NIM: 1144060075
PEMBAHASAN
1
hati sehingga nur ghaib dalam hati bisa terkuak. Setidaknya ada dua cara yang
bisa dilakukan seorang sufi untuk memperdalam rasa ketuhanan, yaitu:
Pertama, munajat, yaitu melaporkan diri ke hadirat Allah SWT atas segala
aktivitas yang dilakukan seseorang. Misalnya melontarkan keluhan dan
mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan.
Hal ini lazim disampaikan dalam suasana yang hening seperti setelah shalat
tahajud.
Kedua, zikir maut, yaitu melakukan zikir ke hadirat Allah SWT seraya
mengingat mati (maut) yang tak mungkin terhindarkan oleh siapa pun. Seorang
sufi berkeyakinan bahwa ingat akan mati merupakan rangkaian aktivitas ruhani
yang perlu dibina dan dikembangkan. Dengan selalu mengingat kematian yang
setiap saat bisa datang, juga berzikir dan senantiasa mengingat Allah, maka
seseorang akan terpacu untuk beribadah dan berbuat kebajikan.
2
pada tahun 110 H) dan Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H), kedua tokoh ini
dijuluki sebagai zahid (Solihin & Anwar, 2008: 62).
II. Abad Ketiga Hijriyah
Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku (Solihin & Anwar, 2008:
62). Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan
upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang
berkembang saat itu sehingga di angan mereka, tasawuf pun berkembang
menjadi ilmu moral keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini
menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan
mudah dipraktekan oleh semua orang terlebih oleh kaum salaf. Kaum salaf
tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan
akhlak yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran
islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk
berakhlak terpuji (Solihin & Anwar, 2008: 63). Pada abad ketiga ini mulai
ada segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf
yang berkembang di masa itu, mereka membaginya menjadi tiga macam
(Solihin & Anwar, 2008: 63-64), yaitu:
Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu
metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang
mengkonsentrasikan kejiwaan manusia kepada Khaliqnya,
sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat
teratasi dengan baik.
Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya
terkandung petunjuk-petunjuk tentang tata cara berbuat baik serta
cara menghindari keburukan yang dilengkapi dengan riwayat dari
kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.
Tasawuf yang berintikan metafisika, yaitu di dalamnya terkandung
ajaran yang melukiskan hakikat Ilahi, yang merupakan satu-
satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan
3
sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang akan
tajalli kepada-Nya.
III. Abad Keempat Hijriyah
Pada abad keempat hijriyah ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang
lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga hijriyah, karena usaha
maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya
masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad satu-satunya kota yang terkenal
sebagai pusat kegiatan tasawuf paling besar sebelum masa itu tersaingi
oleh kota-kota besar lainnya (Solihin & Anwar, 2008: 64).
Upaya mengembangkan tasawuf diluar kota Baghdad pada abad keempat
ini dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya
(Solihin & Anwar, 2008: 64-65), antara lain:
Musa Al-Anshary, mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia
atau Iran), dan wafat disana pada tahun 320 H.
Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkan di salah satu
kota di Mesir, dan wafat disana pada tahun 322 H.
Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkannya di semenanjung Arabiyah,
dan wafat disana pada tahun 314 H.
Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy,
mengajarkannya di Naisabur dan kota Syaraz, hingga ia wafat
tahun 328 H.
Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi
perkembangan tasawuf di kota Baghdad, bahkan penulisan kitab-kitab
tasawuf disana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib Fi
Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky (wafat
pada tahun 386 H). Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad keempat ini
adalah semakin kuatnya unsur filsafat yang mempengaruhi corak tasawuf,
karena banyaknya buku filsafat yang tersebar dikalangan umat Islam yang
merupakan hasil dari terjemahan orang-orang muslim sejak permulaan
Daulah Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskan perbedaan ilmu
4
zahir dan ilmu batin, yang dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam,
yakni ilmu syariah, ilmu thariqah, ilmu haqiqah, dan ilmu ma’rifah.
IV. Abad Kelima Hijriyah
Pada abad kelima hijriyah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya
hanya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunah serta
bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan
moral (Solihin & Anwar, 2008: 65). Pengetahuan tentang tasawuf
berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia
melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum mu’tazilah dan
batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang
moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan
bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami,
terutama mengenai soal karakter manusia (Solihin & Anwar, 2008: 66).
V. Abad Keenam Hijriyah
Pada abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-
Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke
seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya tokoh-tokoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk
mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada
tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-jailani (wafat pada tahun 651 H)
(Solihin & Anwar, 2008: 67).
5
berkata bahwa aku serahkan wajahku kepada Allah dan aku ber-takhalli.”
Ibn Manzur menerangkan kata terakhir itu sebagai membebaskan diri dari
syirik dan mengikat hati dengan iman.
Al-Hujwiri memaknai takhalli sebagai “berpaling dari godaan-godaan
yang menghalangi manusia dari mencapai Tuhan.” Godaan-godaan itu
misalnya adalah keinginan akan dunia, keinginan akan surga,
kesombongan, dan pergaulan dengan makhluk. Dengan demikian, seorang
hamba harus mengosongkan atau membebaskan hatinya dari nafsu akan
dunia, menghindarkan benaknya dari pikiran mendapat surga, melepaskan
roh dari rasa bangga, dan menjauhi pergaulan yang tak bermanfaat dengan
manusia.
II. Tahalli
Tahalli secara etimologi adalah bentukan dari kata kerja halla yang berarti
menghias, membuat dekorasi, atau membuat manis. Jadi, tahalli bermakna
penghiasan (tazayyun) (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 1248). Tahalli sering
dimaknai sebagai upaya mengisi, menghiasi, atau membiasakan diri
dengan sifat-sifat terpuji; dengan perbuatan-perbuatan baik; dengan
ketaatan-ketaatan baik lahir (oleh raga) maupun batin (oleh kalbu). Tahalli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap
takhalli. Keduanya adalah tahapan yang bisa dipilih tapi jangan sampai
dipisahkan (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 1249).
III. Tajalli
Istilah tajalli berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya
menampakkan diri. Dalam tasawuf, istilah ini dimaksudkan sebagai
penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang
bersifat terbatas. Kata tajalli juga bermakna terungkapnya nur ghaib
berupa kemuliaan atau rahmat yang diberikan Tuhan kepada manusia yang
telah mengosongkan diri (takhalli) dari perbuatan tercela dan mengisinya
(tahalli) dengan sifat-sifat terpuji. Istilah tajalli yang dikaitkan dengan
takhalli dan tahalli ini merupakan fase terakhir dari rangkaian pendidikan
akhlak (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 1272).
6
4. Tokoh-tokoh Terkenal Tasawuf Akhlaqi
I. Hasan al-Basri
Hasan al-Basri hidup antara tahun 21-110 H. Beliau adalah seorang zahid
yang termasyhur namanya di kalangan tabi’in dan mendapat gelar Abu
Sa’id. Prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian
senantiasa diukur dengan sunnah Nabi, bahkan beliaulah yang mula-mula
memperbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup
kerohanian, tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan
mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela (Hamka,
1984: 76). Diantara mutiara hikmah yang terkandung dalam ungkapan-
ungkapan Hasan al-Basri (Nata, 1993: 164) adalah:
“Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih
baik dari perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa
takut”.
“Dunia ini adalah tempat beramal, barangsiapa yang bertemu
dengan dunia dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, akan
bahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi
barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan
perasaan tersangkut kepadanya, maka ia akan sengsara”.
“Orang mukmin tidak akan berbahagia sebelum berjumpa dengan
Tuhan” (Nasution, 1979: 74).
II. Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi perempuan yang dapat menghias
lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriyah. Ia lahir di Bashrah pada
tahun 714 H dan meninggal di tahun 801 H. Ajaran tasawuf yang
dibawanya dikenal dengan istilah al-mahabbah. Paham ini merupakan
kelanjutan dari tingkat kehidupan yang dikembangkan oleh Hasan al-
Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi zuhud
karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan
pengharapan (Hamka, 1984: 79).
7
DAFTAR PUSTAKA
Manzur, Ibn. 1990. Lisan al-‘Arab, Jilid 14. Beirut: Dar Sadir.
Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta:
UI-Press.
Nata, Abuddin. 1993. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Solihin, M dan Rosyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna
Hidup. Bandung: Penerbit Nuansa.