Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF DAN PERKEMBANGANNYA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di zaman modern seperti ini, mulai banyak perdebatan mengenai
permasalahan ketuhanan dan kedekatan dengan Allah. Banyak orang mulai
meninggalkan hal-hal kecil nan sarat makna dalam kehidupan, hingga
meniggalkan hal-hal ukhrawi dan berlomba-lomba mencari kesenangan
duniawi. Lantas apa yang akan didapatkan setelah semuanya tercapai di
dunia?. Sepantasnya kita berkaca membenahi diri dan meneladani kearifan
ulama-ulama terdahulu, bagaimana mereka mencari keridhaan Allah
semata-mata karena akhirat yang dijanjikan oleh Allah. Meninggalkan
dunia yang bergelimang harta untuk hidup sederhana, atau yang biasa
disebut hidup tasawuf. Untuk memperdalam pengetahuan kita mengenai
tasawuf, maka disini kami akan mengemukakan pembahasan yang
berjudul “Sejarah Lahirnya Tasawuf dan Perkembangannya” guna
memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu Tasawuf.
B. Pokok Masalah

Maka disini beberapa poin yang akan kita bahas adalah,

1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf?


2. Bagaimana sejarah lahirnya tasawuf?
3. Bagaimana perkembangan ilmu tasawuf ini?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui makna dan maksud dari tasawuf
2. Untuk mengetahui sejarah lahirnya tasawuf
3. Untuk mengetahui perkembangan ilmu tasawuf

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TASAWUF

Al-Qusyairi di dalam Al- Risalah al-Qusyairiyyah, mengatakan


bahwa para generasi pertama ( sahabat ) dan sesudahnya (tabi’in ) mereka
lebih menyukai dan merasakannya sebagai penghormatan apabila mereka
disebut sebagai sahabat. Pada saat itu istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan
sufi belumlah dikenal dan belum populer bila dibandingkan dengan masa
setelahnya. Dengan demikian, istilah-istilah seperti ‘abid, zahid dan
kemudian sufi, yang digunakan untuk para ahli ibadah, baru dikenal
setelah generasi sahabat dan tabi’in ini. Tentang asal kata Tasawwuf, yang
berasal dari kata sufi, terdapat beberapa pendapat yang berbeda.
Diantaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut
hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar
katanya. “Menurut sejarah,orang yang pertama memakai kata sufi adalah
seorang zahid atau asketik bernama Abu Hasyim Al-kufi di Irak. Terdapat
Enam teori mengenai asal kata sufi, teori-teori berikut selalu dikemukakan
oleh para penulis tasawuf, yaitu :

1)  Kata Tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata shuf yang artinya bulu
domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar
sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan,
bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang
zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).

2) Ahl Al-Suffah, (‫الصفة‬ ‫ )أهل‬yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi
dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada
dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di
serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana
sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Walaupun hidup miskin, Ahl Al-
Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan
keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang

2
bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah
sifat-sifat kaum sufi.

3) Shafi (‫ )صايف‬yaitu suci seperti kilat kaca. Orang-orang sufi adalah orang-

orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan
mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian
mereka adalah orang-orang yang disucikan.

4) Shaf (‫ )صف‬Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf pertama

mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang


sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat jamaah
mereka mengambil shaf yang pertama.1

5) Shuffanah (‫ )صفنة‬sebangsa kayu yang mersik yang tumbuh di padang pasir

tanah Arab.

6) Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat.
Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan
cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari
kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan. Dan theosofie,
artinya ilmu ketuhanan. Kemudian diarabkan dan diucapkan dengan lidang
orang arab sehingga berubah menjadi tasawuf.

Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk


mensucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam
kehidupan. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketaqwaan, qana’ah,
keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah
mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab
dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Jadi, orientasi fundamental
dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan

1
Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri Sumatra
Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/ 1982, hal. 5-6

3
petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah
atau kelebihan-kelebihan supranatural.

Tasawuf adalah salah filsafat Islam, yang maksudnya bermula


ialah zuhud dari dunia yang fana. Tetapi lantarnya banyaknya bercampur
gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah
pengajian agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karena tasawuf
bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh
agama dan sebagiannya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari
agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut dengan
tidak ingat.

Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang


memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah
manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi
sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari
penjernihan jiwa. Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam
tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu
tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam)
spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud
(persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati
yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat
mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya
karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa
mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian
tasawuf merujuk pada dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan
pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.

Tetapi ahli-ahli tasawuf yang terbesar mempunyai pula kaidah


sendiri-sendiri tentang arti tasawuf itu, yaitu:

1) Ibnu Khaldun berkata: “Tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang


timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah tekun beribadah dan

4
memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya mengahadap
Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-
perkara yang selalu mendaya orang banyak, kelezetan harta-benda dan
kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan
ibadah.”
2) Al-Junaid : “Tasawuf ialah keluar dari budi, perangai tercela dan masuk
kepada budi, perangai yang terpuji.2 Tasawuf ialah membersihkan hati
yang telah mengganggu perasaan atau hati, berjuang meninggalkan insting
(naluri), agar tidak selalu mencari yang baru, memedamkan kelemahan,
menjauhi hawa nafsu, dan mendekati sifat-sifat kerohanian.”
3) Ma’ruf Al-Karki : “Upaya untuk mencari hal-hal yang hakiki dan
mengabaikan yang ada pada makhluk, hanya mencari hakiki pada Allah.”
4) Abu Hamzah : “Tanda sufi benar ialah berfikir setelah kaya, bersembunyi
setelah terkenal, kemudian merendah diri setelah bermegah-megah.”

B. SEJARAH LAHIRNYA TASAWUF

Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan


kelahiran islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi
Rasul untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah
menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul
telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’
disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang
sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Di sisi lain
Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan
mensucikan noda- noda yang menghinggapi masyarakat pada masa itu.
Tahanuts dan khalawat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk
mencari ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam menempuh liku-liku
problema kehidupan yang beraneka ragam, berusaha untuk memperoleh
petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran, dalam situasi yang
2
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern, PT.Pustaka Panjimas, Jakarta: 1990, hal. 13

5
demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah SWT, yang berisi
ajaran-ajaran danperaturan-peraturan sebagai pedoman dalam mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.3
Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih
dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II).
Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang
termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M,
dan meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama
adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan,
setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang dinamakan qari’,
mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat
muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis
mengenai tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam
ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi
makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia (zuhud ).
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase
yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang
terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan
dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus
terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia
meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi
sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi.Secara etimologis, zuhud
berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan
diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Tatkala kerajaan Islam bertambah besar dan pemeluk agama Islam
bertambah tersiar keluar tanah Arab, bertemulah dia dengan bangsa-
bangsa dan agama-agama serta fikiran-fikiran baru. Masuklah faham

3
Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri Sumatra
Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/ 1982, hal. 35-36

6
filsafat ke dalam dunia Islam dan suburlah ahli fikir mu’tazilah dan
mulailah timbul kaum tasawuf itu.
Ketika itu kemajuan telah menyebabkan bingung, kekayaan
bertimbun masuk ke dalam dunia Islam, kehidupan sangat megah,
sehingga mahar Al-Ma’mun kepada Bauran anak wazirnya saja lebih
semiliun dinar. Di samping itu dalam majelis istana terjadi bantahan ahli-
ahli fikir tentang Ketuhanan, Apakah Tuhan itu mentakdirkan juga akan
kejahatan manusia?. Tentang manusia sendiri, apakah dia tetap islam kalau
sekiranya dia mengerjakan dosa besar?. Tentang Qur’an , adakah dia
Hadist atau Qadim, dan lain-lain sebagainya?. Sehingga kadang-kadang
dapat menimbulkan sengketa, dan perbantahan menyebabkan lalai
mengerjakan ibadah.
Tentu saja timbul golongan yang merasa jemu melihat itu, lalu
menyisihkan dirinya. Maka ini menjauhkan diri dari orang dunia, dari
orang yang katanya pintar tetapi telah terlampau pintar, atau orang yang
dilalaikan hartanya.
Orang yang menyisihkan itu asal-usul kaum shufi itu, yang
mulanya bermaksud baik, tetapi akhirnya telah banyak tambahnya maksud
mereka memerangi hawa-nafsu, dunia dan setan, tetapi kadang-kadang
mereka tempuh jalan yang tidak di gariskan oleh agama. Terkadang
mereka haramkan kepada diri sendiri barang yang dihalalkan Allah,
bahkan ada yang tidak mau lagi mencari rezeki, menyumpahi harta,
membelakangi huru-hara dunia, membenci kerajaan. Sehingga
kemudiannya, ketika bala tentara mongol masuk ke negeri Islam, tidaklah
ada lagi senjata yang tajam buat menangkis, sebab orang telah terbagi dan
terpecah.4

C. PERKEMBANGAN TASAWUF
Pada awal pertama perkembangan Tasawuf, kaum Sufi menaruh
perhatian pada kegiatan bangun di malam hari dan zuhud. Praktik pertama
4
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern, PT.Pustaka Panjimas, Jakarta: 1990, hal. 14

7
berasal dari keyakinan dan keimanan bahwa Nabi memelihara kegiatan
bangun malam adalah suatu keutamaan dan kemuliaan, sementara praktik
kedua bersumber dari usaha kaum Sufi untuk meninggalkan dunia. Praktik
kezuhudan pada dasarnya berupa diam, menyendiri, puasa, dan terus-
menerus menyebut nama Allah atau dzikir. Praktik dzikir bukan hanya
mencakup menyebut nama Allah, tapi juga melakukan sembahyang,
membaca ayat-ayat Qur’an, dan juga membaca macam-macam doa.
Teladan pada masa ini adalah Hasan al-Bashri. Di peringkat awal ini,
kaum Sufi benar-benar sangat menginginkan ganjaran surga dan sangat
takut akan siksa neraka.5
Akan tetapi pada tahap kedua perkembangan tasawuf, unsur-unsur
kerinduan dan cinta kepada Allah ditambah dalam praktik kezuhudan.
Penekanan pada cinta Ilahi perlahan menggantikan penekanan sebelumnya
pada ketakutan akan siksaan Allah. Perasaan yang biasa disuarakan oleh
kaum sufi pada peringkat ini adalah bahwa ibadah yang mereka lakukan
kepada Allah bukan sebab takut pada siksa neraka dan mengharap surga,
melainkan lantaran cinta dan ibadah yang memang berhak diperoleh allah
SWT. Pada dekade ini di kalangan mereka terdapat tokoh-tokoh
terkemuka, antara lain ialah Rabi’ah, Bayazid, Bustami, dan Syibli.6
Syibli pernah berkata,” Ada tiga jenis kematian: demi kecintaan
pada Allah, demi kecintaan pada akhirat nanti, dan demi kecintaan pada
Allah. Mereka yang mati demi kecintaan pada dunia sesungguhnya adalah
orang-orang munafik, mereka yang mati demi kecintaan pada akhirat nanti
adalah kaum zahid, dan mereka yang mati demi kecintaan pada Allah
adalah kaum arif”7
Tahap ketiga perkembangannya, praktik akhlak dan teori tasawuf
mulai berkembang dan berbuah. Kita akan menjumpai tokoh-tokoh besar
dalam tasawuf akhlak selama periode ini, seperti Abu Sa’id Abu Al-Khayr
5
Abu ‘Ubaidillah Syarif, Kisah Rabiah Al-Adawiyah: Sufi Wanita dan Aroma Cinta Ilahi,
Jasmin Enterprise, Cet.I, Kuala Lumpur, 2002, hal. 6-8
6
Ibid, hal.8
7
Abu ‘Ubaidillah Syarif, Kisah Rabiah Al-Adawiyah: Sufi Wanita dan Aroma Cinta Ilahi,
Jasmin Enterprise, Cet.I, Kuala Lumpur, 2002, hal. 9

8
dan Abu Al-Hasan Al-Kharangani. Dalam periode empat evolusinya,
falsafah tasawuf spekulatif sangat berkaitan erat dengan Kesatuan Wujud
atau Wahdatul Wujud, memasuki masa kejayaan dan kegemilangan luar
biasa. Tokoh yang paling terkemuka pada periode ini adalah Ibnu ‘arabi
dan Al Hallaj.8
Beberapa tokoh terkemuka dalam tasawuf adalah Uwais al-Qarni,
Hasan al-Bashri, Rabi’ah al-Adawiyah, Malik bin Dinar,Sufyan ats-Tsauri,
Asy-Syibli, Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bushtami, Al-Hallaj, Al-
Qusyairi, Al-Ghazali, Abdul Qadir Jailani, Fariduddin al-Attar, Ibnu
‘Arabi, Jalaluddin Rumi, As-Sakandari.9
Hasyim Syamhudi membagi perkembangan tasawuf menjadi
beberapa zaman. Pertama adalah zaman kemajuan, pada zaman ini adalah
permulaan munculnya ilmu tasawuf dalam masyarakat islam.
Penyebabnya adalah kemajuan mereka melihat para pemimpin rakyat yang
bermegah megahan dengan kekuasaannya. Maka mereka memilih untuk
menekuni aktifitas vertikal seperti pada zaman Rasulullah dan para
sahabatnya. Mereka merasa nyaman, sejuk, dan damai dalam kehangatan
bersama Allah.10
Kedua, tasawuf pada zaman kemunduran. Pada saat ini, Eropa
mengalami modernisasi yang ditandai oleh kemajuan-kemajuan dan dunia
Islam mengalami kemunduran disegala bidang setelah selam 700 tahun
mengalami puncak kejayaan dan kemajuan.11 Umat Islam diliputi
kegelapan dengan menyerahkan segala persoalan aktifitas horizontal
kehidupan yang menjadi kajian ilmu tasawuf kepada takdir Tuhan yang
tidak pada tempatnya, serta meratanya taqlid buta yang menyebabkan
pertikaian antar pemikiran dan aliran madzhab. Sementara aktifitas
vertikal umat Islam tenggelam dalam wirid-wirid tarekat yang mengambil
bentuk ilmu tasawuf, kini aktifitas tersebut banyak mengambil bentuk

8
Ibid, hal. 10
9
Mohamad Fathollah, Surat Cinta Para Sufi, Diva Press, Yogyakarta, 2018, hal. 7-9
10
M. Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf, Madani Media, Malang, 2015, hal. 236
11
Ibid, hal. 242

9
wirid tarekat yang mengarah kepada pemujaan berlebihan kepada syeikh
dan mursyid-mursyid tarekat.12
Ketiga, tasawuf pada zaman modern. Ketika modernisasi
menambah kekuatan Eropa dalam hal kemajuan dan peradaban. Umat
Islam menjadi terperanjat, sadar akan segala kekurangannya. Menghadapi
berbagai kemunduran yang dihadapi umat Islam, khususnya aktifitas
horizontal dan aktifitas vertikalnya, terdapat dua pola tokoh umat Islam
dan para pemimpinnya. Pola pertama, para pemimpin mengajukan
perubahan pola pemikiran melalui beberapa tulisan. Seperti Muhammad
Abduh, mengungkapkan bahwa umat Islam untuk mencapai kemajuan
kembali harus kembali kepada Islam sejati, seperti ajaran-ajaran
kemasyarakatan senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman,
taqlid haru dihapuskan dengan ijtihad, dan Islam sebenarnya memberi
penghargaan pada akal dan wahyu.13
Pola kedua, para pemimpin dan tokoh umat Islam terus melakukan
aktifitas vertikal, memohon kekuatan lahir batin kepada Allah SWT
melalui gerakan-gerakan tasawuf dengan prinsip anti penjajah,
menghindar dari kemewahan dunia, meningkatkan zuhud, dan melakukan
perlawanan fisik ataupun perang.14
Terakhir, tasawuf pada zaman kontemporer. Zaman kontemporer
adalah zaman dimana aktiftas horizontal ditandai oleh kesadaran akan arti
pentingnya kemanusiaan, lingkungan, serta keadilan. Banyak organisasi-
organisasi baru yang yang mengatasnamakan peduli kemanusiaan dan
lingkungan yang pada dasarnya sudah diajarkan oleh Rasulullah semenjak
dahulu. Keberagaman agama, budaya, dan bahasa menjadi problema
zaman kontemporer sekarang dalam aktifitas vertikal maupun horizontal.
Perbedaan tersebut dipahami karena pada zaman Rasulullah segala
problem dan aktifitas horizontal yang dilakukan banyak diorientasikan
kepada petunjuk dan arahan dari Allah SWT dan rasulnya.
12
M. Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf, Madani Media, Malang, 2015, hal. 243
13
Ibid, hal. 245
14
Ibid, hal. 246

10
Namun ada yang menarik di zaman kontemporer sekarang, yaitu
tumbuh suburnya aktifitas vertikal melalui berbagai bentuk dzikir dan
wirid dengan tanpa mengatasnamakan sebuah gerakan tasawuf maupun
tarekat tertentu. Fenomena tersebut justru lahir di tengah-tengah
kehidupan perkotaan yang dipadati kepentingan vertikal tak tersambung
dengan Allah. Semaraknya majlis ta’lim dan pengajian keagamaan yang
seperti ini perlu dikembangkan di zaman kontemporer ini.15

15
M. Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf, Madani Media, Malang, 2015, hal. 249

11
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari pembahasan ini kita dapat mengetahui bahwasanya Islam
mengajarkan hal yang hakiki. Mengajarkan makna kehidupan, mencari kemuliaan
hidup, dan berseruak menjemput kemenangan. Maka dalam tasawuf, ulama-ulama
kita meninggalkan kemewahan dunia karena sebuah sebab untuk mengharapkan
surga dan takut akan neraka. Bukan hanya itu, bahkan Rabi’ah Al-Adawiyah
sengaja meninggalkan dunia karena cintanya kepada Allah Ta’ala. Ilmu ini
bermula dari kejemuan sekelompok orang yang tak mau ikut berdebat dalam hal
ketuhanan, Qur’an, dan fiqh. Adanya penjelasan ini, semoga menjadi kaca
perbandingan dan menjadi sumber pengetahuan, jika ada suatu kekurangan mohon
hendaknya diperbaiki kemudian.

12
DAFTAR PUSTAKA

Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Institute Agama Islam Negeri


Sumatra Utara , Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/ 1982

Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern, PT.Pustaka Panjimas, Jakarta: 1990

Syarif, Abu ‘Ubaidillah, Kisah Rabiah Al-Adawiyah: Sufi Wanita dan Aroma
Cinta Ilahi, Jasmin Enterprise, Cet.I, Kuala Lumpur

Syamhudi, M. Hasyim, Akhlak Tasawuf, Madani Media, Malang

Fathollah, Mohamad, Surat Cinta Para Sufi, Diva Press, Yogyakarta, 2018

13

Anda mungkin juga menyukai