Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH LAHIRNYA ILMU TASAWUF; MASA NABI, SAHABAT DAN

PERKEMBANGANNYA DARI MASA KE MASA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

TEOSOFI

Dosen Pengampu

Muhammad Amiruddin, Lc., M.Pd.

Disusun oleh :

1. Alif Nabillah (17930025)


2. Desi ()

JURUSAN FARMASI

KELAS A

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

TAHUN AKADEMIK 2019-2020


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berbicara tentang sejarah perkembangan ilmu tasawuf islam, bisa


dikatakan pertumbuhan dan perkembangan tasawuf sama dengan pertumbuhan
dan perkembangan islam. Hal ini mengingat keberadaan tasawuf sebanding
dengan keberadan agama islam. Karena pada hakikatnya ajaran islam hampir bisa
dikatakan bercorak tasawuf. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan
tasawuf bersamaan dengan perkembangan dan tumbuhnya islam dari zaman nabi
Muhammad SAW. Sebelum nabi diangkat menjadi Rasul-nya, beliau sudah
menerapkan kehidupan shufi.

Ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tidak hanya sekedar
pengajaran semata. Nabi Muhammad memberikan contoh perbuatan dan perilaku,
tidak hanya menyuruh sesuatu yang beliau sendiri tidak lakukan. Beliau membaca
dan mengamalkan al-qur’an dengan berdungguh-sungguh, beliau menjalani
kehidupannya dalam keadaan sederhana dan menderita, akan tetapi beliau tetap
menghabiskan waktunya dengan bertaqarrub dan beribadah.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Bagaimana Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf?
b. Bagaimana Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf pada Masa Nabi?
c. Bagaimana Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf pada masa Sahabat?
d. Bagaimana Perkembangan Ilmu Tasawuf dari Masa ke Masa ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


a. Mengetahui Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf
b. Mengetahui Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf pada Masa Nabi
c. Mengetahui Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf pada Masa Sahabat
d. Mengetahui Perkembangan Ilmu Tasawuf dari Masa ke Masa
1.4 TINJAUAN PUSTAKA

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para
sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang
utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul
sesudah zaman tiga generasi ini. Abdul Hasan Al Fusyandi mengatakan, "Pada
zaman Rasulullah saw, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan
sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya."Ilmu tasawwuf
menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena
sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya telah
memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi)
dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya
dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam
mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka
orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan
mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan
mengamalkan tasawwuf.

Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama


kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama
Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu
tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu
merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di
Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak
pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya. Ibnul Jauzi mengemukakan
istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul banyak
orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam
pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari
akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga
mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Tasawuf merupakan rumusan langsung dari perasaan seseorang yang


mendambakan kehadirat ilahi, penyucian batin dan ketenangan hati. Para sufi
seringkali mengharapkan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia dan apa
yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin
dengan Tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual.
ilmutasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-
ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf
terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu
keislaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf
Menurut bahasa tasawuf merupakan sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkoban untuk kebaikan, dan
selalu bersikap bijaksana. Sikap dan jiwa yang demikian itu pada hakikatnya
merupakan akhlak mulai (Nata, 2006). Tasawuf merupakan salah satu cabang
ilmu dalam Islam yang menekankan pada aspek spiritual dan kebersihan batin.
Dalam kaitannya dengan diri manusia, tasawuf adalah ilmu untuk mengelola
aspek rohaninya yang lebih sering disebut dengan hati atau qalbu. Dalam
kaitannya dengan kehidupan, ilmu ini mengarahkan manusia untuk lebih
memprioritaskan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Sedangkan dalam
kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf lebih cenderung mengkaji
aspek esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathiniyah dari
pada penafsiran lahiriyah.

Dari beberapa buku (kajian) tentang asal usul tasawuf, biasanya kita
menjumpai pendapat atau teori-teori yang berkaitan dengan sumber-sumber yang
membentuk tasawuf. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ada dua teori
yang berpengaruh dalam membentuk tasawuf, yaitu teori yang berasal dari ajaran
atau unsur Islam, dan teori yang berasal dari ajaran atau unsur lain di luar Islam.
Para orientalis Barat mengatakan bahwa tasawuf bukan murni dari ajaran Islam,
sementara para tokoh sufi mengatakan bahwa tasawuf merupakan inti ajaran dari
Islam. Kelahiran tasawuf sendiri memiliki banyak versi. Secara historis, yang
pertama kali menggunaan istilah tasawuf adalah seorang zahid yang bernama Abu
Hasyim Al-Kufi dari Irak (W.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawuf
bukan bersamaan dengan ajaran islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan
perpaduan dari berbagai ajaran agama (Iskandar,2001).

Para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan cendikian muslim
memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawaf adalah bersumber dari
al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an adalah kitab yang di dalam ditemukan
sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Ajaran-ajaran tentang
khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal,syukur, shabar, ridha, fana, cinta, rindu,
ikhlas, ketenangan dan sebagainya secara jelas diterangkan dalam al-Qur’an.
Antara lain tentang mahabbah (cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54,
tentang taubat terdapat dalam surat al-Tahrim ayat 8, tentang tawakal terdapat
dalam surat at-Tholaq ayat 3, tentang syukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7,
tentang shabar terdapat dalam surat al-Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat
dalam surat alMaidah ayat 119, dan sebagainya (Hafiun, 2012).

Sejalan dengan apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, bahwa al-Hadits juga
banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah sebagaimana yang ditekuni oleh
kaum sufi setelah Rasulullah. Dua hadits populer yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila
engkau tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu” dan juga sebuah hadits yang
mengatakan: “Siapa yang kenal pada dirinya, niscaya kenal dengan Tuhan-Nya”
adalah menjadi landasan yang kuat bahwa ajaran-ajaran tasawuf tentang masalah
rohaniah bersumber dari ajaran Islam. Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi
Muhammad SAW juga terdapat banyak petunjuk yang menggambarkan dirinya
sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua
Hira menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana
waktu itu orang Arab menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta.
Dikalangan para sahabat pun juga kemudian mengikuti pola hidup seperti yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata:
“Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan
rendah hati”. Demikian pula sahabat-sahabat beliau lainnya seperti Umar bin
Khottob, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghiffari, Bilal,
Salman al-Farisyi dan Huzaifah alYamani (Hafiun, 2012).

Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami, bahwa teori asal usul
tasawuf bersumber dari ajaran Islam. Semua praktek dalam kehidupan para tokoh-
tokoh sufi dalam membersihkan jiwa mereka untuk mendekatkan diri pada Allah
mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Teori-teori mereka tentang tahapan-tahapan menuju Allah (maqomat) seperti
taubat, syukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas, atau
pengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan
khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran Islam (Hafiun, 2012).

Menurut teori Ignas Goldziher, bahwa asal usul tasawuf terutama yang
berkaitan dengan ajaran-ajaran yang diajarkan dalam tasawuf merupakan
pengaruh dari unsur-unsur di luar Islam. Goldziher mengatakan, bahwa tasawuf
sebagai salah satu warisan ajaran dari berbagai agama dan kepercayaan yang
mendahului dan bersentuhan dengan Islam. Bahkan berpendapat bahwa beberapa
ide al-Qur’an juga merupakan hasil pengolahan “ideology” agama dan
kepercayaan lain. Unsur agama dan kepercayaan lain selain Islam itu adalah unsur
pengaruh dari agama Nashrani, Hindu-Budha, Yunani dan Persia (Hafiun, 2012).

Pengaruh dari unsur agama Nashrani terlihat pada ajaran tasawuf yang
mementingkan kehidupan zuhud dan fakir. Menurut Ignas Goldziher dan juga
para Orientalis lainnya mengatakan bahwa kehidupan zuhud dalam ajaran tasawuf
adalah pengaruh dari rahibrahib Kristen. Begitu pula pola kehidupan fakir yang
dilakukan oleh para sufi adalah merupakan salah satu ajaran yang terdapat dalam
Injil. Dalam agama Nashrani diyakini bahwa Isa adalah orang fakir. Di dalam Injil
dikatakan bahwa Isa berkata: “Beruntunglah kamu orangorang miskin, karena
bagi kamulah kerajaan Alah. Beruntunglah kamu orang-orang yang lapar,
karena kamu akan kenyang.” Selain Ignas Goldziher, pendapat yang serupa juga
dilontarkan Reynold Nicholson. Menurut Nicholson, “Banyak teks Injil dan
ungkapan al-Masih (Isa) ternukil dalam biografi para sufi angkatan pertama.
Bahkan, sering kali muncul biarawan Kristen yang menjadi guru dan menasehati
kepada asketis Muslim. Dan baju dari bulu domba itu juga berasal dari umat
Kristen”.

Di samping pengaruh dari ajaran Nashrani, Goldziher juga mengatakan,


bahwa ajaran tasawuf banyak dipengaruhi oleh ajaran Budha. Dia mengatakan
bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan
tokoh sufi Ibrahim bin Adam yang meninggalkan kemewahan sebagai putra
mahkota. Bahkan, Goldziher mengatakan para sufi belajar menggunakan tasbih
sebagaimana yang digunakan oleh para pendeta Budha, begitu juga budaya etis,
asketis serta abstraksi intelektual adalah pinajaman dari Budhisme. Ada kesamaan
paham fana dalam tasawuf dengan nirwana dalam agama Budha. Begitu juga ada
kesamaan cara ibadah dan mujahadah dalam ajaran tasawuf dengan ajaran Hindu.
Menurut Harun Nasution, bahwa paham fana hampir sama dengan nirwana dalam
agama Budha, dimana agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk
meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Demikian dalam ajaran
Hindu ada perintah untuk meninggalkan dunia untuk mencapai persatuan Atman
dan Brahman (Hafiun, 2012).

Untuk selanjutnya ada juga teori yang mengatakan bahwa tasawuf juga
dipengaruhi oleh unsur Yunani. Menurut Abuddin Nata, bahwa metode berfikir
filsafat Yunani telah ikut mempengaruhi pola berfikir umat Islam yang ingin
berhubungan dengan Tuhan. Hal ini terlihat dari pemikiran al-Farabi, al-Kindi,
Ibn Sina tentang filsafat jiwa. Demikian juga uraian mengenai ajaran tasawuf
yang dikemukakan oleh Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain-
lain. Menurut Abuddin Nata, ungkapan Neo Platonis :”Kenallah dirimu dengan
dirimu” telah diambil sebagai rujukan oleh kaum sufi memperluas makna hadits
yang mengatakan: “Siapa yang mengenal dirinya, niscaya dia mengenal
Tuhannya”. Dari sinilah munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud dan
Wihdah al-Wujud. Filsafat Emansi Platonis yang mengatakan bahwa wujud alam
raya ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan
akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh
menjadi kotor, maka dari itu roh harus dibersihkan. Penyucian roh itu adalah
dengan meninggalkan dunia dan mendekati diri dengan Tuhan sedekat-dekatnya.
Ajaran inilah yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum
Zuhud dan sufi dalam Islam (Hafiun, 2012).

Kembali pada teori Goldziher, bahwa tasawuf dipengaruhi oleh


kepercayaan dan agama di luar ajaran Islam, maka unsur kepercayaan dari Persia
dengan sendirimya juga berarti telah ikut serta mempengaruhi tasawuf, karena
hubungan politik, pemikiran, social dan sastra antara Arab dan Persia telah terjalin
sejak lama. Namun belum ada bukti yang kuat bahwa kehidupan rohani Persia
masuk ke tanah Arab. Tetapi memang ada sedikit kesamaan antara istilah zuhud di
Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq di Persia. Begitu pula
konsep ajaran hakekat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan)
dalam agama Zarathustra (Hafiun, 2012).

2.2 Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf pada Masa Nabi

Membahas tentang masalah sejarah pertumbuhan dan perkembangan


Tashawwuf dalam Islam. Maka sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan
Tashawwuf itu sama saja dengan perkembangan Islam itu sendiri(Labib,2000).
Kehidupan Rasulullah s.a.w. telah mencerminkan ciri-ciri dan perilaku kehidupan
seorang Tokoh Sufi yang sangat sederhana dan menderita disamping itu beliau
menghabiskan waktunya dalam ber-Ibadat dan ber-Taqarrub kepada Allah S.W.T.
meskipun beliau belum resmi diangkat sebagai Rasul-Nya. Rasulullah sering kali
melakukan ‘uzla di Gua Hira’ selama berbulan-bulan sampai beliau menerima
wahyu pertama.

Bahwa yang memberi dasar tentang Tashawwuf ialah Nabi Muhammad


SAW sendiri yang berdasarkan pada wahyu dari Allah S.W.T. Kalau berbicara
soal awal mula tasawuf dapatlah dilihat dari Tahannuts Rasulullah s.a.w di Gua
Hira’. Tahannuts Rasulullah s.a.w. memang untuk mensucikan Rohani akan tetapi
karena hal itu bukan Ajaran Allah maka hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai
awal mula lahirnya ajaran Thasawwuf. Di dalam buku : “Syakhshuaat Shufiat”,
milik dari Al-Ustaz Syekh Thaha Abdul Baqy Surur, beliau telah berkata :
“Bahwa kehidupan Rasulullah s.a.w. sebelum menjadi Rasul dan Nabi, lebih-lebih
setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan rasul dari Allah s.w.t. Telah dijadikan
teladan utama bagi sekalian ummat manusia, dan juga sekalian orang-orang tokoh
shufi yang tidak menyeleweng ke jurusan Agama-agama yang lain dari
Islam”(Labib,2000).

Setelah beliau resmi diangkat menjadi Rasul dan Nabi Utusan Allah
S.W.T., keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana
kerakyatan, meskipun beliau berada didalam lingkaran hidup yang serba dapat
terpenuhi keinginannya. Pada waktu malam hari, sedikit sekali beliau tidur,
waktunya dihabiskan hanya untuk bertawajjuh kepada Allah dan memeperbanyak
dzikir kepada Allah.
Tempat tidurnya hanya terbuat dari balai kayu biasa dengan alasnya dari
daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool meski mampu
mebelinya. Beliau lebih cinta dalam suasana hidup sederhana daripada hidup
bermewah-mewahan. Peri hidup Nabi Muhammad s.a.w. sudah cukup menjadi
suri tauladan bagi para tokoh Shufi yang ingin menempuh jalan kebenaran.

Selama di Gua Hira’ yang ia kerjakan hanyalah tafakkur, beribadah dan


hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, terkadang
mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau memium minuman
kecuali halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT.

Di kalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktek
bertasawuf sebagaimana diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-
Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan,
kefanaan dalam keagungan dan rendah hati. Demikian pula khalifah Umar Ibn
Khattab pada suatu ketika pernah berkhutbah di hadapan jamaah kaum muslimin
dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjutnya khalifah Usman
Ibn ‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca al-
Qur’an, Baginya al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan
dibaca ke manapun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya seperti Abu
Dzar al-Ghiffari, Tamin Darmy, dan Huzafah al-Yamani(Yamani,2003).

Tasawuf yang mengajari manusia cinta kepada Allah s.w.t. dengan cinta
hamba kepada Tuhannya, dan yang mangajari manusia rindu kepada Tuhan
Rahman dan Rahim. Dunia boleh dimanfaatkan, tetapi jangan terpengaruh oleh
godaannya. Orang yang telah mengingkari patokan dari Rasulullah s.a.w. adalah
orang yang sesat bukan termasuk ummat Muhammad s.a.w. Jadi ciri khas
Tashawwuf dimasa Rasulullah ialah berpegang teguhnya kaum muslimin dengan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad s.a.w.

2.3 Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf pada Masa Sahabat

Kehidupan dan ucapan para sahabat merupakan sumber tempat menimba


para sufi. Kehidupan dan ucapan mereka penuh dengan hal-hal yang berkaitan
dengan sikap zuhd, kehidupan sederhana dan kepasrahan kepada Allah.
Rasulullah sendiri telah menegaskan betapa tingginya kedudukan para sahabat ini,
seperti sabdanya: “Para sahabatku bagaikan bintang; siapapun siantara mereka
yang kalian ikuti, niscaya kalian mendapatkan petunjuk.” (Asmaran, 1996).

a) Abu Bakar Ash-Shiddiq


Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia
rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah
Rasulullah Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu
hidup saleh dan taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian
sehelai kain saja. Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi
kepentingan agama dan negara. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada
saat Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan menghadapi perang
Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah yang bersedia
memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar kemudian
menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya.
Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar terkait
sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar
menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.
b) Umar bin Khattab
Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang
murni dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan
sufisme Umar, yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang
pertama ketika Umar naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato,
sedangkan pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika
Abdullah bin Umar masih kecil bermain-main dengan temannya, semua
temannya tersebut mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh
tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin
Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Ayahnya pun
sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan baju untuk
anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk
meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah
menerima surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada
Umar apakah yakin bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal
tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air mata dan
akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan masih banyak lagi
cerita yang mengisahkan kehidupan Umar yang sangat sufistik tersebut.
c) Utsman bin Affan
Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki.
Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu
memegang Al-Qur’an pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya
belajar Al-Qur’an sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh
pemberontak, ia berada dalam membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang
dimiliki Utsman yang lain ialah, ketika terjadi kemarau panjang pada masa
Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah yang menderita
kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu Bakar hanya menyuruh
sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama setelah itu, ada
kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari Syam
dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut
berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli
barang dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada
pedagang yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan
tetapi Utsman hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir
miskin pada keesokan harinya dan memberikan hasil dagangannya itu
secara cuma-cuma.
d) Ali bin Abu Thalib
Ali bin Abu Thalib, Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para
sahabat yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai
banyak yang sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu
ketika ia ditanya seseorang mengapa sampai seperti itu (pakaiannya yang
sobek), ia hanya menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi
teladan bagi orang-orang yang beriman. Kezuhudan Ali bin Abi Thalib
juga menjadi panutan para sufi, kesederhanaan beliau yang hanya
memiliki gubuk kecil untuk tempat tinggalnya.

Dari kisah sufisme para sahabat di atas, maka para sufi berpendapat ada
hal-hal yang perlu disimpan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf. Karena tidak
semua ajaran tasawuf boleh disebarluaskan kepada siapapun. Memang ada
beberapa ajaran tasawuf yang tidak boleh diajarkan secara sembarangan kecuali
kepada orang-orang yang dipilih dan dianggap telah layak untuk menerimanya,
sebab Abu Hurairah r.a. pernah berkata: Aku memperoleh dari Rasulullah Saw
dua bejana ilmu pengetahuan. Satu di antaranya aku tanyakan kepada orang lain
dan satunya lagi tidak aku tanyakan, dan kalau aku tanyakan niscaya leherku akan
dipenggal orang (Riwayat Bukhari) (Hamka,1980).

2.4 Sejarah Lahirnya Ilmu Tasawuf dari Masa ke Masa

Dalam mengkaji dan mendeskripsikan sejarah, para sejarawan


menggunakan beberapa metode. Metode yang umum digunakan ialah metode
periodic dan metode yang melihat perkembangan pemikiran atau peradaban yang
umum dari masa ke masa. Kemudian, pada jurnal ini penulis memilih untuk
menggunakan kedua metode tersebut secara bersamaan

 Masa Pembentukan

Pada pertengahan abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri (642-728M),
seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri
tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf (takut) dan raja‟ (berharap),
setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan
hidup kerohaniahan dikalangan muslimin(Zulkifli,2002). Ajaran-ajaran yang
muncul pada abad ini yakni khauf, raja‟, ju‟(sedikit makan), sedikit bicara,
sedikit tidur, zuhud (menjauhi dunia) khalwat (menyepi), shalat sunnah sepanjang
malam dan puasa disiang harinya, menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak
membaca al-Qur‟an dan lain-lainnya(Zulkifli,2002).

Kemudian pada abad II Hijriyah, muncul zahid perempuan dari Basrah-Irak


Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 801M/185 H)(Fakhri,1986). Dia memunculkan ajaran
cinta kepada Tuhan (Hubb al-Ilah) Dengan ajaran ini dia menghambakan diri
sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas
surga dan karena takut atas ancaman neraka(Zarrina,2007).
 Masa Pengembangan

Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV
H. Pada kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami
(w.261 H.) dan Abu Mansur al-Hallaj (w. 309 H.). Abu Yazid berasal dari Persia,
dia memunculkan ajaran fana‟ (lebur atau hancurnya perasaan) (Baldick, 2002),
Liqa‟ (bertemu dengan Allah Swt) dan Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud atau
bersatunya hamba dengan Allah Swt).

Sementara Al-Hallaj menampilkan teori Hulul (inkarnasi Tuhan), Nur


Muhammad dan Wahdat al-Adyan (kesatuan agmaagama). Selain itu, para sufi
lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud
(kesatuan penyaksian), Ittishal (berhubungan dengan Tuhan), Jamal wa Kamal
(keindahan dan kesempurnaan Tuhan), dan Insan al-kamil (manusia sempurna).
Mereka mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa
melakukan latihan yang teratur (Riyadhah) (Syukur, 2002).. Pada waktu itu
muncul dua madzhab yang saling bertentangan, yakni madzhab tasawuf Sunni (al-
Junaid) dan madzhab Tasawuf semi-Falsafi (Abu Yazid dan al-Hallaj (Muzakkir,
2007).

 Masa Konsolidasi

Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari
pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan
dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni. Madzhab tasawuf Sunni mengalami
kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan madzhab teologi Ahl Sunnah wa
al-Jama‟ah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy‟ari (w. 324 H) yang
mengkritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj sebagaimana yang
tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari kaidah dan
akidah Islam. Tokoh-tokoh yang mengkritik madzhab semi falsafi yaitu(Syukur,
2002):

Al-Qusyairi adalah sufi pembela teologi Ahlu Sunnah dan mampu


mengompromikan syari‟ah dan hakikah. Dia mengkritik dua hal dari para sufi
madzhab semi-falsafi, yakni syathahiyat dan cara berpakaian yang menyerupai
orang miskin padahal tindakan mereka bertentangan dengannya

Al-Harawi, beliau bermadzhab Hanabilah, Hal yang dikritik oleh Al-


Harawi atas ajaran tasawuf semi-falsafi adalah ajaran fana‟ yang dimaknai
sebagai kehancuran wujud sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia
memberikan pemaknaan baru atas fana‟ tersebut dengan ketidaksadaran atas
segala sesuatu selain yang disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al-Harawi juga
mengkritik syathahiyat. Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyat hanya
muncul dari hati seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan.

Al-Ghazali merupakan tokoh pembela teologi sunni terbesar, Al-Ghazali


menjauhkan ajaran tasawufnya dari gnostis sebagaimana yang mempengaruhi
para filosog muslim, sekte Isma‟iliyah, Syi‟ah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia
juga menolak konsep ketuhanan Aristoteles (emanasi dan penyatuan). Terkait
teori kesatuan, al-Ghazali memberikanteori baru tentang ma‟rifat dalam taqarrub
ila Allah, tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.

 Masa Falsafi

Pada masa (abad VI dan VII H) ini muncul dua hal penting yakni;
Pertama, kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan
dengan filsafat maka muncul menjadi tasawuf falasafi, dan kedua, munculnya
orde-orde dalam tasawuf (thariqah) (Syukur, 2002).

Sementara orde-orde tasawuf yang muncul pada kurun ini (terutama pada
abad ke VII H) antara lain, tarekat Qadiriyyah, didirikan oleh „Abd al-Qadir Jilani
(1166 M.) dan berpusat di Baghdad, tarekat Naqshabandiyah, didirikan oleh
Muhammad ibn Baha‟ al-Din (791 H.) dan didirikan di Asia Tengah.

 Masa Pemurnian

Pengaruh dan praktek praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-


tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi mengeluarkan
perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Seiring berjalannya waktu
muncul penyelewengan-penyelewengan yang berakhir pada penghancuran citra
baik tasawuf. Menurut pandangan Arberry, penyelewengan tersebut yaitu bid‟ah,
khurafat, klenik, pengabaian Syari‟at, hokum-hukum moral, dan penghinaan ilmu
pengetahuan(Syukur, 2002).

Dengan fenomena di atas, munculah Ibn Taimiyah yang dengan lanrang


menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng tersebut. dia
mengembalikan kembali tasawuf kepada sumber ajaran Islam, al-Qur‟an dan al-
Hadis. Hal yang dikritik Ibn Taimiyah antara lain: ajaran Ittihad, hulul, wahdat al-
Wujud, pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bid‟ah, khurafat, dan
takhayyul. Dia masih memberikan toleransi atas ajaran fana‟, namun dengan
pamaknaan yang berbeda. Dia membagi fana‟ menjadi tiga bagian, yakni :

a. fana‟ Ibadah, lebur dalam ibadah

b. fana‟ syuhud al-Qalb, fana‟ pandangan batil, dan

c. fana‟ wujud mas Siwa Allah, fana‟ wujud selain Allah.

Menurutnya, fana‟ yang masih sesuai dengan ajaran Islam ialah jenis
fana‟ yang pertama dan kedua, sementara jenis fana‟ yang ketiga sudah
menyeleweng dan pelakunya dihukumi kafir, sebab ajaran tersebut beranggapan
bahwa „wujud Khaliq‟ adalah „wujud Makhluq‟(Masjid,2000).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang


menekankan pada aspek spiritual dan kebersihan batin. Dalam kaitannya
dengan diri manusia, tasawuf adalah ilmu untuk mengelola aspek
rohaninya yang lebih sering disebut dengan hati atau qalbu.
 Tasawuf pada zaman Nabi sudah mulai tumbuh, akan tetapi belum
dinamakan ajaran Tasawuf. Perilaku, sifat, dan kesederhanaan Nabi adalah
termasuk Akhlaq Tasawuf. Esensi Tasawuf sebenarnya telah ada sejak
Rasulullah Saw, namun Tasawuf sebagai ilmu keislaman yaitu hasil
kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti Fiqih
dan Ilmu Tauhid. Pada masa Rasulullah Saw belum dikenal istilah
Tasawuf, namun lebih tepatnya mengarah ke Zuhud.
 Para sahabat tetap berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur’an dan telah
meneladani ajaran-ajaran yang diberikan Rasulullah s.a.w.
 Perkembangan tasawuf dari masa kemasa dijelaskan menggunakan dua
metode yaitu metode periodic dan metode yang melihat perkembangan
pemikiran atau peradaban yang umum dari masa ke masa yaitu masa
pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi dan pemurnian

3.2 Saran

Kita sebagai umat beragama sebaiknya, kita bisa menerapkan dalam


kehidupan sehari-hari kita. Dan sebagai seorang muslim, maka merupakan suatu
kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya.
Maka dari itu, setiap muslim diharapkan untuk terus istiqamah dalam menjalankan
perintah Allah SWT sebagai bukti dari ketauhidan dan iman seorang muslim.
DAFTAR PUSTAKA

Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Baldick, Julian. 2002. Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf.


Terjemah: Satrio Wahono. Jakarta: Serambi

Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam. Terjemah: Mulyadhi Kartanegara.


Jakarta: Pustaka Jaya

Hafiun, Muhammad. 2012. Teori Asal Usul Tasawuf. Jurnal Dakwah. Vol. XIII,
No.2

Hamka.1980. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan


Nurul Islam

Iskandar, Noer Al-Barsany. 2001. Tasawuf Tarekat Sufi. Jakarta: Rajagrafindo


Persada

Labib, Mz. 2000. Memahami Ajaran Tashowuf. Surabaya: Tiga Dua

Muzakkir. 2007. Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer: Perjalanan Neo


Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil.26, Hal.63-70

Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Syukur, HM. 2002. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Zulkifli. 2002. Sufisme di Jawa: Peran Pesantren dalam Pemeliharaan Sufisme di


Jawa. Terjemah. Ali Mashar . Jakarta: INIS

Anda mungkin juga menyukai