Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

USHULUDDIN DAN BERBAGAI ASPEKNYA II

Pengaruh Islam terhadap Masyarakat pada Aspek Spiritualitas dan Ekonomi

Dosen: Prof. Hamdani Anwar, MA

Oleh: Halimatussa’diah

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR MAGISTER


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021
A. Pendahuluan

Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu yang ikut membentuk watak,
kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh Islam berarti peran Islam dalam
membentuk ketiga unsur pengaruh di atas. Hal ini sangat menarik untuk diteliti karena Islam
memang sebagai agama memenuhi persyaratan ketiganya, karena terdapat perintah kaffah
dalam al-Qur’an agar memasuki Islam secara kaffah. Istilah kaffah dapat diartikan setiap
dimensi yang ada dalam Islam.1Dari sini dapat dipahami bahwa Islam adalah agama yang
mengatur berbagai aspek dalam kehidupan.

Oleh karena itu, Islam tidak seperti agama-agama besar lainnya, memberikan kepada
pengikut-pengikutnya suatu resep terperinci bagi sebuah sistem ekonomi. Hal itu ditetapkan
melalui al-Qur’an dan Sunnah. Khususnya masalah perpajakan, anggaran belanja pemerintah,
pewarisan, hak milik pribadi, kesejahteraan sosial dan ekonomi, pembungaan, kedudukan
tanah, tingkat gaji,, serta faktor-faktor lainnya telah mendapatkan perhatian dan karenanya
merupakan suatu komponen Islam yang integral.2 Islam juga tidak absen, bahkan sangat
menekankan masalah spiritual (kerohanian) pengikutnya karena ritual fisik seberapa pun
pentingnya dalam kehidupan keagamaan adalah simbol. Paling jauh adalah aktivitas yang
membantu pelakunya mengoperasikan kerohaniannya dengan lebih baik. Betapapun juga
terkait etika, hukum, politik, dan soal-soal profan lainnya, puncak keberagamaan selalu ada
di alam rohani.3

Pembahasan pengaruh Islam terhadap ekonomi dan spiritualitas masyarakat (people)


sangatlah umum. Oleh karena itu penulis membatasinya dengan mengemukakan beberapa
contoh pengaruh Islam dalam aspek batiniyah dan ekonomi yang dianggap paling besar
pengaruhnya terhadap masyarakat.

B. Pengaruh Islam dari Aspek Batiniyah


1. Pengertian Batiniyah

Batiniyah dalam KBBI diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan batin
(jiwa atau hati) atau yang disebut juga spiritualitas. Dalam kehidupan sehari-hari,
spiritualitas sering dilawankan dengan kata “material” atau “korpolitas”. Di sini,
1
Hal ini terkait perintah memasuki Islam secara kaffah, yakni memasuki keseluruhan aspeknya dengan
tujuan agar tidak timbul perselisihan di antara masyarakat karena mengikuti hawa nafsu masing-masing.
Muhammad Mutawally al-Sya’rawiy, (Beirut: Ikhbâ al-Yaum,1991), J. 2, h. 883
2
John L. Esposito, Islam dan Pembangunan (Rineka Cipta, ), h. 55
3
Haidar Bagir, https://mizan.com/2016/09/09/tentang-agama-dan-spiritualitas/, (diakses pada tanggal
01/05/2021, diterbitkan juga di harian Kompas, 9 September 2016).

1
spiritualitas berarti berkaitan dengan roh yang berlawanan dengan materialitas yang
bersifat atau berkaitan dengan kebendaan atau korporalitas yang berarti bersifat tubuh,
badani atau berkaitan dengan tubuh atau badan. Selain itu dapat diartikan hidup shaleh
dan berbakti kepada Allah. Spiritualitas dapat juga diartikan devosi, hidup batin, hidup
rohani. Akan tetapi, meskipun ketiga arti itu berkaitan, namun bukanlah arti mendasar
dari istilah spiritualitas. Dalam arti sebenarnya, spiritualitas berarti hidup berdasarkan
atau menurut roh. Dalam konteks hubungan dengan Yang Transenden, roh itu adalah Roh
Allah. Spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan Roh
Allah. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud membuat diri dan hidupnya dibentuk
sesuai dengan Kehendak Allah.4

2. Contoh Pengaruh Islam terhadap Aspek Batiniyah Masyarakat

Berdasarkan pencarian penulis, maka pembahasan spiritualitas dalam Islam yang


memberi pengaruh hingga saat ini dalam masyarakat dapat ditemui pada pembahasan
tasawuf dan irfan. Selain itu, juga terdapat pembahasan tentang fenomena spiritualitas
yang berpengaruh di Indonesia.

Penjelasan keduanya akan dipaparkan secara khusus di bawah ini:

a. Tasawuf
1) Sekilas sejarah tasawuf

Pengaruh Islam terhadap batiniyah/spiritualitas masyarakat tidak terlepas dari


kondisi dan situasi zaman yang hadapi masyarakat serta respon dan bagaimana mereka
memposisikan Islam sebagai agama yang menjaga aspek batiniyah. Kehidupan rohaniah
yang bersifat esoterik (batini) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkup ajaran
Islam. Begitu juga pemikiran tasawuf sebagai salah satu pengaruh yang menuntun
batiniyah masyarakat juga berubah seiring berkembangnya zaman.

Pada masa Nabi saw, kehidupan rohaniah terimplementasi dalam kehidupan Nabi
Muhammad saw. Terlihat nyata ketika beliau ber-khalwat (menyepi),ber-ta’ammul
(merenung) dan beribadah secara khusyuk dengan membawa sedikit bekal. Dari situ
beliau memiliki jiwa yang bersih dan siap untuk menerima tugas kerasulannya. 5
Ketekunan beribadah, kesederhanaan dalam kehidupan, dan akhlak mulia yang dimiliki
Nabi saw kemudian mewarnai kehidupan para sahabat beliau. Mereka meniru kehidupan
Nabi saw dan membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama. Bahkan di antara
mereka ada sekelompok sahabat yang tekun beribadah dan hidup zuhud. Mereka dikenal
dengan sebutan Ahl al-Shuffah.6 Pada masa ini istilah populer yang digunakan adalah

4
Agus M. Hardjana, Religiositas Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 64
5
Muhammad Husain Haikal, Hayat Muhammad, (Kairo: Mathba’at al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1969),
h. 131
6
Ibrahim Basyuni, Nasy’at al-Tasawwuf al-Islamiy, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), h. 9

2
zahid dan ‘abid, hal ini ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih
mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk ibadah dan
mengabaikan keasyikan duniawi.7 Pada masa ini pengaruh Islam yang direpresentasikan
oleh pribadi Rasulullah saw terlihat murni karena ajaran Islam itu sendiri, karena
kecenderungan para sahabat dalam menenuki agama dan beribadah serta sikap zuhud
mereka tidak lain berasal dari cahaya batiniyah Rasulullah saw yang menular kepada
mereka.

Selanjutnya pada masa umat Islam mengalami konflik politik yang cukup serius,
yang dimulai dari terbunuhnya Usman bin Affan, munculnya peperangan yang panjang,
seperti perang shiffin yang menghasilkan tahkim, perang Jamal, serta perang-perang
dengna Khawarij pada masa Ali bin Abi Thalib. Seluruh perisitiwa ini berujung pada
perpecahan yang semakin memperkuat identitas kelompok-kelompok dalam Islam,
seperti Syiah, Khawarij, dan Murji’ah. Perpecahan di tubuh umat Islam ini,
bagaimanapun membawa pengaruh terhadap kehidupan keberagamaan mereka. Sebagian
sahabat Nabi yang tidak menyukai situasi konflik dan kericuhan politik itu, memilih
sikap mengasingkan diri (uzlah).8 Pengaruh Islam terhadap kerohanian para sahabat pada
masa ini terlihat tidak independen serta tidak murni merupakan keinginan mereka, namun
juga tercampur dengan kondisi caruk-maruk keadaan pada saat itu, sehingga sikap uzlah
di sini lebih tepat merupakan pelarian diri dari situasi yang penuh konflik menuju situasi
tenang dan damai.

Karena tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan


Tuhan, sehingga didasari benar bahwa seseorang berada di kehadirat Tuhan. Sedangkan
esensinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.9

Namun tidak sedikit kalangan Islam yang tidak menjadikan tasawuf sebagai usaha
untuk meningkatkan hubungannya dengan Tuhan. Mereka yang menolak tasawuf dalam
konteks kenegaraan sebenarnya hanya dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi dan Republik
Turki. Alasan pelarangannya pun sangat berbeda. Saudi melarang tasawuf karena dinilai
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni (puritanime ortodoks), sedang Turki
melarangnya karena bertentangan dengan paham hidup modern (sekularisme).10

2) Pengaruh Tasawuf di masa Modern

Kehidupan yang semakin kompetitif dan daya saing semakin keras berdampak
banyaknya manusia yang mengalami stress dan frustasi yang luar biasa. Masyarakat
modern secara tidak langsung akan menganut dan mengikuti pola hidup materialistis,
7
Zuherni AB, Sejarah Perkembangan Tasawuf, Subtantia, Vol. 13, No. 2, (2011): 249-255
8

9
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 56
10
Nurchalis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 54)

3
kapitalis, hedonis dan individualis. Untuk meminilisir hal tersebut manusia perlu disirami
dan disinari oleh nilai-nilai ajaran Islam yang penjabaran serta penerapannya terdapat
dalam ajaran tasawuf.11

Tasawuf dalam kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan dalam


menuntaskan permasalahan dan penyakit sosial yang ada, amalan yang terdapat dalam
ajaran tasawuf akan membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan dunia menjadi
manusia yang arif, bijaksana, professional dalam kehidupan bermasyarakat. 12 Tarekat
sebagai organisasi tasawuf yang dipimpin oleh seorang syaik memiliki pengaruh dan
otoritas sangat kuat dalam tarekat dibanding tokoh masyarakat lainnya. 13 Hal ini tentu
sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat yang tergabung dalam tarekat sehingga
peran pemimpin sangat menentukan baik dan buruknya mereka.

b. Irfan
1) Sekilas Sejarah Irfan

Sejarah Irfan tidaklah berbeda dari tasawuf karena pada asalnya irfan dan
tasawuf adalah hal yang sama. Pemisahan istilah ini dikarenakan adanya sebagian
defenisi dan realita yang cenderung menggambarkan tasawuf secara negatif sebagai
aktivitas seseorang yang cenderung mengasingkan diri dari masyarakat untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga muncullah istilah ‘irfan. Dalam pandangan
mazhab Syiah, istilah tasawuf diganti dengan istilah ‘irfan yang berarti pengenalan
atau pengetahuan. Dalam literature Barat, kata ini sering diartikan dengan kata gnosis
atau pengetahuan yang telah melampaui knowledge dan science. ‘Irfan dalam Syiah
adalah kecenderungan menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan
batiniyah.14 Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan dimensi spiritualisme
Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas, akal dengan hati,
serta mensinergikan antara pencapaian pencerahan mistikal dengan pemahaman
rasional-filosofis mengenai pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah
tersebut. Atau dengan kata lain irfan dalam Syiah merupakan nama lain dari tawasuf
falsafi.15

Perbedaan mendasar antara safar (suluk) yang dilakukan oleh penempuh jalan
tasawuf dan irfan, menurut Muthahhari, amaliah tasawuf bersifat statis, tasawuf
hanya berusaha menghiasi jiwa kita yang kosong dengan men-tajalli atau men-
tahalli-kan asma-asma Allah. Sementara irfan lebih menekankan pada upaya

11
M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf Manusia, Etika dan Makna Hidup, (Bandung:
Nuansa, 2004), h. 16
12
M. Arif Khairuddin, Peran Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern,Vol 27, No.1, (2016): 113-
130.
13
Lindung Hidayat Siregar, Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial, MIQOT, Vol. XXXIII, No. 2 (2009): 169-187
14
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Jakarta: Lentera Basritama, 2004), h. 25
15
Sabara, Pemikiran Tasawuf Murthada Muthahhari, Al-FIKR, Vol. 20, No. 1 (2016): 147-166

4
mengajak manusia untuk melakukan safar yang sangat panjang. Oleh karena itu, guru
irfan biasa juga disebut dengan al-thayr al-qudsi (burung suci) yang mengajak
manusia (salik) untuk mengembara melintasi alam-alam ruhani.16

2) Pengaruh ‘Irfan di Masa Modern

Pengaruh ‘Irfan yang berkembang di kalangan Syiah di masa Modern erat


kaitannya dengan revolusi Republik Islam Iran. Khomeini lebih banyak dikenal
sebagai ideologi Revolusi Islam Iran tahun 1978-1979 ketimbang seorang pemikir
dan sufi di bidang irfan. Padahal dalam hidupnya ia melaksanakan praktek
kezuhudan, namun baginya tidak cukup dengan hal tersebut, melainkan mampu
mentransformasikan ajran irfan ke dalam kehidupan sosial. Pemikirannya yang paling
menonjol adalah kajian seputar masalah irfan. 17

Pengaruh irfan pada diri Khomeini tidak hanya berhenti pada dirinya sendiri,
namun menjaungkau masyarakat Iran pada masanya. Ia menegaskan bahwa irfan
bukanlah sekedar topik untuk dipelajari, diajarkan dan ditulis. Akan tetapi, irfan
senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian intelektual dan spiritual
beliau. Hal ini pun tampak jelas dalam berbagai aktivitas politik beliau bertahun-
tahun kemudian yang sarat akan unsur irfan.18

3) Spiritualitas di Tanah Air

Di Tanah Air, terdapat dua model spiritualitas. Pertama, model spiritualitas


kelembagaan. Model spritulitas ini secara garis besar dipilah menjadi dua bagian. Pertama,
tarekat yang (diyakini) memiliki silsilah (genologi spiritualitas) resmi, mulai dari mursyid
sampai kepada Rasulullah saw.19 Walau awalnya tarekat hanyalah dimaksudkan sebagai cara,
metode dan jalan yang ditempuh seorang sufi menuju pencapaian spiritual tertinggi,
pensucian diri atau jiwa, yaitu dalam bentuk intensifikasi dzikr Allah, berkembang secara
sosiologis menjadi sebuah institusi sosial keagamaan yang memiliki ikatan keanggotaan yang
sangat kuat. Kedua, model spiritualitas non kelembagaan yang disebut oleh Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF sebagai gerakan dakwah sufistik. 20 Contoh dari model ini
antara lain Majelis Zikir Ustadz Arifin Ilham, Majelis Zikir Ustadz Haryono dan Manajemen
Qolbu Daarut Tauhid. 21

16
Agus Efendi, “Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Ahlul Bait”, dalam Sukardi (ed), Kuliah-kuliah
Tasawuf, (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 83-84
17
Andi Eka Putra, Konsep ‘Irfan dalam Sajak-sajak Imam Khomeini, Kalam, Vol.9, No. 1, (2015): 115-126
18
Abdar Rohman, Apa Kata Tokoh Sunni tentang Imam Khomeini, (Depok: Pustaka Iiman, 2009), h. 45
19
Abdullah ibn Alwi al-Haddad, Kitab al-Nafa’is al-Uluwiyyat fi al-Masail al-Shufiyyah, (Kairo: Narhba
‘al-Halaby, t.t), h. 64. Sikap uzlah adalah sikap mengasingkan diri dari perbuatan buruk (dosa).
20
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Islam, Negara, dan Civil Society, (Jakarta: Paramadina,
2005), h. 76
21
Abdul Wahhab al-Sya’raniy,al-Anwar al-Qudsiyah fi Ma’rifat Qawaid al-Sufiyyah, Juz 1-2, (Beirut:
Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), h. 13

5
C. Aspek Ekonomi
1. Pengertian Ekonomi

Istilah ekonomi berasal dari kata oikonomia dari bahasa Yunani. Kata tersebut
merupakan turunan dari dua kata, yakni oikos dan nomos. Oikos berarti rumah tangga,
sedangkan nomos berarti mengatur. Jadi arti aslinya adalah mengatur rumah tangga.
Kemudian berkembang menjadi arti baru, sejalan dengan perkembangan ekonomi
menjadi suatu ilmu. Sedangkan menurut Adam Smith, ekonomi adalah ilmu kekayaan
atau ilmu yang khusus mempelajari sarana-sarana kekayaan suatu bangsa dengan
memusatkan perhatian secara khusus terhadap sebab-sebab material dari kemakmuran,
seperti hasil-hasil industri, pertanian dan sebagainya.22

Sebagai ilmu, ekonomi adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan
pemakaian barang-barang serta kekayaan, pemanfaatan uang, tenaga, dan sebagainya
yang berharga.23 Ekonomi adalah sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumber daya
material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia. Karena ekonomi merupakan ilmu tentang perilaku dan tindakan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang bervariasi dan berkembang dengan sumber daya
yang ada melalui pilihan-pilihan kegiatan produksi, konsumsi atau distribusi.24

Terkait pemenuhan kebutuhan materi manusia al-Qur’an banyak menganjurkan


manusia untuk mempelajari dan merenungkan segala hal disekitarnya agar dapat
dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia serta seluruh makhluk tanpa harus melakukan
kerusakan di bumi. Misalnya ayat yang memerintahkan untuk memperhatikan agar
manusia memperhatikan makanannya25, memanfaatkan hewan ternak baik itu untuk
dikonsumsi atau dijadikan alat transportasi. Terkait distribusi, al-Qur’an melarang
tindakan menimbun harta dan membagikannya kepada yang berhak. Dari sisi produksi,
al-Qur’an banyak menyinggung aga manusia mempelajari dan mengeksplorasi alam
secara bijak, baik itu yang ada di laut, darat dan apa yang diturunkan Allah dari langit.26

2. Contoh Pengaruh Islam terhadap Aspek Ekonomi Masyarakat


1. Pemikiran Ekonomi Islam

Pemikiran ekonomi Islam merupakan respon para pemikir muslim terhadap


tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut
dipandu dan diilhami oleh ajaran al-Qur’an dan sunnah, ijtihad (pemikiran) dan

22
Hendra Safri, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo,2018), h. 3
23
KBBI ,
24
Hendra Safri, Pengantar Ilmu Ekonomi, h. 9
25
Misalnya pada surat ‘Abasa ayat 24.
26
Misalnya pada surat al-Baqarah ayat 164.

6
pengalaman empiris mereka. Para pemikir ekonomi Islam biasanya adalah para ahli
ekonomi Islam yang diminta pendapatnya oleh pemerintah di zamannya, atau seorang
ulama yang mengkritisi kebjiakan ekonomi pemerintah pada masanya atau mereka
mengusulkan sebuah pemikiran ekonomi Islam yang baik menurutnya. Banyak
pemikir ekonomi Islam, penulis membatasinya hanya pada tiga orang yang perannya
besar dan melahirkan hasil pemikiran yang di zaman selanjutnya dianggap popular
dan berpandangan ke depan.

a. Pemikiran Abu Yusuf

Abu Yusuf dalam bidang ekonomi terkenal dengan Kitab al-Kharaj yang
membahas tentang pertanian dan perpajakan yang didasarkan pada perintah dan
pertanyaan Khaifah Harun al-Rasyid sebagai buku petunjuk administratif dalam
mengelola baitulmal. Sekalipun berjudul al-Kharaj, kita tersebut tidak hanya
mengandung pembahasan tentang al-kharaj, melainkan juga meliputi berbagai
sumber pendapatan negara lainnya, seperti ghanimah, fai ushr, jizyah, dan shadaqah,
yang dilengkapi dengan cara-cara mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis
harta tersebut sesuai dengan syariat Islam berdasarkan dalil naqliyah dan aqliyah.
Penggunaan dalil-dali rasional hanya dilakukan Abu Yusuf pada kasus-kasus tertentu
yang menurutnya tidak diatur di dalam nash, ia menggunakannya dalam konteks
untuk mewujudkan al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum) yang merupakan
landasan pemikirannya. 27

Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil


pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian.
Menurutnya ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih
besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal
pajak ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang beradab-abad kemudian
dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Poin kontroversialnya
adalah masalah penetapan harga, ia menentang penguasa yang menetapkan harga.
Argumennya didasarkan pada sunnah Rasul, tapi ia tidak menolak peranan
permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.28

b. Pemikiran Abu Ubaid

Abu Ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi29 Islam pertama. Selain Ahli
hadis, ia juga merupakan ahl al-ra’yu. Dalam kitab al-Amwal, Abu Ubaid secara
singkat membahas hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat dengan studi

27
Azhari Akmal Tarigan dkk, Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia. (Bandung: Cipta Pustaka
Media), h. 123
28
Adiwarman, edisi 4, h. 11-12
29
Ia dikenal sebagai ini karena kitabnya yang berjudul Al-Amwal (harta) menjadi rujukan para pemikir
Islam dalam bidang ekonomi, meskipun sebelumnya pernah ada seperti Abu Yusuf.

7
khusus mengenai pemerintahan yang adil. Ia juga menguraikan berbagai jenis
pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta
berbagai landasan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Dalam hal ini, ia
memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti
fa’i (jizyah, kharaj, dan ushr) dan bagian khums serta pengalokasiannya, baik pada
masa Rasulullah maupun setelahnya. Selain itu juga dibahas masalah pertanahan,
administrasi, hukum internasional, dan hukum perang. Dapat dikatakan kitab ini
secara khusus menfokuskan perhatiannya kepada keuangan publik. Jika dievaluasi,
kita ini dari sisi filosofi hukum menekankan keadilan sebagai prinsip utama.

Tulisan-tulisannya yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah


menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam
mengambil suatu kebijakan atau wewenangnya dalam memutuskan perkara selama
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ketika membahas tarif atau presentase
untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung pentingnya keseimbangan antara kekuatan
financial penduduk non muslim yang dalam terminology financial modern disebut
capacity to pay dengan kepentingan golongan muslim yang berhak menerimanya.
Kaum muslim dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk nonmuslim melebihi
apa yang diperbolehkan dalam perjanjian damai. Ia sangat menentang pembagian
harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat
dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan.
Berkaitan dengan distribusi zakat, ia mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah
menurut kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi), namun aat
membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan
keapda para pengumpulnya (amil), ia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang
adalah sesuai dengan haknya”.30

c. Pemikiran Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah lahir di kota Harran dari keluarga yang berpendidikan tinggi
yang merupakan ulama besar mazhab Hanbali. Ia adalah fuqaha yang mempunyai
karya pemikiran dalam berbagai bidang yang luas, termasuk dalam bidang ekonomi.
Dalam bukunya Al-hisbah fi’l Islam dan al-Siyasah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyah ia
banyak membahas problem ekonomi yang dihadapi saat itu, baik dalam tinjauan
sosial maupun hukum Islam. Meskipun demikian, karyanya banyak mengandung ide
yang berpandangan ke depan, sebagaimana kemudian yang banyak dikaji oleh
ekonom Barat. Ibnu Taimiyah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar
yang bebas (free market), peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan
negara. Negara harus mengimplementasikan aturan main yang Islami, sehingga

30
Boedi Abdullah, h. 173-181

8
produsen, pedagang, dan para agen ekonom lainnya dapat melakukan transaksi secara
jujur dan fair. 31

2. Praktek Ekonomi Islam


a. Baitulmal sebagai Pusat Kendali Ekonomi di Era Daulah Islamiyah

Dalam pemerintahan Islam sepanjang sejarah dikenal lembaga khusus yang


mengurus keuangan negara dengan nama baitulmal. Baitulmal adalah pranata
ekonomi yang juga menyangkut kebijakan politik yang diadakan pemerintahan Islam
untuk mengurus keuangan negara. Maka, baitulmal melakukan fungsi bank sentral
zaman sekarang. Ia bertugas menerima, menyimpan dan mendistribusikan uang
negara sesuai dengan aturan syariat. Secara fungsional lembaga ini telah ada sejak
Nabi Muhammad saw memimpin Negara Madinah. 32 Di antara sumber pendapatan
negara pada masa itu di antaranya sumber primer yaitu zakat, ushr (zakat hasil
pertanian dan buah-buahan). Sumber sekunder berupa uang tebusan perang,
pinjaman-pinjaman, khums, amwal fadhilah (harta tanpa ahli waris), wakaf, nawaib
(pajak khusus orang kaya saat masa darurat), zakat fitrah, kafarat dan sedekah.33

Di antara prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi yang diajarkan oleh Rasul
saw berdasarkan al-Qur’an:

1. Allah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolute seluruh alam semesta.


2. Manusia hanyalah khalifah Allah di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya.
3. Semua yang didapatkan dan dimiliki manusia adalah atas rahmat Allah. Oleh
karena itu manusia yang kurang beruntung punya hak atas sebagian kekayaan
yang dimiliki saudaranya.
4. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
5. Eksploitasi ekonomi dan sebagal bentuknya, termasuk riba harus dihilangkan.
6. Sistem warisan diterapkan sebagai media retribusi kekayaan yang dapat
mengeliminasi berbagai konflik individu.
7. Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang wajib maupun sukarela terhadap
individu yang memiliki harta lebih untuk membantu sesamanya yang tidak
mampu.
8. Penetapan sewa pada zaman Rasul memperoleh perhatian besar dalam rangka
menjaga dan melindungi hak-hak petani dan penggarap dalam penentuan sewa.
9. Baitul Mal, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang menerapkan
konsep baru pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan
negara. Tempat pengumpulan itu disebut Baitul Mal.

31
Ekonomi Islam, Yogyakarta Press: UII-Pers, 2008, h. 111-112
32
Bustanuddin Agus, Islam dan Ekonomi, (Padang: Andalas University Press, 2006), h.133
33
Boedi Abdullah, Peradaban Perekonomian Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2011 ), h. 23

9
10. Harta yang merupakan sumber pendapatan negara disimpan di masjid dalam
jangka waktu singkat untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat
sehingga tidak tersisa sedikitpun. Di antara sumber pendapatan negara pada masa
itu di antaranya sumber primer yaitu zakat, ushr (zakat hasil pertanian dan buah-
buahan). Sumber sekunder berupa uang tebusan perang, pinjaman-pinjaman,
khums, amwal fadhilah (harta tanpa ahli waris), wakaf, nawaib (pajak khusus
orang kaya saat masa darurat), zakat fitrah, kafarat dan sedekah.34

Pada masa pemerintahan Rasulullah, harta yang merupakan sumber


pendapatan negara itu disimpan di masjid dalam jangka waktu singkat untuk
kemudian didistribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikitpun. Pada
masa pemerintahan Abu Bakar melakukan berbagai kebijakan sebagaimana yang
telah dipraktikkan Rasul. Dalam mendistribusikan Baitul Mal, Abu Bakar
menerapkan prinsip persamaan kepada semua sehabat dia membagi harta tersebut
dengan jumlah yang sama. Jika pendapatan negara meningkat, maka seluruh kaum
kaum Muslimin akan mendapat manfaat yang sama dan tidak seorangpun dibiarkan
dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate
demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan
nasional, disamping memperkecil jurang pemisah antara orang kaya dan miskin. 35

Pada zaman Umar terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang memang


banyak ditemukan jika dibandingkan pada masa Rasul saw dan Abu Bakar. Terkait
baitulmal, Umar tidak menghabiskan harta baitulmal sekaligus, tetapi
mengeluarkannya secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Ia juga melakukan
perubahan dalam mendistribusikan harta baitulmal, dengan menggunakan prinsip
keutamaan dimana akhirnya menjadi penyesalannya di kemudian hari dan
menganggap hal tersebut keliru karena membawa dampak negatif terhadap strata
sosial dan kehidupan masyarakat. Pada masanya, baitulmal sudah memiliki cabang-
cabang di setiap ibukota provinsi dan ditunjuknya bendahara negara sebagai
wakilnya. Harta baitulmal merupakan tanggungjawab negara untuk menyediakan
makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai
penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang yang bangkrut, membayar
uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial.
Bahkan Umar pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya.36

Pada masa Utsman, pendistribusian harta baitulmal menggunakan prinsip


persamaan seperti halnya Umar ibn Khattab. Sedangkan Ali bin Abi Thalib yang
sebelumnya tidak menghadiri pertemuan Majelis Syura di jabiya yang dilakukan oleh

34
Boedi Abdullah, Peradaban Perekonomian Islam, h. 25
35
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.
53-58
36
Boedi Abdullah Peradaban Perekonomian Islam,, h. 89.

10
Khalifah Umar terkait status tanah-tanah taklukan yang menyepakati untuk tidak
mendistribusikan seluruh pendapatan baitulmal, tetapi menyimpan sebagian sebagai
cadangan, menolak seluruh hasil pertemuan tersebut. Ia mendistribusikan seluruh
pendapatan dan provisi yang ada di baitul Madinah, Basrah dan Kufah. Sedangkan
pendistirbusian harta baitulmal yang di ada di Sawad urung dilaksanakan demi
menghindari perselisihan di antara kaum Muslimin. Pada masa Ali ini, prinsip utama
dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Ia memberikan santunan
yang sama kepada semua orang tanpa membedakan status sosial atau kedudukannya
di dalam Islam. Sistem administrasi baitulmal, baik di tingkat pusat maupun daerah
berjalan dengan baik. Kerjasama antara keduanya berjalan lancar, maka pendapatan
baitulmal mengalami surplus. 37

Selanjutnya pada masa Bani Umayyah, kondisi baitulmal berubah. Al-


Maududi menyatakan bahwa pada masa sebelumnya dikelola dengan kehati-hatian
sebagai amanat Allah swt dan amanat rakyat, tapi pada masa ini baitulmal berada
sepenuhnya di tangan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh Islam. 38
Terkecuali pada masa Umar bin Abdul Aziz, baitulmal dikembalikan pada fungsi
sesungguhnya, yakni disalurkan kepada yang berhak menerima harta santunan dan
juga untuk semua kepentingan masyarakat umum.39

Kemudian, pada masa Bani Abbasiyah -yang merupakan masa keemasan


Islam- kondisi baitulmal dapat dikatakan sangat stabil dan memiliki pendapatan
meningkat karena diletakkannya dasar-dasar pemerintahan dengan banyak melakukan
konsolidasi dan penertiban administrasi birokrasi. Misalnya pada masa khalifah Al-
Manshur, ia sangat hemat dalam membelanjakan harta baitulmal sehingga ketika ia
meninggal kas negara telah mencapai 810 dirham. 40 Namun, bukan berarti kestabilan
keuangan baitulmal ini menunjukkan pengelolaannya yang selalu benar, karena
ternyata ia menggunakan dana baitulmal untuk diberikan kepada sahabat dan tentara
demi mengokohkan kekuasaan dan menumpas musuh-musuhnya. Kemudian pada
masa Harun al-Rasyid pendapatan baitulmal dialokasikan untuk riset ilmiah dan
penterjamahan buku-buku Yunani, disamping penggunaan umum lainnya. 41 Hingga
pada masa Ma’mun hal ini tetap dilakukan terutama untuk membiayai sekolah seperti
Baitul Hikmah dan lainnya, namun setelah melewati periode ini, dinasti Abbasiyah
mengalami kemunduran dan akhirnya hancur oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 .

37
Adiwarman Azwar Karim, h. 61-85
38
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 100
39
Machsunah, Baitul Mal Masa Umar ibn Abdul Aziz, Tesis, UIN Sunan Ampel, Fak. Adab dan
Humaniora, (2014), h. 51-52
40
Hasyimi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987).
41
Seperti biaya pertahanan, anggaran rutin pegawai, biaya para tahanan dalam penyediaan makanan dan
pakaian musim panas dan dingin. Lihat E. Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok: Gratama, 2010).

11
Sedangkan dalam konteks Indonesia sebagai negara mayoritas muslim dan
berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi, maka peran dan funsinya mengalami
perubahan dan pengaturan pengelolaannya berbeda dengan konsep baitulmal di masa
Daulah Islamiyah. Saat ini baitulmal (rumah harta) di Indonesia termasuk ke dalam
Indsutri Keuangan Non-Bank (IKNB) atau Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS) yang berfungsi hanya menerima dan mengelola titipan dana zakat, infak, dan
sedekah saja serta mengoptimalkan pendistribusiannya sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan yang berlaku. Di samping itu biasanya terdapat fungsi
pengembangan harta dengan orientasi profit melalui baitul tamwil yang terdapat
skema kerjasama kegiatan usaha bisnis berdasarkan akad-akad syariah.42

b. Perbankan Syari’ah sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat

Bank secara bahasa diambil dari bahasa Itali, yakni banco yang mempunyai
arti meja. Dalam bahasa Arab, bank biasa disebut dengan mashraf yang berarti tempat
berlangsung saling menukar harta, baik dengan cara mengambil ataupun menyimban
atau untuk saling melakukan muamalat.43

Secara sederhana, evolusi kegiatan perbankan dalam masyarakat Islam


dimulai dari individu (Nabi atau sahabat melakukan satu fungsi perbankan),
kemudian beralih kepada bentuk jihbiz yaitu seorang individu melakukan tiga fungsi
perbankan (pada masa Bani Abbasiyah), lalu setelah mundurnya peradaban umat
Islam dan penjajahan bangsa-bangsa Barat terhadap negara-negara muslim, maka
evolusi praktek perbankan sesuai syariah sempat terhenti beberapa abad. Baru pada
abad 20 ketika bangsa muslim mulai merdeka, terbentuklah bank syariah modern di
sejumlah negara.44

Praktik perbankan di negara muslim saat penjajahan, diadopsi dari praktif


perbankan Eropa. Praktik perbankan Eropa pertama dibangun pada tahun 2000 SM di
Babylonia45 dengan mengenakan bunga sebesar 20%. Pada tahun 500 SM di Yunani
didirikan Greek Temple suatu lembaga semacam bank.46 Transaksi berbasis bunga
(interest) ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545
membolehkan bunga meskipun tetap mengharamkan riba dengan syarat bunganya
tidak boleh berlipat ganda (excessive). Lalu pada masa Raja Edward VI ia

42
Rita Sari Pertiwi, dkk, Analisis Perkembangan Praktik Baitul Maal Pada Masa Daulah Islamiyah dan
dalam Konteks di Indonesia, Ulûmuna, Vol 6, No. 1, (2020): 63
43
A.Dzajuli dan Yadhli Yanuari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta: Rajawali Press, 2001),
h. 53
44
Abdul Muhith, Sejarah Perbankan Syariah, Attanwir, Vol 1, No. 2 (2012), : 71-84
45
Napak Tilas Perbankan Indonesia, Infobank, No.124 (1990), h. 2
46
Edi Wibowo dkk, Mengapa Memilih Bank Syariah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 17

12
membatalkan kebolehan bunga, nanun tidak berlangsung lama. Ketika ia wafat, ia
digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga.47

Selanjutnya karena bunga ini secara fikih dikategorikan sebagai riba, maka
mulai timbul usaha-usaha di sejumlah negara muslim untuk mendirikan bank tanpa
riba. Pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 40-an, namun usaha
ini tidak sukses.48 Selanjutnya eskperimen berikutnya dilakukan di Pakistan pada
akhir tahun 50-an dalam bentuk lembaga perkreditan tanpa bunga. Namun demikian,
eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern
ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963 dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving
Bank karena mendapat sambutan yang cukup hangat terutama dari kalangan petani
dan masyarakat pedesaan sehingga mengalami peningkatan jumlah deposan hingga
1966/1967. Namun, karena adanya kekacauan politik di Mesir, bank ini mengalai
kemunduran (backward bending) dan diambil alih oleh bank sentral Mesir. Prinsip
nir-bunga ditinggalkan dan kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada 1971,
prinsip ini kembali dibangkitkan di masa rezim Sadat melalui pendirian Nasser Social
Bank. 49

Pada tahun 1070-an perbankan syariah mulai menyebar di beberapa negara


Pakistan, Iran dan Sudan50 dan negara lainnya. Tiga negara tadi bahkan mengubah
seluruh sistem keuangan negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua
lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga.
Kemudian OKI pada tahun 1975 yang terdiri dari 22 negara Islam mendirikan IsDB
(Islamic Development Bank). Bank ini menyediakan bantuan financial untuk
pembangunan negara-negara anggotanya, memainkan peranan penting dalam
penelitian ekonomi, perbankan dan keuangan Islam. Kini, bank yang berpusat di
Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki 57 negara anggota. IsDB mengalokasikan
dananya dalam berbagai sector yang menjadi fokusnya adalah pengembangan sains,
teknologi dan inovasi, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bantuan kemanusiaan,
mendukung wanita dan perempuan di seluruh dunia dengan memberi akses
dana,berpartisipasi dalam pendidikan, program kesehatan, dan emansipasi wanita. 51

Perkembangan perbankan syariah di negara-negara Islam kemudian diikuti


oleh Indonesia. Lahirnya perbankan syariah di Indonesia diawali dengan berdirinya di
bank Muamalat Indonesia pada 1991. Sebelumnya, di Indonesia juga telah didirikan
lembaga-lembaga non bank yang dalam kegiatannya menerapkan sistem syariah.
47
Adiwarman Karim, “Bankir Yahudi pada Zaman Abbasiyah”, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
48
Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, (Kuala Lumpur: Berita Publishing, 1996), h. 3
49
Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, h.3. Lihat dalam Rodney Wilson, Banking and
Finance in the Arab Middle East, (Surrey (England): Mac Millan Publisher, 1983).
50
Rudy Haryanto, Bagi Hasil dan Bank Syariah, Al-Ihkam, Vol.V, No 2, (2010): 244-256.
51
https://www.isdb.org/who-we-are/about-isdb, diakses pada tanggal 23 Mei 2021.

13
Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Februari 2021 ada 2036 Bank Umum
Syariah, 351 Unit Usaha Syariah dan 466 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah 52 yang
jika dibandingkan dengan statistik terlama (Desember 2003) yang diliris oleh OJK,
sesuai urutannya hanya berjumlah 209, 56 dan 84.53

Di antara pengaruh perbankan syariah dalam pertahanan ekonomi di Indonesia


dapat dilihat dari rekam jejaknya. Pada masa krisis tahun 1997-1998 bank syariah
dapat membuktikan ketahanannya walaupun mengalami penurunan profit yang
didapat. Bank Muamalat yang pada dasarnya menggunakan prinsip bagi hasil,
selamat dari krisis akibat produk-produknya yang variatif, seperti contoh produk
pembiayaan Murahabah yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi BI rate, sehingga
sector riil yang menggunakan pembiayaan ini juga selamat dari dampak buruk
kenaikan BI rate. Hal berbeda dialami oleh perbankan konvensional, krisis ekonomi
yang melanda pada saat itu menyebabkan 16 bank dilikuidasi, berikutnya 38 bank,
kemudian 55 bank masuk kategori BTO (Bank Take Over) dalam pengawasan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sedangkan dalam pertumbuhan ekonomi
sektor rill perbankan syariah selaku perantara keuangan berfungsi untuk
mendistribusikan dana dari pihak yang memiliki dana berlebih ke pihak yang
membutuhkan dana melalui sumber-sumber pendanaan yang efisien yang kemudian
menggerakkan sektor-sektor ekonomi dan memacu pertumbuhan ekonomi. 54

Selain itu pengaruh perkembangan keuangan syariah di Barat adalah di


London dengan didirikannya Bank Islam pertama pada tahun 1982. Hampir dua puluh
tahun kemudian, pemerintah Inggris menghapus penghalang pajak untuk produk yang
sesuai dengan syariah, yang bertindak sebagai insentif bagi inverstor penjamin emisi.
Akibatnya pada 2004, FSA menyetujui bank Inggris pertama yang benar-benar
Islami. Pada 2017, Inggris memiliki lebih banyak banyk dan kreditur Islam daripada
negara Barat lainnya. Selanjutnya pada tahun yang sama, perusahaan teknologi
keuangan Islam berbasis di London, Yielder telah menjadi perusahaan pertama yang
mendapat persetujuan peraturan di Inggris. Saat ini terdapat lima bank murni syariah
di Inggris, sementara 17 bank lainnya memiliki unit usaha syariah. 55

52
OJK, Statistik Perbankan Syariah, (2021), h. 5. Dapat diunduh pada: :
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-perbankan-syariah/Pages/statistik-perbankan-
syariah---Februari-2021.aspx
53
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, (2003), h. 2. Dapat diunduh
pada: https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-perbankan-syariah/Pages/statistik-
perbankan-syariah-november-2003.aspx
54
Linda Tamim Umairoh Hasyim, Peran Perbankan Syariah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sektor Rill
di Indonesia, Akrual, Vol. 8, No. 1, (2016): 11-27
55
Republika.co.id, Inggris Negara Barat dengan Bank Syariah Terbanyak, (diakses pada 24 Mei 2021).

14
D. Kesimpulan

Pengaruh Isla terhadap masyarakat pada aspek ekonomi dan batiniyah tidak dapat
dipisahkan satu sama lain karena manusia terdiri dari dua dimensi tersebut. Pada aspek
spiritualitas, pengaruh Islam paling menonjol terlihat pada tasawuf dan irfan, selain itu
terdapat dua bentuk spiritualitas yang mempengaruhi masyarakat di Nusantara. Pada aspek
ekonomi, pengaruh Baitul Mal pada masa lalu sangat besar dalam mengendalikan
perekonomian masyarakat sedangkan pada zaman sekarang yang berpengaruh besar adalah
perbankan syariah yang telah tersebar di berbagai negara Islam ataupun non Islam.

DAFTAR PUSTAKA

AB, Zuherni, Sejarah Perkembangan Tasawuf, Subtantia, Vol. 13, No. 2, (2011)
Agus, Bustanuddin, Islam dan Ekonomi, (Padang: Andalas University Press, 2006)
Bagir, Haidar, https://mizan.com/2016/09/09/tentang-agama-dan-spiritualitas/, (diakses pada
tanggal 01/05/2021, diterbitkan juga di harian Kompas, 9 September 2016).
Basyuni, Ibrahim, Nasy’at al-Tasawwuf al-Islamiy, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969)
Ekonomi Islam, Yogyakarta Press: UII-Pers, 2008
Esposito, John L, Islam dan Pembangunan (Rineka Cipta, t.t)
Al-Haddad, Abdullah ibn Alwi, Kitab al-Nafa’is al-Uluwiyyat fi al-Masail al-Shufiyyah, (Kairo:
Narhba ‘al-Halaby, t.t)
Hardjana , Agus M., Religiositas Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)
Harun, Maidir, Sejarah Kebudayaan Islam¸(Padang: IAIN IB Press, 1999)
Haikal, Muhammad Husain, Hayat Muhammad, (Kairo: Mathba’at al-Sunnah al-
Muhammadiyah, 1969)
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004)
____________________, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008)
Khairuddin, M. Arif, Peran Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern,Vol 27, No.1,
(2016): 113-130.
Labib, Muhsin, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Jakarta: Lentera Basritama, 2004)
Madjid, Nurchalis, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997)
Machsunah, Baitul Mal Masa Umar ibn Abdul Aziz, Tesis, UIN Sunan Ampel, Fak. Adab dan
Humaniora, (2014)
Nasution Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Musyafiq, Ahmad, Spiritualitas Kaum Fundamentalis, Walisongo, Vol 20, No. 1, (2012)
Al-Sya’raniy, Abdul Wahhab,al-Anwar al-Qudsiyah fi Ma’rifat Qawaid al-Sufiyyah, Juz 1-2,
(Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt)

15
Tarigan, Azhari Akmal dkk, Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia. (Bandung: Cipta
Pustaka Media)
Solihin, M. dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf Manusia, Etika dan Makna Hidup,
(Bandung: Nuansa, 2004), h. 16
Siregar, Lindung Hidayat, Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial, MIQOT, Vol. XXXIII,
No. 2 (2009): 169-187
Sabara, Pemikiran Tasawuf Murthada Muthahhari, Al-FIKR, Vol. 20, No. 1 (2016): 147-
166Agus Efendi, “Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Ahlul Bait”, dalam Sukardi (ed), Kuliah-
kuliah Tasawuf, (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 83-84
Putra, Andi Eka, Konsep ‘Irfan dalam Sajak-sajak Imam Khomeini, Kalam, Vol.9, No. 1, (2015):
115-126
Abdar Rohman, Apa Kata Tokoh Sunni tentang Imam Khomeini, (Depok: Pustaka Iiman, 2009),
h. 45
Abdullah ibn Alwi al-Haddad, Kitab al-Nafa’is al-Uluwiyyat fi al-Masail al-Shufiyyah, (Kairo:
Narhba ‘al-Halaby, t.t), h. 64. Sikap uzlah adalah sikap mengasingkan diri dari perbuatan buruk
(dosa).
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Islam, Negara, dan Civil Society, (Jakarta:
Paramadina, 2005), h. 76
Abdul Wahhab al-Sya’raniy,al-Anwar al-Qudsiyah fi Ma’rifat Qawaid al-Sufiyyah, Juz 1-2,
(Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), h. 13
Safri , Hendra, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN
Palopo,2018)
Rita Sari Pertiwi, dkk, Analisis Perkembangan Praktik Baitul Maal Pada Masa Daulah
Islamiyah dan dalam Konteks di Indonesia, Ulûmuna, Vol 6, No. 1, (2020): 63
A.Dzajuli dan Yadhli Yanuari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta:
Rajawali Press, 2001), h. 53
Abdul Muhith, Sejarah Perbankan Syariah, Attanwir, Vol 1, No. 2 (2012), : 71-84
Napak Tilas Perbankan Indonesia, Infobank, No.124 (1990), h. 2
Edi Wibowo dkk, Mengapa Memilih Bank Syariah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h.
17
Adiwarman Karim, “Bankir Yahudi pada Zaman Abbasiyah”, Ekonomi Islam Suatu
Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, (Kuala Lumpur: Berita Publishing,
1996)
Rodney Wilson, Banking and Finance in the Arab Middle East, (Surrey (England): Mac Millan
Publisher, 1983).
Rudy Haryanto, Bagi Hasil dan Bank Syariah, Al-Ihkam, Vol.V, No 2, (2010): 244-256.
https://www.isdb.org/who-we-are/about-isdb, diakses pada tanggal 23 Mei 2021.
OJK, Statistik Perbankan Syariah, (2021), h. 5. Dapat diunduh pada: :
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-perbankan-syariah/Pages/
statistik-perbankan-syariah---Februari-2021.aspx
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, (2003), h. 2.
Dapat diunduh pada: https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-
perbankan-syariah/Pages/statistik-perbankan-syariah-november-2003.aspx
Linda Tamim Umairoh Hasyim, Peran Perbankan Syariah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sektor Rill di
Indonesia, Akrual, Vol. 8, No. 1, (2016): 11-27
Republika.co.id, Inggris Negara Barat dengan Bank Syariah Terbanyak, (diakses pada 24 Mei 2021).

16
17

Anda mungkin juga menyukai