Tasawuf adalah salah satu tradisi keagamaan ajaran agama Islam yang berusaha melatih jiwa melalui berbagai amalan, membebaskan seseorang dari pengaruh duniawi, mensucikan jiwa, dan membebaskannya dari akhlak yang buruk sehingga hanya memancarkan akhlak yang terpuji dan luhur, yang memungkinkannya untuk konsentrasi. Fokus hanya kepada Allah dan selalu merasa dekat dengan-Nya. Tasawuf dan tarekat memang berbeda dalam berbagai aspek, namun keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Tarekat atau thariqah yang berarti jalan, tidaklah sama dengan syariat atau syariah yang juga memiliki arti jalan, tetapi yang ini adalah jalan besar. Dikaitkan dengan tarekat dalam tradisi tasawuf, Schimmel menghubungkan kedua kata tersebut dengan pernyataan sebagai berikut: tarekat adalah jalan yang diikuti oleh para sufi dan digambarkan berasal dari syariat Islam, sebagai jalan utama disebut syara, sedangkan anak jalan disebut tariq. Derivasi ini menunjukkan bahwa menurut para sufi, pendidikan mistik atau pendidikan sufi atau tasawuf merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum-hukum ketuhanan yang menjadi landasan setiap muslim. Tanpa jalan utama yang Dia mulai, tidak ada jalan. Tidak ada pengalaman mistis atau pengalaman Sufi atau Sufi yang dapat dimiliki tanpa kepatuhan yang cermat terhadap perintah-perintah Islam yang mengikat sebelumnya. Oleh karena itu, untuk mencapai ma'rifah, atau pengalaman dekat dengan Tuhan, diperlukan tarekat yang harus berdasarkan hukum Islam, yang tarekat tersebut harus berbasis pada syariat. Pada akhir abad ke-6 dan ke-7, tasawuf muncul dalam bentuk persaudaraan sufi atau yang kemudian dikenal dengan tarekat berjamaah. Tarekat adalah jalan menuju tasawuf, yang diajarkan oleh seorang guru sufi (syaikh) kepada murid atau pengikutnya (ikhwan) di tempat yang disebut zawiyah. Seorang guru mengajarkan murid-muridnya atau pengikutnya cara-cara tertentu yang harus diikuti jika mereka ingin merasa dekat dan/atau bertemu dengan Tuhannya.Tarekat menjadi semacam pelembagaan dari tradisi tasawuf. Tarekat ini dalam perkembangannya bermetamorfosis menjadi komunitas-komunitas sufi yang secara berkelompok menjalankan tradisi ketasawufan, sehingga muncullah jamaah-jamaah tarekat atau dalam istilah barat disebut dengan persaudaraan sufi (sufi order). Dari penjelasan di atas jelas bahwa keberadaan tradisi tasawuf didorong oleh beberapa faktor yang kemudian berkembang menjadi tarekat, yaitu: 1. Pengaruh gagasan yang ada dalam Al-Qur'an, khususnya gagasan berlindung kepada Allah (tawakkul), yang kemudian dipahami sebagai doktrin pelepasan keduniawian yang ekstrim dan terbebasnya dari rasa dendam. 2. Mengikuti teladan hidup Nabi, akhlak, serta perkataan dan perbuatannya, meneladani juga watak beliau yang hidup sederhana, menjauhi kemewahan duniawi, menghindari kerakusan, menghindari hiruk pikuk kehidupan, bermeditasi pada segala keberadaan alam, dan hal-hal lain yang menjernihkan hatinya, bahkan setiap bulan Ramadhan, Nabi Muhammad SAW selalu menyendiri di gua Hira. 3. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah, masyarakat Islam menekankan perolehan kesenangan duniawi, munculnya pengejaran kemewahan, dan reaksi keras terhadap sikap hidup sekular dan sama sekali tidak saleh dari para penguasa yang sebagian besar bersikap dan bertingkah laku yang bertentangan dengan sikap dan tingkah laku para khalifah yang mula-mula. 4. Dorongan tasawuf juga disuntikkan oleh isolasionisme, reaksi yang kuat dan meluas terhadap ideologi Khawarij dan kontradiksi politik yang ditimbulkannya. Isolasionisme ini disampaikan bersamaan dengan hadits-hadits yang mengajarkan manusia untuk menjauhi tidak hanya politik tetapi juga administrasi pemerintahan dan masalah-masalah sosial secara umum, bahkan banyak hadits yang mendorong manusia untuk mengasingkan diri di gua-gua dan menjauhkan diri dari masyarakat. 5. Ada juga pengaruh eksternal lain yang juga memainkan peran tambahan dan tidak dapat disangkal, misalnya: pengaruh filsafat Gnostik dan tradisi Kristen. 2.2 Sejarah Perkembangan Tasawuf Mengenai sejaran perkembangan tasawuf diketahui bahwa pada masa awal Islam [nabi dan khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Lalu taswuf sendiri awal berkembang sejak abad ke-2 Hijriah. Tasawuf sendiri berasal dari akar kata shuf/ shaf/ shuffah/ shufanahshafa. a) Abad Pertama dan Kedua Hijriah Tasawuf adalah ilmu yang berkembang dari mulai abad kedua pertengahan tahun hijriah dan dalam perjalanannya tasawuf telah mengembangkan terminologi atau kata lainnya bahasa khusus yang dapat dimengerti oleh para sufi ketika berkaitan dengan ajaran dan penghayatan. Seperti halnya kata “syariat” yang bagi para sufi sendiri selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Menurut sejarawan tasawuf, asketisime atau nama lainnya zuhud ialah fase yang megawali keberadaan tasawuf sekitar abad pertama dan kedua Hijriah. Asketisisme dalam islam memiliki pengertian tersendiri. Asketisisme yaitu hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya Sebelum mengenal istilah tasawuf, pada masa periode awal hijriah terkenal istilah Nussaak, Zuhhaad, dan Ubbaad dimana Nussaak yang bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan.Lalu ada Zuhhaad yang merupakan bentuk plural dari zahid, berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan, ubbaad ialah bentuk jamak dari abid yaitu orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata- mata kepada Tuhan. Melihat bahasan awal jika tasawuf diawali dari fase asketisisme, seorang tokokh bernama Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan asketisisme dalam Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Al-Quran sebagai kitab suci umat islam telah berperan dalam mendorong manusia agar takwa kepada Allah, menjalani perintahnya dan menghindari larangannya serta tidak mempusatkan hidup pada hal-hal yang duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat. Kedua, suatu perubahan terkait ruhaniah kaum Muslim terhadap sistem sosial- politik yang berlaku. Ketiga, karena dampak asketisisme Masehi. Pada masa pra-Islam, bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Setelah timbulnya islam, dampaknya terhadap kebanyakan asketis muslim masih tetap berlangsung. Sedangkan, dampak asketisisme masehi bukan kepada prinsip-prinsip umumnya namun lebih terhadap oerganisasionalnya Keempat, terjadinya penolakan pada fiqh dan ilmu kalam. Para fuqaha dan ahli kalam tidak bisa membuat kaum masyarakat paham terhadap kajian tentang agama Islam, sedangkan ilmu tasawuf dapat membuat paham kaum muslimin tentang perasaan keagamaan. Salah satu tokoh bernama Abu al-Wafa' menyebutkan bahwa karakteristik asketisme abad pertama dan kedua sebagai berikut : Pertama, menjauhkan diri dari keduniawian dan memelihara pahala akhirat berdasarkan perintah Al-Qur'an dan Sunnah. Kedua, corak praktis adalah ciri dari asketsisme serta tidak ada tindak lanjut mengenai penyusunan prinsip teoretis asketisisme. Yang dimaksud praktis disini yaitu menjalani kehidupan dengan kesederhanaan juga ketenangan. Ketiga, latar belakang dari munculnya asketisisme yaitu rasa takut. Dimana rasa takut tersebut bersumber dari pondasi agama secara nyata. Seorang tokoh sufi Rabi'ah al-Adawiyah hadir dengan motivasinya terhadap cinta kepada Allah SWT sekitar akhir abad kedua hijriah sebagai bentuk penyucian diri kepada Allah SWT Keempat, asketis terakhir ditandai dengan kelompok Rabi'ah al-Adawiyyah yang diartikan sebagai awal mula kemunculan para sufi abad ketiga dan keempat. b) Abad Ketiga atau Keempat Hijriah Para permulaan abad ketiga Hijriah mulai terkenal istilah sufi yang menggantikan kepopuleran asketisisme juga turut menggantikan isitilah- isitilah yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara perlahan-lahan. Pada abad ketiga ini tokoh sufi mulai cenderung membicarakan konsep-konsep baru, seperti mengenai moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus dijalani seorang hamba menuju jalan Allah, yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) melihat keadaan, ma’rifat dan metode-metodenya, tauhid, fana, penyatuan atau hulul. Selain itu mereka menyusun prinsip-prinsip teoretis juga aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka dan memiliki bahasa simbolis tersendiri yang hanya dikenal dalam kalangan mereka sendiri, dan asing bagi kalangan selain mereka. Sejak saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga mulai abad ketiga Hijriah merupakan masa awal tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas. Sejak abad ketiga Hijriah, dari segi objek, metode, dan tujuannya tasawuf menjadi terpisah dari ilmu fiqh. Abu Al-Wafa’, mengemukakan pendapat bahwa ada dua macam aliran tasawuf pada abad ini, yaitu : Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan selalu mengikuti pertimbangan syari’ah. Beberapa tokoh sufi disini meliputi ulama terkenal dan tasawufnya khas dengan ciri- ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Syathahat, yaitu kata-kata ganjil yang terkenal. Di antara tokohnya adalah Al-Hallaj dan Abu Yazid Al- Bustham. Pada abad ini ada lima karakteristik dari dua aliran tasawuf diatas, yaitu: Pertama, peningkatan moral. Semua sufi pada abad ini memusatkan perhatian terhadap pembahasan moral, seperti latihan jiwa, taubat, kesabaran, ridha, tawakkal, takwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan tingkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Kedua, Ma’rifat atau pengetahuan intuitif secara langsung . Ketiga, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Hal ini berkaitan dengan latihan-latihan fisik dan psikis. Keempat, Ketentraman atau kebahagiaan. Kelima, pemakaian simbol-simbol dalam mengungkapkan hakikat realitas-realitas tasawuf. c) Abad Kelima Hijriah Perkembangan tasawuf abad 5 H sebagai awal mula berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu AlHasan Al-Asy’ari atas aliran- aliran lainnya. Tasawuf pada era ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah dan menyebabkan kemunduran tasawuf falsafati. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh sufi yang terkenal pada abad ini. Al-Ghazali adalah pembela tasawuf Sunni AlGhazali menjauhkan tasawufnya dari semua kecenderungan agnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Dapat dikatakan bahwa tasaawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam karena menjauhkan teori-teori ketuhanan Aristoteles. Hal ini didukung oleh keunggulan aliran asariyah dalam teologi yang sejalan dengan tasawuf Sunni. d) Abad Keenam Hijriah Ajaran-ajaran yang memadukan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis dikenal sebagai Tasawuf Filosofis. Perhatian para penganut tasawuf filosofis abad ini terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik tolak tasawuf mereka. Ibn Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf filosofis, yaitu : Pertama, ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri dilatih Kedua, hakikat yang tersingkap dari alam gaib atau secara ringkasnya iluminasi, seperti bahasan sifat-sifat rabbani, arsy, dan utamanya mengenai Penciptanya dan ciptaannya. Ketiga, peristiwa-peristiwa yang terjadi berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan. Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar- samar (syahahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, atau menginterpretasikannya. e) Abad Ketujuh dan Setelahnya Pada abad ini, tasawuf telah menjadi filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturanaturan, prinsip, dan sistem khusus di mana sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur. Tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai secara sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid82 lainnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw, dan bahkan sampai Jibril dan Allah. Menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syara’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap Muslim. Sebagai organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah). Pada dasarnya sufisme mengemukakan kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. 2.3 Sejarah dan Perkembangan Tarekat Tarekat adalah satu metode khusus yang dipakai seorang Salik, Salik adalah orang yg Suluk, Suluk adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang yg bertarikat yaitu jalan untuk menuju Allah, melalui tahapan ataupun maqamat. Tarekat pertama kali muncul pada abad ke-6 dan 7 Hijriah, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai falsafah hidup. Pada periode ini, tasawuf memiliki aturan, prinsip, dan sistem khusus. Sedangkan, sebelumnya tasawuf dipraktikkan secara individual tanpa adanya ikatan satu sama lain. Secara etimologi tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. Pada dasarnya tarekat sufi adalah ibadah zikir yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, dan diamalkan oleh para khalifah Ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabi’at At- Tabi’in, dan selanjutnya sampai kepada Syeikh atau mursyid tanpa henti. Di dalam sejarah nya, tarekat berkembang dari masa ke masa. Menurut J. Spencer Trimingham, sejarah perkembangan tarekat telah melalui tiga tahap yaitu tahap khanaqah, tahap thariqah, dan tahap tha'ifah. 1. Fase Khanaqah Fase khanaqah berdiri sekitar abad ke 2 Hijriyah atau 10 Masehi, yang mana pada fase ini tarekat ialah cara pendidikan akhlaq dan jika yang dilakukan oleh seorang sufi yang dilakukan secara pribadi atau perseorangan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 2. Fase Thariqah Fase ini berdiri sekitar abad ke 13 M. Pada masa ini terdapat berbagai ajaran, aturan, tatacara tasawuf yang dikembangkan, dan pusat-pusat pendidikan sufi muncul dengan garis keturunannya. Pada masa ini juga berkembang dengan metode gabungan baru yang dimana tasawuf juga mengambil bentuk kelas menengah untuk mendekati diri kepada Allah SWT. 3. Fase Tha’ifah Pada fase tha’ifah, fase ini terjadi sekitar abad ke 17 M, dan pada masa ini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan dari guru tarekat yang disebut syaikh atau mursyid kepada para pengikut atau murid-muridnya. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang memiliki cabang di tempat lain. Pada fase tha’ifah inilah tarekat dikenal sebagai organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh-syaikh tertentu, maka munculah nama- nama tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Syadziliyah. Dalam tradisi tarekat sebagai organisasi tasawuf, murid murid biasanya berkumpul di suatu tempat yang disebut ribath, zawiyah, atau khanaqah untuk melakukan latihan- latihan rohani seperti dzikir Allah dan materi pokoknya adalah membaca istighfar, membaca shalawat nabi dan membaca dzikir nafi itsbat dan ism dzat secara bersama di bawah bimbingan guru (mursyid), yang di dalamnya terdapat berbagai ajaran (‘amaliyyah), aturan-aturan (adab), kepemimpinan (mursyid), hubungan antara mursy murid atau antara guru dengan anggota tarekat, wasilah, rabithah, silsilah, ijazah, suluk, dan ritual seperti baiat atau talqin, khususiyah, haul dan manaqib. Di antara ulama sufi yang memberikan bimbingan kepada masyarakat umum untuk mengamalkan tasawuf secara praktis (tashawwuf ‘amali), adalah Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w. 505/1111 M). Dalam fikih, munculnya madzhab majemuk dalam islam dan madzhab majemuk dalam teologi, akan tetapi yang di pakai disini bukanlah madzhab, melainkan firqah. Firqah berkembang banyak yang dikenal dengan sebutan madzhab dalam islam seperti madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi'i, Zahiri, Syi'ah, dll. Dan madzhab majemuk dalam teologi itu dikenal sebagai sekte seperti aliran pemikiran Khawariz, Marji’i, Mut’a Zaila, Ash’aris, Mutawwiyya, dll. Dalam tasawuf juga banyak sekte yang disebut dengan "Tarekat" yang juga berkembang dalam fiqih dan teologi. Isu tersebut memiliki kedudukan dalam hukum islam sebagai ajaran atau madzhab. 2.4 Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia Tasawuf memiliki beberapa pengertian dari segi bahasa (linguistik). Harun Nasution menyebutkan lima kata untuk menggambarkan makna ini, yaitu al-suffah (ahl suffah), yaitu orang yang hijrah bersama Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf, yaitu didapati sedang melaksanakan shalat berjamaah, Sufi artinya bersih Dan suci, sophos (Yunani: kebijaksanaan) dan suf, yaitu kain wol yang kasar. Makna-makna ini menunjuk pada sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Ahl-suffah mengatakan Misalnya, menggambarkan kondisi seseorang yang mengabdikan tubuh, pikiran, harta dan segala sesuatunya hanya kepada Allah. Mereka rela meninggalkan kampung halaman, tanah air, harta, harta benda, dll di Mekkah dan berimigrasi bersama Nabi ke Madinah. Dia melakukannya karena keinginan untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dengan demikian, tasawuf menggambarkan kondisi yang abadi Berorientasi pada kesucian jiwa, hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan mulia. Ajaran sufi adalah sebuah pengalaman (tajribah) Spiritualitas personal, yang didasarkan pada keinginan seorang sufi untuk lebih dekat dengan Allah, karena sebagai pribadi, pengalaman sufi satu dengan yang lain memiliki persamaan dan perbedaan yang tidak dapat diabaikan. kesamaan ini Hal itu kemudian diberlakukan dalam bentuk maqamat dan ahwal (stasiun). Dalam sejarah Islam, tasawuf mengacu pada tindakan Nabi Muhammad. dan teman-temannya. Jika merujuk pada Al-Qur'an, ada beberapa ayat yang menjadi dasar kehidupan sufi, antara lain Allah lebih dekat dengan manusia (QS Al-Baqarah/2:86) dan Allah lebih dekat dengan manusia. Dibandingkan dengan urat manusia itu sendiri (QS Qaf/50:16). Mula-mula muncul tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Qadir di Asia Tengah, Tibristan tempat kelahirannya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Nah perkembangan tarekat-tarekat ini sangat sepat kepada murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, perkembangan ini untuk menyebarkan ke negeri-negeri Islam, sehingga bercabang yang sangat luas. Islam sebelum ada, Indonesia atau yang dulu disebut dengan Nusantara sudah ada kepercayaan dan agama yang telah berkembang. Ketika Masuknya Islam ke Indonesia sendiri menurut para sejarawan berbeda-beda apabila ditinjau dari segi asal kedatangan, waktu kedatangan dan para pembawanya. Peran tasawuf mencatat semua sejarah. A.H. John menyampaikan bahwa di nusantara para sufi terutama pengembara melakukan penyiaran. Sejak abad 13 mereka berhasil mengislamkan orang-orang di nusantara. Faktor utamanya itu karena perubahan dan kepercayaan dalam praktik kegaaman lokal. Di Indonesia, perkembangan ini tidak melepasi dari proses masuknya islam ke dalam wilayah ini, Islam yang masuk di Indonesia pada mulanya bercorak tasawuf yang dibuktikan oleh beberapa data yang ditunjukkan oleh para sejarawan. Ketika Marrison menjelaskan tentang masuknya Islam di Indonesia menyebutkan fakta bahwa, mengislamkan Nusantara berasal dari India Selatan yaitu Mu’tabar (malabat) yang dilakukan oleh para muballig yang bergelar fakir. Ada seorang sufi yang meninggalkan keduniaanya karena mengingat gelar fakir dan memilih hidup untuk beragama. Teori Bech menyatakan dalam teks Sejarah Melayu yang dijelaskan tentang kesenangan Sultan malaka kepada ilmu tasawuf yang di mana pada suatu waktu seorang ulama, yaitu Maulana Abu Iskak datang memberi hadiah kepada sultan berupa kitab yang berjudul Durrul Mandhum (mutiara yang tersusun). Sultan ingin menemui sultan aceh untuk berkonsultasi mengenai ilmu tasawuf. Dari segi waktu kejadian Sejarah Melayu yang ditulis pada tahun 1536 dan baru dapat dibaca pada abad ke 16 sebagai bukti bahwa teks ini sebelumnya masih berupa cerita lisan. Sehingga Ilmu tasawuf berkembang yang melesat pada abad ke-16. Hamzah fansuri (w. 1590) yang pertama kali mengajarkan tasawuf di indonesia, Syamsuddin as-Samatrani (w. 1630), Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), Abd. Rauf as- Singkeli (1615-1693) dan Syekh Yusuf al-Makassar (1626- 1699). Konstribusi yang besar dan Perkembangan islam ini yang disiarkan oleh sufi sufi tersebut. Tuntutan-tuntutan perkembangan ini mengingatkan bahwa, yang seharunya mengalami perubahan ini yaitu tasawuf, karena adanya pengembangan-pengembangan ini. Ahli tasawuf di indonesia berusaha untuk merespon desakan untuk menghadirkan 8 macam konsep tasawuf, diantaranya : 1. Tasawuf Sosial Dari tradisi keilmuwan pesantren dan perguruan tinggi, masyarakat berupaya mengetengahkan nuansa tasawuf sosial yang seharusnya dipegangi masyarakat Indonesia, terutama para pelaku pembangunan sehingga kesan negatif bagi masyarakat Muslim Indonesia dapat dihilangkan serta mengetengahkan simbol-simbol serta dimensi-dimensi ibadah dan sosial Islam sebagai sebuah kerangka nilai bagi perumusan kebijakan pembangunan manusia. 2. Tasawuf Positif Telah beredar di Indonesia bahwa, menghadapi berbagai yang terdapat dalam tasawuf, tantangan internal di kalangan tokoh Islam modernis, Mereka memvonis tasawuf sebagai perilaku yang pasif, fatalis, mengabaikan dunia, bahkan biang kerok kemunduran umat Islam di dunia ini dalam waktu yang relatif lama hingga sekarang belum terhentikan. Dengan begitu Maka masyarakat ilmiah maupun masyarakat awam, perlu mengetahui dan memahami konsep-konsep tasawuf yang pernah dikembangkan oleh ulama Indonesia sehingga mampu memilah antara tasawuf positif dan tasawuf negatif sehingga tidak secara apriori memvonis semua bentuk tasawuf sebagai serba negatif. 3. Tasawuf Perkotaan Nilai-nilai baru yang ada di tengah masyarakat itu merupakan fenomena sufisme, gerakan yang melawan arus transformasi. Mereka masih bertahan dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional dan sangat kokoh mendambakan kekuatan batin. Komunitas sufi perkotaan itu telah tumbuh dalam dua dasawarsa belakangan dan kini tetap bertahan, sufisme juga telah menarik perhatian sebagian masyarakat kelas menengah terdidik untuk menggali khazanah intelektual dan filosofis tokoh-tokoh sufi terkenal dalam sejarah peradaban Islam. Kehidupan di perkotaan mengarahkan pada kehidupan spiritual yang menentramkan, atau kehidupan tasawuf yang menenangkan hati dalam menghadapi gelombang modern di perkotaan. 4. Tasawuf Irfani Ihsan adalah ajaran islam yang mengajarkan tentang tasawuf. Karena ihsan menjadi satu rangkaingan yang dari iman dan Islam. Ihsan menjadi tahapan atau tingkatan yang paling tinggi. Diibaratkan iman iniyaitu akar, Islam bagaikan batang, cabang, ranting, daun maka ihsan adalah bunganya. Tasawuf dalam perkembangannya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. Tasawuf yang di tulis awal dibandingkan yang lainnya, yaitu tasawuf irfani dalam rangka memberikan wawasan dasar untuk al-salik (orang yang menempuh perjalanan spiritual menuju Allah) yang berusaha menghampiri Al-Haqq sebagai Dzat Yang Maha Suci, dapat terbimbing dengan baik seperti ketika menghampirinya melalui salat, puasa dan haji. Dzat yang maha suci ialah Al-Haqq tidak bisa dihampiri melainkan oleh orang-orang yang suci badan, tempat, kondisi, batin dan lain sebagainya. 5. Tasawuf Kontekstual Modernisasi dengan peralatan teknologi modern, maka hidup menjadi lebih mudah, mesyarakat sangat membutuhkan pembelajaran tasawuf. Faktor penghambatan kemajuan di Indonesia karena adanya tasawuf. Dulu tasawuf lahir di Indonesia hanya di kalangan pendesaan, contohnya pesantren tradisional. Beda halnya dengan tarekat, karena tarekat hanya salah satu pengamalan tasawuf, Dan sekarang tasawuf telah terangkat sebagai kebutuhan hidup masyarakat modern. 6. Tasawuf Jawa Dalam keputusan islam, pengaruh ajaran dan tuntutan tasawuf karena budi pekerti yang menonjol. Demikian juga istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan agama Islam dan tasawuf, sebagai bagian dari kepustakaan Jawa. Islam menjadi bagian integral dari masyarakat jawa dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, seseorang akan sulit memahami kepustakaan Jawa dengan baik, tanpa pengenalan ajaran Islam dan pengetahuan bahasa Arab yang cukup. 7. Tasawuf Muhammadiyah Ada banyak gerakan dalam tasawuf muhammadiyah yang menjadi pedoman rasional dan modernitas hingga dirasakan dalam praktek agama. Jika ingin lebih jauh, kesaksian diperoleh bahwa Muhammadiyah sejumlah tokoh yang sangat akrab dengan kitab-kitab dan spirit tasawuf ahlaki selain dari kitab-kitab yang bercorak tauhid dan ijtihad. Muhammadiyah merupakan gerakan islam yang mengutamakan aspek rasional dalam beragama, meskipun tidak seagreasif dulu, mereka menekankan pentingnya akal dan menekankan kehidupan spritual dalam wilayah tasawuf. 8. Tasawuf Falsafi Pemikiran Hamzah fansuri ini ada ketika dalam literatur yang terdapat pada perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia, tokoh sebagai ajaran yang intelektual,kontroversial ini menyesatkan oleh Nurrudin al Raniri, yaitu karena perasaan yang menumbulkan pertanyaan, yang memungkinkan ulama besar seperti Hamzah ini mengajarkan ajaran sesat. Jadi motif ini justru karena faktor ketidakpercayaan atau keraguan yang disimpulkan dalam bentuk pertanyaan yang mungkin menyesatkan umat. Disini perlu dipaparkan contoh tasawuf falsafi melalui konsep ke-fana’an yang tertinggi yaitu apabila kesadaran tentang fana itu sendiri juga tidak ada atau hilang. Ini yang menimbulkan reaksi keras sebab menimbulkan kesan bahwa hamba dan tuhan telah menyatu sehimgga tidak bisa dibedakan lagi. .1 Kerangka Berfikir Bayani, Burhani, dan Irfani 2.1.1 Kerangka Berfikir Bayani Kata bayani adalah berasal dari bahasa Arab Al-Bayani yang artinya adalah bermakna sesuatu yang terbuka. Secara terminologi, beberapa ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, misalnya ulama al-balaghah mendefinisikan al-bayan ini adalah ilmu yang mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara salah satunya seperti penyerupaan. (Syarif, 2022, hal. 171). (Rangkuti, 2020, hal. 3) mengatakan, dalam epistimologi islam ini, yang disebut dengan teks atau tafsir adalah metode ilmiah yakni sumber ilmu. Dalam menggunakan metode ini mufasir akan menggali makna yang tersembunyi dibalik al-quran yang sesuai kecenderungan mufasir tersebut. Di lain sisi, yang membidangi ilmu lain selain agama juga diharuskan untuk berinteraksi dan mengetahui para ilmuwan muslim terhadap teks, ilmu merekan tetap akan terarah dan terbimbing dalam ajaran islam. Metode bayani ini juga dapat dilacak akarnya atau akar perintahnya dalam Al-Qur’an. 2.1.2 Kerangka Berfikir Burhani Ulama ushul berpendapat, bahwa al-burhan merupakan metode yang memisahkan kebenaran dengan kesalahan melalui sebuah penjabaran atau definisi. Secara harfiyah dalam Bahasa Arab burhani adalah mensucikan. Epistemologi burhani juga bertujuan atas bakat atau kemampuan manusia secara naluri, baik itu indera, penelitian maupun sebuah persepsi. Epistemologi burhani berpandangan bahwa akal merupakan sumber dari ilmu pengetahuan. Dalam pandangan epistemologi burhani akal juga memiliki keahlian untuk memperoleh pengetahuan dan memahami dalam aspek agama. Di dalam bidang keagamaan epistemologi ini banyak digunakan aliran berpaham rasionalis seperti mu’tazilah dan ulama- ulama moderat. (Syarif, 2022, hal. 77). Epistemologi burhani bersumber pada realitas (al-wāqi') yang terjadi pada alam, sosial, kemanusiaan dan agama. Pengetahuan yang diperolehnya yaitu (al-'ilm alhusuli) pengetahuan yang memiliki konsep, tersusun dan memiliki landasan yang sistematis berdasarkan logika, dan bukan melalui intuisi atau teks. Berpikir dengan penalaran burhani ini juga melalui gabungan antara abstraksi dan pengalaman indrawi manusia. Pola berpikir semacam ini dapat ditemukan dalam gaya para ilmuwan filsafat. (Khotimah, n.d 2015, hal. 30) (F. R. Rangkuti, 2019, hal. 7) menjelaskan, sejarah islam mencatat, para kaum rasionalis yang terdiri dari filsuf dan para teolog menjadikan metode burhani sebagai metode yang mereka gunakan guna menemukan teori-teori yang rasional. Nama-nama besar yang bermunculan dalam bidang keilmuan paripatetik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Rusyd yang mana mereka semua menggunakan metode burhani. Selain itu, dari para kaum teolog melahirkan aliran Muktazilah dan Syiah dengan menggunakan metode tersebut, ada pula dari para kalangan fukaha yang menggunakan metode ini melahirkan madzhab yang bercorak rasional, mazhab Hanafi. Sedangkan para kaum mufasir melahirkan tafsir bi al-Ra’yi yang dimunculkan oleh para kaum mufasir yang beraliran dirayah dengan menggunakan metode burhani. Jadi, epistemologi burhani ini bersumber pada akal (rasio) yang terjadi pada alam, sosial, kemanusiaan dan juga agama, yang mana bertujuan pada bakat atau kemampuan manusia secara naluri, baik itu indera, penelitian maupun sebuah pemahaman. Pengetahuan yang didapatkan dalam metode ini adalah (al-'ilm alhusuli) pengetahuan yang memiliki konsep, yang tersusun dan berlandasan sistematis yang berdasarkan logika, dan bukan melalui intuisi atau teks. Berpikir dengan penalaran burhani ini juga menggunakan gabungan atau kolaborasi antara abstraksi dan pengalaman indrawi manusia. 2.1.3 Kerangka Berfikir Irfani Secara etimologis, Irfani berasal dari kata bahasa Arab “arafa” yang artinya makrifat, artinya ilmu. Tetapi ini berbeda dengan ilmu pengetahuan ('ilm). Irfani atau makrifat mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung, sedangkan ilmu mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Namun secara terminologis, irfani dapat diartikan sebagai ungkapan pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba- Nya (kasyf) setelah latihan spiritual (riyâdlah) yang dilakukan karena cinta. Berbeda dengan epistemologi Bayan, Irfan menyasar sisi esoterik di balik teks. Menurut Amin Abdullah, dalam hadis Irfani kata “arif” lebih baik dari pada kata alim karena lebih terkait dengan dalil Bayani. (Hadikusuma, 2018, hal. 6) Contoh nyata lain dari pendekatan Irfan adalah falsafah isyraqi yang menurutnya pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadukan secara kreatif dan harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah). Ilmu yang diperoleh melalui integrasi ini menjadi ilmu yang mencerahkan, bahkan mencapai al-hikmah al-haqiyyah. Pengalaman batin Nabi SAW. dalam menerima wahyu Alquran merupakan contoh nyata dari pengetahuan Irfan Dapat dikatakan bahwa meskipun pengetahuan Irfan bersifat subyektif, namun setiap orang dapat merasakan kebenarannya. Sehingga, setiap orang dapat melakukannya pada level dan tingkatannya, sehingga validitas kebenaran bersifat intersubjektif dan peran akal bersifat partisipatif. (Idrus, 2019, hal. 36).
2.2 Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Lain 2.2.1 Hubungan Tasawuf dengan Psikologi Memperhatikan istilah-istilah pengertian psikologi dan agama serta objek yang dipelajari, maka dapat dipahami bahwa psikologi agama merupakan cabang ilmu psikologi yang mengkaji dan meneliti kehidupan keagamaan seseorang dan bagaimana keyakinan agama mempengaruhi sikap dan perilaku dalam kondisi kehidupan secara umum. Maka dari itu, psikologi agama adalah ilmu jiwa agama atau ilmu yang mempelajari pengaruh agama terhadap sikap dan perilaku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam mempengaruhi cara berpikir, berperilaku,mencipta dan bertingkah laku seseorang yang tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan.karena, kepercayaan yang sudah melekat dalam kepribadian mereka. Objek dan psikologi agama mengacu pada gejala-gejala psikologis terkait dengan praktik keagamaan dan mekanisme di antara gejala-gejala tersebut. Sederhananya, psikologi agama berkaitan dengan kesadaran beragama dan pengalaman beragama.( Armyn, tt: 56) (apriliana, 2017, hal. 125) Dalam psikologi agama yang menjadi pokok bahasan adalah gejala kejiwaan seseorang yang berkaitan dengan perilaku beragama, dimana mekanisme tersebut bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. 2.2.2 Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam Dalam sejarah Al-Ghazali lebih dikenal sebagai sufi daripada Mutakallim, karena al- Ghazali mengkritik struktur pemikiran filsafat dan ilmu kalam. Menurut M. Amin Abdulloh, Ghazali tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menekankan keterbatasan ilmu kalam dan memberikan kesimpulan bahwa para pencari kebenaran tidak bisa bersandar pada kalam. Kalam tidak dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, tetapi hanya kehidupan sufi yang dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan. Jika berlandasan ilmu kalam, pernyataan tentang Tuhan dan manusia sulit dijawab. Umumnya, ilmu tasawuf yang berbicara tentang pernyataan jiwa manusia. membahas tentang bagaimana mengetahui nilai-nilai keimanan, menyadari bahwa persoalan bagaimana mengetahui tidak hanya terkandung pada apa yang diwajibkan. Dalam Ilmu kalam terdapat pembahasan tentang iman dan definisinya,serta kemunafikan dan batasannya. Sedangkan dalam ilmu tasawuf membahas cara atau metode praktis untuk mengetahui iman dan kedamaian. Semua ini saja tidak cukup untuk diketahui seseorang. Karena terkadang seseorang yang sudah mengetahui batas kemunafikan, tetapi tetap melakukannya. Ilmu tasawuf memiliki fungsi yang berkaitan dengan ilmu kalam, diantaranya: 1. Sebagai pemberi wawasan spiritual untuk memahami kalam.Penghayatan yang mendalam melalui hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu tersebut lebih diapresiasi atau diaplikasikan dalam perilaku. Jadi, ilmu tasawuf adalah pelengkap ilmu kalam. 2. Sebagai pengendali ilmu tasawuf. Ketika muncul aliran yang bertentangan dengan akidah atau keyakinan baru yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, ini merupakan suatu penyimpangan. Jika itu bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau tidak pernah diriwayatkan atau tidak diriwayatkan oleh ulama Salaf, maka harus ditolak. 3. Sebagai pemberi kesadaran rohaiah dalam perdebatan kalam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ilmu kalam di dunia Islam pada umumnya merupakan ilmu yang mengandung muatan rasional di samping muatan naqliyah, maka ilmu kalam dapat bergerak ke arah yang lebih bebas. Oleh karena itu, ilmu tasawuf disini berfungsi untuk memberikan muatan spiritual, seolah ilmu kalam menjadi perbincangan islam belaka, yang kosong dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati. (Putra, 2012) 2.2.3 Hubungan Tasawuf dan filsafat Secara umum, tasawuf dan filsafat selalu dipandang berlawanan. Tasawuf dan filsafat seringkali dipahami dalam dua cara, baik secara epistemologis maupun dalam sejarahnya. Secara epistemologis, ilmu tasawuf dianggap sebagai disiplin ilmu yang mengabaikan peran akal atau intelektual dan hanya menitikberatkan pada naluri, ilham dan bisikan hati, meskipun terkadang bertentangan dengan prinsip akal. Bahkan, disiplin filsafat dianggap sebagai disiplin yang mengikuti prinsip-prinsip rasionalitas. Tetapi, Hubungan antara tasawuf dan filsafat sempat retak ketika Al-Ghazali melakukan serangan yang menghancurkan para filosof. Banyak kelompok telah mencoba menyelaraskan kembali hubungan antara tasawuf dan filsafat. Contoh yang paling spesifik adalah Suhrawardi al-Maqtul (115-1191 M), khususnya dalam Hikmah al-Isyarqi (Filsafat Pencerahan). Meskipun diumumkan sebagai karya filsafat iluminasionis yang menantang dominasi filsafat Peripatetic, karya ini terdiri dari dua elemen penting: pertama, bagian dari perasaan atau lebih umum, pemahaman mistis; kedua, unsur atau prinsip logis pembuktian ilmiah. Filsafat, yang kemudian berkembang menjadi sinergi antara perasaan dan nalar, hati dan akal, dzawq dan akal, berlanjut hingga filsuf iluminasionis seterusnya seperti Mulla Sadra. Jika filsafat dan tasawuf memiliki hubungan yang erat dan harmonis, apalagi para filosof yang bergerak seperti Ibnu Sina mengakui kebenaran baik filosof maupun sufi. Pada saat yang sama, banyak sufi yang mengenal filsafat, dan banyak filsuf juga menjadi sufi, terutama pada periode-periode akhir sejarah Islam. Misalnya, Ibnu Sina, selain sebagai tokoh filsafat Peripatetik yang hebat, juga menulis "cerita fiksi" dan berbicara tentang bentuk pengetahuan khusus yang dibuka bagi para sufi setelah latihan spiritual yang panjang, menunjukkan bahwa ia lebih dari seorang filsuf. Sufina yang mengikuti ajaran Wujud. (Putra, 2012). 2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Tasawuf Zakaria al-Anshari, seorang ulama pada abad ke-9 sampai ke-10 Hijriyah, mendefinisikan tasawuf sebagai cara untuk membersihkan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan hakiki. Sementara menurut al-Junaidi Al-Baghdadi, seorang ulama pada abad ke-3 Hijriyah, tasawuf adalah proses membersihkan hati dari sifat-sifat kemanusiaan, menjauhi hawa nafsu, dan mengamalkan sesuatu yang lebih utama berdasarkan keabadiannya. Tujuan utama tasawuf adalah mencapai kebahagiaan dan keselamatan abadi, dan ia dianggap sebagai implementasi dari konsep ihsan, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya atau menyadari bahwa Allah melihat kita, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Muslim No. 09. أن تعبد هللا مأول تساي فإول إن ال تساي فإ ًو ٌساك Artinya: “Beribadahlah kalian kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihat-Nya, maka Ketahuilah bahwa Dia melihat kita”.
Tasawuf memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, di antaranya: 1. Mempercayai adanya intuisi dan pemahaman batin sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan, yang berbeda dengan pendekatan rasional-analitik. 2. Mempercayai pada keberadaan tunggalitas (wujud) dan menolak adanya kontradiksi atau perbedaan, apa pun bentuknya. 3. Menolak pandangan realitas yang terikat pada waktu. 4. Menganggap kejahatan sebagai suatu ilusi dan hanya ada dalam bentuk perbedaan dan kontradiksi yang dikendalikan oleh pendekatan rasional-analitik
2.2 Fungsi Tasawuf Dalam Peningkatan Aqidah, Syari’ah dan Akhlak
A. Aqidah Tasawuf memegang peran penting dalam meningkatkan aqidah atau keyakinan seseorang terhadap Allah SWT. Fungsi tasawuf dalam peningkatan aqidah dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menumbuhkan kesadaran spiritual Tasawuf membantu seseorang untuk memahami keberadaannya di dunia ini dan mengarahkan pandangannya ke arah yang lebih tinggi, yaitu hubungan individu dengan Allah SWT. Dalam proses ini, tasawuf membantu menumbuhkan kesadaran spiritual dan menghilangkan pandangan- pandangan yang bersifat materi. 2. Memperkuat hubungan dengan Allah SWT Tasawuf memperkuat hubungan individu dengan Allah SWT dengan cara membimbing individu untuk memperbaiki amal ibadahnya dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, tasawuf juga membantu individu untuk mengembangkan kualitas diri dan memperbaiki akhlaknya sehingga hubungan dengan Allah SWT menjadi semakin kuat. 3. Mengurangi sifat-sifat negatif Tasawuf membantu individu untuk mengurangi sifat-sifat negatif seperti egoisme, iri hati, dan tamak. Dalam hal ini, tasawuf mempromosikan sifat-sifat positif seperti rasa syukur, keikhlasan, dan kasih sayang. Dengan mengurangi sifat-sifat negatif, individu dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan hubungan dengan Allah SWT. 4. Meningkatkan pemahaman terhadap agama Tasawuf membantu individu untuk memahami agama secara lebih dalam dan mendalam. Dalam hal ini, tasawuf membantu individu untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalam ajaran agama Islam sehingga individu dapat lebih memahami kebenaran agama dan meningkatkan keyakinannya terhadap ajaran Islam.
B. Syari’ah Ahmad amin mengatakan ”Fuqaha sebgai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal batiniah”. Para ulama juga berpendapat salah satunya Ahmad Rifa’I berpendapat “syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah”. Hubungan syari’ah dengan dua konsepsi ilmu tasawuf, Thariqah dan juga Haqiqah, Ahmad Rifa’I mengibaratkannya dengan “buah kelapa. Syari’ah sebagai kulit kelapa secara utuh, Thariqah sebagai isi yang terdapat di dalam kelapa, dan Haqiqah sebagai minyak atau sarinya”.(Alwan 2010) ilmu Tasawuf dan syari’ah memiliki hubungan yang erat, kedua ilmu tersebut manifestasi dari kesadaran iman. Syari’ah menitik beratkan pengamalan pada aspek lahiriah dan ilmu tasawuf menitik beratkan pengamalan pada aspek batiniahnya, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan ilmu tasawuf pengamalan ibadah secara syari’ah akan terasa dampaknya kedalam qalbu. C. Akhlak Ilmu tasawuf dengan akhlak memiliki hubungan erat, yang dimana ilmu tasawuf lebih terlihat menonjol dengan pengamalan ibadah, semisalnya shalat, puasa, haji, dzikir dan ibadahlainnya. Hal itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dalam pengamalan ilmu tasawuf ada kaitannya dengan akhlak dari hubungan ilmu tasawuf dengan akhlak Nasition mengatakan “bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik”. (Hamzah 2020: hlm 17). Ilmu tasawuf dan akhlak mempunyai hubungan yang erat diantara keduanya yang dimana menitik beratkan kepada kebersihan jiwa dan amal sehingga bisa mendekatkan diri kepada Allah swt
Ketakwaan seeorang dilihat dari akhlak yang mulia yaitu dengan mengerjakan amar ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, Harun Nasition mengatakan “kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada paembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.Para ahli tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian, yaitu: Tasawuf falsafi, Tasawuf akhalqi dan Tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini memiliki tujuan yang sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan mensucikan diri dengan perbuatan yang terpuji”(Hamzah 2020:hlm 17). Dalam proses bertasawuf seseorang harus mampu mengerjakan amar ma’ruf dan mencegah dirinya kepada yang mungkar, dan seseorang yang sedang bertasawuf harus memiliki akhlak yang mulia.
2.3 Corak dan Karakteristik Tasawuf Akhlaki Tasawuf akhlaki merupakan tasawuf yang berokus pada perbaikan akhlak manusia, mencari hakikat kebenaran yang meciptakan manusia yang dapat berma’rifat kepada Allah SWT, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang membatasi dirinya dengan Al-Qur’an dan al-Hadits. Tasawuf akhlãki ini dikembangkan oleh ‘ulama salaf al-Salih. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf ini antara lain: 1) Takhalli, yaitu pengosongan diri dari sifatsifat tercela. 2) Tahalli, yaitu pengisian dan membiasakan diri dengan sifat-sifat terpuji. 3) Tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi (cahaya Tuhan) seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan yang negatif pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli. Tasawuf akhlaki memiliki corak dan karakteristik yang khas dalam meningkatkan akhlak seseorang. Salah satu tujuan utama tasawuf akhlaki adalah untuk membangkitkan semangat umat Islam untuk memperbaiki akhlaknya karena semua hukum Islam didasarkan pada landasan akhlak. Sejalan dengan itu, tasawuf akhlaki juga menekankan pada pentingnya menjaga akhlak dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak merusak agama Islam. Terdapat beberapa corak dan karakteristik dalam tasawuf akhlaki, di antaranya yaitu: 1. Keterkaitan antara akhlak dan ibadah: Tasawuf akhlaki menekankan bahwa akhlak yang baik merupakan bagian dari ibadah. Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap aspek kehidupan seseorang harus diatur dan diperbaiki agar selaras dengan ajaran Islam. 2. Menghindari sifat-sifat buruk: Tasawuf akhlaki menekankan pada pentingnya menghindari sifat- sifat buruk seperti iri hati, dengki, dan sombong, serta mendorong untuk mengembangkan sifat-sifat baik seperti kasih sayang, kejujuran, dan keikhlasan. 3. Meningkatkan kesadaran spiritual: Tasawuf akhlaki menekankan pada pentingnya meningkatkan kesadaran spiritual seseorang agar lebih dekat dengan Allah SWT. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai amalan spiritual seperti dzikir, shalat malam, dan puasa. 4. Mengikuti sunnah Rasulullah: Tasawuf akhlaki mendorong seseorang untuk mengikuti sunnah Rasulullah sebagai tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari hubungan sosial hingga spiritual.
2.4 Corak dan Karakteristik Tasawuf Amali
Tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang berfokus pada perbuatan amal-amal yang mendekatkan diri kita kepada Allah SWT untuk mencapai hubungan yang dekat dengan-Nya. Seseorang yang ingin menjalin hubungan baik dengan Allah maka ia harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu sebagimana yang disebutkan didalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan Allah menyukai orang- orang yang bersih”(Qs. At-Taubah:108) dan disebutkan pula dalam ayat lain yaitu “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobaat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”(Qs. Al-Baqarah: 222). Melakukan hubungan yang baik dengan Allah yaitu salah satunya dengan menaati perintah-Nya, melaksanakan syariat, serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam agama. Tasawuf amali memiliki beberapa karakteristik yaitu diantaranya menyandarkan ajarannya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merasa cukup dengan dalil keduanya. Karakteristik lainnya yaitu menekankan pentingnya amalan dalam beragama, baik itu amalan lahiriah dan juga amalan batiniah. Yang mencakup amalan lahiriah yaitu seperti ibadah yang dilaksanakan dengan anggota badan, seperti misalnya sholat. Sedangkan amalan-amalan batiniah yaitu seperti bertafakur, bersabar, berharap kepada Allah, mensucikan diri dari perbuatan tercela. Disisi lain tasawuf amali ini memiliki ragam yaitu disebut thariqah, yang berarti jalan atau cara. Didalam ilmu tasawuf, thariqah ini ialah jalan atau cara untuk menempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah. Cara yang dilakukan seorang sufi dalam melaksanakan tarekat yaitu dengan melakukan tiga tujuan. Yang pertama tazkiyat al-nafs, menyucikan jiwa dari berbagai penyakit hati, seperti contoh nya tidak iri dengan rezeki orang lain, dan tidak iri melihat kesuksesan orang lain. Yang kedua taqarrub ila Allah, mendekatkan diri kepada Alah dengan sedekat-dekatnya, seperti contohnya melaksanakan sholat tepat waktu, melaksanakan ibadah sunnah, dll. Yang ketiga yaitu hudhûr al-qalb ma’allâh, merasakan kehadiran Allah di dalam kalbu, contohnya dengan melakukan dzikir dan mengetahui makna-makna nya.
2.5 Corak dan Karakteristik Tasawuf Falsafi Pada masa awalnya, tasawuf dan filsafat saling terkait dan memiliki hubungan yang sangat dekat. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang menganggap keduanya sebagai hal yang bertentangan. Tasawuf mengacu pada pola hidup seorang sufi yang lebih dekat dengan Tuhan dan berusaha untuk mensucikan jiwa. Meskipun istilah "tasawuf" belum ada pada masa itu, pola hidup Nabi saw. yang penuh kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan menjadi contoh yang dipraktikkan dan akhirnya menjadi ilmu tasawuf. Jika diperhatikan dengan seksama, perkembangan tasawuf menunjukkan bahwa konsep tentang ketuhanan diformulasikan menjadi konsep etika, estetika, dan kesatuan wujud. Hal ini menjadi ciri khas dari tasawuf falsafi. Dalam tasawuf falsafi, konsep-konsep filosofis digunakan untuk memahami hubungan antara manusia dan Tuhan, serta untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang alam semesta dan hakikat keberadaan manusia. Etika dalam tasawuf falsafi mencakup kewajiban moral dan spiritual manusia, seperti kebajikan, kasih sayang, kerendahan hati, dan keadilan. Estetika mengacu pada keindahan dan keharmonisan dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Sedangkan kesatuan wujud mengacu pada pemahaman bahwa Tuhan adalah satu-satunya keberadaan yang benar-benar ada, dan bahwa semua keberadaan lainnya hanya merupakan refleksi dari keberadaan Tuhan. Dengan menggunakan konsep-konsep filosofis ini, tasawuf falsafi berusaha untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam dan memperoleh pengalaman kebersamaan dengan Tuhan. Banyak kesulitan dalam mengidentifikasi ciri-ciri tasawuf falsafi karena adanya penggunaan banyak istilah filsafat dalam terminologi tasawuf falsafi. Oleh karena itu, beberapa pakar masih meragukan keaslian tasawuf falsafi sebagai bentuk tasawuf yang orisinal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya istilah dan ajaran dalam tasawuf falsafi yang dipengaruhi oleh filsafat dan memiliki kesamaan dengan terminologi filsafat. Beberapa karakteristik penting dari tasawuf falsafi adalah sebagai berikut: 1. Gabungan antara pemikiran filosofis dan rasional. Tasawuf falsafi sangat sering menggunakan dalil naqliyah (berdasarkan pemikiran); 2. Terdapat riyadhah (latihan rohani) untuk mencapai kebahagiaan; 3. Iluminasi adalah cara yang digunakan untuk mengetahui hakikat sesuatu; 4. Menggunakan istilah atau terminology dengan menggunakan simbol-simbol
Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf falsafi memiliki kecenderungan dan kesamaan yang kuat dengan pendekatan filsafat dan rasional. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan banyak istilah filsafat dalam terminologi tasawuf falsafi, serta pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep filosofis yang digunakan dalam praktik tasawuf. Sebagai hasil dari pendekatan ini, tasawuf falsafi menekankan pada pemahaman rasional dan filsafat tentang hubungan manusia dengan Tuhan, serta upaya untuk mencapai kesadaran spiritual melalui pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat keberadaan manusia dan alam semesta. Beberapa tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah sebagai berikut: 1. Ibnu ‘Arabi (w. 638 H); 2. Suhrowardi al-Maqtul (w.549 H); 3. Ibnu Sabi’in (w. 614 H); 4. Abu Sulaiman al-Darany (w.215 H); 5. Ahmad bin Al-Hawari al- Damashqi (w.230 H); 6. ‘Abd Faid Dhun Nun Bin Ibrahim al-Misri (w.245 H); 7. Abu Yazid Al-Bustami (w.261 H); 8. Al-Hallaj (w. 309 H); 9. Junaid Al-Baghdadi (w.298 H); 10. Al-Ghaznawi (w.545 H); 11. ‘Umar Ibnu Al-Farid (w.632 H) 12. ‘Abd Al-Haq Ibnu Sabi’in Al- Mursi (w.669 H).
2.1 Konsep Maqamat
Salah satu konsep maqamat yang dicatat oleh para sufi berkembang paling awal dalam sejarah tasawuf islam. Dalam al-qur’an maqam yang artinya adalah tempat, dan disebutkan beberapa kali makna keduanya yaitu abstrak dan konkrit. Diantaranya penyebutan dalam al-qur’an terdiri dari QS al-Baqarah ayat 125, QS al-Isra ayat 79, QS Maryam ayat 73, QS as-Saffat ayat 164, QS ad-Dukha ayat 51 dan QS ar-Rahman ayat 46. (Farhan, 2016, hal. 158)
Bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti tempat atau posisi (station). dalam istilah sufi, “The mystical language of islam”, maqam dapat diartikan sebagai posisi spiritual yang merupakan tahapan atau tingkatan fase dan perjalanan dalam mencapai kedekatan sufi dengan tuhannya. dalam bahasa arab maqamat dapat diartikan sebagai tempat orang-orang yang mulia. sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat mengacu pada status seorang hamba di sisi Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, atau melalui Riyadh, Ibadah dan Mujahada.
Di kalangan sufi, orang pertama yang membahas maqamat yaitu al-Haris bin Asad al-Muhasibi (wafat 243 H). karena ia menginginkan muhasabahi (introspeksi), yang disebut al-Muhasib. Secara historis, konsep maqamat mungkin berasal dari abad pertama Hijrah, ketika banyak sahabat Nabi masih hidup. sebagai pengantar konsep ini, sahabat Ali bin Abi Thalib adalah menantu Rasulullah SAW.
Dapat ditemukan beberapa informasi ketika para sahabat bertanya tentang iman, lalu Ali bin Abi Thalib menjawab bahwa iman dibangun di atas empat landasan, yaitu kesabaran (as-sabr), keyakinan (al-yaqinu), keadilan (al-'adl) dan perjuangan (al-jihadu). dan dari semua landasan ini memiliki sepuluh tingkatan (maqamat). sedikitnya ada bukti kuat untuk menyatakan sumber tasawuf sudah terlihat pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Untuk perkembangannya konsep maqamat merupakan konsep yang mana sangat menarik perhatian para sufi. Kemudian para sufi membuat beberapa definsi dan tingkat maqam. Lalu para sufi juga membuat definisi berhubungan dengan proses konsepsi. Tujuannya, agar konsep maqamat para sufi membuat gerakan atau perilaku untuk mencapai kesempurnaan tuhan yang secara sistematis.berdasarkan konsep maqamat dan yang penting maka para sufi dapat memberikan aturan bahwa pengikut nya sehingga jalan menuju Tuhan menjadi jelas dan mudah. (Farhan, 2016, hal. 159)
Maqam ini yang harus dilewati oleh para sufi satu per satu. Oleh karena itu, al- Qusyairi menjelaskan bahwa seorang sufi tidak boleh melewati Maqam hingga maqam sebelumnya selesai. orang tidak boleh mempercayainya karena qona'ah, tidak ada inabaa sebelum taubat. Ibnu 'Athailah adalah salah satunya dari tiga guru Tarekat Syadziliyyah, banyak diamalkan oleh pengikutnya baik di Timur Tengah dan di Indonesia. berdasarkan klasifikasi Ibnu 'Athaillah, menarik bahwa sebagian yang disebut materi terkandung dalam bidang maqam. di samping itu Maqamat disusun oleh Ibnu Athaillah memuat maqam yang disepakati para sufi. berikut maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati dari mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, alwara’, al-shabr, al-tawakkal, dan alridha.
2.2 Karakteristik maqamat
Sistematika maqamat yang disusun oleh Ibnu ‘Athaillah ini tercantum dalam salah satu kitabnya at-Tanwir fi isqath at-Tadbir, 29 yaitu : a. Al-Taubah Al-Taubah berasal dari bahasa arab taba-yatubu-taubatan yang memiliki arti "Kembali" dan "Maaf". Maka dari itu makna taubat bagi para sufi mohon ampun atas segala dosa dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh allah.
Kebanyakan Sufi melakukan tobat sebagai perhentian pertama di jalan kepada menuju Allah SWT. dari tobat ini banyak para sufi terdapat definisi yang berbeda. definisi Al-Junaid tobat sebagai upaya untuk tidak mengulangi dosa di masa kini. sufi lain seperti Sheikh Sahal mengatakan bahwa ada pertobatan seseorang harus mengingat dosa-dosa yang telah dilakukannya mencoba di masa lalu untuk membersihkan hati dari bisikan yang mengarah pada dosa.
Inti dari tobat adalah pengakuan kesalahan masa lalu sekaligus wajib untuk selalu mengikuti perintah dan menjauh larangan Allah SWT di masa yang akan datang. Ibnu 'Athailah sendiri menjelaskannya dalam maqam taubat seorang sufi harus kembali kepada Allah atas segala perbuatan yang tidak di ridhoi dan menuju perbuatan yang diridhoinya. melepaskan pengaturan atas sesuatu yang telah menjadi tanggungan Allah SWT dan berkonsentrasi pada tanggung jawab yang diberikan oleh Allah SWT kepada dirinya sebagai manusia.
Syarat yang harus dipenuhi agar taubatnya diterima adalah menyesali pelanggaran yang telah dilakukan, meninggalkan secara langsung penyelewengan tersebut dan kemudian dengan ia memutuskan untuk tidak kembali kepada kemaksiatan yang sama.
Bagi orang awam taubat dilakukan dengan membaca istighfar (astagfirullah waatubu ilahi). Sedangkan bagi orang khawas (orang yang telah menjadi sufi) bertaubat dengan melakukan riyadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah SWT. taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi. bagi golongan khawas yang dipandang dosa adalah ghaflah (terlenamengingat Allah) sumber munculnya segala dosa.
Dengan demikian taubat merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama ke kehidupan baru secara sufi. yaitu hidup selalu ingat kepada Allah sepanjang masa. berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, diantaranya adalah ayat yang berbunyi: ََوتُوْ ب ُْٓوا اِلَى هّٰللا ِ َج ِم ْيعًا اَيُّهَ ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن Artinya: Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. AnNur: 31)
ُص‚رُّ وْ ا ع َٰلى َم‚ا فَ َعلُ‚‚وْ ا َوهُ ْم هّٰللا ْ َاح َشةً اَوْ ظَلَ ُم ْٓوا اَ ْنفُ َس‚هُ ْم َذ َك‚ رُوا هّٰللا َ ف ِ ب اِاَّل ُ ۗ َولَ ْم ي َ ْاس‚تَ ْغفَرُوْ ا لِ‚ ُذنُوْ بِ ِه ۗ ْم َو َم ْن يَّ ْغفِ‚ ُر ال‚ ُّذنُو ِ ََوالَّ ِذ ْينَ اِ َذا فَ َعلُوْ ا ف َيَ ْعلَ ُموْ ن Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosadosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Ali Imron:135).
b. Zuhud
Secara etimologis, zuhud ragaba berarti 'ansyai'inwa tarakahua, yang berarti tidak mementingkan sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya berarti mengosongkan diri dari kesenangan duniawi untuk beribadah. menurut para sufi, zuhud berarti meninggalkan kehidupan duniawi dan berkonsentrasi pada akhirat. menurut Harun Nasution, zuhud artinya ruang untuk menarik diri dari dunia dan menjalani kehidupan material. zuhud merupakan maqam penting yang harus dilalui oleh para sufi dalam perjalanan menuju Allah SWT.
Sebagaimana diketahui, Maqam zuhud pernah menjadi gerakan massa umat Islam pada abad pertama Hijriyah sebagai gerakan protes terhadap para birokrat kaya. gerakan zuhud ini dipimpin oleh seorang sufi ternama, yaitu Hasan al-Basri.
Ibnu Athaillah sendiri membagi Zuhud menjadi dua tahap,yaitu zuhud lahir yang jelas dan zuhud batin yang samar. konsep ini adalah ketika seseorang ingin melakukan zuhud yang lahir, maka seorang harus zuhud terhadap barang halal yang berlebihan, baik berupa makanan, pakaian, dan sebagainya. Sedangkan pada zuhud batin seseorang harus zuhud terhadap perasaan hati yang tidak dibenarkan semisal perasaan sombong di depan orang lain, senang diupuji, syirik, iri hati dan sebagainya.
Pada mulanya adalah arti zuhud maka hiduplah dengan sederhana tumbuh ke arah yang lebih ekstrim. definisi ekstrim dari zuhud datang pertama dari Hasan al- Bashri dikatakan untuk berurusan dengan dunia seperti jembatan yang hanya perlu diseberangi dan jangan membangun apapun di atasnya. menurut al-Junaid, zuhud itu adalah tidak punya apa-apa dan bukan milik siapa-siapa.
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yangmenjelaskan hal itu, di antaranya:
ْ ُع ال ُّد ْنيَا قَلِ ْي ۚ ٌل َوااْل ٰ ِخ َرةُ َخ ْي ٌر لِّ َم ِن اتَّ ٰقىۗ َواَل ت ظلَ ُموْ نَ فَتِ ْياًل ُ قُلْ َمتَا Artinya: Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang- orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (QS.An-Nisa’: 77)
ع ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة اِاَّل قَلِ ْي ٌل ُ فَ َما َمتَا Artinya: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. (QS. Al-Taubah: 38).
c. Al-wara’
Secara harfiah, al-wara berarti saleh, menjauhi dosa. yang berarti tinggal jauh dari hal-hal yang tidak baik. dan dalam pengertian sufi, al-wara' pergi segala sesuatu di dalamnya meminta rezeki kecuali untuk memenuhi kewajibannya. Sufi adalah orang yang sangat peduli dengan apa yang mereka lakukan. mereka tidak ingin menggunakan atau melakukan sesuatu yang statusnya tidak jelas dan hukum, terutama yang jelas-jelas haram. cara hidup seperti itu disebut wara’. Para sufi selalu berusaha untuk menghiasi dirinya karakter wara karena menurutnya seseorang yang tidak memiliki sifat wara' tidak mengetahui nikmatnya ibadah. bagi para sufi wara mengartikan wara’ itu meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan lain. Ibrahim bin Adham misalnya berpendapat, bahwa wara’ ialah meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.
d. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati, menurut Dzun Nu al-Misri, sabar berarti menjauhi sesuatu bertentangan dengan kehendak tuhan tapi tenanglah saat menghadapi ujian, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, yakni : ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اصْ بِرُوْ ا “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu.” Abu Zakaria al-Anshari berkata, sabar adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap segala sesuatu yang terjadi, baik yang disenangi maupun yang tidak disenang.
Pandangan sufi tentang kesabaran merupakan aspek penting dalam memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani dalam menghadapi segala kesulitan. sabar merupakan sikap utama dan akan memberikan keutamaan dalam segala bidang kehidupan; sabar dalam ibadah, sabar dalam menuntut ilmu, dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi dengan sesama manusia, sabar dalam sehat maupun sakit, sabar dalam cinta, sabar ketika membenci, sabar dalam kenikmatan dan penderitaan. dan sesungguhnya latihan sabar untuk sabar merupakan sumber keutamaan akhlak.
Sabar merupakan salah satu dari sekian maqamat untuk menuju kepada ma’rifat. dengan kesabaran seseorang akan menjadi lebih terang hatinya sehingga lebih mudah dalam meyakini ke-Agungan Allah. sabar jauh dari penyakit dan godaan jiwa, sehingga dengan demikian seorang yang sabar akan memeroleh ketenangan jiwa yang diharapkan oleh setiap insan. adapun puncak dari kesabaran adalah sifat tawakal.
Sikap sabar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur’an, Allah berfirman; َق ِّم َّما يَ ْم ُكرُوْ ن ٍ ض ْي َ ك فِ ْي ُ َص ْبرُكَ اِاَّل بِاهّٰلل ِ َواَل تَحْ ز َْن َعلَ ْي ِه ْم َواَل ت َ َواصْ بِرْ َو َما Artinya : "Bersabarlah dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan". (QS. AnNahl: 127).
e. Tawakal
Tawakal artinya secara harfiah menyerahkan diri. tawakal adalah gambaran penentuan hati manusia dalam menggantungkan diri hanya kepada allah. sikap tawakal akan memberikan ketenangan bagi seorang mu’min, dan memberikan sikap stabil dan ketenangan jiwa.
Tawakal adalah perasaan percaya dalam melihat alam, bahwa apa yang ada di dalamnya tidak dapat lepas dari tangan tuhan, di mana di dalam hatinya di gelar oleh allah ketenangan, dan inilah seorang Muslim kemudian berdamai dengan tuhannya dia telah menjalankan kewajiban yang ditentukan oleh Allah.
Mengenai keyakinan, al-Ghazali menghubungkannya dengan tauhid, yaitu hakikat tauhid sebagai dasar keimanan. pentingnya tauhid, yang paling penting tawakal adalah perwujudan dari ucapan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lahu. pendapat alKalabadzi tawakal adalah meninggalkan segala upaya mengucapkan “la haula wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan upaya kecuali dari allah).
Tawakal adalah mencampakkan segala perlindungan kecuali kepada allah.bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan; ََو َعلَى هّٰللا ِ فَ ْليَت ََو َّك ِل ْال ُمْؤ ِمنُوْ ن Artinya: "dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal." (QS. At-Taubah: 51)
Pada hakikatnya orang yang tawakal, telah memikirkan sebab-sebabnya dengan cermat dan baik, dan ia bersandar kepada Allah swt dalam segala urusannya. di samping itu, sebelum bertawakal, ia telah memiliki sifat wara’, sabar, dan taubat dan semua itu merupakan maqamat yang telah memberikan kepada dirinya ketenengan, ketentraman jiwa, karena pada tiaptiap tingkatan maqam ia selalu bersama Allah dan kepada-Nya ia bertawakal.
f. Ridha
Secara harfiah ridha berarti kesiapan atau rela,dengan suka dan senang. berarti penerimaan rasa puas dengan apa diberikan oleh Allah SWT. orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik ujian yang diberikan Allah kepada kita.
Ibnu 'Athaillah, maqam Ridha adalah sikap menolak ikut campur bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Alasannya adalah karena orang merasa cukup dengan itu cukuplah pengaturan Allah SWT baginya. bagaimana mungkin ia akan ikut mengatur bersama-Nya, sementara ia telah meridhai pengaturannya. maqam ini merupakan tingkatan tertinggi dari sistematika maqamat menurut pandangan Ibnu 'Athaillah.
Bagi para sufi, ujian dan musibah beranggap sebagai suatu nikmat bukan suatu kepahitan/kesakitan, lantaran dengan ujian-ujian itu mereka yakin bahwa Allah menyayangi kita dan bila kita ridha, maka kita akan semakin dekat dengan-Nya. seseorang yang telah ridha tidak akan pernah merasa berduka cita, selalu bergembira, karena ia meyakini apa yang sedang dialami dan atau diperoleh, meskipun berupa derita dan bencana merupakan hal yang terbaik baginya. Orang yang telah mencapai maqam ini akan senantiasa bahagia dan tidak susah walaupun ia telah beramal baik dan masuk ke dalam neraka, dan tidak begitu bahagia walaupun ia nantinya masuk surga. Dalam al-Qur’an Allah berfirman; عن ْ ُه ۗ ٰذلِ َك الْفَ ْو ُز ال َْع ِظيْ ُم َ َر ِض َي الل ّ ٰ ُه َ عن ْ ُه ْم َو َر ُض ْوا Artinya: Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. Al-Maidah: 119).
g. Faqir Kefakiran (al-faqr ) Merupakan salah satu maqam yang harus dilalui seorang salik yang sedangmempalari tasawuf setelah maqam wara’. Menurut Al-Qur’an, fakir berasal dari bahasa arab, yaitu faqura, yafquru, faqran yang berarti miskin. Istilah faqr berarti kemiskinan. Ataupun secara bahasa indonesia diartikansebagai orang yang sangat berkekurangan, orang yang sangat miskin, atau orang yangsengaja membuat dirinya kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.Para sufi seperti al-Kalazabi berpendapat bahwa fakir adalah orang yang tidak bolehmencari mata pencaharian, kecuali orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugaskeagamaan.Adapun al- Nuri berpendapat bahwa fakir adalah orang yang harus bungkam ketikatidak memilik sesuatu, bermurah hati dan tidak hanya memikirkan diri sendiri jika memiliki sesuatu. Menurut Nasshr al-Din al-Thusi, fakir adalah seseorang tidak memiliki kecintaanterhadap kekayaan dan hiasan duniawi, dan jika memilikinya maka tidak berkeinginanuntuk menyimpan dan mengumpulkannya.Sedangkan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa fakir tidak bermaknamenafikan kekayaan dan harta, sebab para nabi dan rasul adalah orang-orang kaya danmemiliki kekuasaan, tetapi fakir adalah seorang hamba senantiasa memiliki kebutuhanterhadap Allah Subhanahu wa ta’ala dalam keadaan apapun.Menurut al-Ghazali, ada lima tingkatan fakir dua diantaranya yang paling tinggiderajatnya, yakni orang yang tidak suka diberi harta, merasa tersiksa dengan harta, danmenjaga diri dari kejahatan dan kesibukan untuk mencari harta; dan seseorang yang tidaksenang mendapatkan harta dan tidak merasa benci bila mendapat harta.Berdasarkan penjabaran dapat diambil kesimpulan bahwa fakir merupakan seseorangyang diberikan kondisi kemiskinan namun tetap menikmati dan mensyukuri keadaannya bahkan mereka merasa tersiksa dengan adanya harta karena harta tersebut suatu saat akanmenjadi pertanggung jawaban juga bagi mereka serta menjauhkan diri mereka darikesibukan dalam mencari harta. Fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang yang miskin. Sedangkan dalam pandangan kaum sufi, yang dimaksud fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Bukan berarti mereka menolak pemberian. Jika diberi maka akan diterima, jika tidak maka tidak akan meminta. A. KARAKTERISTIK SUFI (AL-AHWAL) Maqamat dan Ahwal merupakan salah satu istilah dalam dunia tasawuf. Namun sarana dan spiritual seorang itu merupakan spiritual berkomunikasi dengan Tuhan, maka dari itu tempat dan segala suatu jagad adalah maqamat jamak, tahapan perjalanan yang diterjemahkan dengan kata “stasiun” merupakan suatu perjalanan yang Panjang, Adapun dalam “Ahwal” biasanya para sufi mengalami perjalanan spiritualnya.(Akhlaqi & Ahwal, 2019, h. 219) Jadi, untuk mencapai tujuan yang ideal para sufi, agar kembali pada cahaya tuhan dengan cara proses membersihkan jiwa. Dengan demikian ahwal yang sudah diberikan oleh tuhan seseorang harus melalui perjalanan kerohanian. Ketika tuhan sudah memberikan Amanah kepada seseorang dengan jiwa dan hati yang bersih maka akan ada keindahan di dalam jiwa manusia, Jadi, ketika sudah mencintai dan merasakan kebahagiaan maka hati dan jiwa seseorang akan dekat (qurb) ,rasa cinta (mahabbah) dengan demikian itulah yang di maksud dengsan ahwal.(Akhlaqi & Ahwal, 2019, h. 220) Seorang sufi untuk menuju tuhannya yaitu harus mencapai perjalanan spiritualnya, dari beberapa pendapat banyak perbedaan dari para sufi untuk mencapai maqamat dan ahwal, untuk mendapatkan secara langsung. Maqamat adalah salah satu tahapan spiritual dengan perjalanan yang diperolehnya secara gigih oleh para sufi, hakikatnya perjuangan spiritual sangat memelahkan maka kita harus melawan hawa nafsu dan ego. Bisa di lihat dari perjuangan sufi yang memerlukan waktu cukup Panjang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Namun berbeda dengan ahwal yang diperoleh secara langsung. (Akhlaqi & Ahwal, 2019, h. 220) Pada umumnya masyarakat itu karakteristik di dunia tarekat (sufisme), bahwa seorang sufi itu bisa mempunyai semangat yang tinggi untuk terus berubah, Namun perubahannya dapat dilihat dari maqamat dan ahwal yang dilalui oleh para sufi. Kemudian pintu taubat wara', zuhud, faqr, sabar tawakal hingga maqam tertinggi. Dengan demikian ahwal terus berubah dari muraqabah sampai dengan ahwal li al-fana bahkan sampai fana'il fana, kemudian baqa' ma'a Allâh.(Kholid, 2018, h. 2)
Secara singkatnya bahwa dunia tarekat (tasawuf) itu yang dimana maqam tersebut tidak akan pernah puas apa yang telah di capai. Misalnya Ketika ada seorang yang sedang meminum air, jika sudah hilang rasa hausnya maka semakin dahaga. Intinya termonologi tasawuf itu akan terus berkembang dan relevan dengan waktu yang singkat.(Kholid, 2018)
Oleh karena itu, bahwasanya yang di maksud dengan karakter terhadap ahwal sufiyah merupakan salah satu capaian seorang sufi untuk mencari pembelajaran spiritual terhadap Allah SWT, dengan perjalanan yang diperolah secara gigih.
B. Ahwal Shufiyah Menurut para ulama dan Beberapa contoh Pembahasan tasawwuf tidak lepas dari pembahasan kedekatan seorang sufi dengan allah swt. Tingkatan atau derajat yang dimaksud dalam kalangan sufi disebut maqam. Semakin tinggi tingkat tasawuf maka semakin dekat pula sufi tersebut dengan Allah SWT. Namun para sufi juga berselisih tentang posisi tersebut, terutama tentang posisi mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak ada dalil yang jelas dari nash-nash Al- Qur'an maupun As-Sunnah.(asnawiyah, 2014) Di kalangan Sufi, istilah Maqam kadang-kadang disebut dengan istilah jamaknya maqamat. Menurut Al-Qushayiri, yang dimaksud dengan maqam adalah hasil kerja keras dan keluhuran seseorang yang berakhlak sebagai hamba Allah, yang dapat mengantarkannya pada cita-cita dan tuntunan segala tugas.Ketika al-Thusi memberikan arti yang berbeda: مقام العبد يدى هلال فيما يقام فيو من العبادات واجمالىدات والرايضات والنقطاع إىل هلال. "Kedudukan seorang hamba di hadapan Allah dicapai melalui kerja keras dalam ibadah, semangat melawan nafsu, latihan spiritual dan penyerahan seluruh jiwa dan tubuh untuk pelayanan tunggal-Nya".(asnawiyah, 2014, h. 81)
Dari dua pendapat di atas dapat dipahami bahwa Maqam adalah kedudukan seseorang yang menunjukkan kedekatannya dengan Allah SWT. Jabatan tersebut tidak didapatkan begitu saja, melainkan harus melalui proses yang serius. Dengan kata lain, dapat dipahami pula bahwa proses yang dilalui para sufi untuk mencapai tahap tertinggi harus melalui banyak tahapan, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi.(asnawiyah, 2014, h. 81) Ulama sufi berbeda dalam tingkatan tasawuf. Begitu juga berapa maqamnya. Menurut Al-Qusyair, ada 7 (tujuh) maqam yang tingkatannya adalah: taubat, Wara', Zuhud, Tawakkal, Shabar dan terakhir Ridha. Al-Thus memiliki bentuk lain yaitu: Tobat, Wara', Zuhud, Faqr, Shabar, Tawakkal dan Ridha. Al-Ghaza memiliki urutan sebagai berikut: Tobat, Shabar, Syukur, Raja', Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas, Rida.(asnawiyah, 2014, h. 81-82) Dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa tidak ada tingkatan yang dapat dikatakan sebagai jabatan baku. Dengan kata lain, pendapat tersebut merupakan pendapat yang bukan internal Jumhur Ulama(asnawiyah, 2014, h. 82) Menurut Harun Nasution, maqam yang paling populer terdiri dari: Taubat, Zuhud, Shabar, Tawakkal dan Ridha. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Maqam adalah suatu postur tertentu yang ciri-cirinya berbeda dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Inti dari keadaan taubat adalah bertobat dari segala dosa. Posisi ini menunjukkan betapa pentingnya peningkatan, karena dengan peningkatan Anda dapat pindah ke posisi lain yang lebih tinggi. Meskipun Ridha merupakan tingkatan tertinggi, yang dapat diartikan mencapai kondisi ideal bagi seorang muslim. Ini hanya dapat dicapai setelah menyelesaikan tahapan lain seperti zuhud, shabar dan tawakkal. (asnawiyah, 2014) Berbeda dengan al-Thus, al-Qusyairy memberi makna ahwal seperti anugerah atau syarat Allah yang datang tanpa wujud. Seperti halnya dalam maqamat, terdapat perbedaan jumlah dan urutan di antara ulama sufi ahwal. Hal ini karena Nabi sendiri selama ini belum memberikan petunjuk tentang jenis dan tingkatan ahwal dalam hadis-hadisnya. Dengan kata lain, ahwal banyak dijumpai pada ungkapan ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi, namun tidak dijelaskan secara detail mana nilai ahwal yang tertinggi dan terendah. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ahwal merupakan hasil pemikiran para ijtihad dan ulama sufi.(asnawiyah, 2014) Mengenai berbagai teori dan rumusan maqamat dan ahwali oleh ulama sufi di atas, tentu berimplikasi pada pemahaman maqamat dan ahwali oleh ulama di bidang lain. Pengaruhnya juga di Aceh dan negara-negara lain sebagai pusat kegiatan tasawuf. Sebagaimana diketahui, sebagian besar dari agama di Aceh sangat menganut mazhab syafi'yah, yang tauhidnya mengikuti paham Imam Abu Hasan Asya'ar dan Abu Mansor Al maturid, fiqihnya mengikuti Imam. Syafie dan tasawufnya mengikuti garis Imam Ghazal dan Syekh Junaid al Baghdadi. Disini juga peneliti mewawancarai Teuku Muhammad Umar yang merupakan balita dari Dayah Liqaurrahmah, Desa Lieue Darussalam Aceh Besar. (Brier & lia dwi jayanti, 2020) Dari perspektif pribadi, ia bersandar pada pemikiran dan pandangan Imam Ghazali seperti dalam karya referensi utamanya Ihya'ulumuddin. Ia mengatakan bahwa maqamat bukanlah masalah untuk dipikirkan dan diperjuangkan, tetapi maqamat adalah perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang mengamalkannya. Ketika disebutkan kepada Tatkala bahwa dia begitu banyak hal di maqam, itu salah karena dia sebenarnya memiliki riak dan pelampung, yang hanya pantas untuk menilai dirinya sebagai sesepuh yang telah mencapai maqamat dan ahwal, jadi sejak itu bahkan terkadang, ketika guru melihat muridnya sebagai babi dan menyuruh mereka bertobat, dan terkadang guru melihat muridnya bersinar ketika pakaian mereka bersih. (Brier & lia dwi jayanti, 2020) Oleh karena itu, bahwasannya yang di maksud perbedaan pendapat dengan para ulama ahwal sufiyah itu merupakan maqam/capaian seorang sufi untuk menuju ketataatanya terhadap Allah SWT. (Bakry, 2018, h. 90)Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam jumlah dan susunan ahwal ini juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Di antara sekian banyak nama, yang terpenting dan paling banyak penga-nutnya adalah: al-muraqabah, al-khauf, al-raja’, al- syauq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah dan al-yaqin. Akan tetapi ada juga sebagian sufi menempatkan al-ma’rifah dan al-mahabbah sebagai bagian dari ahwal. Secara singkat akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-Muraqabah Muraqabah menurut sufi bermakna adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran demikian menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada bahwa ia sedang di-monitoring oleh Sang Khaliq. Orang yang memeroleh sikap mental muraqabah ini sudah pasti akan selalu berusaha menata dan membina kesucian diri dan amalnya. Karena ia selalu merasa dalam pengawasan Allah serta selalu berhadapan dengan Allah. Apabila sikap muraqabah ini telah terpatri kuat dalam jiwa seseorang, maka seluruh budi pekertinya menjadi baik.
b. Al-Khauf Menurut bahasa berarti takut. Dalam pengertian sufi khauf berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena merasa kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Sikap mental seperti ini merangsang seseorang melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi perbuatan maksiat. Perbedaan orang yang takut kepada manusia dan takut kepada Allah ialah orang yang takut kepada manusia akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah akan lari kepada-Nya.
c. Al-Raja’ Atau harapan. Dalam istilah sufi merupakan sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh. Oleh karena Allah Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa optimis akan memeroleh limpahan karunia Ilahi. Perasaan optimis akan member semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu, karena Allah adalah Maha Pengasih Maha Penyayang.
d. Al-Syauq Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah. Yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh kerinduan. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong bagi sufi agar selalu berada sedekat mungkin kepada Allah. Bagi sufi, maut bukanlah suatu hal yang harus ditakuti, justru selalu dinanti-nantikan, karena maut dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan abid dengan Ma’budnya
e. Al-Uns Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, yang diingat, yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut uns
f. Al-Thuma’ninah Secara harfiyah, kata ini berarti tenang, tenteram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena iatelah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi setelah melalui usaha dan perjuangan berat. Ia mampu mengadakan komunikasi langsung dengan Allah karena sudah dekat kepada-Nya, karenanya ia merasa tenang, bahagia dan tenteram.
G. Musyahadah Kata musyahadah bermakna menyaksikan dengan mata kepala. Tetapi dalam istilah sufi diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini, apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah swt. Dalam situasi seperti ini pulalah seseorang memperoleh tingkatan ma’rifat, satu situasi di mana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah dengan seluruh ekspresinya atau melalui mata hatinya. Secara mendetail dapat disaksikannya keadaan Allah, sehingga lahir pula rasa cinta atau mahabbah melalui ruh dan akhirnya dan dapat dipandang oleh sirr. Dengan demikian terjadilah musyahadah antara sufi dengan yang dicarinya.
h. Al-Yaqin Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yaqin. Dengan demikian, al-yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya. Untuk Mencapai tingkat musyahadah dan al-yaqin, menurut para sufi adalah amat sulit dan jarang orang yang dapat mencapainya. Mereka yang mampu ke level tersebut adalah para wali yang sudah sampai ke tingkat insan kami.