Anda di halaman 1dari 9

Kritik Terhadap Aliran – Aliran Dalam Ajaran Tasawwuf

Moh Hafidh Khoirun Najih Alfadlil: (23040680022)


Program Magister Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
UIN Walisongo Semarang

ABSTRAK
Tasawwuf, sebagai salah satu aspek mistik Islam, telah menjadi bahan perdebatan
panjang dan rumit di kalangan akademisi dan agama. Dalam penelitian ini, kami menerapkan
pendekatan kritis terhadap teori dan praktik yang melandasi berbagai mazhab tasawuf yang
ada. Kelimpahruahan materi yang mewarnai kehidupan dunia ini tidak dianggap sebagai
sesuatu yang penting bagi seorang sufi. Sebaliknya, kelimpahruahan hatilah yang menjadi
penopangnya. Sufi adalah orang yang kaya hati, tetapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup.
Kehidupan di dunia ini bagi sang sufi adalah fakta yang tidak dapat diingkari. Mereka
menghadapinya secara realistis. Kedekatan seorang sufi kepada Allah, membuatnya selalu
percaya diri dan optimistis. Semangat mereka dalam beraktivitas selalu menyala, sebab
semua yang dilakukan bertujuan mencari ridha Allah. Tasawuf yang dipraktikkan dengan
benar dan tepat akan menjadi metode yang efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan
zaman. Bagi kaum sufi, apa pun zamannya atau bagaimana pun gejolak di dunia ini,
semuanya akan dihadapi dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang dingin, objektif, dan
penuh ketenangan (thuma'ninah). Sebaliknya, justru kaum sufi yang terbiasa dengan
kehidupan nyata, walaupun hatinya telah melampaui kenyataan lahiriah, mereka akan melihat
dinamika kehidupan ini secara proporsional. Kita tahu dalam sejarah, bagaimana pergumulan
nyata kalangan sufi yang mampu menyeimbangkan kebutuhan nyata dengan kebutuhan
spiritual. Umar bin Abdul Aziz yang layak disebut sebagai sufi adalah seorang khalifah yang
patut diteladani. Jabir bin Hayyan yang juga sufi, adalah seorang ilmuwan yang berhasil.
Demikian pula Syaikh Fariduddin Al-Aththar, sufi yang sukses dalam berdagang. Artinya,
bahwa kesufian seseorang tidak akan menghalangi aktivitas mereka sehari-hari sebagai
manusia biasa yang butuh pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita
kemanusiaan. Namun, benarkah semua yang mengaku bertasawuf benar? Sementara banyak
orang yang mengkritik ajaran-ajaran tasawuf yang dianggap menyimpang dari syariat.
Kata kunci: Tasawuf, aliran, sufi
Pendahuluan
Di era modern ini, berbagai krisis menimpa kehidupan manusia, mulai dari krisis
sosial, krisis struktural, sampai krisis spiritual. Semuanya itu bermuara pada persoalan makna
hidup. Modemitas dengan segenap kemajuan teknologi dan pesatnya industrialisasi membuat
manusia kehilangan orientasi. Kekayaan materi kian menumpuk, tetapi jiwa mengalami
kekosongan. Seiring dengan logika dan orientasi yang kian modern, pekerjaan dan materi
lantas menjadi aktualisasi kehidupan masyarakat. Gagasan tentang makna hidup berantakan
Akibatnya, manusia ibarat sebuah mesin. Semuanya diukur atas dasar materi. Manusia pun
makin terbawa arus deras desakralisasi dan dehumanisasi.
Ketika seluruh kehidupan begitu melelahkan, kebudayaan melahirkan kegersangan
rohaniah, dan pendulum pun berbalik; spiritualisme menjadi sangat digemari oleh mereka
yang dahulu menolak prinsip-prinsip rohani dalam hidup. Manusia lantas menggemari
kearifan tradisional yang mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan pada dimensi fitrahnya dan
menebar harum semerbak hidup bermakna. Dalam Islam, tasawuf pun kemudian menjadi
primadona.1
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupakan aspek esoteric atau
aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam.2

1
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2017), h. viii-ix.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan
mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan
dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya,
yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia
dengan tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi.3
Aliran-aliran dalam tasawuf terbagi menjadi empat, yakni aliran tasawuf akhlaki,
irfani, amali dan falsafi.
Tasawuf akhlaki adalah adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan
dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan
tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Tasawuf irfani adalah
tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran (ma’rifat) diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pemikiran tetapi melalui pemberian Tuhan. Tasawuf amali yaitu tasawuf
yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf
falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan rasional.

Pembahasan
A. Pengertian Tasawuf
Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam buku
Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah
yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif:
1. Berasal dari kata suffah (‫ ) ص فة‬segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan
dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk
bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan
kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2. Berasal dari kata sūfatun (‫=) صوفة‬bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf
itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah
indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (‫= )الص فا ص وفة‬bulu yang terlembut, dengan dimaksud
bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4. Berasal dari kata safa’ (‫= )ص فا‬suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang
mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para
ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima istilah yang
berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan
nabi dari mekah ke madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: Hikmat), dan
suf (kain wol). Dari segi linguistik (kebahasaan), maka dapat dipahami bahwa tasawuf adalah
sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada
hakikatnya adalah akhlak yang mulia.4
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli merujuk kepada
tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang bertuhan. Jika dilihat dari
sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan
memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Selanjutnya jika sudut pandang yang
digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan

2
Oman fathurrahman, Tanbih Al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17
(Jakarta: Mizan, 1999), 20.
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 2002), 68.
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), h.179.
sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jika sudut pandang yang digunakan manusia
sebagai makhluk yang bertuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah
(ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat
menghubungkan manusia dangan Tuhan.5
B. Sejarah Tasawuf
Tasawuf dalam Islam, menurut ahli sejarah, sebagai ilmu yang berdiri sendiri, lahir
sekitar akhir abad kedua atau awal abad ketiga Hijriyah. Pembicaraan para ahli tentang
lahirnya tasawuf lebih banyak menyoroti faktor-faktor yang men dorong kelahiran tasawuf.
Faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor intern dan ekstern.
1. Faktor Intern
Lahirnya tasawuf Islam dilatarbelakangi oleh faktor faktor yang ada dalam
Islam itu sendiri, bukan karena pengaruh dari luar. Faktor-faktor intern ditemukan
dalam Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Ajaran tasawuf
yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits tersebut lalu dilaksanakan oleh sahabat
Ahlu al- Shuffah, di bawah bimbingan Rasulullah SAW., yang ber- jumlah tidak
kurang dari 300 orang dan tidak lebih dari 400 orang sahabat; antara lain Abu
Dzar al-Ghifari, Abu Musa al-Asy'ari, Salman al-Farisi dan sebagainya.
Hadits yang dipandang mengilhami lahirnya tasawuf di dunia Islam, yaitu Sabda
Rasulullah SAW.
‫من عرف نفسه فقد عرف ربه‬
“Barangsiapa yang menegenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”
Hadits tersebut disamping melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan
manusia sekaligus mengisyaratkan bahwa manusia dan Tuhan adalah satu, oleh
sebab itu, barangsiapa yang ingin mengenal Tuhannya , ia dapat merenungkan
perihal dirinya sendiri
Dapat disimpulkan, faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab
langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam lebig terlihat jelas dalam perilaku
Rasulullah SAW.
2. Faktor Ekstern
Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai faktor ekstern, antara lain:
a. Tasawuf lahir karena pengaruh dari filsafat Phyta- goras yang berpendapat
bahwa roh manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.
b. Pengaruh dari filsafat Emanasi Plotinus yang membawa paham bahwa wujud
memancar dari zat Tuhan.
c. Pengaruh paham Nirwana. Menurut ajaran Budha, seseorang harus
meninggalkan dunia dan melakukan kontemplasi.
d. Pengaruh ajaran Hinduisme yang mendorong manusia meninggalkan dunia
dan berupaya men- dekatkan diri kepada Tuhan.6
Kebenaran teori-teori yang menitikberatkan faktor ekstern ini memang tidak dapat
dipastikan. Semua serba mungkin karena tasawuf lahir pada saat umat Islam telah
mempunyai kontak dengan dunia luar atau umat agama lain.7

C. Aliran Dalam Tasawuf


Aliran dalam tasawuf dibagi menjadi 3:

5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), h. 180.
6
Muhammad Fathurrohman, Tasawuf: Perkembangan dan Ajaran-ajarannya, (Yogyakarta: Kalimedia, 2019), h.
16-18.
7
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.61.
1. Tasawuf Akhlaki yang berfokus pada perbaikan akhlak
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang
berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Dengan metode- metode tertentu yang telah
dirumuskan, tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri
dari akhlak yang tercela (mazmumah), sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji
(mahmudah) di dalam diri para sufi. Di dalam diri manusia terdapat potensi-potensi
atau kekuatan- kekuatan. Ada yang disebut dengan fithrah yang cenderung kepada
kebaikan. Ada pula yang disebut dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan.
Menurut para sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya.
Manusia selalu dikendalikan oleh nafsunya, bukan mengendalikannya. Jika
manusia telah dikendalikan oleh nafsunya, dia telah mempertuhankan nafsunya
tersebut. Dengan penguasaan nafsu tersebut di dalam diri seseorang, berbagai
penyakit pun timbul di dalam dirinya, seperti sombong, membanggakan diri, riya,
buruk sangka, kikir, dan sebagainya. Penyakit-penyakit yang ada di dalam diri ini
disebut oleh kaum sufi sebagai maksiat batin.
Sejalan dengan itu, berbagai maksiat lahir (maksiat yang dilakukan oleh anggota
lahir, seperti mulut, mata, tangan, dan kaki) akan bermun- culan pada diri seseorang
sehingga ia memiliki akhlak yang tercela (mazmumah). Kehidupannya lebih
berorientasi pada kehidupan duniawi, kemegahan, kepopuleran, kekayaan, dan
kekuasaan. Berleluasanya nafsu di dalam diri seseorang, timbulnya berbagai maksiat
batin dan lahir. kecintaan pada kehidupan dunia, dalam pandangan kaum sufi
merupakan penghalang bagi seseorang untuk dekat dengan Tuhannya.
Pertemuan dengan Tuhan ini, seperti yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid,
merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai suatu
yang tak pernah terlihat oleh mata.¹ Untuk tujuan menghilangkan penghalang yang
membatasi manusia dengan Tuhannya inilah, ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah
sistem atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang diberi nama:
takhalli tahalli, dan tajalli.8
Diantara tokoh-tokoh tasawuf Akhlaki Hasan Al-Basri, Al-Muhasibi, Al-Qusyairi,
Al-Ghozali
2. Tasawuf Falsafi, ajarannya berupa wahdatul Wujud, Hulul dan lain-lain
Tokoh pertama yang dipandang sebagai tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (dari
Cardova, Andalusia; w. 319/931). la adalah filsuf pertama yang muncul di Andalusia
dan sekaligus dapat disebut sebagai filsuf sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut
paham emanasi, yang mirip dengan paham emanasi Plotinus (w. 270 M). Tingkatan-
tingkatan wujud yang memancar dari Tuhan, dalam pahamnya, adalah: materi pertama
yang bersifat rohaniah, kemudian akal universal, jiwa universal, natur universal, dan
terakhir materi kedua yang bersifat murakkab (tersusun). Menurutnya, melalui jalan
tasawuf, manusia dapat melepaskan jiwanya dari belenggu penjara badan dan
memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati dengan sinar Tuhan. Itulah
ma'rifah yang memberikan kebahagiaan yang sejati. la juga menganut paham bahwa
kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniah atau spiritual. Apabila tasawuf sunni
memperoleh bentuk yang final pada pengajaran Al-Ghazali, tasawuf falsafi mencapai
puncak kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi (sufi Andalusia, wafat di
Damaskus pada 638/1240) Dengan pengetahuannya yang amat kaya, baik dalam
lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil menghasilkan karya
tulis yang luar biasa banyaknya (di antaranya Al-Futuhat Al-Hakkiyah dan Fash Al-
Hikam). Fushus ibn Arabi telah melukiskan metode (thariqah)nya sebagai perjalanan
ke arah penyingkapan cahaya (nur) Ilahi, yang tergambar melalui pikiran-pikirannya
yang konsisten, asalkan tidak terlalu banyak mengaitkan dengan paradoks-paradoks
verbalnya, serta cara-cara yang kerap ia usahakan untuk mengondisikan dogma-
dogma Islam dengan prinsip-prinsip filsafat. Karakteristik umum dari tasawuf falsafi-
8
A. Bachrun Rif’i, Hasan Mu’dis, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 115-116.
sebagaimana yang dikemu kakan oleh At-Thaftazani- adalah bahwa tasawuf jenis ini
tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya karena teori-
teorinya selalu ditemukan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada
pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam art sebenarnya karena
teori-teorinya juga didasarkan pada rasa atau dzauq Hal yang sama juga ditegaskan
oleh Hamka bahwa tasawuf jenis ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan
juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat. Para sufi aliran ini mengenal
dengan baik filsafat-filsafat Yunani dan berbagai alirannya, seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, aliran Stoa, aliran Neo-Platonisme dengan filsafat-filsafatnya tentang
emanasi. Bahkan, lebih dari itu, mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang disebut
hermenetisme, yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan
filsafat Timur Kuno, baik dari Persia maupun India, serta filsafat Islam seperti filsafat
Al-Farabi dan Ibn Sina. Tokoh-tokoh aliran ini juga dipengaruhi oleh aliran batiniah
sekte Isma'iliyah aliran Syi'ah dan risalah- risalah Ikhwan Ash-Shafa. Di samping itu,
tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran- kesamaran dikarenakan
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami
aliran tasawuf ini. Ini tentunya berbeda dengan tasawuf sunni yang cenderung
mendasarkan ajaran-ajarannya pada Al-Quran dan As-Sunnah tidak menggunakan
ungkapan- ungkapan ganjil (syathahat), lebih mengajarkan berbedanya hakikat Khaliq
dengan makhluq, menekankan kesinambungan syariat dan hakikat dan lebih
berkonsentrasi pada pembentukan akhlak melalui metode takhalli, tahalli, dan tajalli. 9
Diantara tokoh-tokoh aliran tasawuf Falsafi yaitu, Ibn Masarrah, Ibn Arabi
3. Tasawuf Irfani, ajarannya berupa ma’rifat billah
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab kedua bahwa tasawuf irfani
adalah penyingkapan hakikat kebenaran atau ma'rifah kepada Allah yang tidak
diperoleh melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui hati
yang bersih (suci). Dengan hati yang bersih inilah, seseorang dapat berdialog
secara batini dengan Tuhan sehingga penge- tahuan atau ma'rifah dimasukkan
Allah ke dalam hatinya, hakikat kebe- naran pun tersingkap melalui ilham. Qalb
(hati) dalam pandangan para sufi mempunyai fungsi yang esensial untuk
memperoleh kearifan atau ma'rifah, tetapi tidak semua qalb dapat sampai pada
ma'rifah. Hanya qalb yang telah suci dari berbagai nodalah yang dapat sampai ke
sana. Kesucian qalb (hati) merupakan prasyarat untuk memperoleh kearifan atau
ma'rifah. Mengapa hanya hati yang suci yang dapat sampai pada ma'rifah? Karena
hanya hati yang suci sajalah (dalam pandangan para sufi) yang dapat menembus
alam malakut, yang ketika berada di alam inilah, qalb memperoleh ilmu
pengetahuan dari Tuhan. Ketika berada dalam alam malakut inilah, dengan
perangkat qalb yang suci, seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan.
Ilmu yang diperoleh dari dialogis batiniah inilah yang disebut oleh para sufi
sebagai ilmu ma'rifah. Al-Ghazali mengatakan bahwa di luar akal dan jiwa
terdapat alat yang dapat menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang
akan terjadi pada masa mendatang. Penyingkapan pengetahuan dengan sarana
qalb yang suci merupakan lingkup dan mu ma'ya hanya dapat diperoleh seseorang
setelah memiliki qalb yang suci, yang dengannya, ia dapat berdialog secara batini
dengan Tuhan dan dengannya, lahir hakikat pengetahuan atau ma'rifah Jadi, bukan
merupakan pengetahuan dari proses belajar-mengajar. Untuk sampai pada ma'rifah
ini, seorang sufi mesti melalui tahapan-tahapan. Di samping tahapan-tahapan
magamat dan ahwal di atas, mesti pula melalui hal yang merupakan latihan
kejiwaan dalam usaha meninggalkan sifat-sifat buruk, termasuk di dalamnya
adalah pendidikan akhlak dan pengobatan penyakit hati. Menurut para sufi, untuk
menghilangkan penyakit itu, perlu dilakukan riyadhah. Usaha mengikis sifat-sifat
buruk baik lahir maupun batin tersebut, bukan sesuatu yang mudah sehingga
diperlukan kesungguhan (mujahadah). Melalui proses riyadhah ini, terbentuk
pribadi yang bersih jiwanya, yang berakhlak baik, yang terus-menerus melakukan

9
A. Bachrun Rif’i, Hasan Mu’dis, Filsafat Tasawuf, h. 133-135.
amal saleh. Dengan demikian, ia akan dapat menghubungkan diri dengan Ilahi. Ia
akan mendapat ilmu ma'rifah. Tafakkur, berpikir dalam pandangan para sufi dapat
menghasilkan ilmu laduni. Dengan bertafakkur yang benar, pintu kegaiban juga
dapat terbuka. Al-Ghazali, misalnya, mengatakan bahwa tafakkur merupakan
salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni. Menurutnya, tafakkur berlangsung
secara internal. Dengan proses pembelajaran dari dalam diri melalui kegiatan
berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Selanjutnya, tafakkur
dilakukan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal), akan menghasilkan
ilmu yang tinggi kualitasnya." Dengan demikian, untuk sampai pada suatu ilmu
yaqin atau ma'rifah diperlukan sakiyahan nah. Tazkiyah an-nafs adalah proses
penyucian jiwa dari berbagai kotoran dan penyakit hati. Ini diperlukan agar hati
dapat menangkap hakikat kebenaran. Ada lima perkara yang menghalangi jiwa
dari hakikat kebenaran, yaitu: (1) jiwa yang belum sempurna; (2) jiwa yang
dikotori oleh perbuatan maksiat; (3) sikap menuruti keinginan badan; (4) adanya
penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (radail); (5) tidak
dapat berfikir logis. Kesucian jiwa adalah syarat mutlak untuk memperoleh
hakikat atau ilmu ma'rifat. Hati yang kotor tidak akan pernah sampai ke sana
karena itu perlu untuk disucikan (tazkiyah an-nafs).
Untuk mendapatkan ilmu ma'rifah diperlukan zikir karena zikir berhubungan
dengan hati. Dzikrullah, berarti mengingat Allah baik dengan ucapan lidah
maupun dengan getaran hati atau gabungan keduanya. Dengan zikir, dalam
pandangan para sufi, hati akan terhindar dari gerak- gerik setan, tenggelam hanya
kepada Allah, hati akan menjadi jernih, bersih dan suci. Oleh karena itu, berbagai
penyakit hati akan terobati, berbagai kegelisahan dan kewaswasan akan hilang,
alam gaib akan terbuka, berbagai ilmu pengetahuan akan diperoleh. Dengan
demikian, sampailah kepada ilmu ma'rifah.10
Diantara tokoh tokohnya yaitu: Rabi’ah Al-Adawiyah, Dzun An-Nun Al-Mishri.
D. Kritik terhadap Aliran-Aliran dalam Ajaran Tasawuf
Menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., ajaran tasawuf yang ekstrem dibagi
menjadi tiga sekte:
Pertama, sekte Al-Isyraqi. Aliran ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat
zuhud. Al-Isyraqi (penyinaran) ialah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati
sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan roh yang disertai dengan penyiksaan
badan. Ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte tasawuf, tetapi ajaran ini hanya sebatas
pada penyimpangan dan tidak membawa kepada ajaran hulul dan wahdah al-wujud.
Meskipun demikian, ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran Islam karena diambil dari
ajaran agama lain, seperti Buddha dan Hindu.
Kedua, sekte Al-Hulul. Sekte ini berkeyakinan bahwa Allah dapat bertempat atau
menitis ke dalam diri manusia -Mahasuci Dia dari sifat ini. Keyakinan ini diserukan oleh
Hasan bin Manshur Al-Hallaj, sehingga para ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan
mengharuskannya dihukum mati. Al-Hallaj pun dibunuh dan disalib pada tahun 309 Hijriah.
Di dalam syair yang dinisbatkan kepadanya, ia berkata:
"Mahasuci (Allah) yang nasut (unsur atau sifat kemanusiaan)-Nya telah
menampakkan rahasia cahaya lahut (unsur atau sifat ketuhanan)-Nya yang menembus. Lalu,
tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya dalam bentuk seorang yang sedang
makan dan sedang minum hingga (sangat jelas). Dia terlihat oleh makhluk-Nya seperti
(jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata."11
Al-Hallaj adalah pengikut sekte Al-Hulul. Ia meyakini dualisme hakikat ketuhanan
dan beranggapan bahwa Al-llah (Allah) memiliki dua tabiat, yaitu lahut (unsur atau sifat
ketuhanan) dan nasut (unsur atau sifat kemanusiaan). Kemudian lahut menitis ke dalam nasut.
Menurutnya, roh manusia adalah lah ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu
adalah nasut.
10
A. Bachrun Rif’i, Hasan Mu’dis, Filsafat Tasawuf, h. 87-89.
11
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2017), h. 393.
Ketiga, sekte Wahdah Al-Wujud. Sekte ini berkeyakinan bahwa semua yang ada pada
hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini merupakan
perwujudan Allah . Mahasuci Allah dari segala keyakinan kotor mereka. Tokoh sekte ini
adalah Ibnu Arabi Al-Hatimi Ath-Thai."
Dalam kitabnya, Al-Futahat Al-Makkiyyah," Ibnu Arabi menyatakan keyakinan kufur
dengan ucapannya:
Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba
Duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
Jika kau katakan, "Hamba," maka dia adalah tuhan Atau kau katakan, "Tuhan," maka mana
mungkin tuhan diberi tugas?
Dalam kitabnya yang lain, Fushûsh Al-Hikâm (hlm. 192), ia mengigau, "Sesungguhnya
orang-orang yang menyembah anak sapi, mereka menyembah Allah."12
Menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A., dalam bukunya Tasawuf Sebagai
Kritik Sosial13, bahwa hal demikian dikarenakan ikhtiar atau pelatihan sufi yang kemudian
mempengaruhi penajaman hati. Manusia mempunyai hati yang tingkat ketajamannya
bertangga-tangga, tidak tunggal, dan seragam. Dengan pelatihan yang intensif dan tepat
sasaran, maka akan tersingkap segala selubung dalam hati manusia. Dalam istilah tasawuf
ada beberapa nama untuk menyebut hati, yaitu bashirah (mata hati), dhamir (sikap moral),
fuad (nurani), dan sirr (kekuatan spiritual yang bersifat misteri). Tingkatan yang tertinggi
dalam khazanah sufi disebut lathifah (kekuatan spiritual yang sangat lembut). Empat jenis
hati manusia ini sifatnya kronologis (melalui tahapan-tahapan tertentu) yang akan tersingkap
melalui tahapan pelatihan spiritual. Jadi, terlihat bahwa puncak capaian hati adalah meraih
kebijaksanaan (hikmah, wisdom) yang berbasis pada kekuatan spiritual. Pada tingkatan ini,
manusia akan merasakan ma'rifatullah karena sifat-sifat Ilahiah telah menempel lekat pada
dirinya. Perasaan Ilahiah tertinggi ini sulit untuk diungkapkan dalam bentuk apa pun,
termasuk dalam bentuk ungkapan verbal.
Sehubungan dengan itu, KH. Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU), di
mana organisasi ini termasuk organisasi yang mendukung ajaran tasawuf dan tarekat. Akan
tetapi, Hasyim mengakui ada ajaran-ajaran tasawuf yang harus diluruskan oleh pengamalnya,
agar tidak menyimpang dari esensi ajaran Islam yang murni. Beberapa pokok pikiran tasawuf
Hasyim antara lain berkenaan dengan perilaku yang dianggap menyimpang dari syariat Islam.
Misalnya, Hasyim tidak suka dihormati secara berlebihan, sehingga mengakibatkan adanya
pengultusan individu terhadapnya. la sangat mengecam perilaku seperti ini. Pengultusan
semacam ini biasanya ditujukan kepada seorang mursyid yang dianggap mampu
menghubungkan manusia (jamaah) dengan Tuhan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan
munculnya anggapan bahwa seorang mursyid adalah orang keramat yang jauh dari kesalahan.
Hal demikianlah yang ditentang oleh Hasyim karena dianggap telah menyimpang dari ajaran
Islam. Inilah yang menyebabkan ia melarang murid-muridnya memanggilnya syaikh sufi dan
melarang anak cucunya untuk memperingati hari kematiannya (haul) -sebuah tradisi di
kalangan kaum muslimin di Jawa untuk mengenang perjuangan dan jasa-jasa seorang tokoh
ulama.14

Hasyim Asy'ari juga sangat selektif dalam masalah tarekat, termasuk pemberian
predikat wali kepada seorang mursyid. la sangat menentang hal itu dan tidak pernah
mengenal kompromi. Sikap demikian dapat dilihat melalui pernyataannya berikut.
“Wali tidak akan memamerkan diri, meskipun dipaksa membakar diri mereka. Siapa pun
yang berkeinginan menjadi figur yang populer, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai

12
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf,. 394.
13
Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: SAS Foundation, 2012), Cet. ke. 4.
14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 393-400.
kelompok sufi mana pun.15 Di antara cobaan (fitnah) yang merusak hamba pada umumnya
adalah pengakuan guru tarekat dan pengakuan wali. Bahkan, ada yang mengaku dirinya
sebagai wali quthb dan ada pula yang mengaku dirinya Imam Mahdi. Barangsiapa yang
mengaku dirinya wali, tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah, orang tersebut
adalah pendusta yang membuat-buat perkara tentang Allah. Orang yang mengabarkan dirinya
itu wali, bukanlah wali yang sesungguhnya. Ia hanya wali bohongan yang jelas- jelas salah,
karena ia mengatakan sir al-khushushiyyah (rahasia-rahasia kekhususan) dan ia membuat
kedustaan atas Allah"
Demikian kritik-kritik terhadap ajaran tasawuf yang dianggap bertentangan dan
menyalahi ajaran Islam. Bagaimanapun harus diakui bahwa pengamalan agama haruslah
sesuai dengan sumber asalnya, yaitu Alquran dan hadis.
Rasulullah bersabda:
"Aku tinggalkan kepadama dua perkara. Engkau tidak akan tersesat selamanya jika engkau
berpegang kepada dua perkara tersebut, yaitu Alquran dan sunnah Nabi-Nya." (HR. Al-
Hakim)
Kesimpulan
Menurut KH. Hasyim Asy’ari meskipun mendukung ajaran tasawuf dan tarekat beliau
mengakui ada beberapa tarekat yang memang perlu diluruskan oleh pengamalnya, agar tidak
menyimpang dari esensi ajaran Islam yang murni. Tetapi menurut KH. Sa’id Aqil Siradj
ungakapan-ungkapan para sufi yang dikritik bahkan dianggap sesat hal dikarenakan ikhtiar
atau pelatihan sufi yang kemudian mempengaruhi penajaman hati. Manusia mempunyai hati
yang tingkat ketajamannya bertangga-tangga, tidak tunggal, dan seragam. Dengan pelatihan
yang intensif dan tepat sasaran, maka akan tersingkap segala selubung dalam hati manusia.
Dalam istilah tasawuf ada beberapa nama untuk menyebut hati, yaitu bashirah (mata hati),
dhamir (sikap moral), fuad (nurani), dan sirr (kekuatan spiritual yang bersifat misteri).
Tingkatan yang tertinggi dalam khazanah sufi disebut lathifah (kekuatan spiritual yang sangat
lembut). Empat jenis hati manusia ini sifatnya kronologis (melalui tahapan-tahapan tertentu)
yang akan tersingkap melalui tahapan pelatihan spiritual. Jadi, terlihat bahwa puncak capaian
hati adalah meraih kebijaksanaan (hikmah, wisdom) yang berbasis pada kekuatan spiritual.
Pada tingkatan ini, manusia akan merasakan ma'rifatullah karena sifat-sifat Ilahiah telah
menempel lekat pada dirinya. Perasaan Ilahiah tertinggi ini sulit untuk diungkapkan dalam
bentuk apa pun, termasuk dalam bentuk ungkapan verbal.

15
Hasyim Asy'ari, Ad-Durar Al-Muntasyirah fi Masa'il At-Tis'ah 'Asyarah, (Jombang: t.p, 1940), hlm. 8-9.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Saiful Munir. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah, 2017).
Asy’ari, Hasyim. Ad-Durar Al-Muntasyirah fi Masa'il At-Tis'ah 'Asyarah, (Jombang:
t.p, 1940).
Fathurrohman, Muhammad. , Tasawuf: Perkembangan dan Ajaran-ajarannya.
(Yogyakarta: Kalimedia, 2019).
Fathurrahman, Oman. Tanbih Al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf
Singkel Di Aceh Abad 17. (Jakarta: Mizan, 1999).
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf (Jakarta; Rajawali Pers, 2010).
Nasution, Harun. , Falsafah dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang.
1973).
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek.(Jakarta: UI Press, 2002).
Rif’i, A. Bachrun, Hasan Mu’dis, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010)
Siradj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. (Jakarta: SAS Foundation, 2012).

Anda mungkin juga menyukai