Anda di halaman 1dari 28

15

BAB II
LANDASAN TEORI
TASAWUF DAN SYAHWAT


A. Tasawuf

1. Pengertian Tasawuf

Sebelum mengungkapkan pengertian tasawuf secara etimologi dan
terminologi, ada baiknya lebih dahulu dikemukakan gambaran tasawuf itu
sendiri. Tasawuf atau mistisisme adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan
untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, lewat latihan-latihan praktis
yang tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan fana dalam Realitas
Yang Tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara
rasional, yang buahnya yaitu kebahagiaan rohaniah, yang hakikat
realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata, karena karakternya
bercorak intuitif dan subjektif.
1

Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Bertasawuf
artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan.
Berbeda dengan kesadaran intelektual tentang adanya Tuhan yang belum
tentu mendatangkan ketenangan jiwa, kesadaran rasa berhubungan dengan
Tuhan dan menempatkan seseorang berada dalam harmoni sistem
sunatullah. Bagi orang yang sudah sampai pada stasion ridha atau
mahabbah, apalagi marifat, maka ia tak akan terganggu oleh perubahan
zaman hidupnya, karena pusat perhatiannya tidak lagi kepada yang
berubah, tetapi kepada yang tetap tak berubah yaitu Allah Swt. Kesadaran
rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah keberagamaan

1
Abu al-Wafa' al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Suatu Pengantar
tentang Tasawuf), Terj. Ahmad Rofi Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 6.
16
yang hanif dan mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu tergelitik
untuk memperdekatkan dirinya (taqarrub) kepada Allah.
2

Salah satu ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada
Tuhan, adalah tasawuf. Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf
merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai
disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan
pada umumnya. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan
mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di
dalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi.
3

Masalah yang muncul apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu
sendiri? Beberapa ahli merumuskan tasawuf dalam rumusan yang
berbeda-beda, akibat sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Adanya
perbedaan rumusan tentang pengertian tasawuf bukan berarti untuk
disiplin ilmu lain rumusannya tidak berbeda-beda. Dalam fiqih (hukum
Islam) pun terdapat rumusan dan pengertian fikih yang berbeda-beda.
Demikian pula dalam ilmu hukum Barat pun tidak ada kesepakatan para
ahli tentang apa itu hukum? Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel
Kant pernah menulis sebagai berikut: Noch suchen die Juristen eine
Definition zu ihrem Begriffi von Recht (masih juga para sarjana hukum
mencari-cari suatu definisi tentang hukum).
4

Amin Syukur dalam bukunya menjelaskan:
Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai pengertian
tasawuf itu sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal
pada masa Nabi maupun Khulafa al-Rasyidin, karena pada masa itu
para pengikut Nabi Saw diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah

2
Achmad Mubarok, Psikologi Qurani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 124.
3
Ibid
4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1986, hlm. 35.
17
yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya,
yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa
dengan beliau disebut tabiin, dan seterusnya disebut tabiit tabiin.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III
hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-
sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson
bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang
mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah,
akan tetapi dia yang pertama kali diberi nama al-sufi.
5


Secara etimologis, para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf.
Sebagian menyatakan berasal dari "shuffah" artinya emper masjid Nabawi
yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Ada pula yang mengatakan
berasal dari "Shaff", artinya barisan. Seterusnya ada yang mengatakan
berasal dari "Shafa", artinya bersih/jernih, dan masih ada lagi yang
mengatakan berasal dari kata "Shufanah", sebutan nama kayu yang
bertahan tumbuh di padang pasir, terakhir ada yang mengatakan berasal
dari bahasa Yunani "theosofi", artinya ilmu ketuhanan. Namun yang
terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R. Gibb. Dia cenderung pada kata
tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba) dan orang yang berpakaian bulu
domba disebut" mutashawwif", perilakunya disebut tasawuf. Hal tersebut
ada latar belakang tersendiri, yakni pakaian tersebut dipengaruhi oleh
Kristen, katanya, "Asal mula pakaian ini bukannya seragam, akan tetapi
suatu tanda penebus dosa perseorangan, sebagaimana dilambangkan pada
pakaian Isa. Pengaruh ini pernah menjadi pertentangan sebagaimana Ibn
Sirin (729M.) pernah mengeluarkan kecaman, "Aku lebih senang meniru
contoh Nabi saw yang mengenakan pakaian kapas."
6

Berikut ini dasar-dasar dan alasan-alasan yang memperkuat
beberapa pendapat tersebut. Dasar tasawuf berasal dari "shuf" adalah
adanya beberapa riwayat di antaranya: "Anas meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw mendatangi undangan hamba sahaya, naik Himar dan
memakai pakaian bulu Domba". Hasan Basri pernah berkata, "Aku telah

5
Ibid, hlm. 7- 8.
6
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12
18
bertemu tujuh puluh pasukan Badar yang mengenakan pakaian bulu
Domba" Sebagai dasar tasawuf berasal dari kata "Shaf" ialah karena ahli
tasawuf itu berada pada barisan (shaf) pertama di sisi Allah SWT. Hal
tersebut telah menjadi cita-cita yang tinggi dan kesungguhan mereka
dalam menghadap Allah dengan sepenuh hati. Sebagai dasar tasawuf
berasal dari "shuffah" adalah hadis Mauqu dari Abu Hurairah yang artinya
sebagai berikut: " Sesungguhnya aku telah melihat Ahl Shuffah sama
menjalankan salat dengan memakai satu pakaian yang sempit, sebagian
ada yang tidak mencapai dua lututnya, maka apabila dia rukuk, shahabat
yang lain memeganginya, karena takut auratnya terlihat". Menurut al-
Suhrawardi, sekalipun ilmu bahasa tasawuf berasal dari shuffah adalah
tidak tepat, tetapi secara maknawi dapat dibenarkan.
Dari beberapa pendapat tersebut, maka dikatakan bahwa adanya
perbedaan pendapat tentang asal-usul kata tasawuf itu dikarenakan adanya
perbedaan sudut tinjauan. Dikatakan tasawuf berasal dari "shuf", karena
tinjauannya dititik beratkan pada segi lahiriah, yakni pakaian yang terbuat
dari bulu yang biasa dipakai oleh ahli tasawuf. Bagi yang menyatakan dari
kata "Shafa", yang berarti bersih adalah dikarenakan tasawuf itu berusaha
membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela. Kemudian ada pula yang
menyatakan berasal dari kata "shuffah", karena amaliah ahli tasawuf sama
dengan amaliah ahli shuffah tersebut. Dikatakan berasal dari "shufanah"
karena kebanyakan ahli tasawuf itu berbadan kurus kering karena banyak
berpuasa dan banyak bangun malam, sehingga badannya menyerupai
pohon tersebut.
7
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa letak
perbedaan tersebut adalah berada pada perbedaan tinjauan, yaitu dari
sudut cara, pakaian, dan hasil serta hubungan antara Khalik dan makhluk.
Secara terminologis, tasawuf diartikan secara variatif oleh para
sarjana. Menurut Al-Kalabadzi, orang-orang sufi dinamakan "sufi" adalah

7
Ibid, hlm. 13
19
karena kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka.
8
Ahmad
Al-Jariri pernah ditanya tentang tasawuf, maka jawabnya: "memasuki
dalam semua akhlak Nabi Saw dan keluar dari semua akhlak yang tidak
terpuji". Sehubungan dengan itu, Ibrahim Basuni yang disitir Asmaran
As, merumuskan tasawuf yaitu kesadaran murni yang mengarahkan jiwa
secara benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh,
menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengannya.
9

Menurut Abu Bakar Aceh, pada hakekatnya tasawuf dapat
diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan
rohani. Ibrahim Basuni sebagaimana dikutip Amin Syukur
mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian, yakni definisi
yang menitik beratkan pada al-Bidayah (tasawuf dalam tataran elementer),
al-Mujahadah (tasawuf dalam tataran intermediate), dan al-Madzaqat
(tasawuf dalam tataran advance).
10
Dalam buku HM. Amin Syukur dan H.
Masyharuddin dijelaskan:
Definisi tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan oleh
Sahal al-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan: seorang sufi ialah
orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus
hubungan dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan
kerikil. Dari sisi al-Mujahadah, Abu Muhammad al-Jaziri
mengartikan tasawuf dengan : masuk ke dalam akhlak yang mulia
dan keluar dari semua akhlak yang hina. Untuk mencapai tujuan
tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai kegiatan (al-
Mujahadah dan al Riyadlah), tidak dibenarkan memisahkan amaliah
kerohanian dengan syariat agama Islam. Apabila dalam pengertian
kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf mempunyai pengertian
berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan, maka pengertian
tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan dititik beratkan
pada rasa serta kesatuan dengan yang mutlak, sebagaimana dikatakan
oleh Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap
kehendak Allah SWT. Demikian pula al-Sybli menyatakan bahwa

8
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, Terj. Rahmani Astuti, Mizan (Anggota IKAPI),
Bandung, 1990, hlm. 25.
9
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,
hlm. 51 52.
10
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, op. cit, hlm. 14
20
tasawuf adalah bagaikan anak kecil di pangkuan Tuhan. Sedang al-
Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat.
11


Dengan demikian dapat dirumuskan secara sederhana, bahwa
tasawuf itu ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah
mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam
kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga
dengan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh
karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-
akhwal) yang mulia adalah tasawuf.
Dengan pengertian seperti itu, dapat dirumuskan bahwa tasawuf
adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia
(sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat
manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan
hidup lahir dan batin, dunia dan akherat. Oleh karena itu, siapapun boleh
menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi,
sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di
dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya sifat-sifat
mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki
dalam tasawuf yang sebenarnya.
Dari pengertian di atas, maka pada intinya, tasawuf adalah upaya
melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya
dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan
dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang
kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar
selalu dekat dengan Tuhan.

2. Pembagian Tasawuf

Secara umum ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua:
pertama, tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis.

11
Ibid, hlm. 14 16.
21
Tasawuf yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf
dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri
sendiri. Termasuk di dalamnya adalah teri-teori tasawuf menurut berbagai
tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis
dan filosofis.
12

Adapun yang kedua, tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf
terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka,
tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan
tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat
keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia
dan akherat.
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian,
yakni:
1. Tasawuf Akhlaqi,
2. Tasawuf Amali,
3. Tasawuf Falsafi.
13

Tasawuf Akhlaqi ialah tasawuf yang menitik beratkan pada
pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah keadaan yang tertanam
dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan, dilakukan dengan mudah,
tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan demikian, maka
nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi (niat) kuat
dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan
direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis.
Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik beratkan pada amalan
lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan
doa. Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan thariqah, jalan menuju Allah,
yang selanjutnya menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat
dalam sebuah organisasi yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat
dan dibimbing oleh seorang guru..

12
HM. Amin Syukur, op. cit, hlm. 224.
13
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, op. cit, hlm. 43
22
Selanjutnya ada lagi tasawuf Falsafi, yakni tasawuf yang
dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa,
sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan
tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi perpaduan
antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi. Ketiga model
tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan, bukan dalam
tataran praktis. Ketiga menyatu pada pribadi yang satu dan utuh.
Semua proses bertasawuf akan melalui tahapan seperti
pembersihan hati dari sifat-sifat tercela dan tahalli (menghiasi/mengisinya
dari sifat-sifat terpuji) secara simultan, sehingga tercapai tajalli
(tersingkapnya hijab/tabir) antara seorang hamba dengan Tuhan. Bagi
orang awam (orang pada umumnya mencapainya dalam tataran elementer,
yakni mengetahui, menghayati dan mengamalkan kebenaran, sementara
bagi khawwash dan khawash al-Khawash (istimewa dan sangat istimewa),
mencapai marifatullah dengan mencapai nur bashirah (mata hati)
Menurut HM. Amin Syukur, pembagian ini hanya sebatas kajian
akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, sebab dalam
prakteknya ketiga-tiganya tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lainnya.
Misalnya dalam tasawuf, pendalaman dan pengalaman aspek batin adalah
yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriyah yang
dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa di maksud
adalah hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-hentinya, sebagai
cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol diri pribadi.
14

Pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain kecuali harus
melalui pendidikan dan latihan mental (riyadlah) yang diformulasikan
dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan pendisiplinan
tingkahlaku yang ketat. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali
mengibaratkan hati/jiwa manusia itu bagaikan cermin. Cermin yang
mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda

14
HM. Amin Syukur dan Musyaruddin, op. cit, hlm. 43 44
23
hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini sejalan dengan firman
Allah SWT :
_ _ _ _ _ _ _ ) : 14 (

Artinya: Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. Al
Muthoffifin:14)
15


Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik noda dan
senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah
menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran nur illahi. Bahkan
lebih dari itu, hati jiwa seseorang akan memiliki kekuatan yang besar dan
luar biasa. Ketika seseorang merasa dekat dengan Tuhan, bahkan dalam
perasaannya merasa lebur (fana) DenganNya disini titik temu antara
ketiga bagian tersebut, yakni tasawuf akhlaki, Amali dan Falsafi.
Berbeda dengan pembagian tasawuf di atas, Abd al-Kadir
Mahmud sebagaimana dikutip oleh M.Amin Syukur dan H.
Masyharuddin, mengelompokkan aliran/madzhab tasawuf kedalam tiga
aliran; tasawuf Salafi, tasawuf Sunni, dan tasawuf Falsafi.
16
Tasawuf
Salafi adalah tasawuf yang ajaran dan metodenya berdasarkan al-Qur'an
dan al-Sunnah nabi serta praktek-praktek kerohanian generasi salaf.
Tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan
aspek syariah dan hakekat namun diberi interpretasi dan metode baru
yang belum dikenal pada masa salaf al-Shalihin. Sedang tasawuf Falsafi
adalah jenis tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan antara visi
tasawuf dan filsafat, sehingga cenderung melampaui batas-batas syariah.
Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan
sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Guna mencapai

15
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, Depag , Jakarta, 1986, hlm. 1036
16
H.Masyharuddin, "Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf", dalam HM. Amin
syukur dan Abdul Muhayya (editor), Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)
Bekerja Sama dengan IAIN Walisongo, Yogyakarta, 2001, hlm. 86-87.
24
kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan
berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli
(pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat
yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah
bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
17

Sementara tasawuf Amali adalah tasawuf yang membahas tentang
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini,
tasawuf Amali berkonotasikan tarekat, dalam tarekat dibedakan antara
kemampuan sufi yang satu daripada yang lain, ada orang yang dianggap
mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang
memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam
masalah itu.
Perkembangan selanjutnya, para pencari penuntun semakin banyak
dan terbentuklah semacam komunitas sosial yang sepaham, dan dari sini
muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang
mereka lakukan. Dari sini maka muncullah istilah murid, mursid, wali dan
sebagainya.
Sedangkan tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya
mamadukan antara visi mistis atau intuitif dan visi rasional. Terminologi
filosofis yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang
telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai
tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa
dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada
rasa (dzauq), dan tidak bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni)
karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.
18
Bahkan ungkapan-
ungkapan yang samar-samar (syathahiyyat) yang sulit dipahami, sering

17
HM. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, op.cit, hlm. 45.
18
Ibid, hlm. 50-51.
25
terlontar dari ucapan para tokohnya, yang berakibatkan kesalah pahaman
dan tragedi.
Jika dikaji uraian di atas bahwa dalam pertumbuhannya, tasawuf
Sunni dan Falsafi lebih berkembang dan lebih menarik minat banyak
orang. Tasawuf Sunni mencapai puncaknya di tangan al-Ghazali, sedang
tasawuf Falsafi mencapai puncaknya di tangan ibn Arabi. Sementara itu,
tasawuf Salafi meskipun cikal bakalnya telah ada sejak masa salaf
(sahabat dan tabiin), namun baru menemukan formatnya setelah
dikembangkan oleh para tokoh hadits madzab Hanbali, di antaranya
adalah ibn Taimiyah. Tasawuf Salafi oleh Fazlur Rahman dipandang
sebagai neo sufisme.
19

Upaya menghidupkan kembali tasawuf Salafi oleh para tokoh
madzhab Hanbali dilakukan setelah mereka melihat gerakan tasawuf dapat
menguasai dunia Islam selama abad VI dan VII Hijriyah, baik secara
emosional, spirituial maupun intelektual. Melihat kenyataan tersebut,
mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa sama sekali tidak mungkin
mengabaikan kekuatan-kekuatan sufisme secara keseluruhan. Karena itu
mereka berusaha menggabungkan ke dalam metodologi mereka, warisan
para sufi sebanyak mungkin yang dapat dikompromikan dengan doktrin-
doktrin Islam ortodok, sehingga dapat memberi kontribusi positif
kepadanya. Ada dua cara yang mereka tempuh, yaitu; pertama, motif
moral sufisme lebih ditekankan dan sebagian dari teknik dzikir dan
muraqabah diterima pula. Tetapi obyek dan kandungan muraqabah
tersebut, kini diidentifikasikan dengan doktrin ortodok dan selanjutnya
didefinisikan kembali sebagai peneguhan keimanan sejalan dengan ajaran-
ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa. Kedua, formulasi tasawuf yang
diperbaharui ini diarahkan untuk memperbaharui aktifisme ortodoks dan
menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Dalam makna ini maka
ibn Taimiyah sebagai salah satu penerus mazhab Hanbali walaupun

19
H.Masyharuddin, "ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf", dalam H.M.Amin
Syukur dan Abdul Muhayya , Tasawuf dan Krisis, (editor) op.cit., hlm. 87.
26
banyak mengkritik tasawuf, namun ia termasuk perintis tasawuf Salafi
atau neo sufisme.
20


3. Posisi Tasawuf dalam Islam

Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari
asal kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk
kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa,
dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Kata aslama
itulah menjadi pokok kata Islam mengandung segala arti yang terkandung
dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang melakukan aslama atau masuk
Islam dinamakan muslim.
21

Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Harun Nasution,
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.
22

Sedangkan menurut Maulana Muhammad Ali, Islam mengandung
arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat, yaitu menyatakan
bahwa tak ada Tuhan Yang Pantas disembah selain Allah, dan bahwa
Muhammad itu utusan Allah; dan (2) berserah diri sepenuhnya kepada
kehendak Allah, yang ini hanya dapat dicapai melalui penyempurnaan
rohani. Dengan demikian Islam adalah sikap hidup yang mencerminkan
penyerahan diri, ketundukkan, kepasrahan, dan kepatuhan kepada
Tuhan.
23

Dari pengertian di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki makna
dasar penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. "Islam" juga
dijadikan sebagai nama resmi agama yang telah sempurna penurunannya
untuk umat manusia pada masa Nabi Muhammad SAW. Sebagai simbol
formal penyerahan diri itu, kaum muslim diwajibkan melaksanakan

20
Ibid, hlm. 87-88
21
Nasruddin Razak, Dienul Islam, PT. Al-Maarif, Bandung, 1986, hlm. 56
22
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta,
1985, hlm. 17.
23
Muhaimin, et. al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Prenada Media, Jakarta,
2005, hlm. 75.
27
ibadah salat dengan makna dasar sebagai do'a atau permohonan
kebahagiaan kehidupan dunia maupun akhirat, kebahagiaan masa
sekarang dan masa depan. Penyerahan diri ini berasal dari ghirah batin
yang suci-bersih (shufi), sehingga mendatangkan nilai spiritualitas yang
sangat tinggi. Dalam ibadah salat dijumpai tiga perbendaharaan agama
sempurna, yaitu niat salat yang menyertakan kata "lillahi ta'ala" atau
diawali dengan basmalah mengacu pada suatu sikap keyakinan yang
kokoh pada yang dituju yakni Allah Tuhan semesta alam. Disusul dengan
berbagai bacaan dan gerakan yang berisi simpul-simpul doa yang
menyangkut berbagai kebutuhan hidup manusia baik dunia maupun
akhirat dengan puncaknya pada gerakan sujud disertai ungkapan
memahasucikan Tuhan. Ini adalah aspek Islam, bentuk kepasrahan total
itu, yang muncul karena keyakinan bahwa segala kepastian hidup makhluk
hanya terletak pada Tuhan, baik pengetahuan tentang itu maupun
keterjadiannya.
24

Pada akhir ibadah salat, dilakukan ucapan salam yang mengacu
pada perilaku sosial yang membawa kedamaian, keselamatan dan
kesejahteraan bersama. Ini adalah simpul ihsan yang tidak lain adalah
perilaku hidup sufi. Iman, Islam dan ihsan telah diakui sebagai
perbendaharaan kunci dalam pola keberagamaan Islam. Semula, konsep
tersebut didasarkan pada sebuah hadis terkenal yang disebut sebagai
"hadis Jibril." Hadis itu memberikan ide kepada kaum muslim Sunni
tentang adanya enam rukun Iman, rukun Islam dan taqwa dalam QS. 2,
Al-Baqarah: 177. Rukun Iman hanya lima macam yang harus diikuti oleh
sikap ihsan, lima rukun Islam dan satu ajaran tentang penghayatan
terhadap Tuhan Yang Mahahadir dalam hidup. Namun bukan berarti
bahwa di antara ketiganya (iman, Islam dan ihsan) ada
kompartementalisasi, di mana antara yang satu dengan yang lain saling
atau bisa berdiri sendiri. Namun ketiganya terjalin secara komprehensif, di

24
Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, PT Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 2004, hlm. 34 35
28
mana nilai-nilai perwujudannya saling berkelindan yang terakumulasi
dalam konsep dasar amal shalih dan segi kemaslahatan. Dalam Kitab
Shahih Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ : _ _ _ : _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ __ : _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ __ :
_ _ _ : _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ :
_ _ _ _ : _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ : _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
__ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ___ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ _ _ : _ _ _ _ _ _ _ _ __ : _ _ _
_ _ __ _ _ _ _ _ _ ) (
25


Artinya: Abu Hurairah ra berkata: pada suatu hari ketika Nabi saw duduk
bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang bertanya: apakah iman?
Jawab Nabi saw: iman ialah percaya pada Allah, dan malaikatnya,
dan akan berhadapan kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan
percaya pada hari bangkit dari kubur. Lalu ditanya: apakah Islam?
Jawab Nabi saw: Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan
sembahyang. Lalu bertanya: apakah ihsan? Jawab Nabi saw: ihsan
ialah menyembah pada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, maka
jika tidak dapat melihatnya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu.
Lalu bertanya: bilakah hari kiamat? Jawab Nabi saw: orang yang
ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang menanya, tetapi saya
memberitakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya
hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya,
dan jika penggembala unta dan ternak lainnya telah berlomba
membangun gedung-gedung, termasuk dalam lima macam yang

25
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhari, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, 1410 H/1990 M, hlm. 20.
29
tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah, yang disebut dalam ayat:
"sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui, bilakah hari kiamat,
dan Dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang di
dalam rahim ibu, dan tiada seorang pun yang mengetahui apa yang
akan terjadi esok hari, dan tidak seorangpun yang mengetahui di
manakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
sedalam-dalamnya." Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi saw
menyuruh sahabat: kembalikanlah orang itu!. Tetapi sahabat tidak
melihat bekas orang itu. Maka Nabi saw bersabda: itu malaikat Jibril
datang untuk mengajar agama kepada manusia. (HR Bukhari
Muslim)

Di sinilah ihsan menjadi kunci keagamaan, yang kemudian
terelaborasi ke dalam praktek sufisme. Setiap pemeluk Islam hendaknya
mengetahui bahwa Islam (al-Islam) tidak sah tanpa iman, dan iman tidak
sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan
iman juga tidak mungkin tanpa adanya inisial Islam. Di samping saling
terkait, antara ketiganya juga terjalin secara tumpang tindih, sehingga
setiap satu dari ketiganya mengandung makna dua istilah yang lainnya.
Dalam iman terdapat Islam dan ihsan, dalam Islam terdapat iman dan
ihsan, dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Maka kita bisa melihat
bahwa iman, Islam dan ihsan merupakan trilogi ajaran Ilahi. Nampaklah
bahwa ihsan sebagai doktrin sufi memegang peranan yang sangat
menentukan dalam hierarki Islam. Trilogi ini bahkan telah mendapatkan
ekspresinya dalam banyak segi kebudayaan Islam. Arsitektur masjid
Indonesia yang banyak diilhami serta meminjam gaya arsitektur Hindu
mengenal adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga. Seni arsitektur ini
sering ditafsirkan kembali sebagai lambang tiga jenjang perkembangan
penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau permulaan
(purwa), tingkat menengah (madya) dan tingkat akhir yang maju dan
tinggi (wusana). Ini dianggap sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman
dan ihsan, di samping juga ada penafsiran kesejajarannya dengan syariat,
thariqat dan ma'rifat. Yang jelas berbagai ragam interpretasi tersebut
memiliki makna penguatan terhadap apa yang sudah ada secara laten
dalam masyarakat muslim.
30

B. Syahwat

1. Pengertian Syahwat

Kalimat syahwat disebut al-Qur'an dalam berbagai kata
bentukannya sebanyak tiga belas kali, lima kali di antaranya dalam bentuk
masdar, yakni dua kali dalam bentuk mufrad dan tiga kali dalam bentuk
jama'.
26
Secara lughawi, syahwat artinya menyukai dan menyenangi
(syahiya, syaha-yasha, atau syahwatan), sedangkan maknanya adalah
kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzuan nafsi ila
ma turiduhu , ).
27
Dalam bahasa Arab, syahwah
yang berasal dari kata - .
Dengan singkat Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
syahwat yaitu nafsu atau keinginan bersetubuh, kebirahian.
28
Demikian
pula WJS Poerwadarminta mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu
atau kegemaran bersetubuh.
29
Arti yang sama terdapat dalam Kamus
Modern Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama
keinginan bercampur antara laki-laki dan perempuan.
30

Adapun Al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk beberapa
arti:
Pertama, dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni
mengikuti pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan
dalam al-Quran surat al-Nisa/4:27

26
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-
Quran, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 156
27
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Jilid V, Dar al-Maarif, hlm, 3432-3435.
28
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm.
1114
29
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1976, hlm. 985
30
Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
tth, hlm. 893.
31
Kedua, dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap
kelezatan dan kesenangan seperti dijelaskan dalam al-Quran surat Ali
'Imran/3:14 dan Maryam/19:59.
Ketiga, berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti
dijelaskan dalam al-Quran surat al-A'raf/7:81, dan QS. al-Naml/27:55.
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut al-
Quran, di dalam diri manusia terkandung dorongan-dorongan yang
mendesak manusia untuk melakukan hal-hal yang memberikan kepada
kepuasan seksual, kepuasan kepemilikan, kepuasan kenyamanan dan
kepuasan harga diri.
31

Orang-orang yang menapaki jalan Allah, dari bermacam-macam
aliran (thariqat) dan suluk mereka, telah bersepakat bahwa nafsu insaniah
itu sebagai penghalang bagi hati insani untuk mencapai Tuhannya.
Hidayat Allah tidak akan menembus dalam sanubarinya, sebelum ia
berhasil menundukkan bahkan melenyapkan hawa nafsunya.
Dalam pokok bahasan ini, manusia dibedakan menjadi dua
golongan. Pertama, golongan yang terkalahkan oleh nafsunya, sehingga
setiap perilakunya dikendalikan nafsunya. Kedua, golongan yang mampu
mengekang, bahkan mengalahkan nafsunya, maka tunduklah nafsu itu
pada perintahnya. Para arifin (golongan yang sampai pada tingkat
ma'rifatullah) ada di antaranya yang berkata, "Akhir dari perjalanan
panjang seseorang yang meniti jalan menuju ma'rifat yaitu, jika dapat
membuktikan dirinya telah mampu mengalahkan nafsu-nafsunya.
Barangsiapa yang berhasil mengalahkan nafsu itu, maka beruntunglah ia,
sebaliknya bagi yang terkalahkan oleh nafsunya, maka merugi dan
hancurlah ia".
32

Allah swt. berfirman:

31
Achmad Mubarok, Psikologi Qurani, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm. 79
32
Ahmad Faried, Menyucikan Jiwa: Konsep Ulama Salaf, Terj. M. Azhari Hatim,
Risalah Gusti, Surabaya, 1977, hlm. 69
32
_ _ _ } 37 { _ _ _ _ _ _ _ } 38 { _ _ _
_ _ } 39 { _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
} 40 { _ _ _ _ _ ) : 37 - 41 (

Artinya: Adapun orang yang melampaui batas dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggalnya. Sedangkan mereka yang takut
pada kebesaran Tuhannya dan menahan din dari keinginan
hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggalnya." (Q.S. An-Naazi'aat: 37-40).
33


Hawa nafsu memang selalu mengajak ke arah maksiat, kesia-siaan
dan condong untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi. Allah
sendiri selalu menekankan terhadap hamba-Nya agar takut kepada-Nya
dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Mengacu dari maksud tersebut,
maka hati manusia akan memiliki dua motivasi. Terkadang ia lebih
condong pada dorongan yang pertama dan kadang terdorong oleh motivasi
yang kedua. Itulah ujian dan tantangan yang harus dihadapi setiap insan di
dunia ini. Allah Swt telah menjelaskan dalam nash-nash Qur'ani tentang
jenis-jenis nafsu yang dimiliki manusia, yaitu, nafsu muthmainnah,
lawwamah dan ammarah bis-su'.
34

Dalam konteksnya dengan keterangan di atas, menarik dicatat apa
yang dikemukakan Toto Tasmara:
Kepribadian manusia yang terlepas dari cahaya qalbu, benar-benar
akan menjadi tipe manusia yang hanya memburu kekuasaan syahwat,
sehingga, banyak kepribadian manusia yang sakit dikarenakan
mendewakan dorongan syahwat yang mempresentasikan kepribadian
satu dimensi hawaa yang bermuatan energi negatif, di mana potensi
shard dan fu'ad mengecil dan didominasi hawaa. Dengan kata lain,
hawaa merupakan pusat kekuatan yang menggerakkan nafs untuk
berbuat dengan mengabaikan potensi fusha yang telah dilumpuhkan

33
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Quran, op.cit., hlm. 1021
1022.
34
Ahmad Faried, op. cit, hlm. 70
33
hawaa. Dia terperosok dalam alam gelap dan masuklah dia dengan
dalam kubang kemaksiatan.
35


2. Macam-Macam Syahwat

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Al-Qur'an
menggunakan term syahwat untuk beberapa arti dan dari arti masing-
masing dapat diklasifikasikan dalam tiga macam :
Pertama, dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni
mengikuti pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan
dalam al-Quran surat al-Nisa/4:27. Kedua, dihubungkan dengan
keinginan manusia terhadap kelezatan dan kesenangan seperti dijelaskan
dalam al-Quran surat Ali 'Imran/3:14 dan Maryam/19:59. Ketiga,
berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan dalam
al-Quran surat al-A'raf/7:81, dan QS. al-Naml/27:55.
Yang pertama, menyangkut hawa nafsu; kedua, mencintai
kelezatan dunia, dan ketiga, seks yang menyimpang atau free sex. Ketiga
hal inilah yang hendak dibahas.
Persoalan pertama yaitu hawa nafsu. Hawa nafsu adalah
kecondongan kepada sesuatu yang diingini. Seorang tidak tercela jika
memenuhi keinginannya yang dibolehkan secara wajar. Yang tercela
hanyalah yang melampaui batas, apalagi yang mengarah kepada yang
haram maupun yang berlebihan. Bersabar diri dari berbagai perbuatan
buruk merupakan nilai utama tersendiri bagi nafsu. Karena, nafsu dapat
mengarahkan manusia kepada yang baik maupun yang buruk. Seorang
yang sedikit kesabarannya, maka hawa nafsunya akan menguasai akalnya.
Sehingga ia menjadikan pengikut menjadi pimpinan dan makmum
menjadi imam. Maka tidaklah heran jika semua yang diinginkan adalah
segala yang bertentangan, sehingga ia banyak menanggung rugi dan
susah. Keunggulan manusia terhadap binatang adalah karena akalnya yang
biasa diperintah untuk mengendalikan hawa nafsunya. Jika seorang tidak

35
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hlm. 122
34
mau mendengar nasehat yang baik dan ia lebih condong kepada nafsunya,
maka binatang lebih mulia dari manusia model itu.
36

Nafsu (nafs), menurut pengertian yang populer atau menurut
pengertian yang biasa dikemukakan dalam lapangan tasawuf-akhlak,
adalah dorongan-dorongan alamiah pada manusia, yang mendorong
manusia kepada pemenuhan kebutuhan hidupnya. la merupakan tenaga
vital bagi manusia; tanpa keberadaannya tak mungkin manusia hidup.
Manusia makan dan minum, tidak lain karena ia memiliki nafsu untuk
makan dan minum. la berjuang menyingkirkan bahaya, atau menyingkir
dari bahaya, tidak lain karena ia memiliki nafsu yang mendorong kepada
perbuatan demikian. la mendekati atau menikmati apa yang disenanginya,
juga karena dorongan nafsu.
Dalam kajian tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam dua
kategori:
Pertama adalah nafsu marah (nafs gadabiyyat), yakni nafsu yang
mendorong orang untuk marah atau benci kepada apa saja yang
mengganggu atau berbahaya bagi kehidupannya. Karena adanya nafsu
marah itu, ia berupaya menyingkirkan gangguan atau bahaya itu, dan
kalau ia tidak mampu menyingkirkannya, ia akan didorong oleh nafsu itu
untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Kedua adalah
nafsu senang (nafs syahwaniyyat), yakni yang mendorong orang untuk
mendapatkan, memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan
dirinya.
Nafsu, yang keberadaannya vital bagi setiap manusia, bersifat
buta, dan karena itu perlu dikembangkan serta dikontrol secara benar dan
baik oleh akal atau ajaran agama. la dapat dimisalkan seperti sungai yang
bisa mengalir tenang dan bisa meluap atau menghancurkan, dan karena itu
perlu dikontrol dengan sistem bendungan dan irigasi yang baik, sehingga
memberikan manfaat yang maksimal bagi kehidupan manusia dan

36
Al-Imam Ibnul Jauziy, Terapi Mengatasi Penyakit Rohani, Pustaka Anisah,
Rembang, 2003, hlm. 21-22
35
lingkungannya. Nafsu yang tidak terkontrol dengan baik akan
menghasilkan kerusakan, tapi yang terkontrol dengan baik, niscaya
membuahkan kebaikan.
Nafsu marah yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang
lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi
manusia yang berani dalam kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah
seseorang tidak dikembangkan niscaya menjadi manusia pengecut, atau
kalau dikembangkan tanpa kendali, niscaya menjadi manusia nekad, yang
merugikan diri sendiri.
Nafsu senang (syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada
jalan yang lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang
menjadi manusia yang bersih (suci). Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi
manusia serakah (rakus), bila ia membiarkan nafsunya berkembang
merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi manusia beku, tak berselera, bila
nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang. Demikianlah, nafsu yang
bersifat vital itu perlu dikembangkan oleh akal yang bijaksana, atau akal
yang mendapat penerangan dari agama yang benar. Nafsu yang sering
dikatakan senantiasa mendorong kepada kejahatan (nafs ammarat), tidak
lain dari nafsu yang lepas dari kontrol akal yang bijaksana.
37

Kedua, mencintai kelezatan dunia. jika hati manusia ini sudah
terbelenggu penyakit cinta dunia, kedudukan, popularitas, atau harta
kekayaan, maka syahwat dan nafsunya yang secara alami cenderung pada
kejelekan akan mengendalikan hatinya agar menjadi budak bagi semua
yang dicintainya. Bagaimana jika nafsu liar ini bebas memangsa dunia
yang dicintainya? Akibatnya, bimbingan hati nurani atas semua jasad akan
lepas. Tidak akan ada lagi hidayah yang membimbingnya, selain dorongan
nafsu semata. Demikian halnya dengan pencinta popularitas, yang

37
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,
Anggota IKAPI, Jakarta, 1992, hlm. 723
36
mendambakan setiap orang mengenal kebaikan atau kemahirannya, untuk
mendapatkan status yang lebih tinggi di tengah masyarakat.
38

Penyakit hati yang satu ini akan menyebabkan munculnya
penyakit-penyakit lain, seperti 'ujub (merasa paling hebat ibadahnya), riya'
(sombong), dan terlalu bergantung pada amal kebaikannya sehingga lupa
bahwa di antara kebaikannya tersimpan banyak kesalahan. Lebih parah
lagi jika penyakit dunia dan status ini menyerang para pemuka agama.
Agama akan dijadikan sarana untuk mengumpulkan materi dan merebut
simpati massa, yang pada gilirannya akan mendorongnya menjadi budak
nafsu yang menghalalkan segala cara.
Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan pemeliharaan dari
Allah, tentu saja tidak demikian. Bagi mereka, dunia, kedudukan, dan
popularitas duniawi yang didapatkannya tidak akan pernah menggusurnya
hanyut dalam kerusakan; karena semua aspek duniawi yang mereka
peroleh tidak pernah mendapat tempat di hatinya. Mereka bahkan
berkuasa mengatur dan mengendalikan dunia sebagaimana yang dilakukan
oleh para nabi, para wali, dan para ulama yang saleh.
39

Seseorang yang terpanah cinta dunia menganggap kehidupan itu
hanyalah apa yang dapat dilihat, didengar dan rasakan di dunia ini.
Mereka dipermainkan oleh dunianya sehingga sebanyak-banyaknya
mengumpulkan dan menghimpun seluruh materi dunia yang dia cintai.
Banyak manusia yang menjadi buta dan dungu dengan tipuan dunianya.
Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meraih
kemenangan dalam kompetisi duniawi yang segera akan berakhir dengan
kematian, sementara dirinya lelah karena diperbudak dunia. Mereka selalu
merasa belum mendapatkannya. Padahal mereka tidak merasakan apa pun
selain bayangan fatamorgana yang menjanjikan kesegaran semu di tengah
kehausan. Adanya larangan hubbud-dunya merupakan peringatan agar

38
Uwes Al-Qorni, Penyakit Hati, Rosda Karya, Bandung, 2003, hlm. 10 11.
39
Ibid, hlm. 12 13.
37
setiap orang selalu waspada dalam menghadapi dan mengantisipasi
seluruh problematika dan dinamika kehidupan di dunia.
40

Ketiga, syahwat dalam arti nafsu seks yang menyimpang atau free
sex. Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang, sebagaimana dikutip
oleh Hanna Djumhana Bastaman mengatakan: salah satu prestasi penting
dari proses modernisasi di dunia Barat, yakni melepaskan diri dari
berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat, sekaligus berhasil
meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan.
41
Di
antaranya, yaitu pertama, kebebasan seks dan peluang untuk
melakukannya ternyata menjadikan fungsi hubungan seks bukan sebagai
ungkapan cinta kasih melainkan sebagai tuntutan dan keharusan untuk
berhasil meraih puncak kenikmatan; kedua, makin sering terjadi gangguan
fungsi seksual pada pria dan wanita dewasa.
42

Pernyataan di atas menjadi indikator bahwa selama ini telah terjadi
penyimpangan seks. Kehidupan free sex atau seks bebas atau pergaulan
bebas yang memang sudah ada sejak dulu kemudian melahirkan
penyimpangan-penyimpangan, seperti hidup bersama tanpa nikah, hamil
diluar nikah, homoseks/lesbian, pelacuran (prostitusi). Seperti yang
dinyatakan Dadang Hawari bahwa:
Pada Mei 1995 lalu dalam konferensi tahunan dari The Amirican
Psychiatric Association di Miami, ada sebuah lokakarya dengan
judul Family Crisis. Hasil dari sebuah penelitian/statistik
menyebutkan bahwa dalam tiga puluh tahun terakhir ini 60%
keluarga di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian, dan 70%
dari anak-anaknya berkembang tidak sehat baik secara fisik,
mental, maupun sosial. Selanjutnya dikemukakan bahwa angka
perceraian semakin meningkat, pernikahan semakin menurun
karena banyak orang memilih hidup bersama tanpa nikah dan free
sex. Ketidaksetiaan (penyelewengan) dikalangan keluarga-

40
Aba Firdaus Al-Halwani dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Media Insani,
Yogyakarta, 2002, hlm. 34 35.
41
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi
islami, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 192.
42
Ibid.
38
keluarga di AS juga cukup tinggi. Disebutkan: 75% para suami
dan 40% istri-istri di AS juga menyeleweng.
43


Disamping itu Nasruddin Razak mengatakan bahwa :
Dengan terlepasnya kontrol agama terhadap perkembangan ilmu
dan masyarakat, dunia Eropa dan Amerika dilanda moral baru.
Pergaulan bebas yang mutlak, hubungan seksuil di luar
perkawinan dan kelahiran bayi-bayi yang tidak punya ayah yang
jelas terjadi demikian hebatnya. Hal mana terjadi sejak dari
tingkatan rendah sampai ke cabang atas, dari mereka yang masih
gadis sejak umur sepuluh tahun sampai kepada mereka yang telah
berumah tangga, sudah kawin. Jelaslah, bahwa kemajuan ilmu dan
teknologi Barat, bukanlah karena agama mereka, tapi karena jiwa
ilmiah semata.
44


Sedangkan H. Ali Akbar mengatakan:
Pada generasi dahulu orang Amerika menghargai perawan, tidak
ada seorang wanita terhormat, berapapun umurnya melakukan
hubungan seks dengan orang lain, selain dengan suaminya.
Sekarang keadaan sudah berubah, banyak di sekolah tinggi
pengaturan hidup dengan pilihan bebas mengizinkan kebebasan
seksual tanpa pengaturan resmi (hidup bersama/bebas tanpa
kawin). Hampir semua pemuda sekarang menerima seks sebagai
bagian hidup alami, mereka mengakui bahwa wanita menyukai
dan membutuhkan aktivitas seksual sama dengan pria. Dan
mereka percaya, bahwa cara orang dewasa mengatakan perasaan
mereka timbal balik adalah soal mereka, bukan soal siapapun.
Menurut kalangan ilmiah, cara berfikir seperti ini adalah sehat dan
pendekatan masalah seks terbuka sekarang ini adalah tidak lebih
wajar.
45


Terjadi pergeseran nilai seperti ini, membuat masyarakat semakin
resah terutama di kalangan orang tua dan para pendidik. Di mana melihat
anak-anak bergaul dengan bebas bersama lawan jenisnya. Panti pijat
bertambah banyak, pelacuran-pelacuran gentanyangan. Akhirnya banyak
korban berjatuhan; hamil sebelum nikah, bayi-bayi lahir tanpa ayah atau
orang-orang kena penyakit hubungan seks (PHS). Kesemuanya ini

43
H. Dadang Hawari, al Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Cet. VII,
PT. Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta, 1998, hlm. 109 -110.
44
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Cet. IX, Al Maarif, Bandung, 1986, hlm. 30.
45
H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, Pustaka Antara, Jakarta, 1971, hlm. 79 - 80
39
didorong oleh nafsu seksuil yang sengaja dituruti tanpa upaya untuk
mengendalikan atau menjinakkan.
Islam tidak mengingkari cinta seksual, sebab cinta seksual
merupakan sesuatu yang alamiah dalam diri manusia. Namun demikian,
Islam mengajak agar pemuasan cinta seksual itu sesuai dengan syari'at,
yaitu pernikahan.
46


3. Upaya Pengendalian Syahwat

Seorang yang berakal perlu mengetahui bahwa menderita karena
menahan keinginan lebih mudah dari menuruti keinginan itu sendiri.
Dampak yang paling kecil yang dihadapi oleh orang-orang yang selalu
mengumbar syahwatnya, mereka tidak dapat merasakan nikmatnya,
karena tidak mudah melepaskan diri dari rasa ketergantungannya, karena
ia telah menjadi kebiasaan hidup mereka, seperti kebiasaan bersetubuh
dan mabuk-mabukkan. Berfikir jernih tentang masalah-masalah seperti itu
dapat mempermudah manusia untuk mengendalikan syhwatnya. Termasuk
juga, jika manusia memikirkan dirinya, maka ia akan menilai syahwatnya
sebagai sesuatu yang hina, karena ia mengetahui bahwa ia dijadikan bukan
untuk menyetujui segala keinginan syahwatnya. Sebab, seekor onta
mampu makan lebih banyak dari seekor burung kecil, karena itu, seekor
burung kecil lebih mampu menempuh perjalanan jauh dari seekor onta.
Begitu juga, pada umumnya binatang dapat bebas mengumbar nafsunya,
karena mereka tidak mempunyai fikiran yang pelik. Demikian juga, kalau
seorang pandai mengendalikan nafsunya dan ia mengetahui berbagai
kekurangannya, pasti ia sadar bahwa ia tidak diciptakan untuk mengumbar
nafsunya.
47

Menurut Imam Yahya Ibn Hamzah, perkara terbesar yang sering
mencelakakan manusia adalah nafsu perutnya. Nafsu itulah yang telah

46
Muhammad Utsman Najati, Hadis dan Ilmu Jiwa, Terj. M. Zaka Alfarizi, Pustaka,
Bandung, 2005, hlm. 87.
47
Al-Imam Ibnul Jauzy, op. cit, hlm. 23.
40
mengeluarkan Adam dan Hawa dari tempat abadi ke tempat penuh
kehinaan, kerendahan, dan kebutuhan, ketika mereka berdua melanggar
larangan agar tidak memakan buah dari suatu jenis pohon. Tetapi karena
nafsu telah mengalahkan mereka, mereka tetap memakannya. Maka
tampaklah aurat keduanya. Sesungguhnya perut adalah sumber nafsu itu,
sekaligus merupakan asal mula semua malapetaka. Sedangkan nafsu seks
yang bersifat birahi hanya mengikuti nafsu perut.
48

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bahwa cara menepis hawa
nafsu ada lima puluh cara dan yang paling utama di antaranya ada sepuluh
cara yaitu:
49

Pertama, harus ada semangat secara bebas agar muncul
kecemburuan terhadap dirinya sendiri. Kedua, modal kesabaran untuk
menghadapi masa-masanya yang terasa pahit. Ketiga, kekuatan jiwa yang
bisa mendorongnya berani menenggak kepahitan itu, karena keberanian
merupakan kesabaran sesaat, dan sebaik-baik hidup adalah yang bisa
diketahui seseorang berkat kesabarannya. Keempat, mencermati secara
baik akibat suatu kejadian dan mencari kesembuhan dengan menenggak
kepahitan itu. Kelima, mengamati dan mempertimbangkan penderitaan
yang semakin bertambah dari pada kenikmatan menuruti nafsu. Keenam,
mempertahankan kedudukannya di sisi Allah dan di hati manusia. Ini
lebih baik dan lebih bermanfaat baginya daripada kenikmatan karena
mengikuti nafsu. Ketujuh, lebih mementingkan kenikmatan menjaga
kehormatan daripada kenikmatan melakukan kedurhakaan.
Kedelapan, kesenangan mengalahkan musuh, mengusir dan
menimbulkan kemarahannya. Sebab ia tak akan mendapatkan jaminan
keamanan dari mereka. Allah senang jika hamba-Nya yang Mukmin
menghindari musuh-musuh-Nya dan membenci mereka. Firman-Nya:

48
Imam Yahya Ibn Hamzah, op. cit, hlm. 43
49
Ibnu Qayyim, 50 Cara Menepis Hawa Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Dar al Falah,
Jakarta, tth, hlm. 65 69.
41
_ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ ) : 120 (

Artinya: "...dan tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan
amarah orang-orang kafir dan tidak menimbulkan sesuatu
bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka
karena yang demikian itu suatu amal shaleh." (Q.S. At
Taubah:120).
50


Firman-Nya:
_ _ _ ) : 29 (

Artinya: "...karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir." (Q.S. al-Fath: 29).
51


_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
) : 100 (
Artinya: "Dan, siapa berhijrah dijalan Allah, niscaya mereka
mendapati dimuka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizqi
yang banyak. "(An-Nisa: 100).
52

Kesembilan: berpikir bahwa dia tidak diperuntukkan bagi nafsu,
tapi dipersiapkan untuk suatu urusan yang besar. Urusan ini tidak akan
diperoleh kecuali dengan memusuhi nafsu. Dikatakan dalam sebuah syair:
"Mereka mempersiapkan untuk urusan yang besar
andaikan kau mau memikirkannya jagalah dirimu secara benar
agar tiada meremehkannya."

Kesepuluh: jangan membuat diri sendiri seakan-akan kondisi
hewan lebih baik dari kondisinya. Dengan nalurinya, hewan bisa
membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.
Lalu dia memilih yang bermanfaat bagi dirinya. Manusia diberi akal
dalam masalah ini. Jika dia tidak bisa membedakan antara yang

50
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, op.cit., hlm. 301.
51
Ibid., hlm. 843.
52
Ibid., hlm. 137.
42
bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya atau tidak mengetahuinya,
lalu ia memilih yang berbahaya, berarti keadaan hewan lebih baik dari
pada keadaannya.
53

Hewan tetap bisa merasakan kenikmatan makanan, minuman dan
persetubuhan, yang tidak bisa dirasakan manusia meskipun dalam suasana
kehidupan yang tenang, terlepas dari pemikiran dan kehendak. Maka dari
itu meskipun hewan digiring ke tempat penyembelihannya, toh nafsunya
tetap masih membara, karena ia tidak tahu kesudahannya.
Sedangkan manusia tak bisa memperoleh seperti yang diperoleh
hewan, karena adanya kekuatan pikiran yang terus bekerja dan karena
lemahnya alat yang bisa dipergunakan. Andaikata hal-hal yang
menggugah nafsu itu bisa diperoleh dengan mudah dan ini merupakan
kebaikan, tentunya hak manusia tak akan dikurangi begitu saja. Namun
kenyataannya hal ini dibuka bagi hewan. Maka sebagai gantinya, manusia
diberi akal dan ilmu.
54

Yang mendorong orang mengikuti nafsunya sejajar dengan hewan,
karena kedurhakaan yang ia lakukan, terlepas dari segala pengawasan,
karena nafsu menjadi penghalang antara dirinya dan ilmu.
Maka tidak ada jalan lain kecuali mengenyahkan syahwatnya.
Andaikata dia bisa membedakan antara pelaksanaan hajatnya yang hanya
sesaat dan penyesalan yang bakal ia alami sepanjang hidupnya, tentu dia
tak akan mendekati syahwat itu, meskipun dunia diserahkan kepadanya.

53
Ibnu Qayyim, 50 Cara Menepis Hawa Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Dar al Falah,
Jakarta, tth, hlm. 66.
54
Ibid, hlm. 67.

Anda mungkin juga menyukai