Anda di halaman 1dari 8

KONSEP DASAR AKHLAK DAN TASAWUF

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah


Ilmu Tasawuf
Yang di ampu oleh:
Jodang Setia Adi Anista R S.PD.,M.E

Oleh:
Lik Bawon Sholiha (2077011640)
Maghfirotul Jannah (2077011642)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Februari 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhlak Tasawuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan dan memandu perjalanan hidup umat agar
selama dunia dan di akhirat. Tidak berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW
adalah untuk menyempurkan akhlak mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung
keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga
hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Al-qur’an.
Tasawuf atau dalam ilmu pengetahuan atau lebih dikenal dengan sufisme, adalah suatu
istilah yang lazim dipergunakan untuk mistikisme dalam islam, sebenarnya, suluk
merupakan suatu isltilah khusus dalam konteks yang lebih luas, yaitu mistikisme
nusantara. Tujuan pokoknya tetap sama, yakni memperoleh hubungan langsung dengan
Tuhan.
Walaupun apa yang diuraikan tantang pengertian tentang tasawuf cukup gamblang, namun
masih banyak kalangan umat islam yang masih meragukan bahwa tasawuf tidak bersumber
dari ajaran agama islam. Padahal sebenarnya tasawuf adalah pokok-pokok ajaran dari Nabi
Muhammad saw yang diduskusikan dengan para sahabat Nabi tentang apa-apa yang
diperolehnya dari malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran islam, yakni islam,
iman dan ihsan. Ketiga sendi pokok ini diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf
sebagaimana diriwayatkan perawi Hadits Imam Bukhari dan Muslim.
Dasar-dasar tasawuf telah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari
kehidupan Rasulullah Saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diikuti oleh
para sahabat. Selama periode Makah, kesadaran spiritual Rasulullah Saw. adalah
berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana
dilukiskan dalam Alquran surat An-Najm: 11-13; Surat At-Takwir: 22-23. Kemudian ayat-
ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsipil
dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Alquran sebagai landasan utama. Karena
manusia mempunyai kecenderungan sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana yang
dinyatakan. “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,” maka
harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat baik,
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah.
Sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari tasawuf?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf?
3. Ruang lingkup apa saja dalam pembahasan tasawuf?
4. Objek kajian apa saja dalam tasawuf?
1.3 Tujuan
1. Untuk mempelajari tentang pengertian tasawuf.
2. Untuk mempelajari tentang sejarah perkembangan tasawuf.
3. Untuk mempelajari tentang ruang lingkup dan objek kajian dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tasawuf


Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab:‫ ) تصوف‬adalah ilmu untuk mengetahui
bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin,
untuk memporoleh kebahagian yang abadi.[1] Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata
atau istilah yagn dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun
Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al-Shuffah
(orang yang tinggal di serambi masjid nabi) , shaf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa
yunani: hikmat), dan suf (kain wol).[2]
Adapun tentang definisi tasawuf atau sufi itu sendiri ada beberapa pendapat yang
dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[3]
a. Bisri bin Haris mengatakan bahwa, sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap
Allah SWT.
b. Sahl al-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan.
Penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT
dan baginya tidak ada beda antara harga emas dan pasir.
c. Al-Junaid Al-Baghdadi, tokoh sufi modern mengatakan bahwa, tasawuf ialah
membersihkan diri hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang
fitri, menekankan sifat basyariah atau kemanusiaan, menjauhi hawa nafsu, memberikan
tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu
yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar
menepati janji kepada Allah SWT, dan mengikuti syariah Rasulullah saw.
d. Abu Qasyim Abdul Karim Al-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah
menjabarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu,
menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindarkan dari sifat
meringankan ibadah.
e. Ma’ruf Al-Karkhi mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak
tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.
Dari beberapa definisi tersebut, Zakaria Al-Ansari penulis tasawuf (852-925H) mencoba
meringkasnya sebagai berikut:
“Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun
kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf
adalah mensucikan diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan abadi”.
Jadi dengan kata lain tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan
dimensi atau aspek spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka
di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada
kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran batini
ketimbang penafsiran lahiriah.[4]
2.2 Sejarah perkembangan tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari
gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan
pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah
sebagai berikut:
a. Abad I dan II Hijriyah, Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa
sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan.
Zuhud yang dalam ajaran-ajaran agama non Islam semula hanya merupakan usaha individu
untuk tidak tertarik terhadap kesenangan duniawi perlahan-lahan seiring perjalanan waktu
mulai diterima oleh umat Islam.[5] Sikap zuhud para sufi salafi merupakan awal
kemunculan tasawuf, pada fase zuhud ini terdapat para sufi salafi yang lebih cenderung
beribadah kepada Allah untuk mensucikan dirinya dari segala dosa dan kesalahan masa
lalu.[6] Pada masa ini para sahabat juga mencontohi kehidupan Rasulullah yang serba
sederhana, dimana hidupnya hanya semata-mata diberikan kepada Tuhan-Nya. Ciri lain
yang terdapat pada masa ini adalah kemurniannya dibandingkan dengan kemurnian
tasawuf di abad-abad sesudahnya.[7]
b. Abad III dan IV Hijriyah, Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase
asketisisme (kezuhudan), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf.
Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti
zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat
sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata–
mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa,
akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta.
Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang
dicintai (fana fi al-mahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang
dicintai (al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan
ahli hakikat. Dan pada masa ini tasawuf baik dalam pengertian maupun perilaku telah
menyebar luas hampir ke seluruh wilayah islam tak terkecuali nusantara.[8]
c. Abad V Hijriyah, Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf
dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan
tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para
sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana
tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan
sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali atau yang lebih
dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan
pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal sebagai pemuka
madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh muridnya
Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-Mushthofa
dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan
Shahih al-Muslim. Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni.
Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan kelemahan-
kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-
Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din. [9]
d. Kejayaan tasawuf pada abad ke tujuh dan sesudahnya di kalangan bangsa arab,
segala hal yang disandarkan pada Rasulullah baik secara hak maupun bathil, hal terebut
masih memerlukan penyempurnaan karena kejayaan tasawuf pada abad sebelumnya
terjadi di kalangan bangsa Arab dan non-Arab. Hal ini merupakan hasil dari suatu
perkembangan alami yang terjadi dalam sejarah perkembangan budaya.[10]
e. Tasawuf dan perkembangan agama dalam zaman modern
Barang kali tidak ada orang yang meragukan tentang betapa pentingnya peranan agama
dalam konteks modern, dari sudut pandang ini, peranan agama minimal sebagai:
1. Penyeimbang rohaniah sebagai akibat dari kemajuan hidup di segala bidang di zaman
modern.
2. Salah satu unsur peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh orang
perorang.
Sesungguhnya demikian justru yang sangat menentukan potensi esensial yang terkandung
dalam agama bagi manusia, kapan saja dan dimana saja potensial sensial agama yang
dimaksud adalah dapat menciptakan rasa keterhubungan dengan yang diyakini sebagai
Tuhan dalam sebuah bentuk pengalaman rohaniah yang mencerahkan batin. akhirnya,
kalau hal ini diakitkan dengan tasawuf, maka sebenarnya, potensial spiritual yang
terkandung dalam tasawuf memiliki peluang besar untuk mengisi fungsi pengembalian dua
macam jati diri diatas, yaitu: jati diri manusia modern dan jati diri umat islam yang dicita-
citakan.[11]
2.3 Ruang lingkup dalam tasawuf
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak tasawuf pada intinya adalah
perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik
atau buruk. Pengertian ilmu akhlak tasawuf selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad Al-
Ghazali, menurutnya bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok. Dalam
masyarakat barat akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkan ini
tidak sepenuhnya tepat. Etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat.[12]
A. Konsep tentang Tuhan dan manusia dan hubungan antara keduanya
Dalam tasawuf tradisional, konsep tentang Tuhan mengalami perkembangan sedemikian
rupa. Mula pertama, khususnya pada zaman Rasulullah saw masih hidup, yang kemudian
dilanjutkan dengan Khulafaurrasyidin, sebagaimana isi ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah,
Tuhan dipahami secara transenden mutlak yang artinya tidak ada suatupun yang
menyamainya. Itu sebabnya manusia adalah makhluk dan Tuhan adalah Khaliq, dengan
manusia yang bersifat jelas dan tegas.[13]
B. Jalan tasawuf
Kalau mengikuti rincian Reynold A. Nicholson, maka jalan tasawuf yang terkenal itu ada
beberapa, yaitu antara lain:
a. Kefakiran, memiliki sedikit mungkin barang-barang duniawi dipandang secara
meyakinkan sebagai yang sangat mungkin untuk mencapai keselamatan, arti kefakiran
dalam arti sesungguhnya itu bukan berarti semata-mata kekurangan dalam kekayaan tapi
bahkan tidak memiliki keinginan untuk tidak memiliki kekayaan.
b. Penahanan diri, berarti memisahkan nafsu dari hal-hal yang telah dibiasainya,
dengan demikian seseorang telah terdorong untuk melawan hawa nafsunya.
c. Penyerahan diri kepada Tuhan, hal ini diwujudkan dalam sikap kepasifan total
bagaikan jenazah di tangan petugas pemandi jenazah yang sedang mempersiapkan
pemakaman. Ini bisa berarti sebagai gambaran ketidakpedulian terhadap diri sendiri.
d. Zikir, caranya adalah dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang yang
dilakukan dalam intonasi mekanis tertentu dan melakukan konsentrasi secara intens
terhadap setiap bagian kata atau kalimat.[14]
Sedangkan menurut jalan yang ditempuh oleh para sufi, seseorang yang telah mencapai
kesadaran lahir dan batin, serta telah berhasil mencapai titik keseimbangan dan
keberpusatan, maka ia telah memenuhi syarat untuk membantu yang lainnya dan
memancarkan kemajuan yang telah berhasil mereka capai.[15]
C. Penghayatan tasawuf
Menurut Reynold A. Nicholson, pencapaian terakhir dari perjalanan panjang tasawuf
adalah “keadaan bersatu” dengan Tuhan. Ada kesan kuat, bahwa “bersatu dengan Tuhan”
itu menjadi tujuan. Karena hal tersebut yang menjadi tujuan, maka jalan untuk mencapai
tujuan tersebut dicari-cari dan dibakukan sedemikian rupa, walaupun jelas bahwa Al-
Qur’an dan As-Sunnah tidak mengajarkan seperti itu. Contoh agar dapat mencapai
“derajat dan pengalaman rohani tertentu” maka harus dibaca wirid berulang kali atau
semacamnya.[16]
2.4 Objek kajian dalam tasawuf
Islam adalah agama yang bersifat universal memberikan jawaban asasi terhadap berbagai
kebutuhan manusia, baik lahiriyah, bathiniyah maupun individual serta kolektif. Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi islam yang memfokuskan pada dimensi esoterik, yaitu
pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat menimbulkan akhlak mulia. Melalui
studi tasawuf ini, seseorang dapat mengetahui tata cara melakukan pembersihan jiwa
serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini ia akan tampil sebagai seorang
yang pandai dan terampil pada saat berinteraksi dengan orang lain atau saat melakukan
aktifitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab. Terdapat tiga
sudut pandang yang digunakan oleh para ahli dalam mendifinisikan tasawuf, antara lain:
a. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas.
b. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
c. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.[17]
Tujuan tasawuf adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifatullah” yaitu leburnya pribadi
kepada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa keTuhanan. Yang
dimaksud “fana” di sini adalah seluruh makhluk hati, dunia dan diri sendiri hilang sama
sekali dari ingatan hati, karena ia tenggelam dalam kenikmatan ingat kepada Allah
semata. Sedangkan tujuan tasawuf lainnya adalah “insan kamil”, yaitu manusia utama
atau manusia yang karena adanya realisasi wahdah asasi dengan Tuhan yang
mengakibatkan adanya sifat-sifat dan keutamaan Tuhan padanya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang
berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti serta seluruh sifat yang berjalan dengan hati.
Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan
cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik
dalam berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan. Seorang sufi Al Junaid dalam
kitab Al Hikam mengatakan bahwa perilaku sufi itu harus melakukan empat hal, yaitu:
a. Ia harus mengenal Allah, sehingga ia seperti tidak ada jarak dengan Allah.
b. Ia harus melakukan semua akhlak yang baik menurut ajaran Nabi Muhammad dan
meninggalkan akhlak yang buruk.
c. Ia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya sesuai dengan ajaran Allah.
d. Ia harus merasa tiada memiliki sesuatu apa pun dan juga merasa tidak dimiliki
siapapun kecuali Allah.[18]
Sedangkan tahapan-tahapan tasawuf ada empat yang harus dilalui oleh hamba yang
menekuni ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan utama tasawuf, diantaranya:
a. Syari’at yang meliputi perbuatan yang nyata dan tidak nyata (perbuatan hati).
Sedangkan menurut Abu Bakar Ma’ruf mendifinisikannya sebagai segala macam perintah
dan larangan Allah swt.
b. Tarekat, yaitu jalan menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan
syari’at yang disebut sebagai “Al-Amal”.
c. Hakikat, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan sebagai Ilmu Hakikat, berarti ilmu
yang mencari kebenaran. Hakikat yang didapatkan oleh sufi setelah lama menempuh
tarekat, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya.
d. Ma’rifat, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan
dengan pengamalan tasawuf maka istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika sufi
mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh sufi ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui
secara berurutan tidak mungkin dilalui secara terbalik atau secara terputus-putus. Dengan
cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami
kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.[19]
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tasawuf adalah suatu cabang ilmu dalam islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dari islam. Spiritualitas ini mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam
kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan pada kehidupan akhirat daripada
kehidupan dunia serta lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari
gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan
pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
Kejayaan tasawuf pada abad ke tujuh dan sesudahnya di kalangan bangsa arab, segala hal
yang disandarkan pada Rasulullah baik secara hak maupun bathil, hal terebut masih
memerlukan penyempurnaan karena kejayaan tasawuf pada abad sebelumnya terjadi di
kalangan bangsa Arab dan non-Arab. Hal ini merupakan hasil dari suatu perkembangan
alami yang terjadi dalam sejarah perkembangan budaya.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak tasawuf pada intinya adalah
perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik
atau buruk. Pengertian ilmu akhlak tasawuf selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad Al-
Ghazali, menurutnya bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok. Dalam
masyarakat barat akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkan ini
tidak sepenuhnya tepat. Etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat.
Sedangkan menurut jalan yang ditempuh oleh para sufi, seseorang yang telah mencapai
kesadaran lahir dan batin, serta telah berhasil mencapai titik keseimbangan dan
keberpusatan, maka ia telah memenuhi syarat untuk membantu yang lainnya dan
memancarkan kemajuan yang telah berhasil mereka capai.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memfokuskan pada dimensi
esoterik, yaitu pembersihan aspek rohani manusia sehingga dapat menimbulkan akhlak
mulia. Melalui studi tasawuf ini, seseorang dapat mengetahui tata cara melakukan
pembersihan jiwa serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini ia akan tampil
sebagai seorang yang pandai dan terampil pada saat berinteraksi dengan orang lain atau
saat melakukan aktifitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab.
Jadi sasaran tasawuf adalah akhlak dan budi perkerti yang baik berdasarkan kasih dan
cinta kepada Allah. Karena itu, ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik
dalam berhubungan dengan manusia ataupun dengan Tuhan.
Keempat tahapan (syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat) yang harus dilalui oleh sufi
ketika menekuni ajaran tasawuf harus dilalui secara berurutan tidak mungkin dilalui
secara terbalik atau secara terputus-putus. Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang
berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami
kesesatan.
3.2 Saran
Dengan pengetahuan tentang tasawuf ini diharapkan agar kita senantiasa bertindak dan
berprilaku yang seimbang sesuai dengan ajaran yang ada dalam agama islam supaya kita
bisa selamat dunia akhirat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga. Jakarta : 2006.
Muhammad, Miftahul Luthfi. Tasawuf Implementatif. Duta Ikhwana Salama Ma’had
TeeBee. Surabaya : 2004.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta : 2000.
Haeri, Fadhlalla. Dasar-Dasar Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta : 2003.
Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Hitam Putih. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Solo :
2006.
K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta : 2004.
Mahjuddin. Kuliah Akhlak Tasawuf. Penerbit Kalam Mulia. Jakarta : 1991.
Tim Penyusun Studi Islam. Pengantar Studi Islam. IAIN Sunan Ampel PRESS. Surabaya :
2004.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/
http://barudaktea.multiply.com/journal/item/16/asal-
usul_dan_sejarah_perkembangan_Tasawuf
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
http://greensite-tugaskoe.blogspot.com/2008/03/ahklak-tasawuf.html
http://tasawufislam.blogspot.com/2009/05/sejarah-perkembangan-tasawuf-salafi.html

________________________________________
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme
[2] http://moethans.wordpress.com/2009/10/14/12/
[3] K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 28.
[4] Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006),
hlm. 2.
[5] http://barudaktea.multiply.com/journal/item/16/asal-
usul_dan_sejarah_perkembangan_Tasawuf
[6] http://tasawufislam.blogspot.com/2009/05/sejarah-perkembangan-tasawuf-
salafi.html
[7] Mahjuddin. Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia, 1991), hlm. 61-71.
[8] Miftahul Luthfi Muhammad. Tasawuf Implementatif , (Surabaya : Duta Ikhwana Salama
Ma’had TeeBee, 2004), hlm. 3.
[9] http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
[10] Mohammad Zaki Ibrahim. Tasawuf Hitam Putih , (Solo : Tiga Serangkai, 2006), hlm.
11.
[11] Mohammad Damami. Tasawuf Positif , (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm.
218-223.
[12] http://greensite-tugaskoe.blogspot.com/2008/03/ahklak-tasawuf.html
[13] Mohammad Damami. Op. Cit, hlm. 181.
[14] Ibid.
[15] Syekh Fadhlalla Haeri. Dasar-Dasar Tasawuf , (Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2003), hlm.
47.
[16] Mohammad Damami. Op. Cit, hlm. 188.
[17] Tim Penyusun Studi Islam. Pengantar Studi Islam , (Surabaya : IAIN Sunan Ampel
PRESS, 2004), hlm. 173-176.
[18] K. Permadi. Op. Cit, hlm. 89.
[19] Mahjuddin. Op. Cit, hlm. 106-118.

Anda mungkin juga menyukai