Anda di halaman 1dari 8

AKHLAK TASAWUF

Tema : Sejarah Tasawuf Pada Masa Awal


Makalah Ini Dibuat Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Muh. Judrah, M. Pd. I

Disusun Oleh :
1. Sri Jingga Anggriani Putri (210109002)
2. Syaharani (210109009)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH SINJAI
TA 2022/2023
A. Bagaimana Perkembangan Tasawuf pada Masa Awal

Tasawuf paada zaman dahulu dikatakan sebagai kehidupan rohani di


karenakan ajaran ini mengandung perjuangan manusia dalam mendapatkan
kehidupan yang sempurna di mata Sang Pencipta. Kerohanian ini berupa ikhtiar
manusia dalam mengalahkan gangguan hawa nafsu dan kehidupan kebendaan.
Sejarah perkembangan kerohanian itu sendiri secara garis besar dibagi menjadi 2
yakni zuhud dan tasawuf. Istilah ini pada dasarnya belum ada pada zaman
Rasulullah SAW dan tidak disebutkan dalam alqur’an, kecuali istilah zuhud.

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an syai’in wa tarakahu, artinya


tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Zuhud juga tidak dapat
dipisahkan dengan 2 keadaan yaitu pertama zuhud dijadikan sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud dijadikan sebagai akhlak
moral dari sebuah perbuatan dan gerakan protes. Apabila zuhud ini tidak dapat
dipisahkan dengan tasawuf , maka fungsi zuhud dalam tasawuf dijadikan sebagai
maqam. Namun apabila zuhud dikatakan sebagai moral akhlak, maka fungsi
zuhud disini berarti bagainmana upaya kehidupan agar mereka dapat menatap
dunia yang fana’ ini. Pandangan dunia menurut mereka hanyalah sekedar tempat
beribadah untuk menghantarkan keridhoan kepada Allah semata. Mereka sama
sekali tidak terpengaruh dengan kemewahan dunia ini. Perbedaan pandangan
zuhud disini memiliki perbedaan yang sangat kuat yaitu bahwa zuhud yang
dikatakan sebagai maqam itu bersifat individual, sedangkan zuhud yanag kedua
yang dikatakansebagai akhlak dan moral itu bersifat individual dan sosial, dan
sering dipergunakan sebagai protes dari penyimpangan sosial. Dalam penamaan
zuhud terdapat istilah lain yaitu zahid.

Pada dasarnya seseorang sebelum menjadi sufi, seorang calon harus


terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat
menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap
zahid merupakan sufi. Kaum zahid lebih mengutamakan hidup kebatinan dan
kerohanian dan menjuruskan perhatianya dan kehidupanya kearah Allah.

Dalam permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud atau asketisme belum


lagi merupakan suatu gerakan keagamaan yang meluas, yang diamalkan oleh
seluruh masyarakat Islam, akan tetapi ia merupakan kegiatan dan kecendrungan
pribadi, mengikuti petunjuk Islam al-Quran dan sunah Nabi. Kegiatan yang
sama sekali tidak mementingkan kehidupan di dunia. Mereka hanya ingin
mendekatkan diri kepada Allah. Mereka lebih gemar berjihad dijalan Allah dan
berdakwah untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap zuhud inilah yang sering
dikatakan sebagai ilmu pengantar dari kemunculan ilmu Tasawuf. Tahap awal
perkembangan tasawuf itu dimulai pada abad ke 1-H sampai kurang lebih abad
ke 2-H. Pada masa nabi belum muncul istilah-istilah, namun praktek ilmu-ilmu
cabang sudah ada di masa nabi sebelum diangkat sebagai rasul. Kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Perkembangan
tasawuf pada masa klasik itu berkisar pada masa Nabi Muhammad SAW, para
Sahabat (Khulafaur Rasyidin), Tabi’in, masa Bani Umayah, dan masa Bani
Abbasiya

Tasawuf Beliau ber’uzlah dengan menyatukan pikiran dan perasaan dalam


merenungi alam dan beliau telah tenggelam dalam kebesaran Allah SWT.
Aktifitas uzlah inilah yang banyak diambil pelajaranya, karena penyakit jiwa
tidak bisa dihilangkan kecuali dengan ber ‘uzlah. Sifat sombong , ujub, hasud,
riya,dan cinta terhadap dunia, merupakan penyakit yang merusak jiwa dan hati
nurani, meskipun secara lahiriyah manusia itu terlihat melakukan amalan shaleh.
Didalam Gua Hira beliau terus mengingat Allah dan memuja-Nya, sehingga
putuslah hubungan beliau dengan makhluk yang lainya. Beliau membersihkan
diri dari noda-noda hati yang yang mengotori jiwa. Menurut Ibnu Atha’illah al-
Iskandariyah bahwa “tiada lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah
hati memasuki lapangan tafakkur.”
B. Tahapan Perkembangan Tasawuf Masa Awal sampai Masa Pertengahan
1. Tasawuf Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase
yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah
kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, tetapi asketisme ini adalah tidak
ada keterikatan nafsu dengan dunia. Istilah yang populer digunakan pada masa
awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad. Nussaak merupakan bentuk
jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah menyediakan dirinya
untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah bentuk plural dari
zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan, harta benda dan
pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid yakni orang-
orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.

Pada dasarnya zuhud adalah permulaan dari munculnya tasawuf. Di


masa ini belum muncul istilah tasawuf namun prakteknya sudah ada sejak itu,
seperti lahirnya hasan bashri yang memperkenalkan ajaran Khauf dan Raja’.
Rasa takut dan berharap kepada Allah lah yang sering di ajarkan bagi para
mursyid terhadap muridnya.

Sedangkan pengamalannya dari kehidupan rohani yaitu dengan


mengurangi makan, menjauhkan diri dari keramaian duniawi dan mencela dunia
seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Abu al- Wafa menyimpulkan zuhud
salah satunya yaitu menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk menuju kee
kehidupan akherat, dengan melakukan sesuatu yang bersifat sederhana, praktis,
dan bertujuan untuk 1[2]meningkatkan moral.

2. Tasawuf Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

Pada abad yang ketiga dan keempat ini, tawasuf mulai mengalami
pengembangan . istilah zuhud sudah diganti dengan istilah tasawuf . Bahkan
1
penamaan tasawuf di sinipun sudah hampir punah. Mereka lebih menggunakan
tasawuf dengan istilah sufi. Corak-coraknya pun sudah berbeda sekali dengan
yang dulu. Abad ini menggunakan tasawuf yang bersifat kefana’an yang fokus
dengan persatuan hamba dan hubunganya dengan sang Khaliq(ittishal). Metode
yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal), ma’rifat,
tauhid, penyatuan atau hulul. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan praktis
bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal
dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak saat itu
muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti Al-
Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285
H), dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga
Hijriyah merupakan tasawuf yang mencapai peringkat terjernih dan tertinggi,
karena tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian di jadikan panutan para sufi yang
hidup setelahnya.

Pemikiran mereka yang sangat cakap dalam bidang apapun. Maka terkenal
pulalah ilmu mereka sebagai ilmu Batin, ilmu Hakikat, ilmu Wiratsah dan ilmu
Dirayah. Semua istilah tersebut merupakan kebalikan dari ilmu Lahir, ilmu
Syariah, ilmu Dirasah, dan ilmu Riwayah

Pada abad III dan IV hijriyah, terdapat dua aliran tasawuf, yaitu aliran
Tasawuf Sunni. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang pokok ajaranya sangat
terikat dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan antara ahwal dengan
maqamat mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan yang kedua adalah
aliran tasawuf “semi falsafi”. Para pengikut tasawuf ini cenderung dengana
ungkapan-ungkapan yang ganjil(syathahiyat ) serta bertolak dengan keadaan
fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ( ittihad atau hulul).

3. Tasawuf Abad Kelima Hijriyah

Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada
abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis ,
mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada
pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad kelima Hijriyah dan setelahnya.

Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya


disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui
keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada
masa ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke
landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat terkenal
yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas pandangan
atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada


abad kelima Hijriyah terutama karena karya beliau yang sangat terkenal, al-
Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah.
Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka
para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi menulis kitab yang ia menguraikan
konsep-konsep tasawuf, maqamat wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para
wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama.

Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah ialah
Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal
dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam
tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-
ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj.

Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila


Rabb al-Alamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat
ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir. Ketingkatan ini menurut al-Qusyairi
dianalogikan dengan sebuah bangunan yang didalamnya harus ada pondasinya
agar bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena itu tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.
Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana’ dalam kesatuan, namun
fana’nya berbeda dengan fana’ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana’
bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan
perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala
sesuatu selain yang disaksikan.

Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka mengeluarkan


ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau dengan kata
lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila ketenangan
itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar dari
keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.

Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu Fikih, Kalam, Filsafat


dan Tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi adalah jalan terbaik.

4. Tasawuf Abad Keenam Hijriyah

Tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan


antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis.
Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang
telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul
dengan jelas sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal
setelah seabad kemudian

Adapun tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn


Arabi. Di sini akan dielaborasi sekilas pandangan ketiga tokoh tersebut agar dapat
memperjelas konsep tasawuf filosofis yaitu Al-Suhrawardi Al-Maqtul dikenal
sebagai Shaykh , guru filsafat cahaya. Walaupun ia meninggalkan banyak karya,
namun karyanya yang paling terkenal dan mengantarkannya dirinya sebagai tokoh
tasawuf filosofis adalah Hikmah al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan
pandangan-pandangannya tentang filsafat isyraqi atau tasawuf isyraqi (iluminatif),
“Hakikat dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi terang terus menerus,
yang merupakan pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada,
memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di
dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya dan segala keindahan dan kesempurnaan
adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti
keselamatan”.

5. Tasawuf Abad Ketujuh Hijriyah dan Sesudahnya

Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak kalah penting dengan
periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini justru tasawuf telah menjadi
semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi
memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di mana sebelumnya ia hanya
dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya
ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir
dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru
(syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka
hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat
latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta
mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.

Tasawuf mempunyai metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki


metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan
program penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari,
qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk
mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah).

Anda mungkin juga menyukai