Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Akhlak
Tasawuf
Disusun Oleh:
Muhammad Zahri Ramadhan: 11180530000083
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Manajemen Organisasi
Penyelenggara Haji dengan judul “KETERKAITAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU
FIQIH” tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah mengarahkan kita kejalan yang lurus, yakni addinul Islam.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantunan sumber
buku sebagai rujukan dalam pembuatan makalah ini, sehingga dapat memperlancar dalam
penyusunannya, untuk itu tidak lupa kami mengucapkan Terima kasih kepada teman-teman yang
telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Namun tidak lepas dengan semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dalam segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya saran dari pembaca yang ingin diberikan kepada kami.
Semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami
dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan yang relevan pada makalah
berikutnya.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan
dengan hubungan antara Tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar
dapat berhubungan sedekat mungkin dengan Tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan
spritual. Sedangkan ilmu Fiqih merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan
pembicaraan tetang persoalan tentang Hukum islam, Ilmu fiqih juga salah satu bidang ilmu dalam
syariat islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan
Tuhannya.
Maka dalam hal ini penulis ingin menjabarkan tentang ilmu tasawuf yang mempunyai
hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya khususnya Ilmu Fiqih, baik
dari segi tujuan, konsep serta kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu ini dan begitu sebaliknya,
maka berikutlah penjelasannya di bawah ini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Tasawuf
Secara etimologi, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan tasawuf diantaranya ada ahl
al-Suffah, Shaf, Shuf, Sophos, Sufi, Shafwah (orang pilihan atau suci).1 Secara terminologi
menurut Zakaria al-Anshari Tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang
pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh
kebahagiaan yang abadi.2
Tasawuf merupakan aspek praktis dari ajaran islam, dan bahwa tidak ada tasawuf kecuali
tasawuf islam, Tasawuf juga bersumber dari islam, tasawuf terbagi ke dalam 2 bagian, yakni
tasawuf sunni dan tasawuf filosofis, tasawuf sunni adalah yang hanya menerima tasawuf yang
berdasarkan al-Qur’an dan sunnah serta bertujuan asketisisme, kehidupan sederhana, pelurusan
jiwa, dan pembinaan moral, tasawuf dikajinya secara mendalam dan disisi lain ia melancarakan
kritikan tajam terhadap filosof, kaum mu’tazilah dan kaum batiniah.Tasawuf sunni diwakili oleh
para sufi abad ke 3 dan ke 4 H, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin tariqat yang mengikuti
jejaknya.
1. Pengertian Tasawuf
Istilah "tasawuf" (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad,
dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa.
Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu
berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu
berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim
awal yang berdiri di baris pertama dalam shalat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya
lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid
1 Abdul Qadir Isa, Hakikat Tasawuf, Qisthi press : Jakarta, 2005 hal : 5-6
2 Ibid, Hal : 28
Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari
golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang
berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan
batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang
terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.3, Adapun pengertian
Tasawuf menurut para Ahli
Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang
dengannya anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran
Tuhan yang Maha Ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal
baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan
akhirnva adalah karunia Ilahi.4
2. Tujuan Tasawuf
4 Mustofa, A., 2007, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2007, Hal. 14
istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah).
Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya.
Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan
Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber ajaran tasawuf adalah Al-Qur'an dan Hadits yang
didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf.
1. Pengertian Fiqih
Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong
keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha
menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan
berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan
untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan
menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak
untuk exis sampai akhir zaman.
5 Ahmad Sarwat, seri fiqh kehidupan (1) : ilmu fiqh, DU Publishing : Jakarta, 2011, hal : 25
6 Ibid, Hal : 28
Pengertian fiqh seperti di atas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah
At-Taubah: 122, Surah An-Nisa: 78:
قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول وإنا لنراك فينا ضعيفا ولوال رهطك لرجمناك وما أنت علينا بعزيز
Artinya: “Mereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah
diantara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu,
sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami” (QS. Hud:91)
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلوال نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم
لعلهم يحذرون
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah:122)
أينما تكونوا يدرككم الموت ولو كنتم في بروج مشيدة وإن تصبهم حسنة يقولوا هذه من عند الله وإن تصبهم سيئة
يقولوا هذه من عندك قل كل من عند الله فما لهؤالء القوم ال يكادون يفقهون حديثا
Artinya: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,
mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu
bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An-Nisa’:78)7
7 Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman Al-Qur’an), Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, Hal. 36
b. Fiqh dalam terminologi Islam
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang
dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian,
karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;
Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dan
seterusnya.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh,
sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW yang
artinya: "Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku,
maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena
banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang
lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang
Faqih." (HR Abu Daud, At-Tirmdzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata: "Ya Allah, berikan kepadanya
pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)
Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW
telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata: "Para ahli
fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah! tidak
pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada
para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena
dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata: "Khususkan (saja) kepada
para fuqaha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna fiqh yang universal seperti di atas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan
beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku
akidahnya dengan "Al-Fiqh Al-Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih di atas berbeda
dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu
hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Dan
akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan
Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf Al-Qur'an dan menyia-nyiakan norma-
normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi,
mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa
nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan di atas, Shadru Al-Syari'ah
Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas
ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada
akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal
hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."
Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang
yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan
ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan Al-Imam-Al Hasan Al-Bashri: "Orang faqih
itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya,
konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum
muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian persoalan-
persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau yang lainnya
secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang,
disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut
? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan
khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan
manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya, pelaksanaan kewajiban manusia
tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf,
berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan
Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah dua
disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti di
saat itu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa
fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus bertasawuf (sufi),
harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal
yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang
sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan
bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi.
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan
corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut
jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hukum-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan
sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”Barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf,
berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan
barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” Tasawuf
dan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara
keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi
berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus
mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi
pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannnya. Syeikh Ar-Rifa’i
berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu.” Pernyataan Ar-Rifa’i di
atas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang
dengan perkataan, ”Orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan
ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropa ganda untuk syaikhnya; atau dilontarkan oleh
sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang
sebenarnya.
Para pengamat ilmu tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan tasawuf
dengan fiqih adalah Al Ghazali. Kitab ihya Ulumuddin dapat dipandang sebagai kitab yang
mewakili dua disiplin ini, di samping ilmu lainnya seperti ilmu kalam dan filsafat.
Tasawuf dan fiqh merupakan dua disiplin ilmu yang bersumber dari Islam, dan kedua-
duanya secara aplikatif telah dilaksanakan, dipraktekkan oleh nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya.
Ketika ada seorang sufi yang sudah mencapai hakikat, tapi ia kemudian tidak mengerjakan
syariat atau merasa bahwa ia terbebas dari syariat maka sungguh telah sesat lah ia, karena apabila
seseorang telah mencapai hakikat ia harus tetap mengerjakan syariat. Karena syariat sendiri
merupakan tahap dasar seseorang untuk sampai pada hakikat. Jadi antara tasawuf dan fiqh
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Jadi anggapan bahwa tasawuf tidak ada hubungannya dengan ilmu kalam, filsafat, dan fiqh
merupakan statement yang salah, malainkan tasawuf memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu yang
lain, hal ini dapat dibuktikan dengan pemaparan diatas. Dimana tasawuf dengan keilmuan lainnya
memiliki keterkaitan, dan juga titik temu, dan tasawuf dengan wacana keilmuan lainnya saling
berkesinambungan.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas penulis dapat mengambil suatu kesimpulan dalam bentuk point bahwa
1. ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu
tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat
2. hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan
Allah sedekat mungkin.
3. Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling
melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan
perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas
ilmunya.
4. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yang terkesan sangat formalistik
lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan
seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tasawuf.
Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga
tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat, 2011, seri fiqh kehidupan (1) : ilmu fiqh, DU Publishing : Jakarta
Mahali, A. Mujab, 2002, Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman Al-Qur’an), Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Anwar Rosihon, 2010 Akhlaq Tasawuf Edisi baru, Bandung : Pustaka Setia