Anda di halaman 1dari 18

BAB XIII

ORIENTASI DALAM TASAWUF

A. Pengertian TaSawuf.
Arti taSawuf secara etimologis terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli,
disebabkab perbedaan pandangan terhadap asal-usul kata tersebut.
Ada beberapa pendapat terhadap asal-usul kata taSawuf itu antara lain:
1. TaSawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya, seorang
sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih saf terdepan dalam salat
berjamaah. Disamping itu juga alasannya, bahwa seoranf sufi akan berada pada garis terdepan
dihadapan Allah Swt.
2. TaSawuf berasal dari kata saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak
tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi
banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur
batinnya.
3. TaSawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik,
karena seorang sufi biasanya memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
4. TaSawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya
kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
5. TaSawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosophi (theo = Tuhan; sophos = hikmat), yang
berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk kebasa yunani karena ajaaran taSawuf banyak
membicarakan tentang ketuhanan.
6. TaSawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain buli kasar. Disebut demikian karena
orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai
lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutera yang biasa dipakai
oleh orang-orang kaya. Abu Nasr as-Sarraj at-Thusi, tokoh fundamentalis taSawuf, mengatakan
bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh,
sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan.

Adapun defenisi tasaawuf (sufi) terdapat beberapa pendapat menurut sejumlah tokoh sufi :
1. Bisyr bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah Swt.
2. Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi adalah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan
renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah Swt, dan baginya tiada
beda antara haerga emas dan pasir.
3. Al-Junaid al-Bagdadi, tokoh sufi modern, mengatakan bahwa taSawuf ialah membersihkan hati
dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah
(kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian,
berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar
keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah Swt,
mengikuti syariat Rasulullah Saw.

Dari beberapa defenisi tersebut, Zakaria al-Ansari meringkasnya yaitu “TaSawuf


mengajarkan cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan
rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama taaSawuf adalah penyucian diri dan tujuan
akhirnya kebahagiaan dan keselamatan abadi”.

B. Perkembangan TaSawuf.
TaSawuf dalam perjelanannya berawal pada masa Rasulullah Saw. sifat umum yang
terdapat pada hampir semua sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali. Untuk itu dengan sedikit demi
sedikit lahirlah filsafat ibadah dan penyelidikan-penyelidikan mendalam dalam cara ini, dan
bersamaan dengan lahirlah mazhab-mazhab rohaniah yang mendalami dan ini semuanya termasuk
dalam kata TaSawuf.
Jadi yang pertama memberi dasar tentang taSawuf, ialah Nabi Muhammad Saw, yang
berdasarkan wahyu dari Allah Swt, berupa syariat pada umumnya dan dengan ilham kepada orang-
orang khususnya.
Kegiatan dan hasil-hasil yang diperoleh Nabi Muhammad Saw. dalam tahannusnya di Goa
Hira dapat disimpulkan atas beberapa unsur :
1. Melatih jasmani dengan banyak berjalan diatas bumi dan selalu menggerakkan tubuhnya.
2. Melatih akal dan fikiran untuk memikirkan apa yang dalam batas maksimal sehingga beliau
melupakan segala yang lain. Apabila seseorang itu telah sampai kepada taraf takut akan Allah,
maka segala yang lain dari Allah akan takut kepadanya.
3. Melenyapkan arti takut keseluruhannya dari perasaan dan pemikiran.
4. Menimbulkan ingatan dan cinta yang bulat kepada Allah.

C. Sumber Ajaran TaSawuf.


Abdul Halim Mahmud berpendapat dalam TaSawuf di Dunia Islam (2002) Para orientalis
dan orang-orang yang menulis tentang taSawuf Islam berusaha untuk mengembalikan sejarah
kehidupan rohani kaum sufi dalam Islam pada suatu sumber yang asing, yaitu India dan Yunani
atau pada sumber lain, diantaranya Alquran dan kehidupan Rasulullah Saw.
Sebagian dari mereka berusaha untuk bersikap moderat (tengah-tengah). Mereka
berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran taSawuf adalah Alquran Al-Karim dan
kehidupan Rasulullah Saw. dari keduanya, terambil benih-benih taSawuf yang pertama. Kemudian
diikuti kebudayaan asing, yaitu India, Yunani, Persia atau Masehi. Itulah yang mempengaruhi
taSawuf dan menjadikannya berkembang. Hingga muncul berbagai pendapat yang menurut
sangkaan mereka, taSawuf jauh sekali dari roh (jiwa) dan watak Islam.
Prof. Louis Masignon mangatakan dengan jelas pengkajian sumber taSawuf masih sangat
jauh bagi kita (para peneliti) untuk menyempurnakannya. Hal ini karena para orientalis dan orang-
orang yang mengikuti jejak mereka berusaha dengan penuh kesungguhan untuk menghubungkan
taSawuf dengan satu sumber yang pasti, atau pada sumber lain termasuk di dalamnya sumber Islam.
Jika demikian, sebagian diantara mereka berpendapat bahwa taSawuf adalah suatu bagian yang
asing dalam Islam dan kemungkinan berasal dari pendeta di Syam (sebagaimana pendapat yang
dikemukakan Marks), atau dari ajaran Plato, dari Zoroasther di Parsi, atau dari Weda Hindu seperti
dikemukakan oleh John.
Sungguh sebagian para orientalis saling berdebat dan saling menyalahkan satu sala
lainnya. Bahkan, satu orang diantara mereka mengubah pendapatnya sendiri hingga menjadi lain.
Hal ini disebabkan perbedaan masa hidup sang orientalis itu sendiri. Thulke misalnya yang pada
mulanya berpendapat bahwa taSawuf Islam berasal dari majusi, kemudian mengubah pendapatnya
hingga berlawanan dengan pendapatnya semula, yaitu bahwa ajaran taSawuf dan semua yang
terkandung di dalamnya, dari kata-kata yang teguh fanatik, kemungkinan berasal dari ajaran dan
kehidupan Nabi Muhammad Saw.
Prof. DR. Abul Ala‟ Afifi berkata, pada pertengahan abad ke-19 Masehi, dimulailah
pencetakan buku-buku (kitab-kitab) di Mesir dan India serta negara lainnya kemudian menyebar,
khususnya di percetakan Bulaq Al-Amiriyyah. Akibatnya, berubahlah jalan pembahasannya secara
ilmiah. Bukan saja dalam masalah taSawuf, bahkan dalam semua cabang-cabang pembahasan
Islam.
Pendapat Nicholson dalam TaSawuf di Dunia Islam (Abdul Halim Mahmud: 2002)
kemudian berubah ketika menulis mengenai bahan tasauf yang meliputi pengetahuan agama dan
akhlak. Ia berkata, selama ini timbulnya tasauf Islam telah dibahas dengan cara yang salah.
Akibatnya, banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatannya berasal dari semua
bangsa dan golongan yang membentuk suatu kerajaan Islam, yang memungkinkan penafsiran
pertumbuhannya dengan penafsiran ilmiah yang cermat dengan mengembalikannya pada satu asal,
seperti Wedanata Hindu, atau Neo-Platonisme, atau menetapkan perkiraan dari sebagian hakikat
yang bukan sepenuh hakikat.
Louis Masignon menguraikan pendapat Nicholson yang terakhir, sebenarnya nicholson
telah menjelaskan bahwa penetapan taSawuf sebagai suatu ajaran asing dalam Islam tidak dapat
diterima. Adapun yang benar sejak lahirnya Islam, kami telah memperhatikan pendapat orang-
orang sufi dan ttelah timbul dalam hati penganut Islam itu sendiri, yakni di saat kaum muslimin
gemar dan tekun membaca, mempelajari Alquran dan Hadis-hadis, dan juga terpengaruh dengan
peristiwa-peristiwa yang menimpa golongan ini. Meskipun materi taSawuf Islam adalah Arab yang
asli, ada baiknya bila kamu dapat mengetahu kebaikan pengaruh kebaikan pengaruh asing yang
dimasukkan kedalam dan tumbuh dalam lingkungannya.
Mereka juga berpendapat bahwasanya taSawuf tidak berasal dari satu sumber. Hanya saja
pada mulanya berasal daari Alquran. Itulah sumber terpenting dari taSawuf sejak pertumbuhan dan
kehidupannya.
Adapun sumber kedua adalah hadis-hadis dan fiqih serta ilmu-ilmu lain yang bersifat
keislaman. Sumber yang terakhir adalah budaya asing yang bersifat ilmiah maupun umum, yang
terdapat pada masyarakat Islam pada permulaannya.
Imam al-Ghazali dalam TaSawuf di Dunia Islam (Abdul Halim Mahmud: 2002) membaca,
baik dengan kitab-kitab kaum sufi tersebut maupun kitab-kitab filsafat Yunani serta membahasnya
dengan pembahasan yang dalam, namun tidak menjadikannya seorang sufi. Maka jelas baginya
bahwa yang terpenting di antara kekhusussan mereka, menurut batas ungkapanya, adalah apa yang
tidak mungkin dicapai dengan mengajar, melainkan dengan zuqiyah (perasaan batin) maupun
dengan praktik.
Ini menunjukkan bahwa taSawuf bukan merupakan kebudayaan praktis yang bisa dicapai
dengan usaha dan cenderung terpengaruh oleh suatu hal. Akan tetapi, taSawuf adalah perasaan
batin dan musyahadah (penyaksian) yang dapat dicapai manusia dengan jalan mengasingkan diri
dari pengaruh dunia, melatih diri, perjuangan, kerinduan, menyucikan hati, mendidik akhlak,
mengikhlaskan hati untuk berzikir kepada Allah Swt. inilah hakikat perasaan seorang sufi.
Kekhususan yang paling khusus dan utama di antara kekhususan taSawuf adalah perasaan
batin yang tidak mungkin diungkapkan. Seseorang dapat mencapainya hingga derajat-derajat yang
tidak dapat diuraikan dengan tulisan. Orang yang berusaha untuk mengungkap tentangnya, akan
menimbulkan kesalahan yang nyata, yang mustahil untuk dihindari.
D. Aliran taSawuf.
Secara umum para ahli taSawuf membagi taSawuf menjadi 3 (Tiga) macam : taSawuf
akhlaki, taSawuf amali dan taSawuf falsafi. Ketiga jenis taSawuf tersebut pada prinsipnya
mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun
ketiga jenis taSawuf tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di
gunakan.
Pendekatan-pendekatan dari masing-masing jenis taSawuf, sekaligus merupakan
spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis taSawuf tersebut. Para taSawuf yang bercorak
akhlaki, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” (teori-teori ‫ )ألخالق الكريمة‬atau
biasa di sebut pencerdasan emosi. Haidar Putra Daulay berpendapat dalam Dinamika Pendidikan
Islam (2004) taSawuf akhlaki adalah aplikasi taSawuf dalam akhlak mukmin yang terpancar dari
bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah lakunya. TaSawuf akhlaki menuntut
keikhlasan yang murni semata-mata karena Allah. Sikap jiwa dididik agar memandang segala
sesuatunya karena Allah dan akan kembali kepada Allah.
Memandang sesuatu karena Allah akan timbul kecintaan yang mendalam kepada-Nya.
Cinta kepada Ilahi yang mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada makhluk-Nya, baik
kepada sesama manusia maupun alam semesta. Atas dasar cinta itulah terjadi komunikasi yang
harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta. Inilah kawasan taSawuf akhlaki dalam
kehidupan muslim.
TaSawuf falsafi adalah permasalahn taSawuf yang sangat rumit dan ditekuni oleh orang-
orang khawas saja. Dalam taSawuf falsafi ditemukan berbagai istilah yang rumit seperti, wihdatul
wurud, hulul, ittihad, fana, baqa, syathahat dan sebagainya. Memang konsep-konsep ini termasuk
taSawuf Syiah bukan Sunni.
Untuk taSawuf yang bercorak falsafi, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
“rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa di sebut pencerdasan inteligen. Sedangkan taSawuf
yang bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”, memperbanyak
aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual.
Ketiga bentuk corak taSawuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Allah Swt
secara mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Allah tidak
bisa di jangaku atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Allah Swt
harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat
dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam.
Berikut adalah ajaran inti taSawuf yang dikemukakan menurut pembagian taSawuf itu
sendiri, yakni:
1. TaSawuf akhlaki
Taswuf Akhlaki ialah ajaran taSawuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan
pembinaan serta pengembangan moral agar seseorang berbudi luhur atau berakhlak mulia. Dari
pengertian tersebut, maka menurut pandangan orang-orang sufi yang menganut aliran taSawuf
akhlaki sebagai berikut :
a. Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantar seseorang agar bisa dekat dengan Allah Swt.
hanyalah dengan jalan “mensucikan jiwa”.
b. Bahwa untuk mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-riyadhah
yang ketat. Riyadhah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan tingkah laku secara
ketat agar terbentuk pribadi yang berahklak mulia.
c. Bahwa latihan mental tersebut bertujuan untuk mengontrol dan mengendalikan nafsu, seperti
godaan-godaan yang sifatnya duniawi.
d. Bahwa pengendalian nafsu di perlukan, sebab nafsu diabggap sebagai penghalang atau tabir
antara manusia dengan Tuhan.
e. Bahwa untuk membuka tabir tersebut agar manusia dapat dekat dengan Allah Swt. Maka para
sufi membuat suatu sistematika pendekatan takhalli (mengosongkan) dan tahalli (mengisi.

2. TaSawuf Falsafi
TaSawuf falsafi merupakan ajaran taSawuf yang memadukan antara visi mistis
dengan visi rasional. TaSawuf falsafi berbeda dengan taSawuf akhlaki dan amali. Sebab taSawuf
falsafi menggunakan term filsafat dalam mengungkap ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang mempengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya term-term
filsafat dalam taSawuf ini menyebabkan bercampurnya ajaran filsafat dan ajaran-ajaran dari
luar Islam seperti Yunani, India, Persia, Kristen dalam ajaran taSawuf Islam. Tetapi perlu
diketahui bahwa orisinalitas taSawuf tetap ada dan tidak hilang. Sebab para sufi tersebut menjaga
kemandirian ajarannya.
Walaupun taSawuf falsafi banyak menggunakan term filsafat, namun tidak bisa dianggap
sebagai filsafat. Sebab ajaran dan metodenya dipadukan pada rasa (zauq). Sebaliknya tidak
dikategorikan sebagai taSawuf murni, sebab ajarannya sering diungkap dalam bahasa filsafat
yang sering cendrung pada pantaisme.
Contoh dari ajaran taSawuf yang bercorak filsafat antara lain seperti terlihat pada teori al-
fana’, al-baqa’, dan al-ittihad dari Yazid Bustami, teori hulul dari Mansur al-Hallaj, dan teori
wihdatul wujud dari Ibn Arabi.

3. TaSawuf Amali
TaSawuf amali yaitu ajaran taSawuf yang mementingkan pengalaman-pengalaman ibadah
baik secara lahiriah maupun batiniah. TaSawuf amali di anggap oleh sebahagian sufi sebagai
bagian dan lanjutan dari taswuf akhlaki. Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat
dengan Allah Swt. Maka seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk
memperbanyak aktifitas, amalan lahir dan batin.
Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung aspek lahiriah dan batiniah,
maka cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan batin. Kedua aspek
ini di bagi menjadi empat bagian.
a. Syariah yaitu undang-undang, aturan-aturan, hukum Allah, atau ketentuan tentang halal,
haram, wajib dan sunnah hal ini menyangkut aspek lahiriah (eksoterik). Syariah menurut sufi
adalah amalan-amalan lahir yang fardukan dalam agama yang biasanya dikenal sebagai “rukun
Islam” yang sumbernya dari Alquran dan Sunnah. Amalan tersebut bukan hanya yang sifatnya
wajib tetapi semua sunnah, yang di amalkan dengan penuh keikhlasan sehingga di tetapkanlah
cara-caranya waktunya dan jumlahnya. Oleh karena itu, sufi yang meninggalkan syariah
dianggap sesat, sebab tanpa mengamalkan hukum Allah secara baik, dan tuntas lewat amalan
ibadah berarti tidak tunduk pada aturan Allah.
Syariat merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syariat itu sendiri.
Keduanya adalah satu, tidak akan sempurna satu sisi tanpa sisi yang lain. Allah Swt.
telah menggabungkan keduanya, oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika seseorang mau
memisahkan sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah Swt.
b. Thariqah yaitu jalan, cara, metode. Thariqah menurut sufi ialah perjalanan menuju Allah, dan
dalam perjalanan tersebut di tempuh melalui suatu cara, atau melalui suatu jalan agar dengan
Tuhan. Sebab meurut sufi tanpa suatu cara atau metode khusus yang di sebut thariqah akan
sulit sampai pada tujuan. Maka di tetapkanlah ketentuan yang sifatnya batiniah, dengan melalui
cara, metode setahap demi setahap yang dikenal dengan istilah ‫مﻘام‬.
Menurut sufi hidup ini penuh dengan rahasia, dan rahasia itu tertutup oleh tabir
sebenarnya tabir itu adalah “hawa nafsu” kita sendiri. Tabir itu sebenarnya bisa tersingkap
(terbuka) asal menempuh suatu cara (thariqah) lihat Alquran surah al-Jin ayat 16 :

       

Artinya : “dan bahwasanya : Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam). Benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang
banyak).

Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat itu merupakan satu sistem atau metode
untuk mengenal dan merasakan adanya Allah Swt atau melihat Allah dengan mata hati.
c. Haqiqah diartikan sebagai kebenaran. Haqiqah biasa juga diartikan puncak, atau sumber
segala sesuatu. Haqiqah menurut sufi merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal,
dan merupakan inti dari syariah. Haqiqah di peroleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan
berkat latihan yang dilakukan sufi. Dengan sampainya sufi ke tingkat haqiqah, berarti telah
terbukalah baginya rahasia yang ada dalam syariah, maka sufi dapat memahami segala
kebenaran. Atau dengan kata lain haqiqah adalah mengetahui inti yang paling penting dalam
diri sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi baginya.
Haqiqah tidak bias terlepas dari syariah, dan bertalian erat dengan tariqah dan juga
terdapat dalam ma’rifah. Dalam pandangan kaum sufi, makna hukum luar (syariah) harus utuh
dan sinkron dengan makna hokum dalam (haqiqah), maka setiap manusia harus tunduk pada
syariah sekaligus tunduk pada realitas sebelah dalam (thariqah dan haqiqah), sebab manusia
sendiri berada diantara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang ruhani.
d. Ma’rifah yaitu pengetahuan dan pengenalan. Sedangakan menurut kaum sufi berarti
penghetahuan mengenai Tuhan melalui kalbu atau hati nurani. Pengertian tersebut sedemikian
lengkapnya sehingga jiwa seorang sufi sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya.
Dikatakan oleh para sufi, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
melihat Tuhan. Inilah sebagai tujuan utama dalam ilmu taSawuf.
Melihat gambaran dari syari’ah, tariqah, haqiqah, dan ma’rifah, maka dapat dikatakan
bahwa ma’rifah hanya bias dicapai bila melalui syari’ah dan ditempuh berdasarkan tariqah lalu
bisa memperolah haqiqah. Apabila syariah dan tariqah ini sudah dikuasai maka timbullah
haqiqah lalu tercapailah tujuan yang diinginkan oleh sufi yaitu ma’rifah.
Menurut kaum sufi pengalaman syariah Islam tidaklah sempurna jika tidak dikerjakan
secara integrative dengan urutan-urutan sebagai berikut:
a. Syariah merupakan peraturan.
b. Tariqah merupakan cara melakukan peraturan.
c. Haqiqah merupakan keadaan yang dirasakan setelah melaksanakan peraturan tersebut.
d. Ma’rifah merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh sufi.

Bila seseorang telah menjalani tariqah yang seimbang dengan syariah lahir dan batin
menuju pada puncak rahasia, maka tercapailah suatu kondisi mental yang dinamakan insan kamil
atau waliyullah yaitu orang-orang yang selalu dekat dengan Allah Swt. dan mendapat karunia-
Nya sehingga melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa yang dinamakan al-karamah.
Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat itu merupakan satu sistem atau metode
untuk mengenal dan merasakan adanya Allah Swt atau melihat Allah dengan mata hati.
1. ‫ ( مﻗاماﺕ‬Maqamat )
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, sufi memberikan suatu metode atau cara atau
jalan. Jalan itu berisi stasiun yang disebut ‫مﻗاماﺕ‬. Maqamat berasal dari bahasa Arab yang
artinya tempat orang berdiri. Selanjutnya istilah tersebut berkembang lebih jauh dengan arti
tingkatan, atau tahapan, atau jalan panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Allah Swt. Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak
kelihatan dan tercermin dalam perilaku akhlak yang mulia. Maqamat ini sebagai hasil dari
mujahadah (kesungguhan) dan riyadah (latihan) berkesinambungnan yang dilaksanakannya
serta putusnya hubungan dengan selain Allah.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa maqamat merupakan suatu
tingkatan, tahapan yang dicapai oleh sufi dari usahanya yang keras dan sungguh-sungguh serta
perjuangannya terus menerus dalam rangka mendekatan diri kepada Allah Swt.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul perbedaan-pendapat di kalangan sufi
bahwa referensi tentang jumlah maqamat tidak selamanya sama. Nampaknya perbedaan
tersebut berfariasi baik segi jumlah maupun formasi maqamat itu. Berikut penulis paparkan
pendapat beberapa ulama:
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi ada sepuluh maqatat dengan formasi sebagai
berikut: taubat, zuhud, sabar, fakir, tawadu’, takwa, tawakkal, ridha, mahabbah dan ma’rifat.
Sedang menurut al-Gazali ada delapan bentuk maqamat: taubat, sabar, fakir, zuhud, tawakkal,
mahabbah, ridha, dan ma’rifat.
Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa
maqamat hanya ada tujuh macam yaitu: taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal dan rida.
Sedangklan menurut Abu. Qasim Abd. Karim maqamat hanya ada enam yaitu: taubat, wara’,
zuhud, tawakkal, sabar, dan rida.
Kendati ada perbedaan ulama tentang jumlah formulasi maqamat, tetap
ada tingkatan yang sama disepakati dan mesti ada sebagai unsur dari maqamat tersebut, sebagai
mana yang disebutkan oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan diterima
secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar,Tawakkal dan Ridha. Berikut penjelasan singkat kelima
macam maqamat tersebut:
a. ‫الﺗﻭﺑة‬ (taubah) ialah meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan kejahatan seperti
yang telah pernah dilakukannya karena rasa takut akan kebesaran Allah Swt., dan menjauhkan
diri dari kemurkaannya. Para sufi berpendapat bahwa taubat adalah maqamat pertama.
Mengingat bahwa taubat merupakan metode atau cara untuk mengikis semua sifat yang jelek.
Menurut para sufi, dosa itu adalah pemisah antara manusia dengan Allah, sebab dosa itu
adalah sesuatu yang kotor sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang yang senantiasa
mensucikan dirinya dari dosa dengan cara bertaubat. Inilah stasiun pertama yang harus dilewati
oleh para sufi.
b. ‫( الﺯﻫﺩ‬zuhud) diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari hidup
kebendaan. Namun al-Gazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Sedangkan al-Qusyaeri menyebut
zuhud yaitu tidak merasa bangga dengan kehidupan dunia yang telah ada di tangan dan tidak
merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya. Dari pengertian ini dapat
dipahami bahwa zuhud intinya adalah mengurangi keinginan terhadap kenikmatan dunia
supaya dapat membawa kekhusyuan mengabdi dan dekat dengan Allah Swt.
c ‫( الﺻﺑر‬Shabar), secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar adalah sebuah kondisi
mental dalam mengendalikan hawa nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan agama.
Sabar yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan konsisten dalam melaksanakan perintah
Allah dan meniggalkan larangnannya, tahan uji mengahdapi kesulitan dan cobaan yang
ditimpakan kepadanya.
d. ‫( الﺗﻭﻛﻞ‬Tawakkal). Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap pasrah secara total setelah
melaksanakan suatu usaha. Tawakkal juga berarti berpasrah diri sepenuhnya kepada Allah
Swt dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut sufi tawakkal tidak cukup hanya
sekedar penyerahan diri seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan merefleksikannya
melalui sikap dan tindakan dalam segala hal.
e. ‫( الرﺿا‬Ridha), secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut Harun Nasution rida
berarti menerima qada dan qadar Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua perasaan benci
di dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa ialah perasaan senang dan
gembira walaupun ditimpa mala petaka ia tetap senang dan rida menerimanya sebagaimana
ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.
Sebagai tambahan bahwa term maqamat muncul sebagai suatu istilah dalam
taSawuf pada abad III dan IV H. dan yang dianggap pelopornya antara lain Haris al-Muhasibi
(165-234 H / 781-857 M), dipandang sebagai orang pertama yang membahas maqamat. Selain itu
juga dikenal Abu Said al-Kharaz (227H) dan Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari (al-
Harawi) (361-481H).

2. ‫( اﻷﺣﻭاﻞ‬Ahwal)
Selain maqamat, dalam taSawuf juga dikenal istilah ahwal. Ahwal merupakan keadaan
mental, seperti keadaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Ahwal Juga
diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari
Allah Swt. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal
sangat sulit untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara logis, sebab ia termasuk
pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi yang yang pernah mengalaminya. Karena itu
ahwal sangat bersifat subjektif dan personal.
Dalam taSawuf kemudian dikenal bermacam ahwal. Berikut penjelasannya:
1. ‫ الﺧﻭﻑ‬: yaitu merupakan sikap mental dengan merasakan ketakutan pada Allah Swt, karena
kurang sempurna pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut dan
khawatir jika Allah SWT tidak senang padanya. Oleh karena itu, sufi selalu berusaha agar
perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah Swt. Sikap seperti ini
memberikan motivasi untuk berbuat baik dan mendorong untuk menjauhi maksiat.
2. ‫ الرﺟاﺀ‬: yaitu merupakan sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia Ilahi. Allah
yang maha pengampun dan penyayang, maka sufi penuh „harap‟ memperolah ampunan dan
limpahan rahmat. Sikap raja ini akan memberi semangat dalam riyadhah dan mujahadah
sehingga dengan penuh gairah menanti harapan datangnya rahmat Allah Swt.
3. ‫ الﺷﻭﻖ‬: yaitu Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi untuk ingin bertemu dengan
Tuhannya. Hasratnya bergelora untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Dalam hal ini,
pengetahun, pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada Allah Swt,
menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan bergairah yang melahirkan cinta dan obsesi
yang kuat untuk bertemu dengan yang dicintai.
4. ‫ اﻷﻧﺲ‬: yaitu kedaan jiwa yang sepenuhnya terfookus kepda Allah Swt. Tidak merasa tidak
mengingat dan tidak mengharap kecuali kepada Allah Swt.
Dari penjelasan di atas, maka ddapat diketahui bahwa ahwal itu sebagai kondisi mental
yang sedang dirasakan dan dinikmati secara damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat
diketahui bahwa jalan yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh
hubungan batin dan “bersatu” dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara yang mudah.
Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan penrapannya.
Maqamat diperoleh melalui usaha yang berat dan keadaan atau kondisinya tetap bersifat stabil dan
tidak berubah. Seperti kesabarnnya menerima cobaan sama saja ketika menerima nikmat. Sikap
hidupnya dapat dilihat dari prilaku keseharian sufi seperti kesabaran, tawakkal, suzud dan
kerrelaan. Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat (bukan unsur usaha dan
perjuangan), keadannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih,
kadang senang). Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak bisa dilihat orang lain), dan
hanya bisa dirasakan dan dipahami serta diketahui oleh orang yang mengalaminya.
Walaupun keduanya mempunyai perbedaan, namun keduanya sangat berkaitan. Karena
keduanya mempunyai dua sisi yang sama dan sulit dipisahkan. Hal ini disebabkan makin
tinggi tingkat maqamat yang dicapai oleh seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang
diperolehnya dan dirasakannya.

E. Tujuan TaSawuf.
Pada dasarnya hakikat taSawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Melalui
penyucian diri dan perbuatan-perbuatan („amaliyah). Oleh karena itu, beberapa tujuan taSawuf
adalah ma‟rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas). Inti sari ajaran TaSawuf
bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Allah Swt. hingga seseorang akan merasa berada
di hadirat-Nya.
TaSawuf memliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqorrub kepada Allah Swt.
Namun, TaSawuf tidak boleh melanggar apa-apa ynag telah jelas diatur dalam Alquran dan sunnah
, baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan, Mustafa Zuhri mengatakan
bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa
nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima
Nur cahaya Allah.
Ada beberapa peran TaSawuf dalam kehidupan modern, antara lain:
a. Menjadikan manusia berkepribadian yang saleh dan berakhlak baik
b. Lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.
c. Sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia (dekadensi moral) .
Dengan tiga pendekatan tadi, maka tujuan mempelajari taSawuf bukanlah untuk bisa
melihat Allah dengan mata telanjang, juga bukan untuk menjadi sakti penuh karomah sebagaimana
penilaian kebanyakan orang, melainkan untuk beribadah dan beramal saleh secara baik, untuk
memelihara hati dari kotoran-kotoran hati serta hal-hal yang tercela, sehingga hati menjadi jernih.
Hati yang jernih seperti itu akan dapat menangkap apa-apa yang tersirat dari yang tersurat, dapat
memahami hikmah dari segala ketentuan Allah Swt. atas diri kita.
Tentang taSawuf, Ibnu Khaldun menjelaskan, adalah semacam pengembangan ilmu
syariah yang semula dimaksudkan untuk tekun beribadah dengan memutuskan pertalian terhadap
segala hal selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak pesona dunia serta membenci
segala hal yang bisa memperdaya orang. Untuk itu penganut taSawuf perlu menyendiri dalam
menapaki jalan Tuhan dengan berkhalwat dan ibadah.
Para ulama taSawuf sepakat, taSawuf juga mendidik budi pekerti manusia agar tidak
tamak, tidak ujub dan tidak riya, tapi menjadi manusia yang ikhlas dalam beribadah, rendah hati
dan damai dalam perbuatan. Dengan demikian kita bisa menjadi sangat dekat dengan Sang Maha
Pencipta, Gusti Allah Yang Maha Suci. TaSawuf menurut tokoh sufi Al Junaid, adalah keluar dari
budi serta perangai tercela, dan masuk ke budi dan perangai yang terpuji.
Buya Hamka dalam buku Tasauf Moderen yang ditulis dan diterbitkan pertama kali pada
tahun 1939 menyatakan, di zaman Nabi Muhammad hidup, semua orang menjadi sufi, yaitu sufi
sepanjang artian Al Junaid tadi. Baik Nabi dan sahabatnya yang berempat atau yang beribu-ribu itu,
semuanya berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus, dan jika beroleh
kekayaan, tidaklah kekayaan itu lekat di dalam hatinya, sehingga merasa sedih bila harta itu habis.
Menurut Buya Hamka, mereka bermaksud memerangi hawa nafsu, dunia dan setan, tetapi
kadang-kadang menempuh jalan yang tidak digariskan agama, bahkan mengharamkan hal dan
barang yang dihalalkan Allah, menyumpahi harta, tidak mau mencari rezeki dan membenci
kerajaan. Hingga tatkala balatentara Mongol masuk ke negeri Islam, tidak ada lagi senjata yang
ampuh buat menangkis, sebab kekuatan Islam telah terbagi, terpecah dan lemah.
Para penganut taSawuf yang seperti itu, telah tenggelam dalam khalwat dengan pakaian
sufinya yang amat sederhana, tidak peduli apa-apa, tidak menangkis serangan, karena “lezat” di
dalam kesunyian taSawufnya. Pada hemat Buya, hal itu tidak berasal dari pelajaran Islam. “Zuhud
yang melemahkan itu bukanlah ajaran Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang. Semangat
berkurban, bekerja, bukan bermalas-malasan, lemah-paruh dan melempem”.
Prof. KH. Ali Yafie dalam bukunya Jati Diri Tempaan Fikih mengajarkan, ruang lingkup
kajian taSawuf itu adalah mengenai pengenalan diri manusia, terutama pengenalan batinnya.
Berdasarkan pengenalan itu, taSawuf memberikan kiat-kiat pembinaan manusia agar bisa memiliki
sifat kebersihan, kesederhanaan dan pengabdian. Bahasa populernya bisa hidup bersih, sederhana
dan mengabdi.
Sejalan dengan Kyai Ali Yafie dan Buya Hamka, Prof. Dr. H. Abubakar Aceh dalam
Pengantar Ilmu Tarekat, Uraian Tentang Mistik, penerbit Ramadani 1963/1986, juga membuat
rumusan yang sederhana mengenai taSawuf, yakni mendidik budi pekerti manusia agar tidak hidup
tamak, tetapi menjadi manusia yang wara‟, yaitu yang ikhlas dalam ibadah serta damai dalam
perbuatan.

F. Makna Dekat dengan Allah


Kita sudah maklum bahwa Allah Swt. adalah dekat dengan makhluknya. Tetapi hamba-
hamba Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah Swt., Bagaimana
pengertian hal keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia
Maulana Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai
berikut:
"Dekat anda kepada-Nya ialah bahwa anda melihat dekat-Nya. Jika tidak
(demikian), maka di manakah anda dan di manakah wujud dekat-Nya?
Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti, karena itu marilah kita
jelaskan sebagai berikut:
1. Pengertian "dekat Allah Swt dengan makhluknya” ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan
(qudrat) dan pada kehendak (iradah). Dekat-Nya Allah dengan makhluknya pada Ilmu artinya
segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan bathin,
semuanya diketahui oleh Allah Swt. dengan Ilmu-Nya sejak azali, artinya sejak alam mayapada
ini belum diciptakanNya, selain yang ada hanya Dia, yakni Allah Swt.
Dekatnya Allah dengan makhluknya pada 'kekuasaan' (qudrat), artinya segala sesuatu apa
pun, baik yang adanya dari tiak ada atau kebalikannya, ataupun apa saja yang terjadi, sama sekali
tidak luput dari kekuasaanNya atau mqudratNya. Maka demikian pulalah dengan iradah-Nya
(kehendakNya). Dan atas inilah semua tafsir dari dirman-firman Allah Swt yang menggambarkan
dekat-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya sebagai berikut di bawah ini, firman Allah :

              

Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS. Qaf : 16)
      

Artinya: Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat (QS al-
Waqi‟ah : 85)

                  

                    

Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam
di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya
dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya, dan Dia bersama kamu di mama
saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hadid : 4).

2. Pengertian dekat kita kepada Allah ialah kita merasakan dengan "Ilmul-Yaqin" bahwa: Alam
maya pada ini pada hakikatnya tidak ada, yakni tidak ada padanya wujud yang hakiki, karena ia
berasal dari tidak ada dan akan kembali kepada tiada. Atau asalnya tiada, kemudian ada dan
seterusnya dengan kehedak Allah dan kekuasaanNya. Ia akan ada terus, seperti syurga dan
neraka. Wujud yang hakiki, yakni wujud yang tiada permulaannya dan tiada pula disudahi
dengan tiada, ialah wujudnya Allah Swt. Dia tidak diliputi oleh tempat dan zaman atau masa.
Bahkan Dia tidak seumpama dengan sesuatu apa pun dalam alam mayapada ini.
Apabila hal keadaan ini semua sudah merupakan ilmul yakin bagi kita, kemudian masuk
meresap ke dalam bathin penghayatan kita, maka barulah ketika itu hati dan semua perasaan kita
dapat melihat bahwa Allah Swt. dekat dengan kita. Dia melihat kita dan melihat segala gerak-gerik
kita, lahiriah dan bathiniah kita. Barulah ketika itu kita merasakan cinta kepada-Nya dengan
melaksanakan apa-apa yang diridhai-Nya, dan begitu takut padaAllah Swt. apabila terkerjakan apa-
apa yang tidak diridhai-Nya. Dan pada ketika itu pula kita senantiasa menjaga dan memelihara adab
dan akhlak terhadap-Nya dengan adab-adab kita sebagai hamba-Nya kepada Dia yang bersifat
dengan kemahasempurnaan dalam sekalian sifat-sifatNya.
Penghayatan yang sedemikian rupa adalah merupakan zikrullah yang paling penting yakni
ingat kepada Allah Swt. dalam segala pekerjaan lahiriah yang sedang kita kerjakan, apakah itu
bersifat dunia atau bersifat agama. Dan apalagi jikalau penghayatan yang demikian itu kita bawa
serta ke dalam salat kita dan ibadat-ibadat kita lainnya.
Yang demikian itulah disebut dengan hakikat "Al-Ihsan", yakni keterpaduan antara "Iman"
dengan "Islam", atau dengan kata lain keterpaduan antara kepercayaan kepada Allah Swt. dengan
pelaksanaan ajaran-ajaran-Nya seperti apa yang telah diwahyukan kepada para Nabi sepanjang
zaman, sejak Adam a.s. hingga Nabi dan Rasul-Nya terakhir Muhammad Saw.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian "dekat" di sini bukanlah maksudnya
pendekatan dalam arti biasa dan umum menurut kelaziman kita sebagai makhluk-Nya, tetapi adalah
menurut arti dan makna seperti yang kita uraikan di atas.

G. TaSawwuf dalam Kehidupan Modern


Haidar Putra Daulay (2004) sebetulnya filsafat Barat yang materialistik telah lama
mempengaruhi manusia dan dampaknya terlihat dalam kehidupan manusia dengan faham-faham,
seperti materialistik, indivisulistik, rasionalistik. Kehidupan materialistik yang merasuki hampir
seluruh sektor kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan materialistik ini. Segala
sesuatu dipertimbangkan atas dasar materialistik dan dalam pikiran manusia modern selalu
memikirkan agar memperoleh keuntungan material dari setiaap kegiatan ini. Di sisi lain manusia
tidak lagi mempertimbangkan dari sumber yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam bidang individualistik, manusia juga mempertanyakan apa untungnya bergaul dan
berkomunikasi dengan orang lain secara materi. Keterasingan manusia di abad modern ini sudah
mulai terasa, terasing dengan sesama manusia lainnya. Karena dampak dari masing-masing sibuk
dengan persoalannya sendiri-sendiri.
Kehidupan rasionalistik dalam kehidupan modern adalah kehidupan yang mana segala
sesuatu didasarkan kepada pertimbangan akal. Rasionalis yang diartikan dengan mempergunakan
akal semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah adalah baik dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Namun akal sebagai satu-satunya alat untuk memperoleh hakikat kebermaknaan
hidup, sebagaimana yang dianut oleh rasionalistik Barat adalah tidak tepat dan bertentangan dengan
ajaran Islam.
Sebagai makhluk multidimensional, selain akal manusia memiliki qalb, fuad, nafs, ruh,
sebagai dimensi rohaniah. Manusia dapat menangkap hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh akal
melalui dimensi rohaniah tersebut. Mencari hakekat kebermaknaan hidup dengan mengandalkan
akal semata-mata sudah lama ditentang oleh Al-Ghazali.
Dalam kitabnya al-Munkiz min al-Dhalal, beliau menceritakan pengalaman sufinya. Pada
tahap awal beliau mencari kebenaran lewat indranya dan beliau merasakaan ketidakpuasannya,
karena hanya menipu. Kemudian beliau mencari hakikat kebenaran lewat akal. Dalam tahap ini
beliau mempelajari ilmu-ilmu yang banyak mempergunakan akal, seperti ilmu kalam dan filsafat,
namun beliau tidak puas juga dengan kebenaran yang diperolehnya.
Selanjutnya pengembaraan rohaniahnya memasuki dunia sufi. Secara terus terang beliau
memuji kehidupan sufi tersebut. Kebenaran yang diungkap dalam dunia sufi tidak lagi berdasarkan
kepada kebenaran akal semata-mata. Kebenaran sudah memasuki kawasan rohaniah lainnya, yaitu
qalb. Disini muncullah kebenaran zauq.
Apakah kebenaran itu hanya kebenaran sensual dan rasional semata yang hanya didekati
oleh filsafat positivisme dan rasionalistik saja ? Banyak ilmuan yang membantah bahwa kebenaran
itu hanya kebenaran sensual dan rasional saja. Ternyata diatasnya masih ada kebenaran etik dan
kebenaran transendental.
Untuk sampai kepada kebenaran etik dan kebenaran transendental, manusia tidak mungkin
hanya mempergunakan rasio saja, karena telah memasuki wilayah rohaniah qalb, fuad yang
dibarengi landasan imani.
Relevankah kehidupan taSawuf dengan dunia masa kini ? Haidar Putra Daulay
berpendapat dalam Dinamika Pendidikan Islam (2004) mengatakan bertolak dari kenyataan
fenomena-fenomena dunia modern masa kini sebagaimana dipaparkan diatas, maka manusia
mestilah kembali kepada inti hakikat keberagamaan, yaitu menghidupkan masalah spritual. Untuk
itu wilayahnya yang tepat adalah kehidupan taSawuf.
TaSawuf yang dimaksudkan di sini tentunya taSawuf yang telah diaktualisasikan dalam
kehidupan Muslim. Oleh sebab itu reinterpretasi baru terhadap term sufi perlu dilakukan, agar
kehidupan taSawuf merupakan bagian dari kehidupan Muslim secara keseluruhan. Peristilahan-
peristilahan dalam kehidupan modern perlu diinterpretasikan dalam bentuk baru yang tidak
menghilangkan makna esensialnya dan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan modern.
Misalnya term faqr, tentu tidak lagi diartikan sebagai orang miskin materi yang tidak
punya apa-apa dan jauh dari dunia. Faqr dapat diinterpretasikan dengan arti orang yang senantiasa
merasa faqr berhadapan dengan kekayaan Allah Swt, walaupun sebetulnya dia sendiri tergolong
seorang konglomerat ternama. Hal ini akan memiliki implikasi kepada kehidupannya. Diantaranya,
jauh dari sikap sombong, tamak, individualis, bakhil dan senantiasa bersyukur atas karunia Allah.
Term zuhud tidak lagi diartikan dengan orang yang membelakangi dunia, lari dari
kehidupan dunia, suka menyendiri, dan hidup dalam kemiskinan. Zuhud dapat diinterpretasikan
hidup sederhana sesuai dengan level seseorang. Misalnya seseorang dengan ukuran materi yang
dimilikinya mampu membeli mobil seharga ratusan juta, cukup dibelinya yang harganya puluhan
juta saja dan jumlahnya cukup berdasarkan kebutuhannya saja. Selebihnya itu diinfaqkannya dan
sebagainya. Dalam mempergunakan karunia Allah terhindar dari sombong, takabbur, dan rasa ingin
dipuji manusia atau menegakkan gengsi.
Zikr merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari kehidupan taSawuf. Zikr dapat
dilaksankan di mana saja, baik lewat lisan, pikiran dan perasaan, terutama tindakan. Berpikir lewat
hal ini semuanya tidak akan mengganggu aktifitas kehidupan seseorang dalam alam modern. Term-
term lain dapat juga diberi interpretasi yang tidak menghilangkan esensi yang sesungguhnya dari
peristilahan-peristilahan tersebut.
Dalam bidang ibadah, seseorang dapat lebih menyempurnakan hablumminallah-Nya
dengan jalan memperbanyak salat, terutama salat malam, puasa sunat, senin dan kamis, membaca
Al-Quran. Jika seseorang merasakan hubungan yang akrab dan mesra dengan Allah lewat ibadah,
maka mengerjakannya merupakan suatu kegembiraan yang luar biasa, semacam tamasya rohaniah.
Pada tingkat pelaksanaannya, ibadah bukan lagi sekedar membayar hutang, tetapi telah menjadi
kebutuhan.
Semua aktifitas itu didasarkan kepada cinta kepada Allah. Cintanya kepada Allah
tersebutditernsperkan kepada rasa cinta kepada makhluk lainnya. Jadi seorang sufi komtemporer
tidak hanya menghabiskan waktunya „asyiq-ma‟syuq dengan Allah saja, tetapi juga terpancarlah
rasa cintanya kepada makhluk lainnya.
Manusia modern tidak terhalang untuk mempraktekkan kehidupan taSawuf tersebut karena
inti taSawuf itu adalah pembersihan hati sebersih-bersihnya, untuk secara sadar benar-benar
seseorang berada di hadirat Allah Swt. Upaya untuk mencapai hal itu terbuka bagi manusia
sepanjang masa dan tempat. Bagi manusia modrn tidak tertutup kemungkinan untuk itu, namun
perlu untuk menginterpretasikan peristilahan taSawuf dalam bentuk baru, tanpa menghilangkan
makna esensinya. Lebih dari pada itu seluruh aktifitasnya mesti dimulai dari niat karena Allah dan
dikembalikan pula segala sesuatunya kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai