Disusun Oleh :
1. Sri Jingga Anggriani Putri (210109002)
2. Syaharani (210109009)
Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase
yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah
kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, tetapi asketisme ini adalah tidak
ada keterikatan nafsu dengan dunia. Istilah yang populer digunakan pada masa
awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad. Nussaak merupakan bentuk
jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya
untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari
zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan
pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-
orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Pada abad yang ketiga dan keempat ini, tawasuf mulai mengalami
pengembangan . istilah zuhud sudah diganti dengan istilah tasawuf . Bahkan
1
penamaan tasawuf di sinipun sudah hampir punah. Mereka lebih menggunakan
tasawuf dengan istilah sufi. Corak-coraknya pun sudah berbeda sekali dengan
yang dulu. Abad ini menggunakan tasawuf yang bersifat kefana’an yang fokus
dengan persatuan hamba dan hubunganya dengan sang Khaliq(ittishal). Metode
yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat,
tauhid, penyatuan atau hulul. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis
bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal
dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu
muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-
Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285
H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga
Hijriyah merupakan tasawuf yang mencapai peringkat terjernih dan tertinggi,
karena tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian di jadikan panutan para sufi yang
hidup setelahnya.
Pemikiran mereka yang sangat cakap dalam bidang apapun. Maka terkenal
pulalah ilmu mereka sebagai ilmu Batin, ilmu Hakikat, ilmu Wiratsah dan ilmu
Dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu Lahir, ilmu
Syariah, ilmu Dirasah, dan ilmu Riwayah
Pada abad III dan IV hijriyah, terdapat dua aliran tasawuf, yaitu aliran
Tasawuf Sunni. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang pokok ajaranya sangat
terikat dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan antara ahwal dengan
maqamat mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan yang kedua adalah
aliran tasawuf “semi falsafi”. Para pengikut tasawuf ini cenderung dengana
ungkapan-ungkapan yang ganjil(syathahiyat ) serta bertolak dengan keadaan
fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ( ittihad atau hulul).
Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada
abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis ,
mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada
pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad kelima Hijriyah dan setelahnya.
Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah
Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal
dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam
tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-
ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj.
Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak kalah penting dengan
periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini justru tasawuf telah menjadi
semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi
memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di mana sebelumnya ia hanya
dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya
ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir
dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru
(syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka
hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat
latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta
mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.