istri ayahnya.

3. Poligami

Tradisi poligami bangsa Arab pra Islam adalah menikahi lebih dari satu wanita secara sewenang-
wenang dan tanpa batas. Karena itu, Al-Qur’an (surat al-Nisa. Ayat 3) terun melakukan koreksi atas
praktik poligami yang zalim yang artinya ;

“Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Ketika Al-Qur’an member batasan empat istri saja dalam suatu kehidupan perkawinan, tidak
sediki dari para sahabat dan tabi’in yang tetap masih “berpetualangan”dengan mengawini lebih dari
empat orang perempuan, tentu tidak melanggar Al-Qur’an karena dilakukan dengan cara kawin-cerai,
sehingga yang berada di bawah tangan mereka tetap empat istri.
4. Penceraian

Menurut Hammudah ‘Abd, al-Ati (w. 1976 M) bangsa Arab pra Islam tidak mengenal perceraian.
Ia dapat melepaskan seluruh kewajiban/kontrak terhadap istrinya dengan jalan pembayaran sebagian
mahar yang mungkin masih tersisa pada ayah atau wali istrinya dan melepaskan diri dari istrinya dengan
menyatakan pernyataan cerai. Islam datang tidak menghapus institusi penceraian, tetapi mengatur dan
memberi arah kepada pemberian hak atas perempuan meskipun diakui perceraian adalah sesuatu yang
tidak disukai. Di antara hak-hak yang diperoleh istri pasca perceraian adalah hak pengasuhan terhadap
anak, hak mut’ah, hak atas mahar dan lain-lain.

5. Mahar

Kelima bentuk perkawinan bangsa Arab pra Islam di atas ada maharnya, kecuali perkawinan al-
syighar. Karena konsep perkawinan adalah kepemilikan (tamalluk), maka mahar dimaknai sebagai media
untuk membeli wanita. Sedangkan bagi wali, mahar dianggap sebagai kompensasi atas jasa mereka yang
telah membesarkan dan merawat purtinya.jika mahar pra Islam dipandang sebagai harga dari seorang
perempuan, maka dalam islam mahar merupakan tanda keseriusan suami untuk mengawini dan
mencintai perempuan sebagai penghormatan terhadap kemanusiaannya, dan sebagai lambang
ketulusan hati untuk mempergaulinya secara baik dan patut.

6. Hak Perkawinan

Pada zaman jahiliah atau pra Islam, hak perkawinan ada pada ayah. Jika ayah sudah meninggal
dunia, maka perkawinan beralih kepada saudara laki-laki. Dalam perkawinan al-syighar, biasanya sang
wali (ayah maupun saudara laki-laki) akan mengatakan kepada pria yang akan menikahi putrinya atau
saudaranya dengan ungkapan: “aku akan menikahkan putriku (atau saudariku) denganmu, jika engkau
memberikan putrimu (atau saudarimu) untuk menjadi istriku”. Jika keduanya sepakat dan setuju, maka
masing-masing perempuan yang ditukar itu telah menjadi mahar bagi kedua laki-laki itu tersebut.

C. System Ekonomi dan Hukum

1. System Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan dan pertanian. Madinah
(sebelumnya bernama Yatsrib) adalah daerah yang luas dan subur, sehingga mayoritas penduduknya
bernama pencaharian pertanian dan peternakan, terutama peternakan unta. Sedangkan kota Mekkah
adalah daerah yang gersang dan tandus, serta bebatuan. Karena itu, mayoritas penduduknya berbisnis
sehingga kota Mekah dikenal sebagai kota perdagangan. Dalam bidang perdagangan, masyarakat Arab
pra Islam memiliki tradisi hukum pinjam, bunga, dan tradisi ihtikar. System hutang piutang juga telah
memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat umum bangsa Arab khususnya di
bidang perekonomian. Dalam hal hutang emas ataupun uang, juga berlaku riba. Ketika debitur dengan
menagih sementara belum dapat membayar, maka kreditur bersedia dilipatgandakan hutangnya hingga
menjadi 100.
Islam datang melarang dan mengharamkan praktik ihtikar dan ribah, karena menyebabkan
disequilibrium ekonomi dan memperkuat kelompok orang kaya. Tetapi penggunaan uang dibiarkan oleh
Islam, saat mana masyarakat Arab pra-Islam menggunakan mata uang dinar dan dirham. Satu dinar pada
masa itu setara dengan10 dirham. Dinar sendiri adalah mata uang Romawi yang dibuat dinegeri Romawi,
berukiran gambar raja dan bertuliskan huruf Romawi.

2. System Hukum

Dalam bidang hukum terutama hal pelanggaran hukum pidana, seperti sanksi atas pelaku
pembunuhan, masyarakat Arab pra Islam menetapkan hukum qishash dan diyat. Menurut Wahbah al-
Zuhaili (w. 2015 M), kata qishash digunakan untuk menunjukkan arti hukum, karena orang yang
menuntut qishash mengikuti jejak kejahatan pelaku, lalu membalasnya dengan melukainya misalnya.
Dari pengertian ini, kata qishash dimaknai dengan membalas atau menghukum pelaku sama dengan apa
yang telah ia lakukan, yaitu dibunuh. Islam tidak menghapus sistem hukum qishash dan diyat, justru Al-
Qur’an melegitimasi keberlakuan hukum keduanya, sebagaimana termaksud dalam surat al-Baqarah
ayat 178. Keluarga korban tetap memiliki wewenang untuk menuntut balas balas, tetapi tidak boleh
melampaui batas sebagaimana dalam surat al-Isra’ ayat 33.

Akomodasi Islam Terhadap Budaya Lokal di Indonesia


A. Islam Nusantara: Islam Akomodatif Budaya Lokal

Islam Nusantara dinamakan sebagai proses penghayatan dan pengalaman lokalitas umat yang
tinggi di Nusantara. Keberhasilan Islam menjadi agama Nusantara yang damai tak bisa dilepaskan dari
daya adaptasi dan resiliensi pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan lokal. Menurut Zainul Milal Bizawie
Islam Nusantara adalah Islam yang Khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai
tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.menurut Mujamil Qomar, akulturasi yang paling dominan
terjadi antara Islam dengan budaya (tradisi) Jawa, sebab keduanya sama-sama kuat. Kebudayaan dan
tradisi Jawa di masa Islam, sejak berdiri dan kejayaan kerajaan Demak, Pajang hingga Mataram tetap
mempertahankan tradisi Hindu-Budha. dan Animisme-Dinamisme sebagai produk budaya pra Hindu-
Budha.

Akomodatif Hukum Islam atas Budaya Lokal di Indonesia

1. Harta Bersama

Salah satu tradisi dan budaya lokal yang diabdosi menjadi hukum Islam di Indonesia adalah harta
bersama. Harta bersama adalah harta suami istri yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, baik
secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta itu
terdaftar. Pada prinsipnya, pasal-pasal ini menegaskan pembagian harta bersama antara suami dan istri
baik yang cerai hidup maupun yang cerai mati, atau karna salah satunya hilang, masing-masing mereka
mendapat seperdua/setengah dari harta bersama. Ratno Lukito berpendapat bahwa konsep
kepemilikan harta benda dalam perkawinan ini merupakan produk hukum adat dan diderivasikan dari
premis filosofis nilai-nilai lokal yang menetapkan keseimbangan antara suami dan istri dalam kehidupan
perkawinan. Kecuali itu, aturan-aturan tentang harta bersama di atas menunjukan usaha-usaha
menunjukan oleh para eksponen hukum Islam di Indonesia untuk mengakomodasikan hukum Islam
dengan hukum adat.

2. Wasiat Wajibah

Selain harta bersama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengadopsi hukum adat melalui
institusi wasiat wajibah. Dalam masyarakat yang patrilineal seperti masyarakat Batak, di Sumatra Utara,
atau dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, di Sumatra Barat, lembaga adopsi sering dihubungkan
dengan dominasi “politis”dari ayah atau ibu dalam keluarga. Sementara dalam sistem kewarisan Islam,
hubungan darah adalah syarat sah bagi pembagian harta warisan dari pewaris kepada ahli waris. Namun
dalam pasal 209 KHI disebutkan bahwa anak angkat dan orang tua angkat adalah penerima wasiat
wajibah dengan maksimum penerimaan sepertiga dari harta warisan. itu berarti antara anak angkat
dengan orang tua angkat dapat saling mewarisi dengan peroleh pembagian sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan. Dedi Supriyadi menilai rumusan hukum pasal 209 tersebut sebagai rumusan baru
yang dapat mendistribusikan harta kekayaan Islam secara ma’ruf kepada orang yang bukan ahli waris.

C. Pola Akomodatif Islam atas Budaya Lokal

Seluruh uraian di atas menunjukan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap budaya.
Secara historis-sosiologis, kehadiran Islam awal tidak langsung menolak dan mengharamkan seluruh
adat, tradisi dan kebudayaan bangsa Arab. Sebelum Islam hadir, masyarakat Arab pra Islam berprofesi
sebagai pedagang. Al-Qur’an hanya mengubah tata cara dan gaya hidup (overt culture) dan bukan
mengganti sebuah adat istiadat. Tata cara dan gaya hidup yang dipromosikan bertujuan untuk
menghapus disekuilibrium ekonomi dan sosial masyarakat Arab. Karena itu praktik riba dan tipu daya di
larang (Q.S.al-baqarah: 275 dan 282). Sebaliknya ditegaskan agar transaksi dilakukan atas prinsip suka
rela (Q.S. al-nisa: 29), tercatat (Q.S. al-baqarah: 282), dan meluruskan timbangan saat transaksi (Q.S. al-
Isra :35, al-Syu ara : 181-182, dan al-Rahman: 9). Model kedua (taghyir), menerima tradisi tetapi dengan
cara melakukan perubahan atas tradisi tersebut sehingga sejalan dengan ajaran Islam. Dengan ungkapan
lain, tradisi Arab pra Islam dilanjutkan keberadaan dan pelaksanaannya tetapi di lakukan rekonstruksi
agar tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. model ketiga (tahrim), menghapus tradisi Arab pra Islam
karena bertentangan dengan ajaran Islam, seperti judi, minum khamar, riba dan perbudakan.

Anda mungkin juga menyukai