Anda di halaman 1dari 39

Artikel dan berita tentang hubungan tasawuf dengan ilmu kalam mungkin telah berada pada

daftar posting yang telah dipublis pada situs ini, namun mungkin anda belum menuliskan kata
kunci yang tepat, bila belum menemukan yang sesuai dengan hubungan tasawuf dengan ilmu
kalam,

Read more: http://kafeilmu.com/tema/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-


kalam.html#ixzz1YgPr23JA

TASAWUF
Posted: September 27, 2009 by syekhu in MAKALAH
Tag:ilmu, islam, QALBU, TASAWUF

A. Pendahuluan

Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu
Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang
dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut
dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir
dalam menjelaskan hadis Nabi :

)(
)( )(

Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang
diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan
Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan
ilmu dhahir itu keluar dari lidah.[1]

Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan
oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh
lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syariah.

Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh
tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan
keduanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya
bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula pengamalan syariat-
nya dan kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga syariat-nya dan bathin-nya, bahkan keluar
masuk nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.

Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu
berbarengan dengan disertai dzikir rahasia melalui qalbu-nya, misalnya dzikir Allah ( )
misalnya pada saat itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua ( ) pada saat nafasnya
masuk/naik, amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi.
Selama manusia itu bernafas, maka dzikir bathin tersebut dapat diamalkan baik di waktu duduk,
berdiri, maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathin itu dapat
diamalkan.[2]

Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan
Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat
berkumpul bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-
dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-
nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam
dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf.

Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya
dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana
terungkap di dalam syahadat.[3]

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu dari ilmu-ilmu ke-
Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, pada makalah ini akan diuraikan :

1. Bagaimana awal mula munculnya tasawuf ini ?

2. Sejauh mana pengertian tasawuf itu ?

3. Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?

II. PEMBAHASAN

A. Asal Usul Tasawuf

Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam
kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabiin. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya
adalah zhid, bid, dan nsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam
sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis
(kesederhanaan) atau para zhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam
perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan
pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-
shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang
dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf,[4] yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih
mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad
tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini
dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zhid menjadi
sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zhid sudah sampai pada persoalan apa
itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan
tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang
yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang
sufi pada tingkat tertentu (al-hl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang
pembahasan tentang al-marifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan
ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhsibi (w. 243 H),
al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[5] dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan
munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf
yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama
kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-
kasyf, dan dzawq.[6]

Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh
infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe
gerakan yang muncul.

Pertama adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan
oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang
paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit
dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis,
pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili
aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam
kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf al-raja, rabiah al-Adawiyah
(w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Maruf al-Kharki (w. 200 H) dengan
konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.[7] Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan
ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.

Kedua timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan
polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang
yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap
menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran
uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).[8] Apabila diukur dari kriteria sosiologi,
nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan sempalan, satu kelompok
ummat yang sengaja mengambil sikap uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap
penguasa.

Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan
pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di
dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia
baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh
dengan salju cinta.

Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan
moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas
faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rh al-dn yang menyebabkan
terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.
Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam
agama, para zuhdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga
memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[9]

Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai
dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang
penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi
berfaham ittihad[10] di pihak lain.

Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-
Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang
kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau
bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka
yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan
legalitas al-fana.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah
besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syariah
sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-
penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Taarruf li
Mazhhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Rislah.[11]

Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang
merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H)
dengan konsepsinya marifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtl (w.
578 H) dengan doktrin al-Isyrkiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai
puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan
upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil
rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam
kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian
itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam
kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar
mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi
kesatuan simbolistik.[12]

Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan
untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda,
sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi
para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran
dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase
kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran
tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.[13]
B. Pengetian Tasawuf

Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam
Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh
Abu Jihaduddin Rafqi al-Hnif :

1. Berasal dari kata suffah ( =)segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan


dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk
bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan
kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.

2. Berasal dari kata sfatun ( =)bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu
memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah
sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.

3. Berasal dari kata suf al sufa ( =) bulu yang terlembut, dengan dimaksud
bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.

4. Berasal dari kata safa ( =)suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang
mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.[14]

Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat
tidak menerima arti tasawuf dari makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid
Yahya berkata: Banyak perbedaan pendapat mengenai katasufi dan telah ditetapkan ketentuan
yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat lainnya kerena
semua itu bisa diterima.

Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya,
maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang
menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama dengan jumlahal-Hakim al-
Ilahi, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu orang
arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan dengan-
Nya (dengan pertolongan-Nya)[15]

Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah
diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang
bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai
tingkat marifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.

Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit
mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf hanya
dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie
Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard University[16] sebagai contoh
apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Rislah al-
Qusyairiyyah

Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Taala. Orang-orang
yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan
cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.

Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi beliau
ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawa :

Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.

Menurut Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang
membentuk tasawuf :

Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan.[17]

Dengan beberapa pengertian tasawuf tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan Allah
dengan manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbu sehingga manusia yang ber-
tasawuf itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim, karena manusia dalam pengertian
qalbu dan ruh, dapat dihubungkan dengan Allah seperti firman Allah dalam hadis Qudsi :

Allah berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku tidak
mampu memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku.[18]

Bahwa hadis Qudsi tersebut menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat secara
langsung dekat Allah swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam
bumi dan langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya Allah
swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya orang mukmin, niscaya akan sanngup
dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih tinggi martabatnya, dibandingkan dengan
makhluk lainnya, setelah itu pula manusia mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian
mudah berhubungan, nur dengan nur.

C. Tujuan Tasawuf

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah.[19]
Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran
antara dari tasawuf, yaitu :
1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan
kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu
sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang
bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.

2. 2. Tasawuf yang bertujuan marifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-
Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan
khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.

3. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan
diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan
makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan
Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu;
dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti
berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan
dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah
menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.[20]

Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat
dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau
keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak
Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; (2) penanggalan secara
total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan
kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana al-maasi dan baqa al-taah; dan
(3) peniadan kesadaran terhadap diri sendiri serta pemusatan diri pada perenungan terhadap
Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilhi anta maksdy wa ridhka mathlby.

III. PENUTUP/KESIMPULAN

1. Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang
dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar.
Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran
spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang
jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-
Takwir:

2. Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikan
tasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa
ternyata dijumpai pula pada pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya berpangkal
pada esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin
dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan.

3. Sementara tujuan akhir tasawuf itu sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang
mencakup :
1. Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.

2. Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari


sifat-sifat jelek.

3. Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.

DAFTAR PUSTAKA

Fazlur Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984.

Al-Iskandariah, Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn. Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif
dengan judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.

_______, Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah
al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).

al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kmil fi Marifat Awliri wa al-Awil.
Jilid II. Mesir: Syarikah Matbaah Mustafa- Babil Halabi wa Aldih, 1375 H.

al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allmah. Faedul Qadr. Jilid IV. Mesir: Sanabun Maktabah,
1357 H.

Nicholson. The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.

Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media
Varia Ilmu, 1996.

Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999.

-o 0 o-

[1]Mustafa Muhammad al-Allmah al-Manawi, Faedul Qadr, jilid IV (Mesir: Sanabun


Maktabah, 1357 H.), h. 390.

[2]Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi (Cet. II; Surabaya:
Media Varia Ilmu, 1996), h. 6.
[3]Ibid., h. 7.

[4]Lihat H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.

[5]Liohat Al-Muhzib, al-Riyah li al-Huqq al-Insn; al-Harraj, al-Tariq ilallah; al-Junaid,


Dawa al-Aywah.

[6]Lihat Ibid., h. 37.

[7]Lihat Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama
lengkapnya adalah Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang ahli dalam sejarah
dan mistikisme dalam Islam.

[8]Lihat Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung:
Pustaka, 1984), h. 185.

[9]Lihat H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 39.

[10]Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga
terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman, op. cit., h. 186.

[11]LIihat Ibid., h. 187.

[12]Lihat ibid., h. 187.

[13]Lihat H.A. Rivay Siregar, op. cit., h. 43.

[14]Lihat Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin
Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), h. 5.

[15]Lihat Sahabuddin, op. cit., h. 12.

[16]K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 31.

[17]Sahabuddin, op. cit., h. 13.

[18]Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insn al-Kmil fi Marifat Awliri wa al-
Awil , jilid II (Mesir: Syarikah Matbaah Mustafa- Babil Halabi wa Aldih, 1375 H), h. 25.

[19]Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul
Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.

[20]H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 57.


ABU YAZID AL-BUSTAMI DENGAN
KONSEP TASAWUFNYA
Posted: September 27, 2009 by syekhu in MAKALAH
Tag:ABU YAZID AL-BUSTAMI, KONSEP, TASAWUF

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang
dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu
upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui data-data
(naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu
yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah
tesebut pun sangat beragam dan di antara tema yang cukup dominan serta telah banyak menarik
perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.

Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin
yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam.[1] Tasawuf atau sufisme
adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun
tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga
dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan tuhan dengan mangasingkan diri
dan berkontemplasi[2].

Dalam islam kita mengenal dua aliran tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para
pengikutnya cederung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyyat), serta mertolak dari keadaan
fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan tuhan. Kedua, aliran
tasawuf amali, dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan sayriat
yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah
mereka dengan keduanya.[3] Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf
Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.[4]
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf Irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep
fana`, baqa` dan al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.

1. B. Rumusan Masalah

Pada makalah ini penulis dalam rumusan makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat
hidup Abu Yazid Al-Bustami dan konsep ajaran tasawuf-Nya yang kita kenal dengan istilah
Fana`, Baqa` dan Ittihad.

BAB II

PEMBAHASAN

1. I. Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami

Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H 261 H/874 947
M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya
ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah
memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.[5]

Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup
sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai
kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga
Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.

Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang
anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya
menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : berterima kasihlah kepada Aku dan
kepada kedua orang tuamu ayat ini sanagat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian
berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia
selalu berusaha memenuhi setiapo panggilan Allah.

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu puluhan tahun, sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari
madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan
ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid
tidak ditemukan dalam bentuk buku

Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun
pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.

Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua
saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah
dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama.
Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut
mazhab hanafi.

Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah
dan memasuki dunia tasawuf.

Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa` dalam
tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di
kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan
kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar
biasa.

Abu Yazid pernah berkata: Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat
yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum
kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.
[6]

Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi
selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil
dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-
ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan
bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.[7]

Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73
tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.

1. II. Konsep Thasawuf Abu Yazid al-Bustami

1. 1. al-Fana dan al-Baqa`

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti
meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan
dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak
menyadari sesuatu.[8]

Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang
berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur[9]. Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan
sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M)
mendefinisikannya hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat
memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepantingan ketika
berbuat sesuatu.[10]
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear. (mati dan
menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan
untuk Allah dan bersatu dengannya.

Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya
sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya
sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana`
adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan
hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada
alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.

Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi
adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya
sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba
memandang bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.[11]

Dalam menjelaskan pengertian fana, al-Qusyairi menulis, Fananya seseorang dari dirinya
dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk
lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada
diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan
pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.[12]

Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya
adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya
hanyalah Tuhan semesta.

Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan
dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.

Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive
(hidup dan terus hidup),

Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan
dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti
diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.[13]

Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal.[14] Bisa juga berarti memaafkan
segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.

Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli
tasawuf: Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal.
Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan tuhannya, karena hati mereka bersama
Allah.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`. Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal
adalah sifat-sifat ilahiah.

Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain
keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.

Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya.
Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. Engkaulah yang aku inginkan, jawabku, karena
Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau
aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu

Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya,
Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu? Tuhan menjawab, Tinggalkan diri
(Nafsu)mud an kemarilah.

Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada salah satu ucapannya:

Artinya:

Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian aku tahu pada-nya melalui
dirinya maka aku pun hidup. (B 132)

Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya merupakan paham
yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani
baqa`.

Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan baqa` al-Qusyairi menyatakan, Barangsiapa
meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana` dari syahwatnya. Tatkala
fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam niat dan keikhlasan ibadah; Barangsiapa yang hatinya
zuhud dari khidupan maka ia sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam
ketulusan inabahnya

Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang
satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman
ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India
terkemuka, Syah Wali Allah (wafat 1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi
Utama, yaitu Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang
sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat
Qadariyyah.[15]

Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman
yang bear, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-
dosa kecil (shagha-ir) sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id)
yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.[16]

Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain
akan baqa atau tinggal. Dalam iterature tasawuf disebutkan, orang yang fana dari
kejahatan akan baqa(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa
(tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang
baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang
kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.[17]

1. 2. al-Ittihad

Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua benda)
menjadi satu[18], yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila
seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.[19] Yang mana tahapan ini adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan
ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu,
baik subtansi maupaun perbuatannya[20].

Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang
satu lagi dengan kata-kata, Hai aku.[21]

Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya
satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena
yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya
antara sufi dan tuhan.[22]

Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena
fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama tuhan.

Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya menyatakan;

Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan tuhan,
tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah ydng disebut tingkat bersatu
(maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan
mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya
sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya
kebersatuan).[23]

Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;

Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan
tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang,
ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-
an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap
ke dalam kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh,
pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan
terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi
akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan
kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: Aku adalah
Tuhan, sedang yang lain menyatakan: Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku;
sedang yang ketiga berkata: Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan. Apabila
pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari
ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan
ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau
kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya
sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan
(majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).
[24]

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang
dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis).[25]

Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Bahwa ia telah
berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat[26] yang diucapkannya. Ucapan-ucapan
yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[27]

Artinya:

Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku
heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa

Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:

: :

Artinya:

Tuhan berkata, Semua mereka kecuali engkau- adalah makhluk. Aku pun berkata, Engkau
adalah aku dan aku adalah Engkau.

Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:

: . : : : .

: :

Artinya:

Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata,
Hai engkau, Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, Hai Aku, Ia berkata, Engkaulah
yang satu. engakau adalah Engkau. Aku balik menjawab, Aku adalah Aku.

Artinya:

Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.

Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya,
Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab, Abu Yazid, Abu Yazid berkata. Pergilah, di
rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan.
Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, Hiasilah aku dengan
keesaan-Mu. Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, Abu Yazid, semuanya kecuali engkau
adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau.[28]

Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia
syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena
ucapannya membingungkan golongan awam.[29]

Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid
sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu
Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.

Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad di sisis Abu yazid
adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu
dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah.
Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang
dilihat.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Abu Yazid mempunyai peluang yang besar untuk menjadi sufi karena memang ia
dibesarkan dari keluarga yang taat beragama. Dimana Ibunya adalah zahidah ayahnya
adalah pemuka masyarakat dan dua orang saudaranya termasuk sufi. Walaupun tidak
seterkenal dirinya. Mulanya ia belajar agama di masjid tempat kelahirannya. Kemudian ia
melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah dan akhir kehidupannya berubah menjadi
seorang sufi dengan ajaran tasawufnya al-fana` albaqa` dan al-Ittihad.

2. Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana` dan
baqa` yang merupakan dua kembar yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-
Ittihad, al-Fana` adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela kebodohan
dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan al-Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat
ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat.
Sedangkan al-itthad adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai hal
tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah dan
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.

3. Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana an al-nafs,
dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi
tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah
yang disebut kaum sufi al-fana an al-nafs wa al-baqa, bi l-Lah, dengan arti kesadaran
tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad,
persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di
Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)

Oman fathurrahman, Loc. Cit

DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung,
Pustaka Setia, 2004)

DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit. h. 130

Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994)

Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I,
PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997)

Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya,
1997)

DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di
Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999) www.media.isnet.org/islam/index.html

Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit

Husin al-Habsyi, Loc. Cit.

Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit.

Hubungan Ilmu Kalam dengan Tasawuf dan Al-Quran

MAKALAH
HUBUNGAN ILMU KALAM dengan TASAWUF dan
AL-QURAN
Makalah ini disusun untu memenuhi mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pembimbing:
Drs. Masduqi Affandi M. Pa. J
Disusun oleh kelompok IV:
1.Agnes Wahyu Diani (B37210088)
2.Kholifatur Rohmah (B37210087)
3.M. Kafil Bahtiar (B37210097)

FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
IAIN Sunan Ampel Surabaya 2010

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami sebagai penyusun bisa menyelesaikan
tugas membuat makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah yang berjudul Hubungan Antara Ilmu Kalam dengan Tasawuf dan Al-Quran ini
membahas tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf yang dilihat dari segi persamaan,
perbedaan dan titik singgungnya serta hubungan ilmu kalam dengan al-Quran.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula karya manusia. Tidak ada karya yang sempurna. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terjadi kekurangan dan kesalahan.
Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat membantu para pembaca untuk mengetahui hubungan ilmu kalam
dengan tasawuf yang dilihat dari segi persamaan, perbedaan dan titik singgungnya serta
hubungan ilmu kalam dengan al-Quran.

Surabaya, 20 Desember 2010

Daftar Isi

Kata Pengantar..
Daftar Isi..
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang..
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan
1.4Batasan Masalah.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Ilmu Kalam dengan Tasawuf .
A. Titik Persamaan Ilmu Kalam dengan Tasawuf
B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam dengan Tasawuf
C. Titik Singgung Ilmu Kalam dengan tasawuf
2.2 Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Quran..

BAB III PENUTUP


3.1Kesimpulan..
3.2 Saran..

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan Makalah


Ilmu kalam merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan. Masalah ketuhanan itu
sendiri banyak dijelaskan dalam al-Quran dan tasawuf.
Kaum muslimin pada umumnya dan orang beriman pada khususnya mempunyai pedoman dan
undang-undang yang diberikan oleh Allah kepada mereka, yaitu berupa kitab suci Al-quran.
Maka dari itu kami disini akan membahas tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf dan al-
Quran.

1.2 Rumusan Masalah


Agar dalam penulisan makalah ini lebih mengarah dan efektif, kami merumuskan masalah yang
akan kami bahas yaitu:
1.Bagaimana hubungan ilmu kalam dengan tasawuf?
2.Bagaimana hubungan ilmu kalam dengan Al-Quran?

1.3 Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1.Menjelaskan tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf .
2.Menjelaskan tentang hubungan ilmu kalam dengan Al-Quran.

1.4 Batasan Masalah


Dalam makalah ini kami memberi batasan pada masalah yang kami uraikan. Kami menjelaskan
tentang hubungan ilmu kalam dengan tasawuf dan hubungan ilmu kalam dengan Al-Quran.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Ilmu Kalam dengan Tasawuf
A. Titik Persamaan Antara Ilmu Kalam dengan Tasawuf
Ilmu kalam dan tasawuf mempunyai kesamaan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Sementara objek kajian tasawuf
adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya,
kedua ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Baik ilmu kalam maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam,
dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan
dengan-Nya.
B.Titik Perbedaan Antara Ilmu Kalam dengan Tasawuf
Perbedaan diantara kedua ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai
ilmu yang menggunakan logika yang memberikan fungsi untuk mempertahankan keyakinan
ajaran agama. Ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan
melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa ilmu ini berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman
keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf
bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya,
bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio.
Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi
yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah
kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri.
Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berembang menjadi teologi rasional dan teologi
tradisional. Sedangkan tasawuf berkembang menjadi tasawuf teoritis. Adapun tasawuf lebih
berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya
secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.
C.Titik Singgung Antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, merupakan disiplin ilmu keislaman yang
mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan
kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar
argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan
adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis, sedangkan
argumentasi naqliyah berupa dalil-dalil quran dan hadist. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang
membicarakan tentang penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual
dalam pembahasan kalam. Ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat bahwa
ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid. Ilmu kalam pun berfungsi
sebagai pengendali ilmu tasawuf.

2.2Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Quran


Hubungan ilmu kalam dengan al-quran sangatlah erat. Hal itu dikarenakan Al-Quran
memberikan motivasi sehingga memunculkan pemikiran dalam Islam. Yang dimaksud dengan
pemikiran dalam Islam adalah sebagai upaya akal dari para ulama Islam untuk menerangkan
Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al-Quran. Dengan perkataan lain bahwa pemikiran Islam
merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh pemikiran muslim sejak Rasulullah SAW sampai
sekarang. Sedangkan Al-Quran dijadikan sebagai sumber yang memberikan motivasi manusia
untuk berfikir. Oleh karena itu, melalui upaya interpretasi Al-Quran inilah, pemikiran-pemikiran
terus berkembang dilingkungan umat Islam, termasuk didalamnya pemikiran-pemikiran kalami
muncul.

BAB III
PENUTUP

3.2Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah tersebut, maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.Bahwa ilmu kalam dengan tasawuf mempunyai titik persamaan yaitu terletak pada objek
kajiannya. Baik kalam maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran.
Apabila ada titik persamaan, sudah pasti ada titik perbedaannya. Perbedaan keduanya terletak
pada aspek metodologinya.
2.Sedangkan hubungan antara ilmu kalam dengan Al-Quran yakni sangatlah erat sekali. Disini
Al-Quran berperan dalam memberikan motivasi sehinnga memunculkan pemikiran dalam
Islam.

3.2 Saran
Dari pembahasan makalah ini, kami mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1.Sebagai seorang umat islam yang baik hendaknya kita selalu berusaha terus untuk menuntut
ilmu sampai akhir hayat.
2.Selagi kita masih diberikan kesempatan, hendaknya kita memperbanyak amal ibadah kita.
3.Dan selalu berpedoman pada Al-Quran, agar kita tetap berada dalam jalan yang lurus.

DAFTAR PUSTAKA

Razak, Abdul dkk. 2010. Ilmu Kalam. Bandung:Pustaka Setia


Ghazali, Adeng Muchtar. 2005. Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga
Modern.Bandung:Pustaka Setia

A. DEFINISI TASAWUF
22 04 2009

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan hati sesuci
mungkin dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah, sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibnu Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf
para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyful-hijab (tersingkapnya
tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di
masa sesudahnya. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba dan iqtida
(kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Beliau mengajarkan tentang ketakwaan,
qanaah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, dan tidak pernah mengajarkan hidup
kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagai mana dilakukan oleh agama sebelumnya.

a. Secara Etimologi (Bahasa)

1. Tasawuf berasal dari kata Shuffah, yaitu sebutan bagi orang orang yang hidup di
sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut
nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan harta benda,
mereka hidup miskin, mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk
beribadah kepada Allah SWT. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur diatas bangku
yang terbuat dari batu dan berbantalkan pelana kuda yang disebut suffah. Mereka Ahlus-
Suffah walaupun miskin, tapi berhati dan berakhlak mulia, ini merupakan sebagian dari
sifat-sifat kaum sufi.

2. Tasawuf juga berasal dari kata Shafa (suci bersih), yaitu sekelompok orang yang
berusaha menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang orang yang hati
dan jiwanya suci bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan hatinya terus bersatu
dengan Allah SWT.

3. Tasawuf juga berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol). Mereka di sebut
sufi karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang menjadi ciri khas
kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan
wol yang sangat kasar, itulah lambang dari kesederhanaan. Berbeda dengan orang-orang
kaya saat itu yang kebanyakan memakai kain sutra.

b. Secara Teminologi (isthilah)

Imam Junaidi al-Baghdadi berpendapat : Tasawuf adalah membersihkan hati dari


yang selain Allah, berjuang memadamkan semua ajakan yang berasal dari hawa nafsu,
mementingkan kehidupan yang lebih kekal, menyebarkan nasihat kepada umat manusia,
dan mengikuti contoh Rasulullah SAW dalam segala hal.

Dari segi bahasa dan istilah, kita dapat memahami bahwa tasawuf adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan umat manusia dan selalu bersikap bijak sana. Dengan cara ini akan mudah
bagi manusia menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, ber-taqarrub dan ber-
musyahadah dengan Allah SWT.

Hukum mempelajari ilmu tasawuf adalah fardhu ain bagi setiap mukallaf. Sebab
apabila mempelajari semua ilmu yang dapat memperbaiki dan memperbagus lahiriyah
menjadi wajib, maka demikian juga halnya mempelajari semua ilmu yang akan
memperbaiki dan memperbagus batiniyah manusia.

Karena fungsi ilmu tasawuf adalah untuk mensucikan batin agar dalam ber-
musyahadah dengan Allah semakin kuat, maka kedudukan ilmu tasawuf diantara ajaran
Islam merupakan induk dari semua ilmu. Hubungan tasawuf dengan aspek batin manusia,
adalah seperti hubungan Fiqh dengan aspek lahiriyah manusia. Para ulama penegak pilar-
pilar ilmu tasawuf telah menciptakan istilah-istilah untuk memudahkan jalan bagi mereka
yang ingin menapaki ilmu tasawuf yang sesuai dengan kedudukannya sebagai pem bersih
dan pensuci hati dan jiwa.

Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran
(mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif
(ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut
menjadi mazhab yang negatif (salbi).

Tasawuf ijabi mempunyai dua corak : (1) tasawuf salafi, yakni membatasi diri pada
dalil-dalil naqli atau atsar al-Quran dan Hadits. (2) tasawuf sunni, yakni memasukkan
penalaran-penalaran yang rasional ke dalam pemahaman dan pengamalannya. Adapun
perbedaan yang mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil.
Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih
berada dalam kerangka syariah.

Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah
terpengaruh oleh faham-faham spiritual dari bangsa Timur maupun Barat.

Adapun lahirnya ilmu tasawuf didorong dan disebabkan oleh beberapa factor:

1. Reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, serta cendrung
mementingkan nilai-nilai kebendaan,

2. Perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio yang kering dari aspek
moral-spiritual,

3. Katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi
oleh nalar kekerasan, penipuan dan memperturutkan hawa nafsu.

Oleh sebab itu, sebagian besar ulama sufi memilih menarik diri dari pergulatan
kepentingan politik yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang penuh
dengan tipu daya bahkan banyak menimbulkan pertumpahan darah.

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF


Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan
zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak
tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut:
A. Abad I dan II Hijriyah

Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi
lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai
berikut:

1. Bercorak praktis ( amaliyah )

Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu
seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain
sebagainya. Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama pasca terbunuhnya sahabat Utsman. Para
sahabat Nabi s.a.w digambarkan oleh Allah s.w.t sebagai orang yang ahli rukuk dan sujud,






(29)

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. ( al-Fath: 29 )

Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan
spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan
spiritual pasca terbunuhnya Utsman.[1] Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni,
sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil
masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama.

Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum
muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk
Islam ( al- Sabiqun al-Awwalun ), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, orang yang
dengan gigih mengorbankan hartanya untuk perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua
putri Nabi. Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam
pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk
beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah
seorang santri Ibn Masud berkata, Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam
pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan
Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga
aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa
Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair.[2]
2. Bercorak kezuhudan

Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan.
Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan
tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi
pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus
dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi s..a.w yang
menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.

Kezuhudan para sahabat Nabi s.a.w digambarkan oleh Hasan al-Bashri salah seorang tokoh
zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, Aku pernah menjumpai suatu kaum
( sahabat Nabi ) yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud kamu
terhadap barang yang haram.

Pada masa ini, juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di
emperan masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul
bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid, seperti belajar,
memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. Allah s.w.t. sendiri
juga memerintahkan Nabi untuk bergaul bersama mereka,


(52)

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari,
sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun
terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap
perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim). ( al-Anam : 52 )

Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan
mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara
mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan
sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya
dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Faritsi, seorang tukang cukur yang
dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang
kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan
dalam pemikiran Syiah,[3] , Abu Hurairah, salah seorang perawi Hadits yang sangat terkenal
adalah ketua kelompok ini,[4] Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Masud, Abd Allah ibn umar,
Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy,
Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan
karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang
kurang menguntungkan,[5] sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran
Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada
mereka. Dan mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan
sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.[6]

3. Kezuhudan didorong rasa khauf

Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah s.w.t sangat menguasai sahabat Nabi s.a.w dan orang
orang shalih pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang
keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran
mereka. Rasa khauf menjadi semakin intensif terutama pada pemerintahan Umayah pasca jaman
kekhilafahan yang empat. Pada masa pemerintahan Umayah, khauf tidak hanya sebatas sebagai
rasa takut terhadap kedasyatan dan kengerian tentang kehidupan diakhirat akan tetapi khauf juga
berarti kekhawatiran yang mendalam apakah pengabdian kepada Allah bakal diterima atau tidak.
Pada masa ini pula, khauf menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak orang lain pada
kebenaran dan kebaikan. Pendekatan indzar ( menakut-nakuti ) lebih dominan dari pada
pendekatan tabsyir (memberi kabar gembira ).

Semangat kelompok keagamaan pada masa ini adalah penyebaran rasa takut kepada Allah, kritik
terhadap kehidupan yang melenceng jauh dari nilai-nilai keagamaan pada masa Nabi dan dua
khalifah sesudahnya dan memperbanyak ibadah. Tokoh utama keagamaan pada masa ini adalah
Hasan al-Bashri. Bahkan para asketis yang nantinya disebut sebagai para shufi
mengidentikkan pemerintah dengan kejahatan.[7]

4. Sikap zuhud dan rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )

Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan.
Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang
yang mengabaikan huum-hukum Allah. Selanjutnya orang orang mukmin benar-benar
meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya
memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap
akhirat. Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan ( mazraah ) untuk mencapai kebahagian abadi
dan sejati yaitu akhirat.

5. Sikap zuhud untuk meningkatkan moral

Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan
ketidaksalehan ritual, personal maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah
seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah ( para pemimpin kerajaan
Umayah ) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
6. Sikap zuhud didukung kondisi sosial-politik

Meski sikap zuhud tanpa adanya keadan sosial politik tertentu masih tetap eksis lantaran al-
Qur`an dan perilaku serta perkataan Nabi s..a.w mendorong untuk bersikap zuhud, namun
keadaan sosial politik yang kacau turut menyuburkan tumbuhnya sikap zuhud.

Selama abad pertama dan kedua hijriyah terutama setelah sepeninggal Rasul s.a.w terdapat dua
sistem pemerintahan , yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah nubuwah) dan sistem
pemerintahan kerajaan ( mulk ).Pemerintahan pertama berlangsung selama tiga puluh tahun
sesudah Nabi Muhammad s.a.w yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali bin
Abi thalib tepatnya dari tahun 11 H/ 632 M. sampai dengan tahun 40 H./661 H. Mereka adalah
para pengganti Nabi yang berpetunjuk ( al-khulafa` al-Rasidun ). Sistem pemerintahan yang
pertama ini mekanisme penggantiannya melalui pemilihan. Pemerintahan kedua sejak
pemerintahan dinasti Umayyah tepatnya sejak tahun 41 H./661 M. Dan pemerintahan kedua ini
mekanisme pengangkatan pemimpin tertinggi melalui petunjuk atau wasiat penguasa
berdasarkan pertalian darah.

Pemerintahan kekhalifahan, dalam pandangan banyak orang muslim, suatu bentuk kesalihan dan
rasa tanggungjawab yang sangat dalam, sedangkan dinasti umayyah pada umumnya hanya
tertarik pada kekuasaan itu sendiri. Kecaman yang sering ditujukan pada dinasti Umayyah adalah
dinasti ini tidak menerapkan kebijakan untuk membuat asas Islam sebagai dasar bagi keputusan
keputusan administratif, oleh karenanya dinasti Umayyah lebih menomorsatukan politik dan
menomorduakan agama. Mereka pada umumnya dianggapmenghamba duniawi dan kurang
beriman.

Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual.
Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan spiritual
pasca terbunuhnya Utsman.[8] Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni,
sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil
masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama.

a. Fase Sebelum Terbunuhnya Khalifah Utsman

Kehidupan spititual Islam sebelum terbunuhnya Utsman terhitung sejak masa Rasul s.a.w dan
masa dua khalfah sesudahnya yaitu khalfah Abu Bakar dan Umar. Kehidupan spiritual pada
masa ini termasuk Islam murni. Ciri utamanya adalah amal untuk merealisasikan dua
kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian besar sahabat Rasul s.a.w. tidak mengalahkan akhirat
untuk dunia atau sebaliknya.

Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di
emperan masjid nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul
bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid seperti belajar,
memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya.
Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan
mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara
mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan
sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya
dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Fartsi, seorang tukang cukur yang
dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang
kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan
dalam pemikiran Syiah,[9] , Abu Hurairah, salah seorang perawi hadits yang sangat terkenal
adalah ketua kelompok ini,[10] Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Masud, Abd Allah ibn umar,
Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy,
Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.

Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan
karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang
kurang menguntungkan,[11] sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari
anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan
kepada mereka. Dan mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak
melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.[12]

Kesederhanaan kehidupan Nabi juga diklaim sebagai panutan jalan para shufi. Banyak ucapan
dan tindakan Rasul s.a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari
segi pakaian ataupun makanan, meskipun makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat
dipenuhi. Hal itu berlangsung hingga ahir hayat Rasul Allah. Dan secara logikapun tidak masuk
akal seandaikata Rasul s.a.w. yang menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara
dirinya sendiri tidak melakukannya

b. Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah Utsman

Pasca terbunuhnya khalifah Utsman, kehidupan spiritual mengalami perubahan dibandingkan


dengan masa sebelumnya. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri
terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama
orang-orang yang memeluk Islam ( al- Sabiqin al-Awwalin ), salah seorang yang dijanjikan
masuk surga, dan orang yang mengawini dua putri Nabi.

Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian
politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah.
Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang
santri Ibn Masud berkata, Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam
pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan
Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga
aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa
Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair.[13]

Dengan demikian pada masa ini mempunyai corak baru dalam kehidupan keagamaan kaum
muslimin. Fenomena keagamaan itu ditandai dengan munculnya para juru cerita ( al-Qashshas )
baik di masjid-masjid ataupun di tempat khalayak ramai dan para qurra` yaitu mereka yamg
membaca al-Qur,an dengan menangis. Markas utama para qurra itu ada di Bashra.

Kehidupan spiritual pada fase ahir abad kedua mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang
semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa,
pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri ( al-riydlah ) sangat
menonjol pada fase ini seperti menyepi ( khalwah ), bepergian (siyhah ), puasa ( al-shwm )
dan menyedikitkan makan ( qillah al-tham ) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua.
Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini mendapatkan
julukan al-Shufiyah atau al-Mutashawwifah.[14]

Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridl. Konsep tawakal dan ridl yang
terdapat dalam al-Qur`n itu yang oleh para asketis sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi
madzhab yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak kalangan asketis ( zhid ) melakukan
perjalanan masuk ke hutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap
karunia apa saja yang mereka terima.

Tokoh terkenal madzhab tawakal adalah Ibrahim bin Adham ( w. 161 H. / 790 M. )[15] . Ia
meninggalkan kehidupan kebangsawanan di Balkh ibu kota kaum Budish tempat ia dilahirkan.
Perkembangan doktrin tawakal ini pada perkembangannya mengarah kepada konsep sentral shufi
tentang hubungan manusia dan Tuhan, konsep ganda tentang cinta dan rahmat melebur dalam
suatu perasaan.

Nampaknya Kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar. Cerita
Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrhim ibn
Adham menyerupai kehidupan Sidarta Gautama, seorang peletak agama Budha. Adalah hal biasa
seorang abid kontak dengan para pendeta ( rhib )[16] . Mereka saling tukar pengalaman
mengenai kebijaksanaan ( al-hikmah, wisdom ) dan cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase
abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al- Bashri dapat disebut sebagai fase transisi dari
zuhud, yang puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Rbiah al-
Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase kelompok para penangis ( al Bukkun ).

B. Fase Abad III dan IV Hijriyah

Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme ( kezuhudan ), maka abad
ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa
sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya,
pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama
kegiatan ruhani mereka tidak semata mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian
pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan
yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan
mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke
persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-
orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang
shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana
seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata
aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.

Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep
ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 309 H. ) yang lebih dikenal
dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq
Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib.
Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah,

1. Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah

2. Ucapannya ( saya adalah tuhan yang maha benar)

3. Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya

4. Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib[17]

Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri ( w. 245 H.) yang dikenal dengan pencetus marifat.
Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara
pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir., al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H. ) dengan
konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli ( w.334 H.)

C. Fase Abad V Hihriyah

Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang
asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf
yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan
reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah
atau tradisi ( sunnah ) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-
Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia
hidup dalam lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal
sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh
muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-
Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari
dan Shahih al-Muslim[18] Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni.
Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan
aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-
Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din.

Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin
Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.) , al-Qusyairi menulis
al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.
D. Fase Abad VI Hijriyah

Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan
antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat
Yunani. Pengalaman pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba
kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa
wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan
sekedar sangkaan dan khayali[19].

Tokoh tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu
Arabi ( 560 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada
tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Di masa mudanya, ia
pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah dialami mengubah
sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan
waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru shufi.
Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku
berjudul al-Isra Ila Maqam al-Asra () . Kemudian pergi ke Kairo dan al-
Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa
tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail ( ) dan Ruh al-
Quds ( ) dan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al-
Makkiyyah () . Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush
al-Hikam () . Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H.

Tokoh lainnya adalah al-Syuhrawardi (549 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum
bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan
Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu
Sabin (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)

Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang bertujuan
membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir tertentu. Oleh sebagian
orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk membantu orang-orang awam agar ikut
mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang
tertentu saja ( khawash). Disamping itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar
senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat ketat.

[1] Abd al-Haim Hassan, al-Tashawwuf Fii Syir al-Arabi, Kairo, Maktabah al-Anjalu al-
misriyah, 1954. hal.35

[2] Ibid., hal. 36

[3] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djokjo Damono,
Jakarta,Pustaka Firdaus, 1986, hal. 28
[4] Kmil Mushthaf Syiby, al- Shillah Bain al-Tashawuf Wa al- Tasyayu,Bairut: Dar al-
Andalus, 1982, hal. 262

[5] Ibid. hal. 34

[6] Abd al-Rahman Badawi, Tarikh al-Tashawuf al-Islamy min al-Bidayah Hatta Nihayah al-
Qarn al-Tsani, Kuwait, Wakalah al-Mathbuat, hal.127

[7] Annemarie Scimmel, Op. Cit. hal. 29

[8] Abd al-Haim Hassan, Op. Cit. hal.35

[9] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djokjo Damono,
Jakarta,Pustaka Firdaus, 1986, hal. 28

[10] Kmil Mushthaf Syiby, al- Shillah Bain al-Tashawuf Wa al- Tasyayu,Bairut: Dar al-
Andalus, 1982, hal. 262

[11] Ibid. hal. 34

[12] Abd al-Rahman Badawi, Tarikh al-Tashawuf al-Islamy min al-Bidayah Hatta Nihayah al-
Qarn al-Tsani, Kuwait, Wakalah al-Mathbuat, hal.127

[13] Abd al-Hakim Hassan, Op.Cit. hal. 36

[14] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Dr al-Fikr, hal. 467

[15] Abd al-Rahman Badawi, Op.Cit. hal. 277

[16] Rahib adalah pelaku rahbaniyah kata dasarnya al-Rahbah yang berarti takut ( al-khauf ) .
Para rahib adalah orang-orang yang takut dengan cara mengosongkan diri dari kesibukan dunia,
meninggalkan kelezatannya dan memencilkan diri dari pemniliknya. Lihat abd rahman Badawi,
Ibid. hal. 105

[17] . Mani bin Hammad al-Jahni, al-Mausuah al-Muyassarah Fii al-Adyan Wa al-Madzahib
Wa al-Ahzab al-Muashirah, al-Maktabah al-syamilah, Juz 50 bab al-Muqaddimah al-Hammah,
hal 1

[18] . Ibid.,Juz 53 hal. 2

[19] . Ibid.,
Islam, Doktrin dan Peradaban
oleh Dr. Nurcholish Madjid

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam


(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(1/2)

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi
bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh,
Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum,
sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf
membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi,
sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu
Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan
lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi
mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia,
sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen,
misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia).
Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan
menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka
melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang
cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan
lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul
[Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din
(Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat
dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu
kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-
sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi
paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-
Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di
madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu
pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.

Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di
kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh
kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan
hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam.
Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang
mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak
jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab
yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu
Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan
Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga
dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-
Sanusi).

Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-
sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu
penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih
seimbang.

Pertumbuhan Ilmu Kalam


Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa
abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam
sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang,
kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa
menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar),
sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama)
Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka
Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir
secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu
menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih
memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti
"pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam
pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan
menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-
kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang
juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan
logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga
ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq
('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".

Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu
Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-
orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa
yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir
semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih
dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak,
Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran,
dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi
atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai
pusat Hellenisme Persia.

Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah
untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau
menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan
berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar
(berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah
kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh.
Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti
kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para
(bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu
mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal
perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik
dan yang buruk.

Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah


Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung
kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah,
sebagai berikut:

Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap
netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para
pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat
kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya
seribu orang sekitar itu.[1]

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul
perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ
'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu
mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan
kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap
'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena
mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka
merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang
sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi
kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali,
sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya
(tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya
mirip). [2]

Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya
boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap
saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi
pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang
paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang
disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan
demikian:

Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu)
Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ...
[3]

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum
Mu'tazilah.[4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah.
Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani
dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut
paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan
dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-
nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan
adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-
keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan
tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada
manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi
(impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya
Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak
berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para
pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib,
pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu
membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui
sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu
dikenal sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas"
[Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi
pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut
sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum
Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu.
Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional,
meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan
dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-
bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani,
ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di
bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]

Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam,


memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal
(pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-
Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah
(pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang,
termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah
apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi
satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang
dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah
berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan
harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi])
berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal
adalah karena masalah ini.

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah
meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun
masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu
kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia.
Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif
dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,
termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam

Anda mungkin juga menyukai