Anda di halaman 1dari 24

2.

1 Relasi Tasawuf dan Tarekat


   Tasawuf adalah salah satu tradisi keagamaan ajaran agama Islam yang berusaha melatih jiwa
melalui berbagai amalan, membebaskan seseorang dari pengaruh duniawi, mensucikan jiwa, dan
membebaskannya dari akhlak yang buruk sehingga hanya memancarkan akhlak yang terpuji dan
luhur, yang memungkinkannya untuk konsentrasi. Fokus hanya kepada Allah dan selalu merasa
dekat dengan-Nya.
   Tasawuf dan tarekat memang berbeda dalam berbagai aspek, namun keduanya memiliki
keterkaitan yang erat. Tarekat atau thariqah yang berarti jalan, tidaklah sama dengan syariat atau
syariah yang juga memiliki arti  jalan,  tetapi  yang  ini  adalah  jalan  besar.
    Dikaitkan dengan tarekat dalam tradisi tasawuf, Schimmel menghubungkan kedua kata tersebut
dengan pernyataan sebagai berikut: tarekat adalah jalan yang diikuti oleh para sufi dan digambarkan
berasal dari syariat Islam, sebagai jalan utama disebut syara, sedangkan anak jalan disebut tariq.
Derivasi ini menunjukkan bahwa menurut para sufi, pendidikan mistik atau pendidikan sufi atau
tasawuf merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum-hukum ketuhanan yang
menjadi landasan setiap muslim. Tanpa jalan utama yang Dia mulai, tidak ada jalan. Tidak ada
pengalaman mistis atau pengalaman Sufi atau Sufi yang dapat dimiliki tanpa kepatuhan yang
cermat terhadap perintah-perintah Islam yang mengikat sebelumnya. Oleh karena itu, untuk
mencapai ma'rifah, atau pengalaman dekat dengan Tuhan, diperlukan tarekat yang harus
berdasarkan hukum Islam, yang tarekat  tersebut harus berbasis pada syariat.
      Pada akhir abad ke-6 dan ke-7, tasawuf muncul dalam bentuk persaudaraan sufi atau yang
kemudian dikenal dengan tarekat berjamaah. Tarekat adalah jalan menuju tasawuf, yang diajarkan
oleh seorang guru sufi (syaikh) kepada murid atau pengikutnya (ikhwan) di tempat yang disebut
zawiyah. Seorang guru mengajarkan murid-muridnya atau pengikutnya cara-cara tertentu yang
harus diikuti jika mereka ingin merasa dekat dan/atau bertemu dengan Tuhannya.Tarekat  menjadi
semacam  pelembagaan  dari  tradisi tasawuf. Tarekat   ini   dalam   perkembangannya  
bermetamorfosis menjadi  komunitas-komunitas  sufi  yang  secara  berkelompok menjalankan
tradisi  ketasawufan,  sehingga  muncullah  jamaah-jamaah   tarekat   atau   dalam   istilah   barat  
disebut   dengan persaudaraan sufi (sufi order).
Dari penjelasan di atas jelas bahwa keberadaan tradisi tasawuf didorong oleh beberapa faktor yang
kemudian berkembang menjadi tarekat, yaitu:
1. Pengaruh gagasan yang ada dalam Al-Qur'an, khususnya gagasan berlindung kepada Allah
(tawakkul), yang kemudian dipahami sebagai doktrin pelepasan keduniawian yang ekstrim dan
terbebasnya dari rasa dendam.
2. Mengikuti teladan hidup Nabi, akhlak, serta perkataan dan perbuatannya, meneladani juga watak
beliau yang hidup sederhana, menjauhi kemewahan duniawi, menghindari kerakusan, menghindari
hiruk pikuk kehidupan, bermeditasi pada segala keberadaan alam, dan hal-hal lain yang
menjernihkan hatinya, bahkan setiap bulan Ramadhan, Nabi Muhammad SAW selalu menyendiri di
gua Hira.
3. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah, masyarakat Islam menekankan perolehan kesenangan
duniawi, munculnya pengejaran kemewahan, dan reaksi keras terhadap sikap hidup sekular dan
sama sekali tidak saleh dari para penguasa yang sebagian besar bersikap  dan  bertingkah  laku
yang  bertentangan  dengan  sikap dan tingkah laku para khalifah yang mula-mula.
4. Dorongan tasawuf juga disuntikkan oleh isolasionisme, reaksi yang kuat dan meluas terhadap
ideologi Khawarij dan kontradiksi politik yang ditimbulkannya. Isolasionisme ini disampaikan
bersamaan dengan hadits-hadits yang mengajarkan manusia untuk menjauhi tidak hanya politik
tetapi juga administrasi pemerintahan dan masalah-masalah sosial secara umum, bahkan banyak
hadits yang mendorong manusia untuk mengasingkan diri di gua-gua dan menjauhkan diri dari
masyarakat.
5. Ada juga pengaruh eksternal lain yang juga memainkan peran tambahan dan tidak dapat
disangkal, misalnya: pengaruh filsafat Gnostik dan tradisi Kristen.
  2.2 Sejarah Perkembangan Tasawuf
Mengenai sejaran perkembangan tasawuf diketahui bahwa pada masa awal Islam [nabi dan
khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Lalu taswuf sendiri awal berkembang sejak abad
ke-2 Hijriah. Tasawuf sendiri berasal dari akar kata shuf/ shaf/ shuffah/ shufanahshafa.
a) Abad Pertama dan Kedua Hijriah
Tasawuf adalah ilmu yang berkembang dari mulai abad kedua pertengahan tahun
hijriah dan dalam perjalanannya tasawuf telah mengembangkan terminologi atau kata
lainnya bahasa khusus yang dapat dimengerti oleh para sufi ketika berkaitan dengan
ajaran dan penghayatan. Seperti halnya kata “syariat” yang bagi para sufi sendiri
selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”.
Menurut sejarawan tasawuf, asketisime atau nama lainnya zuhud ialah fase yang
megawali keberadaan tasawuf sekitar abad pertama dan kedua Hijriah. Asketisisme
dalam islam memiliki pengertian tersendiri. Asketisisme yaitu hikmah pemahaman
yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan
duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu
tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka
mengingkari Tuhannya
Sebelum mengenal istilah tasawuf, pada masa periode awal hijriah terkenal istilah
Nussaak, Zuhhaad, dan Ubbaad dimana Nussaak yang bentuk jamak dari nasik, yang
berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada
Tuhan.Lalu ada  Zuhhaad yang merupakan bentuk plural dari zahid, berarti “tidak
ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan, ubbaad ialah
bentuk jamak dari abid yaitu orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-
mata kepada Tuhan.
Melihat bahasan awal jika tasawuf diawali dari fase asketisisme, seorang tokokh
bernama Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan
asketisisme dalam Islam.
Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Al-Quran sebagai kitab suci umat islam
telah berperan dalam mendorong manusia agar takwa kepada Allah, menjalani
perintahnya dan menghindari larangannya serta tidak mempusatkan hidup pada hal-hal
yang duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat.
Kedua, suatu perubahan terkait ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosial-
politik yang berlaku.
Ketiga, karena dampak asketisisme Masehi. Pada masa pra-Islam, bangsa Arab
terkena dampak para pendeta Masehi. Setelah timbulnya islam, dampaknya terhadap
kebanyakan asketis muslim masih tetap berlangsung. Sedangkan, dampak asketisisme
masehi bukan kepada prinsip-prinsip umumnya namun lebih terhadap
oerganisasionalnya
Keempat, terjadinya penolakan pada fiqh dan ilmu kalam. Para fuqaha dan ahli
kalam tidak bisa membuat kaum masyarakat paham terhadap kajian tentang agama
Islam, sedangkan ilmu tasawuf dapat membuat paham kaum muslimin tentang
perasaan keagamaan.
Salah satu tokoh bernama Abu al-Wafa' menyebutkan bahwa karakteristik
asketisme abad pertama dan kedua sebagai berikut :
Pertama, menjauhkan diri dari keduniawian dan memelihara pahala akhirat
berdasarkan perintah Al-Qur'an dan Sunnah.
Kedua, corak praktis adalah ciri dari asketsisme serta tidak ada tindak lanjut
mengenai penyusunan prinsip teoretis asketisisme. Yang dimaksud praktis disini yaitu
menjalani kehidupan dengan kesederhanaan juga ketenangan.
Ketiga, latar belakang dari munculnya asketisisme yaitu rasa takut. Dimana rasa
takut tersebut bersumber dari pondasi agama secara nyata. Seorang tokoh sufi Rabi'ah
al-Adawiyah hadir dengan motivasinya terhadap cinta kepada Allah SWT sekitar akhir
abad kedua hijriah sebagai bentuk penyucian diri kepada Allah SWT
Keempat, asketis terakhir ditandai dengan kelompok Rabi'ah al-Adawiyyah yang
diartikan sebagai awal mula kemunculan para sufi abad ketiga dan keempat.
b) Abad Ketiga atau Keempat Hijriah
Para permulaan abad ketiga Hijriah mulai terkenal istilah sufi yang menggantikan
kepopuleran asketisisme juga turut menggantikan isitilah- isitilah yang sebelumnya
lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan.
Pada abad ketiga ini tokoh sufi mulai cenderung membicarakan konsep-konsep
baru, seperti mengenai moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus dijalani
seorang hamba menuju jalan Allah, yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam)
melihat keadaan, ma’rifat dan metode-metodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul.
Selain itu mereka menyusun prinsip-prinsip teoretis juga aturan-aturan praktis bagi
tarekat mereka dan memiliki bahasa simbolis tersendiri yang hanya dikenal dalam
kalangan mereka sendiri, dan asing bagi kalangan selain mereka.
Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti
Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H),
dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga mulai abad ketiga Hijriah merupakan masa awal
tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas. Sejak abad ketiga Hijriah, dari segi
objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari ilmu fiqh.
Abu Al-Wafa’, mengemukakan pendapat bahwa ada dua macam aliran tasawuf
pada abad ini, yaitu :
Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya
merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan selalu mengikuti pertimbangan syari’ah.
Beberapa tokoh sufi disini meliputi ulama terkenal dan tasawufnya khas dengan ciri-
ciri moral.
Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Syathahat, yaitu
kata-kata ganjil yang terkenal. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-
Bustham.
Pada abad ini ada lima karakteristik dari dua aliran tasawuf diatas, yaitu:
Pertama, peningkatan moral. Semua sufi pada abad ini memusatkan perhatian
terhadap pembahasan moral, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, ridha, tawakkal,
takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan
tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya.
Kedua, Ma’rifat atau pengetahuan intuitif secara langsung .
Ketiga, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Hal ini berkaitan dengan
latihan-latihan fisik dan psikis.
Keempat, Ketentraman atau kebahagiaan.
Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas
tasawuf.
c) Abad Kelima Hijriah
Perkembangan tasawuf abad 5 H sebagai awal mula berjayanya aliran teologi
Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu AlHasan Al-Asy’ari atas aliran-
aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung melakukan pembaruan dengan
mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah dan menyebabkan kemunduran
tasawuf falsafati. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh sufi yang terkenal pada abad ini.
Al-Ghazali adalah pembela tasawuf Sunni AlGhazali menjauhkan tasawufnya dari
semua kecenderungan agnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte
Isma’iliyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Dapat dikatakan
bahwa tasaawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam karena menjauhkan teori-teori
ketuhanan Aristoteles. Hal ini didukung oleh keunggulan aliran asariyah dalam teologi
yang sejalan dengan tasawuf Sunni.
d) Abad Keenam Hijriah
Ajaran-ajaran yang memadukan antara pencapaian pencerahan mistikal dan
pemaparan secara rasional filosofis dikenal sebagai Tasawuf Filosofis.
Perhatian para penganut tasawuf filosofis abad ini terutama diarahkan untuk
menyusun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik
tolak tasawuf mereka. Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf
filosofis, yaitu :
Pertama, ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri dilatih
Kedua, hakikat yang tersingkap dari alam gaib atau secara ringkasnya iluminasi,
seperti bahasan sifat-sifat rabbani, arsy, dan utamanya mengenai  Penciptanya dan
ciptaannya.
Ketiga, peristiwa-peristiwa yang terjadi berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluarbiasaan.
Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-
samar (syahahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui, atau menginterpretasikannya.
e) Abad Ketujuh dan Setelahnya
Pada abad ini, tasawuf telah menjadi filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat
Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturanaturan, prinsip, dan sistem khusus di mana
sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam
tanpa adanya ikatan satu sama lain.
Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah
pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah
aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di berbagai
zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat latihan), atau berkumpul secara periodik
dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun
ruhaniah yang teratur.
Tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat
esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan
amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai secara
sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid82 lainnya sampai kepada
Nabi Muhammad Saw, dan bahkan sampai Jibril dan Allah.
Menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi, dan
digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut
syara’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa
menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama
yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim.
Sebagai organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki
metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan
program penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari,
qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk
mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah). Pada dasarnya sufisme
mengemukakan kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia.
2.3 Sejarah dan Perkembangan Tarekat
Tarekat adalah satu metode khusus yang dipakai seorang Salik, Salik adalah orang
yg Suluk, Suluk adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang yg bertarikat yaitu jalan
untuk menuju Allah, melalui tahapan ataupun maqamat.
Tarekat pertama kali muncul pada abad ke-6 dan 7 Hijriah, ketika tasawuf
menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai falsafah
hidup. Pada periode ini, tasawuf memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus.
Sedangkan, sebelumnya tasawuf dipraktikkan secara individual tanpa adanya ikatan
satu sama lain.
Secara etimologi tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan, keadaan, aliran
atau garis pada sesuatu. 
Pada dasarnya tarekat sufi adalah ibadah zikir yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, dan diamalkan oleh para khalifah Ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabi’at At-
Tabi’in, dan selanjutnya sampai kepada Syeikh atau mursyid tanpa henti.
Di dalam sejarah nya, tarekat berkembang dari masa ke masa. Menurut J. Spencer
Trimingham, sejarah perkembangan tarekat telah melalui tiga tahap yaitu tahap
khanaqah, tahap thariqah, dan tahap tha'ifah.
1. Fase Khanaqah
Fase khanaqah berdiri sekitar abad ke 2 Hijriyah atau 10 Masehi, yang mana pada
fase ini tarekat  ialah cara pendidikan akhlaq dan jika yang dilakukan oleh seorang sufi
yang dilakukan secara pribadi atau perseorangan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
2. Fase Thariqah
Fase ini berdiri sekitar abad ke 13 M. Pada masa ini terdapat berbagai ajaran, aturan,
tatacara tasawuf yang dikembangkan, dan pusat-pusat pendidikan sufi muncul dengan
garis keturunannya. Pada masa ini juga berkembang dengan metode gabungan baru
yang dimana tasawuf juga mengambil bentuk kelas menengah untuk mendekati diri
kepada Allah SWT.
3. Fase Tha’ifah
Pada fase tha’ifah, fase ini terjadi sekitar abad ke 17 M, dan pada masa ini terjadi
transisi misi ajaran dan peraturan dari guru tarekat yang disebut syaikh atau mursyid
kepada para pengikut atau murid-muridnya. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf
yang memiliki cabang di tempat lain. Pada fase tha’ifah inilah tarekat dikenal sebagai
organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh-syaikh tertentu, maka munculah nama-
nama tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat
Syadziliyah.
Dalam tradisi tarekat sebagai organisasi tasawuf, murid murid biasanya berkumpul
di suatu tempat yang disebut ribath, zawiyah, atau khanaqah untuk melakukan latihan-
latihan rohani seperti dzikir Allah dan materi pokoknya adalah membaca istighfar,
membaca shalawat nabi dan membaca dzikir nafi itsbat dan ism dzat secara bersama di
bawah bimbingan guru (mursyid), yang di dalamnya terdapat berbagai ajaran
(‘amaliyyah), aturan-aturan (adab), kepemimpinan (mursyid), hubungan antara mursy
murid atau antara guru dengan anggota tarekat, wasilah, rabithah, silsilah, ijazah, suluk,
dan ritual seperti baiat atau talqin, khususiyah, haul dan manaqib.
Di antara ulama sufi yang memberikan bimbingan kepada masyarakat umum untuk
mengamalkan tasawuf secara praktis (tashawwuf ‘amali), adalah Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali (w. 505/1111 M). Dalam fikih, munculnya madzhab majemuk
dalam islam dan madzhab majemuk dalam teologi, akan tetapi yang di pakai disini
bukanlah madzhab, melainkan firqah. Firqah berkembang banyak yang dikenal dengan
sebutan madzhab dalam islam seperti madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi'i, Zahiri,
Syi'ah, dll. Dan madzhab majemuk dalam teologi itu dikenal sebagai sekte seperti aliran
pemikiran Khawariz, Marji’i, Mut’a Zaila, Ash’aris, Mutawwiyya, dll.
Dalam tasawuf juga banyak sekte yang disebut dengan "Tarekat" yang juga
berkembang dalam fiqih dan teologi. Isu tersebut memiliki kedudukan dalam hukum
islam sebagai ajaran atau madzhab.
2.4 Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Tasawuf memiliki beberapa pengertian dari segi bahasa (linguistik). Harun
Nasution menyebutkan lima kata untuk menggambarkan makna ini, yaitu al-suffah
(ahl suffah), yaitu orang yang hijrah bersama Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf, yaitu
didapati sedang melaksanakan shalat berjamaah, Sufi artinya bersih Dan suci, sophos
(Yunani: kebijaksanaan) dan suf, yaitu kain wol yang kasar. Makna-makna ini
menunjuk pada sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan dan kedekatan
dengan Tuhan. Ahl-suffah mengatakan Misalnya, menggambarkan kondisi seseorang
yang mengabdikan tubuh, pikiran, harta dan segala sesuatunya hanya kepada Allah.
Mereka rela meninggalkan kampung halaman, tanah air, harta, harta benda, dll di
Mekkah dan berimigrasi bersama Nabi ke Madinah. Dia melakukannya karena
keinginan untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Dengan demikian, tasawuf menggambarkan kondisi yang abadi Berorientasi pada
kesucian jiwa, hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi
tujuan mulia. Ajaran sufi adalah sebuah pengalaman (tajribah) Spiritualitas personal,
yang didasarkan pada keinginan seorang sufi untuk lebih dekat dengan Allah, karena
sebagai pribadi, pengalaman sufi satu dengan yang lain memiliki persamaan dan
perbedaan yang tidak dapat diabaikan. kesamaan ini Hal itu kemudian diberlakukan
dalam bentuk maqamat dan ahwal (stasiun). Dalam sejarah Islam, tasawuf mengacu
pada tindakan Nabi Muhammad. dan teman-temannya. Jika merujuk pada Al-Qur'an,
ada beberapa ayat yang menjadi dasar kehidupan sufi, antara lain Allah lebih dekat
dengan manusia (QS Al-Baqarah/2:86) dan Allah lebih dekat dengan manusia.
Dibandingkan dengan urat manusia itu sendiri (QS Qaf/50:16).
Mula-mula muncul tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Qadir
di Asia Tengah, Tibristan tempat kelahirannya, kemudian berkembang ke Baghdad,
Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India,
Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat
Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Nah
perkembangan tarekat-tarekat ini sangat sepat kepada murid-murid yang diangkat
menjadi khalifah, perkembangan ini untuk menyebarkan ke negeri-negeri Islam,
sehingga bercabang yang sangat luas.
Islam sebelum ada, Indonesia atau yang dulu disebut dengan Nusantara sudah ada
kepercayaan dan agama yang telah berkembang. Ketika Masuknya Islam ke Indonesia
sendiri menurut para sejarawan berbeda-beda apabila ditinjau dari segi asal
kedatangan, waktu kedatangan dan para pembawanya.
Peran tasawuf mencatat semua sejarah. A.H. John menyampaikan bahwa di
nusantara para sufi terutama pengembara melakukan penyiaran. Sejak abad 13 mereka
berhasil mengislamkan orang-orang di nusantara. Faktor utamanya itu karena
perubahan dan kepercayaan dalam praktik kegaaman lokal.
Di Indonesia, perkembangan ini tidak melepasi dari proses masuknya islam ke
dalam wilayah ini, Islam yang masuk di Indonesia pada mulanya bercorak tasawuf
yang dibuktikan oleh beberapa data yang ditunjukkan oleh para sejarawan. Ketika
Marrison menjelaskan tentang masuknya Islam di Indonesia menyebutkan fakta
bahwa, mengislamkan Nusantara berasal dari India Selatan yaitu Mu’tabar (malabat)
yang dilakukan oleh para muballig yang bergelar fakir. Ada seorang sufi yang
meninggalkan keduniaanya karena mengingat gelar fakir dan memilih hidup untuk
beragama.
Teori Bech menyatakan dalam teks Sejarah Melayu yang dijelaskan tentang
kesenangan Sultan malaka kepada ilmu tasawuf yang di mana pada suatu waktu
seorang ulama, yaitu Maulana Abu Iskak datang memberi hadiah kepada sultan berupa
kitab yang berjudul Durrul Mandhum (mutiara yang tersusun). Sultan ingin menemui
sultan aceh untuk berkonsultasi mengenai ilmu tasawuf.  Dari segi waktu kejadian
Sejarah Melayu yang ditulis pada tahun 1536 dan baru dapat dibaca pada abad ke 16
sebagai bukti bahwa teks ini sebelumnya masih berupa cerita lisan. Sehingga Ilmu
tasawuf berkembang yang melesat pada abad ke-16.
Hamzah fansuri (w. 1590) yang pertama kali mengajarkan tasawuf di indonesia,
Syamsuddin as-Samatrani (w. 1630), Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), Abd. Rauf as-
Singkeli (1615-1693) dan Syekh Yusuf al-Makassar (1626- 1699). Konstribusi yang
besar dan Perkembangan islam ini yang disiarkan oleh sufi sufi tersebut.
Tuntutan-tuntutan perkembangan ini mengingatkan bahwa, yang seharunya
mengalami perubahan ini yaitu tasawuf, karena adanya pengembangan-pengembangan
ini. Ahli tasawuf di indonesia berusaha untuk merespon desakan untuk menghadirkan
8 macam konsep tasawuf, diantaranya :
1. Tasawuf Sosial
Dari tradisi keilmuwan pesantren dan perguruan tinggi, masyarakat berupaya
mengetengahkan nuansa tasawuf sosial yang seharusnya dipegangi masyarakat
Indonesia, terutama para pelaku pembangunan sehingga kesan negatif bagi masyarakat
Muslim Indonesia dapat dihilangkan serta mengetengahkan simbol-simbol serta
dimensi-dimensi ibadah dan sosial Islam sebagai sebuah kerangka nilai bagi
perumusan kebijakan pembangunan manusia.
2. Tasawuf Positif
Telah beredar di Indonesia bahwa, menghadapi berbagai yang terdapat dalam
tasawuf, tantangan internal di kalangan tokoh Islam modernis, Mereka memvonis
tasawuf sebagai perilaku yang pasif, fatalis, mengabaikan dunia, bahkan biang kerok
kemunduran umat Islam di dunia ini dalam waktu yang relatif lama hingga sekarang
belum terhentikan. Dengan begitu Maka masyarakat ilmiah maupun masyarakat
awam, perlu mengetahui dan memahami konsep-konsep tasawuf yang pernah
dikembangkan oleh ulama Indonesia sehingga mampu memilah antara tasawuf positif
dan tasawuf negatif sehingga tidak secara apriori memvonis semua bentuk tasawuf
sebagai serba negatif.
3. Tasawuf Perkotaan
Nilai-nilai baru yang ada di tengah masyarakat itu merupakan fenomena sufisme,
gerakan yang melawan arus transformasi. Mereka masih bertahan dengan
kepercayaan-kepercayaan tradisional dan sangat kokoh mendambakan kekuatan batin.
Komunitas sufi perkotaan itu telah tumbuh dalam dua dasawarsa belakangan dan kini
tetap bertahan, sufisme juga telah menarik perhatian sebagian masyarakat kelas
menengah terdidik untuk menggali khazanah intelektual dan filosofis tokoh-tokoh sufi
terkenal dalam sejarah peradaban Islam.
Kehidupan di perkotaan mengarahkan pada kehidupan spiritual yang
menentramkan, atau kehidupan tasawuf yang menenangkan hati dalam menghadapi
gelombang modern di perkotaan.
4. Tasawuf Irfani
Ihsan adalah ajaran islam yang mengajarkan tentang tasawuf. Karena ihsan
menjadi satu rangkaingan yang dari iman dan Islam. Ihsan menjadi tahapan atau
tingkatan yang paling tinggi. Diibaratkan iman iniyaitu akar, Islam bagaikan batang,
cabang, ranting, daun maka ihsan adalah bunganya.
Tasawuf dalam perkembangannya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu
tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. Tasawuf yang di tulis awal
dibandingkan yang lainnya, yaitu tasawuf irfani dalam rangka memberikan wawasan
dasar untuk al-salik (orang yang menempuh perjalanan spiritual menuju Allah) yang
berusaha menghampiri Al-Haqq sebagai Dzat Yang Maha Suci, dapat terbimbing
dengan baik seperti ketika menghampirinya melalui salat, puasa dan haji. Dzat yang
maha suci ialah Al-Haqq tidak bisa dihampiri melainkan oleh orang-orang yang suci
badan, tempat, kondisi, batin dan lain sebagainya.
5. Tasawuf Kontekstual
Modernisasi dengan peralatan teknologi modern, maka hidup menjadi lebih
mudah, mesyarakat sangat membutuhkan pembelajaran tasawuf. Faktor penghambatan
kemajuan di Indonesia karena adanya tasawuf. Dulu tasawuf lahir di Indonesia hanya
di kalangan pendesaan, contohnya pesantren tradisional. Beda halnya dengan tarekat,
karena tarekat hanya salah satu pengamalan tasawuf, Dan sekarang tasawuf telah
terangkat sebagai kebutuhan hidup masyarakat modern.
6. Tasawuf Jawa
Dalam keputusan islam, pengaruh ajaran dan tuntutan tasawuf karena budi pekerti
yang menonjol. Demikian juga istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan agama Islam
dan tasawuf, sebagai bagian dari kepustakaan Jawa. Islam menjadi bagian integral dari
masyarakat jawa dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, seseorang akan sulit memahami
kepustakaan Jawa dengan baik, tanpa pengenalan ajaran Islam dan pengetahuan
bahasa Arab yang cukup.
7. Tasawuf Muhammadiyah
Ada banyak gerakan dalam tasawuf muhammadiyah yang menjadi pedoman
rasional dan modernitas hingga dirasakan dalam praktek agama. Jika ingin lebih jauh,
kesaksian diperoleh bahwa Muhammadiyah sejumlah tokoh yang sangat akrab dengan
kitab-kitab dan spirit tasawuf ahlaki selain dari kitab-kitab yang bercorak tauhid dan
ijtihad. Muhammadiyah merupakan gerakan islam yang mengutamakan aspek rasional
dalam beragama, meskipun tidak seagreasif dulu, mereka menekankan pentingnya
akal dan menekankan kehidupan spritual dalam wilayah tasawuf.
8. Tasawuf Falsafi
Pemikiran Hamzah fansuri ini ada ketika dalam literatur yang terdapat pada
perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia, tokoh sebagai ajaran yang
intelektual,kontroversial ini menyesatkan oleh Nurrudin al Raniri, yaitu karena
perasaan yang menumbulkan pertanyaan, yang memungkinkan ulama besar seperti
Hamzah ini mengajarkan ajaran sesat. Jadi motif  ini justru karena faktor
ketidakpercayaan atau keraguan yang disimpulkan dalam bentuk pertanyaan yang
mungkin menyesatkan umat. Disini perlu dipaparkan contoh tasawuf falsafi melalui
konsep ke-fana’an yang tertinggi yaitu apabila kesadaran tentang fana itu sendiri juga
tidak ada atau hilang. Ini yang menimbulkan reaksi keras sebab menimbulkan kesan
bahwa hamba dan tuhan telah menyatu sehimgga tidak bisa dibedakan lagi.
.1 Kerangka Berfikir Bayani, Burhani, dan Irfani
2.1.1 Kerangka Berfikir Bayani
Kata bayani adalah berasal dari bahasa Arab Al-Bayani yang artinya adalah
bermakna sesuatu yang terbuka. Secara terminologi, beberapa ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya, misalnya ulama al-balaghah mendefinisikan al-bayan ini adalah
ilmu yang mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara salah satunya seperti
penyerupaan. (Syarif, 2022, hal. 171).
(Rangkuti, 2020, hal. 3) mengatakan, dalam epistimologi islam ini, yang disebut
dengan teks atau tafsir adalah metode ilmiah yakni sumber ilmu. Dalam menggunakan
metode ini mufasir akan menggali makna yang tersembunyi dibalik al-quran yang sesuai
kecenderungan mufasir tersebut.
Di lain sisi, yang membidangi ilmu lain selain agama juga diharuskan untuk
berinteraksi dan mengetahui para ilmuwan muslim terhadap teks, ilmu merekan tetap akan
terarah dan terbimbing dalam ajaran islam. Metode bayani ini juga dapat dilacak akarnya
atau akar perintahnya dalam Al-Qur’an.
2.1.2 Kerangka Berfikir Burhani
Ulama ushul berpendapat, bahwa al-burhan merupakan metode yang memisahkan
kebenaran dengan kesalahan melalui sebuah penjabaran atau definisi. Secara harfiyah dalam
Bahasa Arab burhani adalah mensucikan. Epistemologi burhani juga bertujuan atas bakat
atau kemampuan manusia secara naluri, baik itu indera, penelitian maupun sebuah persepsi.
Epistemologi burhani berpandangan bahwa akal merupakan sumber dari ilmu
pengetahuan. Dalam pandangan epistemologi burhani akal juga memiliki keahlian untuk
memperoleh pengetahuan dan memahami dalam aspek agama. Di dalam bidang keagamaan
epistemologi ini banyak digunakan aliran berpaham rasionalis seperti mu’tazilah dan ulama-
ulama moderat. (Syarif, 2022, hal. 77).
Epistemologi burhani bersumber pada realitas (al-wāqi') yang terjadi pada alam,
sosial, kemanusiaan dan agama. Pengetahuan yang diperolehnya yaitu (al-'ilm alhusuli)
pengetahuan yang memiliki konsep, tersusun dan memiliki landasan yang sistematis
berdasarkan logika, dan bukan melalui intuisi atau teks. Berpikir dengan penalaran burhani
ini juga melalui gabungan antara abstraksi dan pengalaman indrawi manusia. Pola berpikir
semacam ini dapat ditemukan dalam gaya para ilmuwan filsafat. (Khotimah, n.d 2015, hal.
30)
(F. R. Rangkuti, 2019, hal. 7) menjelaskan, sejarah islam mencatat, para kaum
rasionalis yang terdiri dari filsuf dan para teolog menjadikan metode burhani sebagai metode
yang mereka gunakan guna menemukan teori-teori yang rasional. Nama-nama besar yang
bermunculan dalam bidang keilmuan paripatetik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan
Ibnu Rusyd yang mana mereka semua menggunakan metode burhani. Selain itu, dari para
kaum teolog melahirkan aliran Muktazilah dan Syiah dengan menggunakan metode tersebut,
ada pula dari para kalangan fukaha yang menggunakan metode ini melahirkan madzhab
yang bercorak rasional, mazhab Hanafi. Sedangkan para kaum mufasir melahirkan tafsir bi
al-Ra’yi yang dimunculkan oleh para kaum mufasir yang beraliran dirayah dengan
menggunakan metode burhani.
Jadi, epistemologi burhani ini bersumber pada akal (rasio) yang terjadi pada alam,
sosial, kemanusiaan dan juga agama, yang mana bertujuan pada bakat atau kemampuan
manusia secara naluri, baik itu indera, penelitian maupun sebuah pemahaman. Pengetahuan
yang didapatkan dalam metode ini adalah (al-'ilm alhusuli) pengetahuan yang memiliki
konsep, yang tersusun dan berlandasan sistematis yang berdasarkan logika, dan bukan
melalui intuisi atau teks. Berpikir dengan penalaran burhani ini juga menggunakan
gabungan atau kolaborasi antara abstraksi dan pengalaman indrawi manusia.
2.1.3 Kerangka Berfikir Irfani
Secara etimologis, Irfani berasal dari kata bahasa Arab “arafa” yang artinya makrifat,
artinya ilmu. Tetapi ini berbeda dengan ilmu pengetahuan ('ilm). Irfani atau makrifat
mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung,
sedangkan ilmu mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui transformasi (naql) atau
rasionalitas (aql). 
Namun secara terminologis, irfani dapat diartikan sebagai ungkapan
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-
Nya (kasyf) setelah latihan spiritual (riyâdlah) yang dilakukan karena cinta. Berbeda dengan
epistemologi Bayan, Irfan menyasar sisi esoterik di balik teks. Menurut Amin Abdullah,
dalam hadis Irfani kata “arif” lebih baik dari pada kata alim karena lebih terkait dengan dalil
Bayani. (Hadikusuma, 2018, hal. 6) 
Contoh nyata lain dari pendekatan Irfan adalah falsafah isyraqi yang menurutnya
pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadukan secara kreatif dan
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah). Ilmu yang diperoleh melalui
integrasi ini menjadi ilmu yang mencerahkan, bahkan mencapai al-hikmah al-haqiyyah.
Pengalaman batin Nabi SAW. dalam menerima wahyu Alquran merupakan contoh nyata
dari pengetahuan Irfan 
Dapat dikatakan bahwa meskipun pengetahuan Irfan bersifat subyektif, namun setiap
orang dapat merasakan kebenarannya. Sehingga, setiap orang dapat melakukannya pada
level dan tingkatannya, sehingga validitas kebenaran bersifat intersubjektif dan peran akal
bersifat partisipatif. (Idrus, 2019, hal. 36).
 
2.2 Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Lain  
2.2.1 Hubungan Tasawuf dengan Psikologi
Memperhatikan istilah-istilah pengertian psikologi dan agama serta objek yang
dipelajari, maka dapat dipahami bahwa psikologi agama merupakan cabang ilmu psikologi
yang mengkaji dan meneliti kehidupan keagamaan seseorang dan bagaimana keyakinan
agama mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kondisi kehidupan secara umum.
Maka dari itu, psikologi agama adalah ilmu jiwa agama atau ilmu yang mempelajari
pengaruh agama terhadap sikap dan perilaku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam
mempengaruhi cara berpikir, berperilaku,mencipta dan bertingkah laku seseorang yang tidak
bisa dipisahkan dari kepercayaan.karena, kepercayaan yang sudah melekat dalam
kepribadian mereka.
Objek dan psikologi agama mengacu pada gejala-gejala psikologis terkait dengan
praktik keagamaan dan mekanisme di antara gejala-gejala tersebut. Sederhananya, psikologi
agama berkaitan dengan kesadaran beragama dan pengalaman beragama.( Armyn, tt: 56)
(apriliana, 2017, hal. 125) Dalam psikologi agama yang menjadi pokok bahasan adalah
gejala kejiwaan seseorang yang berkaitan dengan perilaku beragama, dimana mekanisme
tersebut bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi.
2.2.2 Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Dalam sejarah Al-Ghazali lebih dikenal sebagai sufi daripada Mutakallim, karena al-
Ghazali mengkritik struktur pemikiran filsafat dan ilmu kalam. Menurut M. Amin Abdulloh,
Ghazali tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menekankan keterbatasan ilmu kalam
dan memberikan kesimpulan bahwa para pencari kebenaran tidak bisa bersandar pada
kalam. Kalam tidak dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufi
yang dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan.
  Jika berlandasan ilmu kalam, pernyataan tentang Tuhan dan manusia sulit dijawab. Umumnya,
ilmu tasawuf yang berbicara tentang pernyataan jiwa manusia. membahas tentang
bagaimana mengetahui nilai-nilai keimanan, menyadari bahwa persoalan bagaimana
mengetahui tidak hanya terkandung pada apa yang diwajibkan. Dalam Ilmu kalam terdapat
pembahasan tentang iman dan definisinya,serta kemunafikan dan batasannya. Sedangkan
dalam ilmu tasawuf membahas cara atau metode praktis untuk mengetahui iman dan
kedamaian. Semua ini saja tidak cukup untuk diketahui seseorang. Karena terkadang
seseorang yang sudah mengetahui batas kemunafikan, tetapi tetap melakukannya.
Ilmu tasawuf memiliki fungsi yang berkaitan dengan ilmu kalam, diantaranya:
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual untuk memahami kalam.Penghayatan yang mendalam
melalui hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu tersebut lebih diapresiasi atau diaplikasikan
dalam perilaku. Jadi, ilmu tasawuf adalah pelengkap ilmu kalam.
2. Sebagai pengendali ilmu tasawuf. Ketika muncul aliran yang bertentangan dengan akidah atau
keyakinan baru yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, ini merupakan suatu
penyimpangan. Jika itu bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau tidak pernah
diriwayatkan atau tidak diriwayatkan oleh ulama Salaf, maka harus ditolak.
3. Sebagai pemberi kesadaran rohaiah dalam perdebatan kalam. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa ilmu kalam di dunia Islam pada umumnya merupakan ilmu yang mengandung
muatan rasional di samping muatan naqliyah, maka ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih
bebas. Oleh karena itu, ilmu tasawuf disini berfungsi untuk memberikan muatan spiritual, seolah
ilmu kalam menjadi perbincangan islam belaka, yang kosong dari kesadaran penghayatan atau
sentuhan hati. (Putra, 2012)  
2.2.3 Hubungan Tasawuf dan filsafat
Secara umum, tasawuf dan filsafat selalu dipandang berlawanan. Tasawuf dan filsafat
seringkali dipahami dalam dua cara, baik secara epistemologis maupun dalam sejarahnya.
Secara epistemologis, ilmu tasawuf dianggap sebagai disiplin ilmu yang mengabaikan peran
akal atau intelektual dan hanya menitikberatkan pada naluri, ilham dan bisikan hati,
meskipun terkadang bertentangan dengan prinsip akal.
Bahkan, disiplin filsafat dianggap sebagai disiplin yang mengikuti prinsip-prinsip
rasionalitas. Tetapi, Hubungan antara tasawuf dan filsafat sempat retak ketika Al-Ghazali
melakukan serangan yang menghancurkan para filosof.
Banyak kelompok telah mencoba menyelaraskan kembali hubungan antara tasawuf dan
filsafat. Contoh yang paling spesifik adalah Suhrawardi al-Maqtul (115-1191 M), khususnya
dalam Hikmah al-Isyarqi (Filsafat Pencerahan). Meskipun diumumkan sebagai karya filsafat
iluminasionis yang menantang dominasi filsafat Peripatetic, karya ini terdiri dari dua elemen
penting: pertama, bagian dari perasaan atau lebih umum, pemahaman mistis; kedua, unsur
atau prinsip logis pembuktian ilmiah. Filsafat, yang kemudian berkembang menjadi sinergi
antara perasaan dan nalar, hati dan akal, dzawq dan akal, berlanjut hingga filsuf
iluminasionis seterusnya seperti Mulla Sadra.
Jika filsafat dan tasawuf memiliki hubungan yang erat dan harmonis, apalagi para filosof
yang bergerak seperti Ibnu Sina mengakui kebenaran baik filosof maupun sufi. Pada saat
yang sama, banyak sufi yang mengenal filsafat, dan banyak filsuf juga menjadi sufi,
terutama pada periode-periode akhir sejarah Islam. Misalnya, Ibnu Sina, selain sebagai
tokoh filsafat Peripatetik yang hebat, juga menulis "cerita fiksi" dan berbicara tentang
bentuk pengetahuan khusus yang dibuka bagi para sufi setelah latihan spiritual yang
panjang, menunjukkan bahwa ia lebih dari seorang filsuf. Sufina yang mengikuti ajaran
Wujud. (Putra, 2012).
2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Tasawuf
Zakaria al-Anshari, seorang ulama pada abad ke-9 sampai ke-10 Hijriyah, mendefinisikan
tasawuf sebagai cara untuk membersihkan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan
jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan hakiki. Sementara menurut al-Junaidi Al-Baghdadi,
seorang ulama pada abad ke-3 Hijriyah, tasawuf adalah proses membersihkan hati dari sifat-sifat
kemanusiaan, menjauhi hawa nafsu, dan mengamalkan sesuatu yang lebih utama berdasarkan
keabadiannya. Tujuan utama tasawuf adalah mencapai kebahagiaan dan keselamatan abadi, dan ia
dianggap sebagai implementasi dari konsep ihsan, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan
melihat-Nya atau menyadari bahwa Allah melihat kita, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Shahih Muslim No. 09.
‫أن تعبد هللا مأول تساي فإول إن ال تساي فإ ًو ٌساك‬
Artinya: “Beribadahlah kalian kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa
melihat-Nya, maka Ketahuilah bahwa Dia melihat kita”.
 
Tasawuf memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, di antaranya:
1. Mempercayai adanya intuisi dan pemahaman batin sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan,
yang berbeda dengan pendekatan rasional-analitik.
2. Mempercayai pada keberadaan tunggalitas (wujud) dan menolak adanya kontradiksi atau
perbedaan, apa pun bentuknya.
3. Menolak pandangan realitas yang terikat pada waktu.
4. Menganggap kejahatan sebagai suatu ilusi dan hanya ada dalam bentuk perbedaan dan
kontradiksi yang dikendalikan oleh pendekatan rasional-analitik
 
 
 
 
 
2.2 Fungsi Tasawuf Dalam Peningkatan Aqidah, Syari’ah dan Akhlak  
 
A. Aqidah
Tasawuf memegang peran penting dalam meningkatkan aqidah atau keyakinan seseorang
terhadap Allah SWT. Fungsi tasawuf dalam peningkatan aqidah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Menumbuhkan kesadaran spiritual
Tasawuf membantu seseorang untuk memahami keberadaannya di dunia ini dan mengarahkan
pandangannya ke arah yang lebih tinggi, yaitu hubungan individu dengan Allah SWT. Dalam
proses ini, tasawuf membantu menumbuhkan kesadaran spiritual dan menghilangkan pandangan-
pandangan yang bersifat materi.
2. Memperkuat hubungan dengan Allah SWT
Tasawuf memperkuat hubungan individu dengan Allah SWT dengan cara membimbing individu
untuk memperbaiki amal ibadahnya dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dalam
hal ini, tasawuf juga membantu individu untuk mengembangkan kualitas diri dan memperbaiki
akhlaknya sehingga hubungan dengan Allah SWT menjadi semakin kuat.
3. Mengurangi sifat-sifat negatif
Tasawuf membantu individu untuk mengurangi sifat-sifat negatif seperti egoisme, iri hati, dan
tamak. Dalam hal ini, tasawuf mempromosikan sifat-sifat positif seperti rasa syukur, keikhlasan,
dan kasih sayang. Dengan mengurangi sifat-sifat negatif, individu dapat meningkatkan kualitas
hidupnya dan hubungan dengan Allah SWT.
4. Meningkatkan pemahaman terhadap agama
Tasawuf membantu individu untuk memahami agama secara lebih dalam dan mendalam. Dalam hal
ini, tasawuf membantu individu untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalam
ajaran agama Islam sehingga individu dapat lebih memahami kebenaran agama dan
meningkatkan keyakinannya terhadap ajaran Islam.
 
B. Syari’ah
Ahmad amin mengatakan ”Fuqaha sebgai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal
lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal batiniah”.
Para ulama juga berpendapat salah satunya Ahmad Rifa’I berpendapat “syari’ah dan tasawuf
merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan keduanya merupakan
perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan perwujudan
pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan
iman pada aspek batiniah”. Hubungan syari’ah dengan dua konsepsi ilmu tasawuf, Thariqah dan
juga Haqiqah, Ahmad Rifa’I mengibaratkannya dengan “buah kelapa. Syari’ah sebagai kulit kelapa
secara utuh, Thariqah sebagai isi yang terdapat di dalam kelapa, dan Haqiqah sebagai minyak atau
sarinya”.(Alwan 2010) ilmu Tasawuf dan syari’ah memiliki hubungan yang erat, kedua ilmu
tersebut manifestasi dari kesadaran iman. Syari’ah menitik beratkan pengamalan pada aspek
lahiriah dan ilmu tasawuf menitik beratkan pengamalan pada aspek batiniahnya, sehingga keduanya
tidak dapat dipisahkan karena dengan ilmu tasawuf pengamalan ibadah secara syari’ah akan terasa
dampaknya kedalam qalbu.
C. Akhlak
Ilmu tasawuf dengan akhlak memiliki hubungan erat, yang dimana ilmu tasawuf lebih
terlihat menonjol dengan pengamalan ibadah, semisalnya shalat, puasa, haji, dzikir dan
ibadahlainnya. Hal itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dalam pengamalan ilmu
tasawuf ada kaitannya dengan akhlak dari hubungan ilmu tasawuf dengan akhlak Nasition
mengatakan “bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah
dalam Al-qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik”. (Hamzah
2020: hlm 17). Ilmu tasawuf dan akhlak mempunyai hubungan yang erat diantara keduanya yang
dimana menitik beratkan kepada kebersihan jiwa dan amal sehingga bisa mendekatkan diri kepada
Allah swt
 
Ketakwaan seeorang dilihat dari akhlak yang mulia yaitu dengan mengerjakan amar ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar, Harun Nasition mengatakan “kaum sufilah, terutama yang
pelaksanaan ibadahnya membawa kepada paembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.Para ahli
tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian, yaitu: Tasawuf falsafi, Tasawuf
akhalqi dan Tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini memiliki tujuan yang sama yaitu
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan
mensucikan diri dengan perbuatan yang terpuji”(Hamzah 2020:hlm 17). Dalam proses bertasawuf
seseorang harus mampu mengerjakan amar ma’ruf dan mencegah dirinya kepada yang mungkar,
dan seseorang yang sedang bertasawuf harus memiliki akhlak yang mulia.
 
2.3 Corak dan Karakteristik Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki merupakan tasawuf yang berokus pada perbaikan akhlak manusia, mencari
hakikat kebenaran yang meciptakan manusia yang dapat berma’rifat kepada Allah SWT, dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah
tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang membatasi dirinya dengan Al-Qur’an dan al-Hadits.
Tasawuf akhlãki ini dikembangkan oleh ‘ulama salaf al-Salih. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf
ini antara lain: 1) Takhalli, yaitu pengosongan diri dari sifatsifat tercela. 2) Tahalli, yaitu pengisian
dan membiasakan diri dengan sifat-sifat terpuji. 3) Tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi (cahaya
Tuhan) seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan yang negatif pada diri manusia setelah
tahapan takhalli dan tahalli.
Tasawuf akhlaki memiliki corak dan karakteristik yang khas dalam meningkatkan akhlak
seseorang. Salah satu tujuan utama tasawuf akhlaki adalah untuk membangkitkan semangat umat
Islam untuk memperbaiki akhlaknya karena semua hukum Islam didasarkan pada landasan akhlak.
Sejalan dengan itu, tasawuf akhlaki juga menekankan pada pentingnya menjaga akhlak dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga tidak merusak agama Islam.
Terdapat beberapa corak dan karakteristik dalam tasawuf akhlaki, di antaranya yaitu:
1. Keterkaitan antara akhlak dan ibadah: Tasawuf akhlaki menekankan bahwa akhlak yang baik
merupakan bagian dari ibadah. Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap aspek kehidupan seseorang
harus diatur dan diperbaiki agar selaras dengan ajaran Islam.
2. Menghindari sifat-sifat buruk: Tasawuf akhlaki menekankan pada pentingnya menghindari sifat-
sifat buruk seperti iri hati, dengki, dan sombong, serta mendorong untuk mengembangkan sifat-sifat
baik seperti kasih sayang, kejujuran, dan keikhlasan.
3. Meningkatkan kesadaran spiritual: Tasawuf akhlaki menekankan pada pentingnya meningkatkan
kesadaran spiritual seseorang agar lebih dekat dengan Allah SWT. Hal ini bisa dilakukan melalui
berbagai amalan spiritual seperti dzikir, shalat malam, dan puasa.
4. Mengikuti sunnah Rasulullah: Tasawuf akhlaki mendorong seseorang untuk mengikuti sunnah
Rasulullah sebagai tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup segala aspek
kehidupan, mulai dari hubungan sosial hingga spiritual.

2.4 Corak dan Karakteristik Tasawuf Amali


Tasawuf  ‘amali yaitu tasawuf yang berfokus pada  perbuatan amal-amal yang mendekatkan
diri kita kepada Allah SWT untuk mencapai hubungan yang dekat dengan-Nya. Seseorang  yang
ingin menjalin hubungan baik dengan  Allah maka  ia harus membersihkan  jiwanya terlebih dahulu
sebagimana yang disebutkan didalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan  Allah  menyukai  orang-
orang  yang  bersih”(Qs.  At-Taubah:108)  dan disebutkan pula dalam ayat lain yaitu
“Sesungguhnya  Allah  menyukai  orang  yang bertobaat  dan  menyukai  orang-orang yang
mensucikan diri”(Qs. Al-Baqarah: 222). Melakukan hubungan yang baik dengan Allah yaitu salah
satunya dengan menaati perintah-Nya, melaksanakan syariat, serta ketentuan-ketentuan yang ada
dalam agama.
Tasawuf amali memiliki beberapa karakteristik yaitu diantaranya  menyandarkan ajarannya
pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merasa cukup dengan dalil keduanya. Karakteristik lainnya
yaitu menekankan pentingnya amalan dalam beragama, baik itu amalan lahiriah dan juga amalan
batiniah. Yang mencakup amalan lahiriah yaitu seperti ibadah yang dilaksanakan dengan anggota
badan, seperti misalnya sholat. Sedangkan amalan-amalan batiniah yaitu seperti bertafakur,
bersabar, berharap kepada Allah, mensucikan diri dari perbuatan tercela.
Disisi lain tasawuf amali ini memiliki ragam yaitu disebut thariqah, yang berarti jalan atau
cara. Didalam ilmu tasawuf, thariqah ini ialah jalan atau cara untuk menempuh dalam mendekatkan
diri kepada Allah. Cara yang dilakukan seorang sufi dalam melaksanakan tarekat yaitu dengan
melakukan tiga tujuan. Yang pertama tazkiyat al-nafs, menyucikan jiwa dari berbagai penyakit hati,
seperti contoh nya tidak iri dengan rezeki orang lain, dan tidak iri melihat kesuksesan orang lain.
Yang kedua taqarrub ila Allah, mendekatkan diri kepada Alah dengan sedekat-dekatnya, seperti
contohnya melaksanakan sholat tepat waktu, melaksanakan ibadah sunnah, dll. Yang ketiga yaitu
hudhûr al-qalb ma’allâh, merasakan kehadiran Allah di dalam kalbu, contohnya dengan melakukan
dzikir dan mengetahui makna-makna nya.
 
2.5 Corak dan Karakteristik Tasawuf Falsafi
Pada masa awalnya, tasawuf dan filsafat saling terkait dan memiliki hubungan yang sangat
dekat. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang menganggap keduanya sebagai hal yang
bertentangan. Tasawuf mengacu pada pola hidup seorang sufi yang lebih dekat dengan Tuhan dan
berusaha untuk mensucikan jiwa. Meskipun istilah "tasawuf" belum ada pada masa itu, pola hidup
Nabi saw. yang penuh kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan menjadi contoh yang
dipraktikkan dan akhirnya menjadi ilmu tasawuf.
Jika diperhatikan dengan seksama, perkembangan tasawuf menunjukkan bahwa konsep
tentang ketuhanan diformulasikan menjadi konsep etika, estetika, dan kesatuan wujud. Hal ini
menjadi ciri khas dari tasawuf falsafi. Dalam tasawuf falsafi, konsep-konsep filosofis digunakan
untuk memahami hubungan antara manusia dan Tuhan, serta untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih dalam tentang alam semesta dan hakikat keberadaan manusia.
Etika dalam tasawuf falsafi mencakup kewajiban moral dan spiritual manusia, seperti
kebajikan, kasih sayang, kerendahan hati, dan keadilan. Estetika mengacu pada keindahan dan
keharmonisan dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Sedangkan kesatuan
wujud mengacu pada pemahaman bahwa Tuhan adalah satu-satunya keberadaan yang benar-benar
ada, dan bahwa semua keberadaan lainnya hanya merupakan refleksi dari keberadaan Tuhan.
Dengan menggunakan konsep-konsep filosofis ini, tasawuf falsafi berusaha untuk mencapai
kesadaran spiritual yang lebih dalam dan memperoleh pengalaman kebersamaan dengan Tuhan.
Banyak kesulitan dalam mengidentifikasi ciri-ciri tasawuf falsafi karena adanya penggunaan
banyak istilah filsafat dalam terminologi tasawuf falsafi. Oleh karena itu, beberapa pakar masih
meragukan keaslian tasawuf falsafi sebagai bentuk tasawuf yang orisinal. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya istilah dan ajaran dalam tasawuf falsafi yang dipengaruhi oleh filsafat dan memiliki
kesamaan dengan terminologi filsafat. Beberapa karakteristik penting dari tasawuf falsafi adalah
sebagai berikut:
1. Gabungan antara pemikiran filosofis dan rasional. Tasawuf falsafi sangat sering menggunakan
dalil naqliyah (berdasarkan pemikiran);
2. Terdapat riyadhah (latihan rohani) untuk mencapai kebahagiaan;
3. Iluminasi adalah cara yang digunakan untuk mengetahui hakikat sesuatu;
4. Menggunakan istilah atau terminology dengan menggunakan simbol-simbol
 
Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf falsafi
memiliki kecenderungan dan kesamaan yang kuat dengan pendekatan filsafat dan rasional. Hal ini
ditunjukkan oleh penggunaan banyak istilah filsafat dalam terminologi tasawuf falsafi, serta
pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep filosofis yang digunakan dalam praktik
tasawuf. Sebagai hasil dari pendekatan ini, tasawuf falsafi menekankan pada pemahaman rasional
dan filsafat tentang hubungan manusia dengan Tuhan, serta upaya untuk mencapai kesadaran
spiritual melalui pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat keberadaan manusia dan alam
semesta. Beberapa tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
1. Ibnu ‘Arabi (w. 638 H);
2. Suhrowardi al-Maqtul (w.549 H);
3. Ibnu Sabi’in (w. 614 H);
4. Abu Sulaiman al-Darany (w.215 H);
5. Ahmad bin Al-Hawari al- Damashqi (w.230 H);
6. ‘Abd Faid Dhun Nun Bin Ibrahim al-Misri (w.245 H);
7. Abu Yazid Al-Bustami (w.261 H);
8. Al-Hallaj (w. 309 H);
9. Junaid Al-Baghdadi (w.298 H);
10. Al-Ghaznawi (w.545 H);
11. ‘Umar Ibnu Al-Farid (w.632 H)
12. ‘Abd Al-Haq Ibnu Sabi’in Al- Mursi (w.669 H).
 
 2.1 Konsep Maqamat
 
Salah satu konsep maqamat yang dicatat oleh para sufi berkembang paling awal
dalam sejarah tasawuf islam. Dalam al-qur’an maqam yang artinya adalah tempat, dan
disebutkan beberapa kali makna keduanya yaitu abstrak dan konkrit. Diantaranya
penyebutan dalam al-qur’an terdiri dari QS al-Baqarah ayat 125, QS al-Isra ayat 79, QS
Maryam ayat 73, QS as-Saffat ayat 164, QS ad-Dukha ayat 51 dan QS ar-Rahman ayat 46.
(Farhan, 2016, hal. 158) 
 
Bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti tempat atau posisi (station). dalam
istilah sufi, “The mystical language of islam”, maqam dapat diartikan sebagai posisi spiritual
yang merupakan tahapan atau tingkatan fase dan perjalanan dalam mencapai kedekatan sufi
dengan tuhannya. dalam bahasa arab maqamat dapat diartikan sebagai tempat orang-orang
yang mulia. sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat mengacu pada status seorang hamba di
sisi Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, atau melalui Riyadh, Ibadah dan
Mujahada.
 
Di kalangan  sufi, orang pertama yang membahas  maqamat yaitu al-Haris bin Asad
al-Muhasibi (wafat 243 H). karena ia menginginkan muhasabahi (introspeksi), yang disebut
al-Muhasib. Secara historis, konsep maqamat mungkin berasal dari abad pertama Hijrah,
ketika banyak sahabat Nabi masih hidup. sebagai pengantar konsep ini, sahabat Ali bin Abi
Thalib adalah menantu Rasulullah SAW.
 
Dapat ditemukan beberapa informasi ketika para sahabat bertanya tentang iman, lalu
Ali bin Abi Thalib menjawab bahwa iman dibangun di atas empat landasan, yaitu kesabaran
(as-sabr), keyakinan (al-yaqinu), keadilan (al-'adl) dan perjuangan (al-jihadu). dan dari
semua landasan ini memiliki sepuluh tingkatan (maqamat). sedikitnya ada bukti kuat untuk
menyatakan sumber tasawuf sudah terlihat pada zaman Nabi Muhammad SAW.
 
Untuk perkembangannya konsep maqamat merupakan konsep yang mana sangat
menarik perhatian para sufi. Kemudian para sufi membuat beberapa definsi dan tingkat
maqam. Lalu para sufi juga membuat definisi berhubungan dengan proses konsepsi.
Tujuannya, agar konsep maqamat para sufi membuat gerakan atau perilaku untuk mencapai
kesempurnaan tuhan yang secara sistematis.berdasarkan konsep maqamat dan yang penting
maka para sufi dapat memberikan aturan bahwa pengikut nya sehingga jalan menuju Tuhan
menjadi jelas dan mudah. (Farhan, 2016, hal. 159)
 
Maqam ini yang harus dilewati oleh para sufi satu per satu. Oleh karena itu, al-
Qusyairi menjelaskan bahwa seorang sufi tidak boleh melewati Maqam hingga maqam
sebelumnya selesai. orang tidak boleh mempercayainya karena qona'ah, tidak ada inabaa
sebelum taubat.
Ibnu 'Athailah adalah salah satunya dari tiga guru Tarekat Syadziliyyah, banyak
diamalkan oleh pengikutnya baik di Timur Tengah dan di Indonesia. berdasarkan klasifikasi
Ibnu 'Athaillah, menarik bahwa sebagian yang disebut materi terkandung dalam bidang
maqam. di samping itu Maqamat disusun oleh Ibnu Athaillah memuat maqam yang
disepakati para sufi. berikut maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat
yang disepakati dari mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, alwara’, al-shabr, al-tawakkal, dan
alridha.
 
2.2 Karakteristik maqamat
 
Sistematika maqamat yang disusun oleh Ibnu ‘Athaillah ini tercantum dalam salah
satu kitabnya at-Tanwir fi isqath at-Tadbir, 29 yaitu :
a. Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari bahasa arab taba-yatubu-taubatan yang memiliki arti
"Kembali" dan "Maaf". Maka dari itu makna taubat bagi para sufi mohon ampun atas
segala dosa dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mengulangi dosa dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
allah.
 
Kebanyakan Sufi melakukan tobat sebagai perhentian pertama di jalan
kepada menuju Allah SWT. dari tobat ini banyak para sufi terdapat definisi yang
berbeda. definisi Al-Junaid tobat sebagai upaya untuk tidak mengulangi dosa di masa
kini. sufi lain seperti Sheikh Sahal mengatakan bahwa ada pertobatan seseorang
harus mengingat dosa-dosa yang telah dilakukannya mencoba di masa lalu untuk
membersihkan hati dari bisikan yang mengarah pada dosa.
 
Inti dari tobat adalah pengakuan kesalahan masa lalu sekaligus wajib untuk
selalu mengikuti perintah dan menjauh larangan Allah SWT di masa yang akan
datang. Ibnu 'Athailah sendiri menjelaskannya dalam maqam taubat seorang sufi
harus kembali kepada Allah atas segala perbuatan yang tidak di ridhoi dan menuju
perbuatan yang diridhoinya. melepaskan pengaturan atas sesuatu yang telah menjadi
tanggungan Allah SWT dan berkonsentrasi pada tanggung jawab yang diberikan
oleh Allah SWT kepada dirinya sebagai manusia.
 
Syarat yang harus dipenuhi agar taubatnya diterima adalah menyesali
pelanggaran yang telah dilakukan, meninggalkan secara langsung penyelewengan
tersebut dan kemudian dengan ia memutuskan untuk tidak kembali kepada
kemaksiatan yang sama.
 
Bagi orang awam taubat dilakukan dengan membaca istighfar (astagfirullah
waatubu ilahi). Sedangkan bagi orang khawas (orang yang telah menjadi sufi)
bertaubat dengan melakukan riyadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam
rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah SWT. taubat ini
dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi. bagi
golongan khawas yang dipandang dosa adalah ghaflah (terlenamengingat Allah)
sumber munculnya segala dosa.
 
Dengan demikian taubat merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama
ke kehidupan baru secara sufi. yaitu hidup selalu ingat kepada Allah sepanjang masa.
berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
menjelaskan masalah ini, diantaranya adalah ayat yang berbunyi:
َ‫َوتُوْ ب ُْٓوا اِلَى هّٰللا ِ َج ِم ْيعًا اَيُّهَ ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬
Artinya: Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. (QS. AnNur: 31)
 
‫ُص‚رُّ وْ ا ع َٰلى َم‚ا فَ َعلُ‚‚وْ ا َوهُ ْم‬ ‫هّٰللا‬ ْ َ‫اح َشةً اَوْ ظَلَ ُم ْٓوا اَ ْنفُ َس‚هُ ْم َذ َك‚ رُوا هّٰللا َ ف‬
ِ ‫ب اِاَّل ُ ۗ َولَ ْم ي‬ َ ْ‫اس‚تَ ْغفَرُوْ ا لِ‚ ُذنُوْ بِ ِه ۗ ْم َو َم ْن يَّ ْغفِ‚ ُر ال‚ ُّذنُو‬ ِ َ‫َوالَّ ِذ ْينَ اِ َذا فَ َعلُوْ ا ف‬
َ‫يَ ْعلَ ُموْ ن‬
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosadosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Ali
Imron:135).
 
b. Zuhud
 
Secara etimologis, zuhud ragaba berarti 'ansyai'inwa tarakahua, yang berarti
tidak mementingkan sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya berarti
mengosongkan diri dari kesenangan duniawi untuk beribadah. menurut para sufi,
zuhud berarti meninggalkan kehidupan duniawi dan berkonsentrasi pada akhirat.
menurut Harun Nasution, zuhud artinya ruang untuk menarik diri dari dunia dan
menjalani kehidupan material. zuhud merupakan maqam penting yang harus dilalui
oleh para sufi dalam perjalanan menuju Allah SWT.
 
Sebagaimana diketahui, Maqam zuhud pernah menjadi gerakan massa umat
Islam pada abad pertama Hijriyah sebagai gerakan protes terhadap para birokrat
kaya. gerakan zuhud ini dipimpin oleh seorang sufi ternama, yaitu Hasan al-Basri. 
 
Ibnu Athaillah sendiri membagi Zuhud menjadi dua tahap,yaitu zuhud lahir
yang jelas dan zuhud batin yang samar. konsep ini adalah ketika seseorang ingin
melakukan zuhud yang lahir, maka seorang harus zuhud terhadap barang halal yang
berlebihan, baik berupa makanan, pakaian, dan sebagainya. Sedangkan pada zuhud
batin seseorang harus zuhud terhadap perasaan hati yang tidak dibenarkan semisal
perasaan sombong di depan orang lain, senang diupuji, syirik, iri hati dan
sebagainya.
 
Pada mulanya adalah arti zuhud maka hiduplah dengan sederhana tumbuh ke
arah yang lebih ekstrim. definisi ekstrim dari zuhud datang pertama dari Hasan al-
Bashri dikatakan untuk berurusan dengan dunia seperti jembatan yang hanya perlu
diseberangi dan jangan membangun apapun di atasnya. menurut al-Junaid, zuhud itu
adalah tidak punya apa-apa dan bukan milik siapa-siapa. 
 
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yangmenjelaskan hal itu, di
antaranya:
 
ْ ُ‫ع ال ُّد ْنيَا قَلِ ْي ۚ ٌل َوااْل ٰ ِخ َرةُ َخ ْي ٌر لِّ َم ِن اتَّ ٰقىۗ َواَل ت‬
‫ظلَ ُموْ نَ فَتِ ْياًل‬ ُ ‫قُلْ َمتَا‬
Artinya: Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-
orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (QS.An-Nisa’: 77)
 
‫ع ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة اِاَّل قَلِ ْي ٌل‬
ُ ‫فَ َما َمتَا‬
Artinya: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat
hanyalah sedikit. (QS. Al-Taubah: 38).
 
c. Al-wara’
 
Secara harfiah, al-wara berarti saleh, menjauhi dosa. yang berarti tinggal jauh
dari hal-hal yang tidak baik. dan dalam pengertian sufi, al-wara' pergi segala sesuatu
di dalamnya meminta rezeki kecuali untuk memenuhi kewajibannya. Sufi adalah
orang yang sangat peduli dengan apa yang mereka lakukan. mereka tidak ingin
menggunakan atau melakukan sesuatu yang statusnya tidak jelas dan hukum,
terutama yang jelas-jelas haram. cara hidup seperti itu disebut wara’.
Para sufi selalu berusaha untuk menghiasi dirinya karakter wara karena
menurutnya seseorang yang tidak memiliki sifat wara' tidak mengetahui nikmatnya
ibadah. bagi para sufi wara mengartikan wara’ itu meninggalkan segala sesuatu yang
tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan
lain. Ibrahim bin Adham misalnya berpendapat, bahwa wara’ ialah meninggalkan
segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.
 
d. Sabar
 
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati, menurut Dzun Nu al-Misri, sabar
berarti menjauhi sesuatu bertentangan dengan kehendak tuhan tapi tenanglah saat
menghadapi ujian, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada
dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT, yakni :
‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اصْ بِرُوْ ا‬
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu.”
Abu Zakaria al-Anshari berkata, sabar adalah kemampuan seseorang dalam
mengendalikan dirinya terhadap segala sesuatu yang terjadi, baik yang disenangi maupun yang
tidak disenang.
 
Pandangan sufi tentang kesabaran merupakan aspek penting dalam
memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani
dalam menghadapi segala kesulitan. sabar merupakan sikap utama dan akan
memberikan keutamaan dalam segala bidang kehidupan; sabar dalam ibadah, sabar
dalam menuntut ilmu, dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi dengan sesama
manusia, sabar dalam sehat maupun sakit, sabar dalam cinta, sabar ketika membenci,
sabar dalam kenikmatan dan penderitaan. dan sesungguhnya latihan sabar untuk
sabar merupakan sumber keutamaan akhlak.
 
Sabar merupakan salah satu dari sekian maqamat untuk menuju kepada
ma’rifat. dengan kesabaran seseorang akan menjadi lebih terang hatinya sehingga
lebih mudah dalam meyakini ke-Agungan Allah. sabar jauh dari penyakit dan
godaan jiwa, sehingga dengan demikian seorang yang sabar akan memeroleh
ketenangan jiwa yang diharapkan oleh setiap insan. adapun puncak dari kesabaran
adalah sifat tawakal.
 
Sikap sabar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur’an, Allah berfirman;
َ‫ق ِّم َّما يَ ْم ُكرُوْ ن‬
ٍ ‫ض ْي‬
َ ‫ك فِ ْي‬ ُ َ‫ص ْبرُكَ اِاَّل بِاهّٰلل ِ َواَل تَحْ ز َْن َعلَ ْي ِه ْم َواَل ت‬
َ ‫َواصْ بِرْ َو َما‬
Artinya : "Bersabarlah dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah
kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan". (QS. AnNahl: 127).
 
e. Tawakal
 
Tawakal artinya secara harfiah menyerahkan diri. tawakal adalah gambaran
penentuan hati manusia dalam menggantungkan diri hanya kepada allah. sikap
tawakal akan memberikan ketenangan bagi seorang mu’min, dan memberikan sikap
stabil dan ketenangan jiwa.
 
Tawakal adalah perasaan percaya dalam melihat alam, bahwa apa yang ada di
dalamnya tidak dapat lepas dari tangan tuhan, di mana di dalam hatinya di gelar oleh
allah ketenangan, dan inilah seorang Muslim kemudian berdamai dengan tuhannya
dia telah menjalankan kewajiban yang ditentukan oleh Allah.
 
Mengenai keyakinan, al-Ghazali menghubungkannya dengan tauhid, yaitu
hakikat tauhid sebagai dasar keimanan. pentingnya tauhid, yang paling penting
tawakal adalah perwujudan dari ucapan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika
lahu. pendapat alKalabadzi tawakal adalah meninggalkan segala upaya
mengucapkan “la haula wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali
dari allah).
 
Tawakal adalah mencampakkan segala perlindungan kecuali kepada
allah.bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah.
Dalam firman-Nya, Allah menyatakan;
َ‫َو َعلَى هّٰللا ِ فَ ْليَت ََو َّك ِل ْال ُمْؤ ِمنُوْ ن‬
Artinya: "dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal." (QS. At-Taubah: 51) 
 
Pada hakikatnya orang yang tawakal, telah memikirkan sebab-sebabnya
dengan cermat dan baik, dan ia bersandar kepada Allah swt dalam segala urusannya.
di samping itu, sebelum bertawakal, ia telah memiliki sifat wara’, sabar, dan taubat
dan semua itu merupakan maqamat yang telah memberikan kepada dirinya
ketenengan, ketentraman jiwa, karena pada tiaptiap tingkatan maqam ia selalu
bersama Allah dan kepada-Nya ia bertawakal.
 
f. Ridha
 
Secara harfiah ridha berarti kesiapan atau rela,dengan suka dan senang.
berarti penerimaan rasa puas dengan apa diberikan oleh Allah SWT. orang yang rela
mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik ujian yang diberikan Allah kepada
kita.
 
Ibnu 'Athaillah, maqam Ridha adalah sikap menolak ikut campur
bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Alasannya adalah karena orang merasa
cukup dengan itu cukuplah pengaturan Allah SWT baginya. bagaimana mungkin ia
akan ikut mengatur bersama-Nya, sementara ia telah meridhai pengaturannya.
maqam ini merupakan tingkatan tertinggi dari sistematika maqamat menurut
pandangan Ibnu 'Athaillah. 
 
Bagi para sufi, ujian dan musibah beranggap sebagai suatu nikmat bukan
suatu kepahitan/kesakitan, lantaran dengan ujian-ujian itu mereka yakin bahwa Allah
menyayangi kita dan bila kita ridha, maka kita akan semakin dekat dengan-Nya.
seseorang yang telah ridha tidak akan pernah merasa berduka cita, selalu bergembira,
karena ia meyakini apa yang sedang dialami dan atau diperoleh, meskipun berupa
derita dan bencana merupakan hal yang terbaik baginya.
Orang yang telah mencapai maqam ini akan senantiasa bahagia dan tidak
susah walaupun ia telah beramal baik dan masuk ke dalam neraka, dan tidak begitu
bahagia walaupun ia nantinya masuk surga.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman;
‫عن ْ ُه ۗ ٰذلِ َك الْفَ ْو ُز ال َْع ِظيْ ُم‬ َ ‫َر ِض َي الل ّ ٰ ُه‬
َ ‫عن ْ ُه ْم َو َر ُض ْوا‬
Artinya: Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang besar.
(QS. Al-Maidah: 119).
 
g.  Faqir
Kefakiran (al-faqr ) Merupakan salah satu maqam yang harus dilalui seorang
salik yang sedangmempalari tasawuf setelah maqam wara’. Menurut Al-Qur’an, fakir berasal dari
bahasa arab, yaitu faqura, yafquru, faqran yang berarti miskin. Istilah faqr berarti
kemiskinan. Ataupun secara bahasa indonesia diartikansebagai orang yang sangat
berkekurangan, orang yang sangat miskin, atau orang yangsengaja membuat dirinya
kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.Para sufi seperti al-Kalazabi
berpendapat bahwa fakir adalah orang yang tidak bolehmencari mata pencaharian,
kecuali orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugaskeagamaan.Adapun al-
Nuri berpendapat bahwa fakir adalah orang yang harus bungkam ketikatidak
memilik sesuatu, bermurah hati dan tidak hanya memikirkan diri sendiri jika
memiliki sesuatu. Menurut Nasshr al-Din al-Thusi, fakir adalah seseorang tidak
memiliki kecintaanterhadap kekayaan dan hiasan duniawi, dan jika memilikinya
maka tidak berkeinginanuntuk menyimpan dan mengumpulkannya.Sedangkan Ibn
Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa fakir tidak bermaknamenafikan kekayaan
dan harta, sebab para nabi dan rasul adalah orang-orang kaya danmemiliki
kekuasaan, tetapi fakir adalah seorang hamba senantiasa memiliki
kebutuhanterhadap Allah Subhanahu wa ta’ala
dalam keadaan apapun.Menurut al-Ghazali, ada lima tingkatan fakir dua diantaranya yang paling
tinggiderajatnya, yakni orang yang tidak suka diberi harta, merasa tersiksa dengan
harta, danmenjaga diri dari kejahatan dan kesibukan untuk mencari harta; dan
seseorang yang tidaksenang mendapatkan harta dan tidak merasa benci bila
mendapat harta.Berdasarkan penjabaran dapat diambil kesimpulan bahwa fakir
merupakan seseorangyang diberikan kondisi kemiskinan namun tetap menikmati dan
mensyukuri keadaannya bahkan mereka merasa tersiksa dengan adanya harta karena
harta tersebut suatu saat akanmenjadi pertanggung jawaban juga bagi mereka serta
menjauhkan diri mereka darikesibukan dalam mencari harta.
Fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang yang miskin. Sedangkan
dalam pandangan kaum sufi, yang dimaksud fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Bukan berarti mereka menolak pemberian. Jika
diberi maka akan diterima, jika tidak maka tidak akan meminta. 
A. KARAKTERISTIK SUFI (AL-AHWAL)
   Maqamat dan Ahwal merupakan salah satu istilah dalam dunia tasawuf. Namun sarana dan
spiritual seorang itu merupakan spiritual berkomunikasi dengan Tuhan, maka dari itu tempat
dan segala suatu jagad adalah maqamat jamak, tahapan perjalanan yang diterjemahkan
dengan kata “stasiun” merupakan suatu perjalanan yang Panjang, Adapun dalam “Ahwal”
biasanya para sufi mengalami perjalanan spiritualnya.(Akhlaqi & Ahwal, 2019, h. 219)
      Jadi, untuk mencapai  tujuan yang ideal para sufi, agar kembali pada cahaya tuhan dengan cara
proses membersihkan  jiwa. Dengan demikian ahwal yang sudah diberikan oleh tuhan
seseorang harus melalui perjalanan kerohanian. Ketika tuhan sudah memberikan Amanah
kepada seseorang  dengan jiwa dan hati yang bersih maka akan ada keindahan di dalam jiwa
manusia,  Jadi, ketika sudah mencintai dan merasakan kebahagiaan maka hati dan jiwa
seseorang akan dekat (qurb) ,rasa cinta (mahabbah) dengan demikian itulah yang di maksud
dengsan ahwal.(Akhlaqi & Ahwal, 2019, h. 220)
      Seorang sufi untuk menuju tuhannya yaitu harus mencapai perjalanan spiritualnya, dari
beberapa pendapat banyak perbedaan dari para sufi untuk mencapai maqamat dan ahwal,
untuk mendapatkan secara langsung. Maqamat adalah salah satu tahapan spiritual dengan
perjalanan yang diperolehnya secara gigih oleh para sufi, hakikatnya perjuangan spiritual
sangat memelahkan maka kita harus melawan hawa nafsu dan ego. Bisa di lihat dari
perjuangan sufi yang memerlukan waktu cukup Panjang untuk berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lainnya. Namun berbeda dengan ahwal yang diperoleh secara langsung.
(Akhlaqi & Ahwal, 2019, h. 220)
    Pada umumnya masyarakat itu karakteristik  di dunia tarekat (sufisme), bahwa seorang sufi itu
bisa  mempunyai semangat yang tinggi untuk terus berubah, Namun perubahannya dapat
dilihat dari maqamat dan ahwal yang dilalui oleh para sufi. Kemudian pintu taubat wara',
zuhud, faqr, sabar tawakal hingga maqam tertinggi. Dengan demikian ahwal terus berubah
dari muraqabah sampai dengan ahwal li al-fana bahkan sampai fana'il fana, kemudian baqa'
ma'a Allâh.(Kholid, 2018, h. 2)
 
   Secara singkatnya bahwa dunia tarekat (tasawuf) itu yang dimana maqam tersebut tidak akan
pernah puas apa yang telah di capai. Misalnya Ketika ada seorang yang sedang meminum
air, jika sudah hilang rasa hausnya maka semakin dahaga. Intinya termonologi tasawuf itu
akan terus berkembang dan relevan dengan waktu yang singkat.(Kholid, 2018)
 
Oleh karena itu, bahwasanya yang di maksud dengan karakter terhadap ahwal sufiyah merupakan
salah satu capaian seorang sufi untuk mencari pembelajaran spiritual terhadap Allah SWT,
dengan perjalanan yang diperolah secara gigih.
 
B. Ahwal Shufiyah Menurut para ulama dan Beberapa contoh
      Pembahasan tasawwuf tidak lepas dari pembahasan kedekatan seorang sufi dengan allah swt.
Tingkatan atau derajat yang dimaksud dalam kalangan sufi disebut maqam. Semakin tinggi
tingkat tasawuf maka semakin dekat pula sufi tersebut dengan Allah SWT. Namun para sufi
juga berselisih tentang posisi tersebut, terutama tentang posisi mana yang lebih tinggi dan
mana yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak ada dalil yang jelas dari nash-nash Al-
Qur'an maupun As-Sunnah.(asnawiyah, 2014)
     Di kalangan Sufi, istilah Maqam kadang-kadang disebut dengan istilah jamaknya maqamat.
Menurut Al-Qushayiri, yang dimaksud dengan maqam adalah hasil kerja keras dan
keluhuran seseorang yang berakhlak sebagai hamba Allah, yang dapat mengantarkannya
pada cita-cita dan tuntunan segala tugas.Ketika al-Thusi memberikan arti yang berbeda:
‫مقام العبد يدى هلال فيما يقام فيو من العبادات واجمالىدات والرايضات والنقطاع‬
‫إىل هلال‬.
"Kedudukan seorang hamba di hadapan Allah dicapai melalui kerja keras dalam ibadah, semangat
melawan nafsu, latihan spiritual dan penyerahan seluruh jiwa dan tubuh untuk pelayanan
tunggal-Nya".(asnawiyah, 2014, h. 81)
 
     Dari dua pendapat di atas dapat dipahami bahwa Maqam adalah  kedudukan seseorang yang
menunjukkan kedekatannya dengan Allah SWT. Jabatan tersebut tidak didapatkan begitu
saja, melainkan harus melalui proses yang serius. Dengan kata lain, dapat  dipahami pula
bahwa proses yang dilalui  para sufi untuk mencapai tahap tertinggi harus melalui banyak
tahapan, dari yang  paling rendah hingga yang paling tinggi.(asnawiyah, 2014, h. 81)
  Ulama sufi berbeda dalam tingkatan tasawuf. Begitu juga berapa maqamnya. Menurut Al-Qusyair,
ada 7 (tujuh) maqam yang tingkatannya adalah: taubat, Wara', Zuhud, Tawakkal, Shabar dan
terakhir Ridha. Al-Thus memiliki bentuk lain yaitu: Tobat, Wara', Zuhud, Faqr, Shabar,
Tawakkal dan Ridha. Al-Ghaza memiliki urutan sebagai berikut: Tobat, Shabar, Syukur,
Raja', Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas, Rida.(asnawiyah, 2014, h. 81-82)
    Dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa tidak ada tingkatan yang dapat dikatakan
sebagai jabatan baku. Dengan kata lain, pendapat tersebut merupakan pendapat yang bukan
internal Jumhur Ulama(asnawiyah, 2014, h. 82)
    Menurut Harun Nasution, maqam yang paling populer terdiri dari: Taubat, Zuhud, Shabar,
Tawakkal dan Ridha.
    Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Maqam adalah suatu postur tertentu yang ciri-cirinya
berbeda dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Inti dari keadaan taubat adalah bertobat dari
segala dosa. Posisi ini menunjukkan betapa pentingnya peningkatan, karena dengan
peningkatan Anda dapat pindah ke posisi lain yang lebih tinggi. Meskipun Ridha merupakan
tingkatan tertinggi, yang dapat diartikan mencapai kondisi ideal bagi seorang muslim. Ini
hanya dapat dicapai setelah menyelesaikan tahapan lain seperti zuhud, shabar dan tawakkal.
(asnawiyah, 2014)
       Berbeda dengan al-Thus, al-Qusyairy memberi makna ahwal seperti anugerah atau syarat Allah
yang datang tanpa wujud. Seperti halnya dalam maqamat, terdapat perbedaan jumlah dan
urutan di antara ulama sufi ahwal. Hal ini karena Nabi sendiri selama ini belum memberikan
petunjuk tentang jenis dan tingkatan ahwal  dalam hadis-hadisnya. Dengan kata lain, ahwal
banyak dijumpai pada ungkapan ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi, namun tidak dijelaskan
secara detail mana nilai ahwal yang tertinggi dan terendah. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
ahwal merupakan hasil pemikiran para ijtihad dan  ulama sufi.(asnawiyah, 2014)
    Mengenai berbagai teori dan rumusan maqamat dan ahwali oleh ulama sufi di atas, tentu
berimplikasi pada pemahaman maqamat dan ahwali oleh ulama di bidang lain. Pengaruhnya
juga di Aceh dan negara-negara lain sebagai pusat kegiatan tasawuf. Sebagaimana diketahui,
sebagian besar dari agama di Aceh sangat menganut mazhab syafi'yah, yang tauhidnya
mengikuti paham Imam Abu Hasan Asya'ar dan Abu Mansor Al maturid, fiqihnya
mengikuti Imam.
    Syafie dan tasawufnya mengikuti garis Imam Ghazal dan Syekh Junaid al Baghdadi. Disini juga
peneliti mewawancarai Teuku Muhammad Umar yang merupakan balita dari Dayah
Liqaurrahmah, Desa Lieue Darussalam Aceh Besar. (Brier & lia dwi jayanti, 2020)
     Dari perspektif pribadi, ia bersandar pada pemikiran dan pandangan Imam Ghazali seperti dalam
karya referensi utamanya Ihya'ulumuddin. Ia mengatakan bahwa maqamat  bukanlah
masalah untuk dipikirkan dan diperjuangkan, tetapi maqamat  adalah perasaan yang hanya
bisa dirasakan oleh orang yang mengamalkannya. Ketika disebutkan kepada Tatkala bahwa
dia  begitu banyak hal di maqam, itu salah karena dia sebenarnya memiliki riak dan
pelampung, yang hanya pantas untuk  menilai  dirinya sebagai sesepuh yang telah mencapai
maqamat dan ahwal, jadi sejak itu bahkan terkadang, ketika guru melihat muridnya sebagai
babi dan menyuruh mereka bertobat, dan terkadang  guru melihat  muridnya bersinar ketika
pakaian mereka bersih. (Brier & lia dwi jayanti, 2020)
    Oleh karena itu, bahwasannya yang di maksud perbedaan pendapat dengan para ulama ahwal
sufiyah itu merupakan maqam/capaian seorang sufi untuk menuju ketataatanya terhadap
Allah SWT.
   (Bakry, 2018, h. 90)Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam jumlah dan susunan ahwal ini
juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Di antara sekian banyak nama, yang
terpenting dan paling banyak penga-nutnya adalah: al-muraqabah, al-khauf, al-raja’, al-
syauq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah dan al-yaqin. Akan tetapi ada juga sebagian
sufi menempatkan al-ma’rifah dan al-mahabbah sebagai bagian dari ahwal. Secara singkat
akan dijelaskan sebagai berikut:
 
a. Al-Muraqabah
Muraqabah menurut sufi bermakna adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah
dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran demikian menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada
bahwa ia sedang di-monitoring oleh Sang Khaliq. Orang yang memeroleh sikap mental
muraqabah ini sudah pasti akan selalu berusaha menata dan membina kesucian diri dan
amalnya. Karena ia selalu merasa dalam pengawasan Allah serta selalu berhadapan dengan
Allah. Apabila sikap muraqabah ini telah terpatri kuat dalam jiwa seseorang, maka seluruh
budi pekertinya menjadi baik.
 
b. Al-Khauf
Menurut bahasa berarti takut. Dalam pengertian sufi khauf berarti suatu sikap mental merasa takut
kepada Allah karena merasa kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir
kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia
selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki
Allah. Sikap mental seperti ini merangsang seseorang melakukan hal-hal yang
baik dan menjauhi perbuatan maksiat. Perbedaan orang yang takut kepada manusia dan takut
kepada Allah ialah orang yang takut kepada manusia akan lari darinya, sedang orang yang
takut kepada Allah akan lari kepada-Nya.
 
c. Al-Raja’
Atau harapan. Dalam istilah sufi merupakan sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia
dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh. Oleh karena Allah
Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa
optimis akan memeroleh limpahan karunia Ilahi. Perasaan optimis akan member semangat dan
gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu, karena Allah
adalah Maha Pengasih Maha Penyayang.
 
d. Al-Syauq
   Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah. Yaitu rasa rindu yang
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang
mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan
bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh kerinduan. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu
bergelora agar selalu bersama Dia. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong bagi sufi
agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah.
Bagi sufi, maut bukanlah suatu hal yang harus ditakuti, justru selalu dinanti-nantikan, karena maut
dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan
Ma’budnya
 
e. Al-Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu
Allah. Tidak ada yang dirasa, yang diingat, yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya
terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi
hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah
yang disebut uns
 
f. Al-Thuma’ninah
Secara harfiyah, kata ini berarti tenang, tenteram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada
yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena iatelah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang paling tinggi setelah melalui usaha dan perjuangan berat. Ia mampu mengadakan
komunikasi langsung dengan Allah karena sudah dekat kepada-Nya, karenanya ia merasa
tenang, bahagia dan tenteram.
 
G. Musyahadah
Kata musyahadah bermakna menyaksikan dengan mata kepala. Tetapi dalam istilah sufi diartikan
menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini, apa yang dicari
seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah swt. Dalam situasi
seperti ini pulalah seseorang memperoleh tingkatan ma’rifat, satu situasi di mana seseorang
seakan-akan menyaksikan Allah dengan seluruh ekspresinya atau melalui mata hatinya.
Secara mendetail dapat disaksikannya keadaan Allah, sehingga lahir pula rasa cinta atau
mahabbah melalui ruh dan akhirnya dan dapat dipandang oleh sirr. Dengan demikian
terjadilah musyahadah antara sufi dengan yang dicarinya.
 
h. Al-Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora
bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh
bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan
yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yaqin. Dengan
demikian, al-yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang
kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya
dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Untuk Mencapai tingkat musyahadah dan al-yaqin, menurut para sufi adalah amat sulit dan jarang
orang yang dapat mencapainya. Mereka yang mampu ke level tersebut adalah para wali
yang sudah sampai ke tingkat insan kami.

Anda mungkin juga menyukai