Anda di halaman 1dari 12

ARTIKEL

MATA KULIAH TASAWUF


SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASAWUF

oleh:
Zahra Nabila Afanin (20103042)
Nurkholis Budiman (20103049)
Nilam Tiara Kandi (20103050)

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2021

Abstrak
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang
hamba dengan Tuhannya. Tasawuf merupakan pandangan tentang dunia yang
berpusat pada Tuhan. Tasawuf memang tidak ada penyebutannya di dalam Alquran
maupun Sunnah, tetapi lebih berdasarkan rumusan dan ajaran para guru yang
tentunya tidak bertentangan dengan sumber utama dalam Islam. Esensi tasawuf
sebenarnya sudah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf
sebagai ilmu keislaman lahir belakangan. Dalam sejarah, tasawuf lahir sebagai
akibat dari kondisi sosial, politik, dan kultur pada masa itu. Perkembangan tasawuf
sendiri dibagi menjadi lima fase, yaitu Asketisme, Pengembangan, Konsolidasi,
Falsafi, dan Pemurnian.
Kata kunci: Tasawuf, Sejarah Tasawuf, Perkembangan Tasawuf

Abstract
Sufism is one of the esoteric aspects of Islam as the embodiment of ihsan
which means awareness of communication and the direct dialogue of a servant with
his God. Sufism is a view of the world centered on God. There is no mention of
Sufism in the Qur'an or Sunnah, but rather based on the formulations and teachings

1
of the teachers which certainly do not contradict with the main sources in Islam.
The essence of Sufism has actually existed since the lifetime of the Prophet
Muhammad, but Sufism as an Islamic science was born later. In history, Sufism was
born as a result of social, political, and cultural conditions at that time. The
development of Sufism itself is divided into five phases, that is Asceticism,
Development, Consolidation, Philosophy, and Purification.
Key words: Sufism, History of Sufism, the Development of Sufism

A. PENDAHULUAN
Allah menciptakan manusia di muka bumi untuk menjadi khalifah atau
pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah SWT
menganugerahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu.
Akal berfungsi untuk membedakan antara mana yang baik dan benar dan mana yang
salah dalam segala tindakan dan perilaku.. Sementara nafsu adalah sebuah pemicu
bagi tingkat tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh akal sehingga nafsu ini
dapat menjadi nafsu yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk menghindar dari
perbuatan-perbuatan yang tercela dan membawa dosa maupun nafsu yang buruk,
yakni nafsu yang dilatih untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan salah. Para
ahli sufi berpendapat bahwa hawa nafsu dapat menjadi tabir penghalang untuk
dapat dekat dengan Allah SWT apabila hawa nafsu yang buruk sudah menguasai
diri. Hawa nafsu yang seperti ini akan membawa manusia cenderung memuja
kenikmatan duniawi sehingga pada akhirnya tujuan utama dalam hidupnya ialah
kenikmatan duniawi saja, bukan kenikmatan akhirat.

Berdasarkan alasan pentingnya membentengi diri dari hal-hal yang


munkarat itulah dibutuhkan sebuah metode yang aplikatif untuk memperoleh
ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang bersifat batiniyah, yaitu tasawuf. Tasawuf
merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah
SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang
lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu
tauhid.

2
B. PEMBAHASAN
SEJARAH TASAWUF

Tumbuh dan berkembangnya tasawuf sebenarnya bersamaan dengan


tumbuh dan berkembangnya ajaran agama Islam sejak zaman Nabi Muhammad
SAW. Bahkan kehidupan beliau sudah mencerminkan ciri-ciri dan kehidupan sufi
sebelum resmi diangkat menjadi Rasul oleh Allah, di mana kehiupan beliau sehari-
harinya penuh dengan kesederhanan di samping beliau menghabiskan waktu untuk
taqarrub kepada Tuhannya. Hingga pada saat setelah beliau diangkat menjadi
Rasul, beliau tetap dalam kesederhanaannya dan menggunakan waktu beliau untuk
berdakwah dan beribadah kepada Allah.

Periode Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah periode di mana Nabi


telah berhasil mengemban amanah Allah SWT dalam menyampaikan misi kenabian
kepada umat manusia di dunia. Keberhasilan tersebut tidak hanya sampai di situ
saja karena para khalifah—Khulafa’ ar-Rasyidin—berhasil melanjutkan misi nabi
dengan memperluas daerah kekuasaan politik Islam hingga meliputi hampir seluruh
wilayah bagian dunia yang menjadi pusat peradaban manusia pada masa itu.
Keberhasilan mereka ini sangat ditentukan oleh langkah dan perilakunya yang
berdasarkan inti ajaran agama Islam yang berpedoman langsung pada sumbernya,
yaitu Alquran dan Hadits.

Pusat perhatian yang utama dari para pemimpin Islam ini ialah tentang
pengaturan terhadap tata cara kehidupan masyarakat yang berdasarkan ajaran Islam
sehingga pandangan utamanya yaitu terhadap hukum. Perkembangan selanjutnya
dalam realitanya, perhatian terhadap hukum-hukum agama menjadi identik dan
sangat dominan sehingga pemahaman terhadap hukum agama menjadi identik
dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri yang biasa disebut dengan fikih.

Semua proses pengaturan hidup selalu didasarkan kepada aturan hukum


agama (fikih) yang meliputi tentang kesalehan manusia, baik-buruk, benar-
salahnya dapat diukur dari penampakan lahir seseorang dan ini selalu dikaitkan
dengan hukum agama yang dianggap kaku dan juga sangat mengikat sehingga
menghasilkan konsekuensi di mana agama Islam seakan-akan diapahami secara
sepihak; sepotong-sepotong, bukan secara totalitas keseluruhan—di mana di

3
dalamnya juga memuat aspek-aspek spiritualitas—yang dengan kata lain, muatan
fikih meliputi aspek eksoterisisme (aspek luar/lahir) dan mungkin
mengesampingkan aspek esoterisisme (aspek dalam/batin). Padahal di dalam
praksisnya, keduanya saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.
Oleh karena itu, anggapan bahwa tasawuf muncul dan berkembang karena berbagai
alasan adalah hal yang tidak dapat dipungkiri.

Mengacu pada sudut pandang sejarah, tasawuf muncul dan berkembang


sebagai akibat dari kondisi sosial, politik, dan kultural pada masa rezim
pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus yang secara umum dalam praktik
kehidupan mereka dianggap kurang religius. Dalam kondisi yang demikian
kemudian tasawuf muncul—sebagaimana yang dikatakan Nurcholis Majid1—
sebagai gerakan oposisi politik untuk merespon perilaku Bani Umayyah pada saat
itu. Tokoh-tokoh oposisi yang sangat memiliki pengaruh pada saat itu ialah Hasan
al-Basri dengan dukungan dari para ulama sunni dan orang-orang Muslim yang
dengan kecenderungan kehidupan zuhud (asketik). Kemudian pada perkembangan
selanjutnya, tasawuf bukan lagi sebuah gerakan oposisi politik, namun menjadi
sebuah gerakan personal yang timbul dari kesadaran hati yang alamiah dan inilah
intisari dari ajaran suifsme yang sebenarnya.

Cikal bakal dari aliran tasawuf Islam ialah gerakan hidup zuhud. Jadi,
sebelum lahir istilah sufi telah ditemukan orang-orang zahid yang mengamalkan
dan mengaktulisasikan ajaran-ajaran esotorisme Islam yang kemudian seiring
dengan perkembangannya dikenal dengan istilah tasawuf. Perbedaan pendapat
tentang faktor yang menyebabkan munculnya gerakan asketisisme (zuhud) dalam
Islam pada abad pertama dan kedua Hijriah terjadi di antara para ahli peneliti mistik
Islam/tasawuf. Misalnya R.A. Nicholson yang berpendapat sebagai berikut.

Walaupun kami mengakui agama Masehi mempunyai dampak terhadap


pembentukan perkembangan tasawuf dari jenis pertamanya, namun kami

1
Pendapat Madjid dikuatkan Syaikh Fadhlalla Haeri dengan mengatakan bahwa kemunculan
sufisme bermula dari abad pertama Hijriah, sebagai bentuk perlawanan terhadap semakin
merajalelanya penyimpangan dan representasi ajaran-ajaran Islam secara 'liar', khususnya yang
dilakukan oleh para pemimpin zaman tersebut. Lihat Haeri, 1he Elements, him. vii. Juga lihat
Madjid, Islam, Doktin dan Peradaban, him. 256, dan Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya, him.
22-23.

4
berpendapat bahwa ucapan-ucapan para sufi yang asketis, seperti Ibrahim bin
Adham (w. 161H), Daud ath-Tha'i (w. 165H), Al-Fudail bin 'Iyad (w. 187H) dan
Syaqiq al-Balkhi (w. 194H) tidak menunjukkan bahwa mereka terkena dampak
agama Masehi, kecuali sedikit sekali. Dalam arti lain, tampaklah bahwa tasawuf
jenis ini adalah merupakan hasil gerakan Islam (ajaran) itu sendiri, bahkan hasil
nyata dari sebuah ide Islam tentang Allah.

Menurut pendapatnya di atas dapat ditarik garis bahwa ia berpendapat pada


awalnya tasawuf dalam Islam berkembang secara Islami walaupun agak terkena
dampak dari Nasrani. Lahirnya gerakan zuhud Islam menurutnya disebabkan oleh
dua faktor, yang pertama sebagai dampak ajaran Islam itu sendiri, dan yang kedua
terpengaruh oleh ajaran Nasrani. Namun ia cenderung berpendapat bahwa ajaran
Islam sendirilah yang paling dominan terhadap lahirnya gerakan zuhud.

Sedangkan menurut Abu al-'Ala Afifi ada empat faktor yang menyebabkan
kelahiran gerakan hidup zuhud dalam Islam yaitu:

1. Ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Alquran telah mendorong manusia agar shalih
dan takwa kepada Allah.

2. Revolusi ruhaniyah kaum Muslimin terhadap sistem sosial politik yang berlaku.

3. Dampak asketisisme (hidup zuhud) Masehi. Pada zaman pra Islam, bangsa Arab
terkena dampak para pendeta Masehi. Setelah lahirnya Islam pun dampaknya tetap
berlangsung. Namun dampak itu lebih banyak terhadap aspek organisasinya
ketimbang terhadap aspek prinsip-prinsip umumnya sehingga asketisisme dalam
Islam tetap bercorak Islami.

4. Faktor fikih dan kalam, yang muncul karena tuntutan murni Islam, sama halnya
dengan faktor yang pertama dan kedua. Sebagian kaum Muslimin yang saleh pada
masa itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha' dan ahli kalam tentang Islam tidak
dapat sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka sehingga mereka
memasuki hidup zuhud untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaannya.

At-Taftazani dalam mengomentari pendapat Afifi di atas berpendapat sebagai


berikut.

5
Kami pun sependapat dengan 'Afifi mengenai dua faktor, yang pertama dan kedua,
yaitu ajaran-ajaran Islam revolusi kaum muslimin terhadap sistem sosial politik
yang berlangsung (di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah) sebagai faktor yang
menumbuhkan gerakan zuhud dalam Islam. Akan tetapi, tentang pendapatnya yang
ketiga, yaitu asketisisme Masehi bukanlah salah satu faktor yang melahirkan
gerakan zuhud dalam Islam. Begitu juga yang keempat, yaitu penentangan
terhadap fikih dan kalam, tidaklah berkaitan dengan kelahiran gerakan zuhud itu;
sekalipun faktor ini begitu erat dengan perkembangan tasawuf sejak abad ke-3
Hijriah dan seterusnya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa


faktor yang secara tegas mendorong lahirnya gerakan zuhud dalam Islam ialah
ajaran-ajaran Islam itu sendiri—Alquran dan Hadits—serta kondisi sosial politik
yang terjadi pada masa itu. Apabila melihat dan mengacu dari bukti-bukti sejarah
yang ada, berbagai konflik politik yang terjadi pada masa itu—terutama sejak masa
Khalifah Utsman bin Affan—mempunyai dampak yang sangat besar dan serius
bagi kehidupan umat Islam baik segi sosial, politik, maupun keagamaan. Konflik
ini muncul disebabkan kebijakan politik Khalifah Utsman bin Affan yang
menjerumus kepada nepotisme2. Konflik politik ini terus berkelanjutan hingga masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib dan dinasti-dinasti sesudahnya.

PERKEMBANGAN TASAWUF

1. Fase Ke-I Abad ke 1-2H (Asketisme)

Pada fase awal ini, tasawuf masih menjadi sebuah fenomena individual yang
spontan dimulai dengan munculnya individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat dan meninggalkan berbagai macam kesenangan duniawi. Mereka sibuk
dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan beribadah kepada Allah untuk
mengejar urusan akhirat mereka. Permulaaanya yaitu dari kegiatan sebuah
kelompok masyarakat tertentu yaitu kelompok kaum pertapa pada masa itu. Mereka

2
Lebih jauh lihat: Philip K. Hitti, Makers of Arab History (New York: Harper Torch books, 1971),
him. 44. Francisco Gabrieli, Muhammad and The Conquest of Islam (New York: Toronto Mc
Graw-Hill Book, 1968), him. 94.

6
lebih dikenal dengan sebutan zuhhūd (orang-orang zuhud), qurrā’ (orang-orang
yang suka membaca Alquran), bakkā’ (orang-orang yang menangis), qussās (para
pengkhotbah/pengisah). Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi
eksteral Islam (syari’ah) dan juga menghidupkan dimensi internal (bathiniyyah)3.
Beberapa tokoh pada masa ini ialah:

 Hasan al-Basri (w. 110 H) dengan ajaran Khauf (takut) dan Raja’
(pengharapan).
 Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran Mahabbah (cinta) atau
Hubb al-Illah (cinta kepada Allah).

2. Fase Ke-II Abad ke 3-4H (Pengembangan)

Fase ini merupakan fase peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme—
penyebutan istilah zahid berganti menjadi sufi. Percakapan para zahid pada fase ini
sudah sampai pada persoalan tentang apa itu jiwa yang bersih, tentang moralitas,
sarana, serta metode untuk menuju Tuhan. Dari percakapan mengenai berbagai
persoalan tersebut kemudian muncul berbagai teori tentang al-maqamat (jenjang-
jenjang yang harus dietempuh seorang sufi) dan ciri-ciri yang dimiliki sufi pada
tingkatan tertentu.

Pada fase ini, perbincangan-perbincangan mulai berkaitan dengan jiwa dan


tingkah laku—tasawuf berkembang menjadi sebuah ilmu moral keagamaan (akhlak
keagamaan)—yang perhatian utamanya terletak pada realitas pengalaman Islam
dalam praktik yang lebih menekankan pada keterpujian akhlak manusia. Pada masa
ini beberapa tulisan tentang tasawuf muncul, seperti: ar-Risālah Qusyairiyyah
karya al-Qusyairī dan ‘Awārif al-Ma’ārif karya as-Suhrawardī.

Berkembangnya pembahasan tentang al-ma’rifat seperangkat metodenya


hingga sampai kepada tingkatan fana’ dan itihad, bersamaan dengan ini pula,
muncul bebrapa penulis tasawuf di antaranya:

 al-Muhasibi (w. 234 H)


 al-Kharra (w. 277 H)

3
Syukur, Menggugat Tasawuf, h.30.

7
 al-Junaid (w. 297 H)

Tasawuf abad ini juga dicirikan oleh 2 hal lain, yaitu:

a. Tasawuf tidak lagi bercorak gerakan moral, melainkan bercorak kefanaan yang
menuju kepada panteisme (penyatuan antara Tuhan dan manusia). Muncul istilah-
istilah seperti: lenyap atau lebur antara Tuhan dan manusia (fanā’), bersatu antara
Tuhan dan manusia (ittihād), bertemu Tuhan (liqā’), dan seterusnya, yang
dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (w. 261H), al-Hallaj (w. 309H), dan lain-
lain.

b. Tasawuf tidak lagi gerakan individual tetapi mulai menjadi gerakan sosial–
komunal karena banyaknya orang awam yang tertarik untuk mempelajari tasawuf
di bawah guru sufi tertentu. Sang guru mengajarkan bertasawuf baik ilmu maupun
praktiknya.

3. Fase Ke-III Abad ke 5H (Konsolidasi)

Masa ini disebut masa konsolidasi karena adanya pemantapan dan juga
kembalinya ajaran tasawuf kepada landasan ajaran agama Islam yaitu Alquran dan
Hadist serta penegakan citra moral setelah dibawa menuju panteisme pada masa
sebelumnya. Tokoh utamanya adalah al-Ghazali (w. 505H) yang dengan tegas
menolak model-model panteisme dengan menyodorkan konsep baru bertasawuf
yang disebut dengan ma’rifah (pengenalan atau kedekatan manusia dengan Tuhan)
dengan jalan perpaduan antara ilmu dan amal. Ada juga tokoh dalam masa ini ialah
Syaikh ’Abdul Qadir al-Jailaniy (w. 561 H) yang mengkompromikan para ulama
Fiqih dengan ajaran tasawuf yang berpaham syi’ah4.

4. Fase ke-IV Abad ke 6-7H (Falsafi)

Pada abad ke-6H ini muncul kembali tasawuf panteisme. Tasawuf pada
masa ini bercampur atribut-atribut atau istilah-istilah falsafah—emanasi, iluminasi,
kosmos, dsb. namun secara epistemologi dalam pencapaian Tuhan metodenya

4
Ahmad bin Muhammad bin Ujaibah al-Hasani, Iqadz al-Himam fi Syarh al-Hikam, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt.), h. 6-7.

8
menggunakan intuisi—sehingga disebut dengan tasawuf falsafi. Sufi yang
dimaksud di antaranya ialah ‘Ibn ‘Arabi (w. 638H) dengan konsep Wahdah al-
Wujud, Suhrawardi al-Maqtul (w. 587H) dengan teori Isyraqiyyah, dan Ibn. Sab’in
(w. 669H) dengan teori Ittihad.

Tasawuf masa ini mengambil bentuk persaudaraan sufi (jamaaah tarekat).


Tarekat ialah jalan menuju bertasawuf yang diajarkan seorang guru sufi (syekh)
kepada murid/pengikutnya (ikhwan) di suatu tempat tertentu yang dikenal dengan
sebutan zawiyah. Yang diajarkan yaitu meliputi cara-cara tertentu yang harus
diikuti oleh muridnya apabila ingin merasakan kedekatan dan atau bertemu dengan
Tuhannya.

Melihat dari sejarahnya, jamaah tarekat sebagai organisasi sufi ini itandai
dengan adanya kegiatan berkumpul santai dengan bahasan mengenai berbagai
permasalahan agama dan melakukan berbagai latihan spiritual yang disebut dengan
halaqah. Dari sinilah kegiatan tasawuf mulai lebih terbuka dan menarik masyarakat
muslim awam untuk ikut berpartisipasi. Ketertarikan masyarakat muslim awam ini
disebebkan pesona keagamaan yang dipropagandakan bahwa melalui tasawuf dapat
menuntun pengikutnya menuju pertemuan langsung dengan Tuhan dan untuk
merealisasikan ini, tasawuf menawarkan bentuk-bentuk pendisiplinan dan metode
yang rapi serta konkret yang akan membawa pengnutnya hingga dapat melepaskan
sifat-sifat kemanusiaannya sehingga menjadi bersifat ketuhanan5.

Masa ini bisa dikatakan sebagai masa keemasan gerakan tasawuf baik
secara teoritis maupun praktis sebab pengaruh dan praktek-praktek tasawuf tersebar
luas melalui tarekat-tarekat, bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi
mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Meski demikian,
lama kelamaan timbul penyelewengan-penyelewengan dan skandal-skandal yang
berakhir pada penghancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Singkatnya, pada waktu
itu tasawuf dihinggapi—menurut pandangan Arberry—bid’ah, khurafat, klenik,
pengabaian syari’at, hukum-hukum moral, dan penghinaan ilmu pengetahuan6.

5
Fazlur Rahman, Islam. Hlm. 190-191, 217-218.
6
Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 41-43.

9
Tidak bisa dipungkiri bahwa praktek tasawuf pada masa ini juga menebar
benih-benih negatif karena dalam perkembangannya banyak terjadi pengkultusan
terhadap guru-guru tasawuf oleh para pengikutnya sehingga muncul khurafat dan
tahayul, klenik, hidup tak senonoh dan memalukan, mengabaikan syariat, bicara tak
karuan menuju ketenaran.

Adapun tarekat yang terkenal dan masih terdapat pengikutnya sampai


sekarang antara lain: tarekat Qadiriyah di bawah guru ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w.
561H), tarekat Suhrawardiyah yang di bawah guru Syihab ad-Din ‘Abd. Allah as-
Suhrawardi (w. 631H), tarekat Rifaiyah di bawah guru Ahmad Rifa’i (w. 512H),
tarekat Syadziliyah di bawah guru Abu Hasan as-Syadzili (w. 656H), tarekat
Badawiyah di bawah guru Ahmad al-Badawi (w. 675H), tarekat Naqsabadiyah di
bawah guru Muhammad Baha’ ad-Din al-Uwaisi an-Naqsabandi (w. 791H).

5. Fase Ke-V Abad ke 8H (Pemurnian)

Sebagai respon dari berbagai penyelewengan tasawuf pada abad


sebelumnya, pada abad ini muncul Ibnu Taimiyah yang menentang berbagai
penyelewengan tersebut diantaranya ialah Ittihad, hulul, wahdat al-Wujud,
pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bid’ah, khurafat, dan takhayyul.
Sedangkan terhadap ajaran fana’ masih diberikan toleransi namun dengan
pemaknaan yang berbeda. Ibnu Taimiyah membagi fana’ menjadi tiga bagian, yaitu
Fana’ Ibadah (Fana’ dalam ibadah), Fana’ Syuhud al-Qalb (Fana’ pandangan
hati), dan Fana’ Wujud ma Siwa Allah (Fana’ terhadap wujud Allah). Menurutnya,
pembagian yang pertama dan kedua masih sesuai dengan ajaran Islam, namun
untuk yang ketiga sudah menyeleweng dan pelakunya dihukumi sebagai kafir
karena beranggapan bahwa wujud Khalik ialah wujud makhluk7.

Ibnu Taimiyah ingin mengembalikan ajaran tasawuf supaya kembali


berdasarkan kepada inti ajaran agama Islam yaitu Alquran dan Sunnah. Ajaran
tasawuf Ibnu Taimiyah secara garis besar tidak lain ialah melakukan apa yang
pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yakni menghayati ajaran Islam tanpa

7
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Peradaban: Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, cet. Ke-4, 2000), h. 257-266.

10
mengikuti madzhab tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial
sebagaimana kalayak umum.

C. KESIMPULAN
Tasawuf adalah ilmu jalan menuju Allah yang sesuai dengan jalur dan
sumber utama ajaran Islam. Allah memberi kita kuasa-Nya dan membimbing kita
dengan keterbatasan kita. Tasawuf adalah transformasi hati sehingga menyadari
dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan perkataan kita. Tasawuf
memungkinkan kita untuk memahami bahwa perbuatan hati lebih kuat daripada
perbuatan anggota badan.

Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah


SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang
lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu
tauhid. Perkembangan tasawuf sendiri terbagi ke dalam 5 fase, yaitu Fase pertama
(Asketisme), Fase Kedua (Pengembangan), Fase Ketiga (Konsolidasi), Fase
Keempat (Falsafah), dan Fase Kelima (Pemurnian).

DAFTAR PUSTAKA
AB, Z. (2011). Sejarah Perkembangan Tasawuf. Jurnal Substantia, 250-255.

Anshori, M. A. (2016). Dimensi-DImensi Tasawuf: Buku Daras Jurusan Perbandingan


Agama Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Bandar Lampung: CV. TeaMs Barokah.

Badrudin. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat.

Irham, M. I. (2013). Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. (T. R. Soraya,
Ed.) Ciputat: Pustaka Al-Ihsan.

Mashar, A. (2015). Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya. In Al-A'raf Jurnal Pemikiran
Islam dan Filsafat (pp. 103-108). Surakarta.

Ni'am, S. (2014). Taswuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media.

Rahman, T. (n.d.). Sejarah Perkembangan Tasawuf 'Amali.

Rumzil Azizah, R. (2019). Sejarah Perkembangan Tasawuf dari Zaman ke Zaman. 3-4.

11
Sasmanda, S. (n.d.). Sejarah Perkembangan dan Pemikiran Tasawuf di Aceh Pada Abad
Ke-16 M. 71-72.

Suherman. (2019). Perkembangan Tasawuf dan Kontribusinya di Indonesia. Jurnal Ilmiah


Research Sains.

Ulya. (2015). Tasawuf dan Tarekat: Komparasi dan Relasi. Jurnal Akhlak dan Tasawuf,
153-157.

12

Anda mungkin juga menyukai