Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai buktinya
adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf di sejumlah
perpustakaan, di negara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara-negara Barat
sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan
betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha
membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat
menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji
Allah Swt dan mengikuti syari’at Rasulullah saw. Dalam mendekatkan diri dan mencapai
riḍha-Nya.1
Tasawuf sendiri adalah upaya untuk membebaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaan
demi meraih sifat-sifat malaikat dan akhlak ilahi, serta menjalani hidup pada poros
ma’rifatullah dan maḥabbatullah sembari menikmati kenikmatan spiritual. Sedang sebuah
ungkapan yang disematkan kepada para ahli tasawuf disebut sufi.2
Tujuan para sufi adalah ma’rifatullah yang dalam perjalanannya melalui beberapa
tahap seperti syariat, ṭarῑqah, hakekat dan ma’rifat. Ma’rifat adalah tujuan akhir dari
tasawwuf, yang mana didikannya pun berpindah dari hakekat ke ma’rifat yaitu mengenal
Tuhan sebaik-baiknya.3
Sufisme atau orang-orang yang tertarik pada pengetahuan sebelah dalam, orang-orang
yang berupaya mencari jalan atau praktik amalan yang dapat mengantarkannya pada
kesadaran dan pencerahan hati adalah orang- orang yang mengikuti jalan penjernihan diri,
penyucian hati dan meningkatkan kualitas karakter dan perilaku mereka agar mencapai
tahapan (maqam) orang-orang yang menyembah Allah seolah-olah mereka melihat-Nya dan
jikalau tidak Dia selalu melihat mereka.4
Dari penjelasan di atas, maka tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai
sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan

1
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 147
2
Muhammad Fethullah Gülen, Kalbin Zümrüt Tepeleri, Terj. Fuad Syaifudin Nur, Tasawuf Untuk Kita
Semua, (Jakarta: Anggota IKAPI DKI Jakarta, 2014), h. 2
3
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1996), h. 406
4
Syaikh Fadhlalla Haeri, The Elements Of Sufism, Terj. Burdah dan Shohifullah, Jenjang-Jenjang
Sufisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 2-3

1
mereka terhadap tasawuf dapat dilihat pada kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau
naluriah dan karena kecenderungan pada persoalan akademis.

B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan mengenai tasawuf ini, maka perumusan masalah dalam makalah
ini adalah :
1. Bagaimana pengertian dasar mengenai Tasawuf?
2. Bagaimana Sejarah lahir dan berkembangnya Tasawuf?
3. Bagaimana pandangan para sufi mengenai tipologi tasawuf dalam Islam?

C. Tujuan Penulisan
Dari beberapa rumusan permasalahan di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah
ini diantaranya adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tasawuf
2. Untuk mengetahui sejarah dan berkembangnya tasawuf
3. Untuk mengetahui bagaimana pendapat dan pandangan sufi mengenai tipologi
tasawuf dalam Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dasar tentang Tasawuf


a. Secara etimologis
Secara etimologis kata Tasawuf berasal dari kata bahasa Arab, yaitu tashawwafa,
Yatashawwafu, selain dari kata tersebut ada yang menjelaskan bahwa tasawuf berasal dari
kata Shuf yang artinya bulu domba, maksudnya adalah bahwa penganut tasawuf ini hidupnya
sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi pakaian sutra dan memaki kain dari buku
domba yang berbulu kasar atau yang disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu
itu memaki kain wol kasar adalah simbol kesederhanaan. 5 Kata shuf tesebut tersebut juga
diartikan dengan selembar bulu yang maksudnya para Sufi dihadapan Allah merasa dirinya
hanya bagaikan selembar bulu yang terpisah dari kesatuannya yang tidak memiliki arti apa-
apa.6
Kata tasawuf juga berasal dari kata Shaff yang berarti barisan, makna kata shaff ini
diartikan kepada para jamaah yang selalu berada pada barisan terdepan ketika salat,
sebagaimana salat yang berada pada barisan terdepan maka akan mendapat kemuliaan dan
pahala.7 Tasawuf juga berasal dari kata shafa yang berarti jernih, bersih, atau suci, makna
tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau suci, maksudnya
adalah bahwa mereka menyucikan dirinya dihadapan Allah swt. melalui latihan kerohanian
yang amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat yang kotor
sehingga mencapai kebersihan dan kesucian pada hatinya. 8 Adapun yang mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata Shuffah yaitu serambi masjid Nabawi yang ditempati
sebagian sahabat Rasulullah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai
tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa Rasulullah saw. Mereka biasa dipanggil ahli
shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid itulah mereka bernaung. Bisa juga
dipahami orang-orang pindah bersama Nabi dari Makkah ke Madinah. Maknanya tersebut
dilatarbelakangi oleh sekelompok sahabat yang hidup zuhud dan konsentrasi beribadah

5
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 4
6
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), h. 9
7
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf...,Ibid,h. 3
8
Ibid, h. 3

3
hanya kepada Allah swt. serta menimba ilmu bersama Rasulullah yang menghuni masjid
Nabawi.9
b. Secara terminologi
Adapun secara terminologi terdapat banyak beberapa pendapat berbeda yang telah
dinyatakan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Syekh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat tasawuf adalah mensucikan hati dan
melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalawt, riya-dloh, taubah dan ikhlas.
2. Al-Junaidi berpendapat bahwa tasawuf adalah kegiatan membersihkan hati dari
yang mengganggu perasaan manusia, memadamkan kelemahan, menjauhi
keinginan hawa nafsu, mendekati hal-hal yang diridhai Allah, bergantung pada
ilmu-ilmu hakikat, memberikan nasihat kepada semua orang, memegang dengan
erat janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti contoh Rasulullah dalam
hal syari'at
3. Syaikh Ibnu Ajibah menjelaskan tasawuf sebagai ilmu yang membawa seseorang
agar bisa dekat bersama dengan Allah swt. melalui penyucian rohani dan
mempermanisnya dengan amal-amal shaleh dan jalan tasawuf yang pertama
dengan ilmu, yang kedua amal dan yang terakhirnya adalah karunia Ilahi. 10
4. Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil
setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.11
5. Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara,
mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam
dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.12
6. Tasawuf adalah salah satu jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam
rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan rohani bagi jutaan manusia.13
Ada beberapa ciri-ciri umum yang dikatakan oleh salah seorang peneliti tasawuf
yaitu Abu Al-Wafa' Alganimi At-Taftazani dalam bukunya yang berjudul Madkhal Ila at-
Tasawwuf al-Islam yang menyebutkan lima ciri-ciri umum tasawuf, yaitu:
1. Memiliki nilai-nilai moral
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realisasi mutlak
3. Pengetahuan intuitif langsung

9
Amin Syukur Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), h. 11. Lihat
buku Mohammad Saifullah, Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), h.10-11
10
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam..., Ibid, h. 11
11
Mohammad Saifullah, Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), h.14-18
12
Syeikh Fadhlullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, (Jakarta: Lentera Basritama, 1998), h. 2
13
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.241

4
4. Timbulnya rasa bahagia sebagai karunia Allah swt. dalam diri sufi karena sudah
tercapainya maqamat atau yang biasa disebut dengan tingkatan14
5. Penggunaan simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan
tersirat.15
c. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat orang
berdiri atau pangkal mulia.16 Secara istilah yaitu jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.17
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi
untuk sampai menuju tuhan. Terjadi perbedaan pendapat mengenai maqamat ini yaitu
Menurut Muhammad Al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruuf li mazhab ahl al-Tasawuf,
mengatakan maqamat itu jumlahnya ada 10, yaitu: al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-
tawadhu’, al-taqwa, al-tawakal, al-ridla, al-mahabah dan al-ma’rifah. Sementara itu Abu
Nars al-Sarraj al-tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya enam, yaitu
al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakal, dan al-ridla.18
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din mengatakan
bahwa maqamat itu ada tujuh, yaitu al-taubah, al-sabr, al-zuhud, al-tawakal, al-habbah, al-
ma’rifah dan ar-ridla.19
Melihat variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang
disepakati, yaitu al-taubah, al-Zuhud, al-wara’, alfaqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridla.
Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah dan ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai
maqamat.20
d. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental
(mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.21
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, yaitu: Tingkatan
Pengawasan diri (Al-Muraaqabah), Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu),

14
Inti dari tasawuf itu merupakan membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan
menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai
maqam yang tinggi. Lihat : Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, (Solo: Tiga Serangkai, Cet. 2,
2006), h.3
15
Pemadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Rineka Cipta, cet 2, 2004),h. 34
16
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 362
17
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, cet.III, 1983), h. 62
18
Ibid, h.62
19
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 162-158
20
Abuddin nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , Ed.1, Cet.2, 2006) h.194
21
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf, ( Bandung: Mizan, Cet. II, 2006).

5
Tingkatan cinta (Al Mahabbah), Tingkatan takut (Al-Khauf), Tingkatan harapan (Ar-Rajaa),
Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq), Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada
perintah Allah (Al Unsu), Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi'naan), Tingkatan Perenungan
(Al-Musyaahaah), Tingkatan kepastian (Al Yaqiin).

B. Sejarah lahir dan berkembangnya Tasawuf


a. Sejarah Lahirnya Tasawuf
Sedangkan secara historis, pada masa nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin
ra., sebutan atau istilah tasawuf belum pernah dikenal. Sehingga banyak pengkritik sufi, atau
kelompok penolak tasawuf beranggapan karena istilah tersebut tidak pernah terdengar di
masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka
bahwa istilah ini hanya dibuat-buat saja. Istilah tasawuf baru digunakan pada pertengahan
abad ke 2 H, dan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Hasyim Al-kufi (W 250 H). Dengan
meletakkan ash-shufi dibelakang namanya, meskipun sebelum itu telah ada ahli yang
mendahuluinya dalam zuhud, wara’, tawakkal, dan mahabbah.
Walaupun tetap saja ada yang mengklaim bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam,
dengan asumsi bahwa tasawuf adalah membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga
diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai
kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Serta tasawuf
memusatkan pembersihan rohani dan berujung pada akhlak mulia.22
Seandainya tidak ada stigma yang melihat akan praktek ini sudah ada pada masa nabi
atau tidak, maka nama tasawuf tentu diterima dengan baik. Walaupun sudah ada rumusan
untuk menyesuaikan praktek-praktek tasawuf dengan semangat ajaran nabi dibanding untuk
mencapai absorsi diri dengan wujud Tuhan.23
Dengan demikian, beberapa alasan lain dimunculkan, Pertama, bahwa spritual
sufisme membawa ekstrimitas pada spritual “kasyfi” yang cendrung ujungnya berakhir pada
wihdatul wujud. Kedua, spritualisme sufisme juga tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas
yang berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan
Allah. Ketiga, tasawuf cendrung ke tareqat yang melembaga dengan ekstrimitasnya
tersendiri.24
22
Ibid, h. 235
23
Azyumardi Azra, Akar-akar Historis Pembaharuan Islam Indonesia: Neo-Sufisme Abad ke-11-12H/
17-18M Predule bagi Gerakan Pemabahrauan Muhammadiyah, dalam Buku “Muhammadiyah Kini dan Esok”,
(Jakarta: Pustaka PanjiMas, 1990), h. 5
24
Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000),
h. 22-23

6
Oleh karena itu, ada beberapa asumsi tentang lahirnya tasawuf. Asumsi tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor, yakni pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu
bersumber dari ajaran di luar Islam yang masuk ke dalam ajaran Islam. Para orientalis
berpendapat bahwa tasawuf berasal dari alam pikiran India di antaranya M. Hortan dan R.
Hartman, dengan mengemukakan alasannya:
1. Kebanyakan angkatan pertama para sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya, Ibrahim
ibn Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Bustami dan Yahya ibn Maaz al-Razi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurazhan.
3. Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan
kebudayaan Timur dan Barat. Ketika para penduduk itu memeluk agama Islam,
mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Islam yang pertama adalah corak India, baik dalam kecenderungannya maupun
metode-metodenya, keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya merupakan gagasan
dan praktik yang berasal dari India.25
Plotinus, sebagai tokoh aliran filsafat sebagai aliran filsafat Neo Platonisme, dikenal
sebagai pembawa filsafat emanasi yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat
Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya tetapi dengan
masuknya ke alam materi roh menjadi kotor dan untuk dapat kembali ketempat asalnya roh
terlebih dahulu harus dibersihkan.26 Penyucian roh adalah dengan meninggalkan dunia dan
mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa
filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.27
al-Taftazani mengatakan, cukup banyak orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf
berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis ini lebih menaruh perhatian terhadap
tasawuf yang ditimba dari sumber Yunani yaitu tasawuf falsafi (teosofis), suatu jenis tasawuf
yang mulai muncul pada abad ke tiga hijriyah lewat Zu al-Nun al-Misri yang berasal dari
Mesir yang dikenal sebagai filosof dan ahli kimia sekaligus pengikut sains Hellenistik. Dari
analisa sejarah dapat diketahui, adanya akulturasi kebudayaan Islam dan Yunani terutama
dalam gerakan filsafat yang sangat berpengaruh dalam dunia Islam. Pada saat dinasti
Umayyah dan puncak perkembangannya, pada masa dinasti Abbasiyah, lewat penerjemahan
buku-buku Yunani dalam berbagai disiplin ilmu28, termasuk filsafat ke dalam bahasa Arab.
Metode berpikir orang Yunani ini mempengaruhi cara berpikir sebagian orang Islam yang
25
Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1996),
h.10
26
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I, 1993), h. 182
27
Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 182
28
A. Hasmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IV,1993), h. 236-265.

7
ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau dulu ajaran tasawuf baru bersifat akhlak, amaliyah,
maka dengan pengaruh filsafat Yunani ini, uraian-uraiannya berkembang menjadi bersifat
falsafah.29 Hal ini dapat dilihat dari pikiran para filosof seperti al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu
Sina terutama urusan mereka tentang filsafat jiwa.30
Sedangkan R.A. Nicholson berkata bahwa jelas kecenderungan-kecenderungan
asketisisme dan kontemplasi bersesuaian dengan ide Kristen banyak yang dapat dijadikan
sebagai rujukan yakni, banyak teks Injil dan ungkapan-ungkapan yang diatributkan sebagai
ucapan al-Masih yang terukir dalam biografi para sufi angkatan pertama. Bahkan seringkali
muncul para biarawan Kristen dalam kedudukannya sebagai guru yang menasehati dan
memberi arahan pada asketis muslim.31 Kita pun dapat melihat bagaimana baju bulu domba
ini berasal dari umat Kristen nazar untuk tidak berbicara, zikir dan latihan-latihan rohaniah
lainnya mungkin berasal dari sumber yang sama juga.32
Pengaruh dari ajaran Kristen tersebut dengan faham menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri di dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan
tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia, lampu yang mereka
pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah yang lewat, kemah mereka
yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati
mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan.33
Selain itu perlu pula dikemukakan bahwa tasawuf berasal dari Persia karena sebagian
tokohnya berasal dari Persia seperti: Ma’ruf al-Karakhi dan Abu Yazid al-Bustami. Di
samping tokoh sufi juga mempunyai filosof yang berpengaruh dan pujangga-
pujangga Persia lebih kaya daripada pujangga-pujangga Arab dalam hal memahamkan Islam,
sebab mereka dapat menguasai dua bahasa, Arab dan Persia.34
Tetapi sekalipun sufisme mendasarkan ajarannya pada alquran dan as-sunnah
khususnya dalam soal-soal doktrin, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
perkembangannya, esoterisme Islam ini memasukkan unsur-unsur asing dari luar. Hal ini
terjadi karena adanya kontak antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di
Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju
daripada kaum muslim sendiri. Unsur asing yang banyak disebut sangat mempengaruhi dunia
sufisme adalah Neoplatonisme, Gnotisisme, Moohisme, faham inkarnasi dan bahkan
29
Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf..., Ibid, h.184
30
Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam (Bandung: Ramadani, Cet. IV,1991), h. 47.
31
Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf...,Ibid, h. 18
32
Ibid, h. 18
33
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam...,Ibid, h. 58
34
Ibid, h. 192

8
animisme, Panteisme dan Politeisme.35 Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini
membuat para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidakaslian
sufisme berasal dari Islam.
Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari Islam mengambil contoh
kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan
bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil
dalil alquran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah
dalam penciptaan manusia pertama, nabi Adam as. Menurut Buya Hamka tasawuf muncul
karena suburnya ahli fikir Mu’tazilah dan mulailah timbul tasawuf itu.36
b. Sejarah Berkembangnya Tasawuf
Pada fase pertama (abad kedua hijriyah) perkembangan tasawuf tersebut, terdapat
individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah sebagai perkembangan lanjut
dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.
Aktualisasi prima dari sikap zuhud tersebut, mengabaikan kenikmatan dunia. Fase ini disebut
sebagai asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, Mereka lebih banyak
beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat yang menyebabkan mereka
lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis.
Maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh
oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat
tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan
tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad.
Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhāsibi (w. 243 H), al-
Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.), dan penulis lainya.
Ada tiga faktor yang menyebabkan lahirnya tasawuf. Faktor Pertama : gerakan ini
semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar. Tokoh
populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang
mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan
khawf – al-raja’, Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah
serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.

35
Ahmad Mahmud Subhy, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi- Fikr al-Islam (Kairo; Dar' al- Ma'rif 1992), h.
80-81
36
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1970), h.18

9
Faktor Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme
kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Sikap yang demikian itu
melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).
Faktor Ketiga: karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang
rasional, sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya.
Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang
menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba
dan penciptanya. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara
kaum orthodoks dengan kelompok sufi berfaham ittihad di pihak lain.37
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah
tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep
tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk
menjembatani atau untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, maka lahirlah doktrin al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan
legalitas al-fana’. Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan
sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik
dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan
tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma, al-Kalabasi
dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.
Berbarengan dengan itu terjadi pula sikap pro dan kontra terhadap konsepsi al-
ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran Islam baik
intern sufisme maupun dengan teologi dan fiqih. Dua kelompok terakhir menuduh sufisme
sebagai gerakan sempalan yang sesat.
Karakteristik dari fase ke II tasawuf ini, tampak dengan adanya akulturasi di luar
Islam, ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum ortodoks
dengan kelompok sufi berfaham ittihad,38 dipihak lain salah satu di antara sufi pada fase
kedua adalah Abu Yazid,39 Nicholson mengatakan bahwa Abu Yazid mendapat julukan
sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia yang memasukkan ide wahda al-
wujud sebagai pemikiran orisinil dari timur sebagai theosofi merupakan kekhususan
pemikiran Yunani.40 Setelah Abu Yazid al-Bustami, muncul generasi baru dari
37
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
h.15-20
38
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam...,Ibid, h. 82
39
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 102.
40
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999), h. 33

10
sufi Persia yakni Abu al-Muqlis al-Husein bin Mansur bin Muhammad al-Badawi atau al-
Hallaj.41
Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan
sifat ke-Tuhanan (lahut) sesuai dengan Q.S. Shaad (38):72. Hal lain dari dampak tasawuf
pada abad III hijriyah yakni orang-orang berusaha mempertajam pemikirannya terhadap
kesatuan penyaksian(wahdat al- syuhud), kesatuan wujud (wahdat al-wujud) kesatuan
agama-agama (wahdat al-adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittisal) keindahan dan
kesempurnaan Tuhan (jamal dan kamal) manusia sempurna (insan kamil) yang kesemuanya
itu tak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan.
Pada fase ke III dan ke IV, diakui adanya dua aliran tasawuf yakni tasawuf sunni yaitu
tasawuf yang dibingkai dalil alquran dan hadis sebagai rujukan serta mengaitkan aktual
(keadaan) dan magamat (tingkatan ruhaniah) mereka kepada kedua sumber
tersebut, kedua aliran tasawuf “non sunni” dimana para pengikutnya cenderung pada
ungkapan “ganjil“ serta bertolak kepada keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan (ittihad atau hulul).42
Adapun secara paradigmatik gerakan tasawuf pada fase ke IV, mendapat hambatan
dari tasawuf sunni, maka pada IV Hijriyah tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
mencari format baru, dengan bercampurnya tasawuf dengan ajaran filsafat, kompromi dalam
pemakaian terma filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu,
tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa
dikatakan sebagai filsafat sebuah paradigma baru dari tasawuf tersebut adalah tasawuf falsafi,
karena disatu pihak memakai term filsafat, namun secara epistimologis memakai dzauq
(emosi), intuisi/ wujdan (rasa).
Untuk memahami ajaran tasawuf pada abad IV Hijriyah ini, Ibnu Khaldun
menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat obyek:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta instropeksi yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyat).43

41
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedia Islam di Indonesia, (Jakarta: Anda Utami,
1992), h. 339
42
Ibid, h. 399
43
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme..., Ibid, h. 40

11
Adapun metode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf sebelumnya baik
mengenai maqamat, ahwal, riyadah, mujahadah, zikir, mematikan kekuatan syahwat maupun
yang lainnya. Tokoh-tokohnya ialah Ibnu Araby dengan teori wahdat al-wujud, Suhrawardi
al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori Isyraqiyah (pancaran), Ibnu Sabi'in dengan
teori ittihad, ibnu Faridh dengan teori cinta, fana dan wahdat al-syuhudnya.

C. Tipologi Tasawuf dalam Islam


Tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada alquran dan as-
sunnah.44 Sedangkan dalam sumber lain, Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para
penganutnya memagari atau mendasari tasawuf mereka dengan alquran dan as-sunnah, serta
mengaitkan keadaan (ahwal) dan tingkatan (maqomah) rohaniah mereka kepada kedua
sumber tersebut.45
1. Tasawuf Akhlaqy
Dalam konteks agama, akhlaq bermakna budi, tabiat, adab atau tingkah laku. Menurut
imam Ghazali, akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang melahirkan
perbuatan-perbuatan. Jadi, kata “Tasawuf Akhlaky” ini bermakna membersihkan tingkah laku.
Dari segi kebahasaan, kata Akhlaq dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata
bahasa Arab akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti as-
sajiyyah (perangai/sikap/kelakuan), ath-thabi’ah (watak), al-‘adah (kebiasaan/kelaziman)
dan ad-din (keteraturan).46 Menurut Ibnu Manzhur, akhlaq pada hakikatnya adalah dimensi
esoteris manusia yang berkenaan dengan jiwa, sifat dan karakteristik secara khusus, yang
baik maupun yang buruk.47 Jadi secara kebahasaan, istilah akhlaq mengacu kepada sifat-sifat
manusia secara universal, perangai, watak, kebiasaan dan keteraturan, baik sifat yang terpuji
maupun sifat yang tercela. Al-quran hanya dua kali menyebut kata akhlaq.
Pertama, pada QS.Asy-Syu’ara: 137, Al-Maraghi mengartikan istilah khuluqul-
awwalin dengan ungkapan “adatuhum allati kanu-biha yadinin” (kebiasaan mereka yang
menjadi dasar mereka beragama). Jadi, pada ayat ini pegertian akhlaq atau khuluq mengacu
pada pengertian al-akhlaq al-madzmumah(adat atau kebiasaan tercela).
Kedua, kata akhlaq disebutkan Al-quran pada QS. Al-Qalam: 4. Pada ayat ini, yang
dimaksud dengan istilah khuluq ‘azhim, menurut As-Sadiyyi, adalah akhlaq yang luhur yang
44
Alwi Shihab, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, (Depok : Pustaka Iman.
2009), h. 51
45
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008), h. 18
46
Jamaluddin Aba Al-Fadhal Muhammad bin Makram bin Manzhur Al-Anshariyyi Al-Ifriqiyyi Al-
Mishiriyyi, Lisanul-‘Arab, jilid X, cet. Ke-1, (Beirut: Darul Fikr, 2003/1424), h. 104
47
Ibid, h. 104.

12
telah dianugrahkan Allah kepada nabi Muhammad saw. Wujud keluhuran akhlaq Rasulullah
saw., tersebut menurutnya adalah seperti yang dijelaskan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra.
kepada orang yang bertanya tentang akhlaq Rasulullah saw. Disebutkannya bahwa akhlaq
Rasulullah itu adalah alquran.48
Kajian tentang akhlak melahirkan dimensi teoritis yang bersifat konseptual dan
melahirkan dimensi praktis yang bersifat terapan. Kajian teoritis dinamakan dengan ilmu
akhlak. Menurut Ahmad Amin, ilmu akhlak adalah ilmu yang menerangkan tentang baik dan
buruk; menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam hubungan dengan
sesamanya; menjelaskan tujuan yang seharusnya dituju oleh manusia; menunjukkan jalan
untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia.49
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia
dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang mengendalikan
hawa nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia.
Cara hidup seperti ini menurut Al-Ghazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran
moral. Sebab sadar atau tidak, lambat atau cepat, manusia akan terbawa kepada pemujaan
dunia. Kenikmatan hidup di dunia akan menjadi tujuan utama, bukan sebagai jembatan atau
sarana untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.50
Tasawuf Akhlaky memiliki sitem pembinaan Akhlaq, tujuannya untuk meguasai hawa
nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk dapat berada dihadirat Allah. Sistem pembinaan
akhlaq disusun sebagai berikut:
1. Takhalli. Merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang, yaitu usaha
mengosongkan diri dari prilaku atau akhlaq tercela. hal Ini dapat tercapai dengan
menjatuhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha
melenyapkan dorongan hawa nafsu.
2. Tahalli. Adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan sikap, prilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli ini dilakukan setelah jiwa
dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek.
3. Tajalli. Tahap ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi sependapat
bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan,
yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.51

48
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, (Jakarta: Transpustaka, 2012), h. 225-
226.
49
Ahmad Amin, “Al-Akhlaq”, (penerj.), K.H. Farid Ma’ruf, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan
Bintang, 1997), h. 226
50
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 65
51
Ibid, h. 66-67

13
Untuk melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang
diajarkan kaum sufi,antara lain adalah:
1. Munajat, memiliki arti melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktivitas yang
dilakukan. Ini adalah salah satu bentuk doa yang diucapkan dengan sepenuh hati
disertai dengan deraian air mata dan dengan bahasa yang puitis. Munajat biasanya
dilakukan salam suasana keheningan malam sesuai shalat tahajjud.
2. Muraqabah dan muhasabah. Secara etimologi dapat diartikan dengan selalu
memperhatikan yang diperhatikan. Sedangkan menurut terminologi, dikatakan:
“senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu memperhatikan apa
yang diciptakan-Nya dan tentang hukum-hukumnya”. Jadi, muraqabah itu merupakan
suatu sikap yang senantiasa melihat dan memandang, dimana pun dan kapanpun kita
senantiasa terasa berhadapan dengan Tuhan, baik diwaktu lapang atau susah.
Sedangkan arti dari muhasabah yaitu (memperhitungkan) terhadap amal perbuatan
sendiri.
3. Memperbanyak wird dan zikr. Wird berarti bacaan-bacaan zikr atau doa-doa atau
amalan-amalan. Tujuan Zikr menurut orang sufi ialah menyingkirkan lupa dan lalai
dengan selalu ingat hati kepada Allah. Kata keduanya tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya, karena saling keterkaitan. Seseorang yang sedang
memanjatkan doa kepada Allah selalu diawali dengan kalimat dzikir seperti kalimat
tasbih, tahmid, tahlil dan takbir
4. Mengingat mati. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: “Banyak-banyaklah kamu
mengingat kejadian yang akan menghancurkan segala kelezatan (mati)”.
5. Tafakkur. Kata tafakkur yang berarti berpikir, memikirkan, merenungkan. Dalam
Islam, tafakkur dibesarkan atas ayat-ayat Al-qur’an yang ditujukan kepada mereka
yang diberkahi pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tanda-tanda (fenomena-
fenomena).52
Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaky antara lain:
1. Melandaskan diri kepada alquran dan as-sunnah.
2. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara tasawuf
(sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (sebagai aspek lahirnya).
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar tuhan dan manusia
4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa
dengan cara latihan mental (Takhalli, Tahalli, Tajalli).
5. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat. Terminologi-terminologi yang
dikembangkan lebih transparan.

52
Ibid, h. 74-89

14
Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaky, antara lain:
1. Hasan Al-Bashri (21H-110H/632M-728M)
Nama lengkapnya adalah Abu Sai’d al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang
amat masyhur dikalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan
wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam
sebelum khalifah Umar ibn Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat
yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.53
Karir pendidikan Hasan al-Basri di mulai dari Hijaz, ia berguru hampir kepada semua
ulama di sana. Bersama ayahnya ia kemudian pindah ke Basrah, tempat yang membuatnya
masyhur dengan nama Hasan al-Basri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana. Hasan al-
Basri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran bila ia menjadi imam di
Basrah secara khusus dan daerah-daerah lainna secara umum. Tak heran pula bila ceramah-
ceramahnya dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun
dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara
karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir alquran. 54 Di
antara ajaran-ajaran tasawuf Hasan al-Basri adalah:
1) Dasar pendirian yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi
sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
2) Al-Khouf dan Raja’ dengan pengertian merasa takut kepada siksaan Allah karena
berbuat dosa dan sering melalaikan perintah Allah.55
Kesimpulan dari ajaran Hasan al-Basri ialah zuhud atau menjauhi kehidupan dunia
duniawi sehingga perhatian terpusat kepada kehidupan akhirat. Oleh karena itu, selalu mawas
diri dan selalu memikirkan kehidupan ukhrawi, adalah jalan yang akan menyampaikan
seseorang pada kebahagian yang abadi.56
2. Abu Abdillah al-Haris bin Asad Al-Basri Al-Muhasibi (165H-243H/781M-857M),
adapun kitabnya adalah al-Ri’ayah li Ruquq al-Insan.
3. Al-Ghazali (450H/1058M)
Nama lengkapnya Abu Hamid57 Muhammad ibn muhammad al-Ghazali. Lahir pada
tahun 450 H/1048.58 Pada masa kecilnya al-Ghazali belajar pada salah seorang faqih di kota
53
Ibid, h. 122
54
Ibid, h. 123
55
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Ed.2, Cet.2, 2004), h. 74
56
Ibid, h.76
57
Ia dipanggil Abu Hamid karena ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Abu Hamid. Anak ini
meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya al-Ghazali. Karena anak inilah, al-Ghazali di gelari Abu
Hamid. Lihat: M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka setia, 2008), h. 135
58
Rahmat Assegaf, Aliran Pemikran Pendidikan Islam, (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), h. 99

15
kelahirannya, Thus, yaitu Ahmad al-Radzkani. Lalu ia pergi ke Jurjan dan belajar pada imam
Abu Nasr al-Ismaili. Setelah itu dia kembali ke Thus dan terus pergi ke Nishapur. Di sana dia
belajar pada seorang teolog aliran asy’ariyah yang terkenal, Abu Ma’al al-Juwaini, yang
bergelar imam al-Haramain. Menurut Ibn Khulaikan, di bawah bimbingan gurunya itulah dia
“sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai masalah mazhab-
mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fiqihnya, dan membaca
filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengannya, serta menguasai berbagai pendapat
tentang semua cabang ilmu tersebut”.59 Adapun karyanya yang populer adalah; al-Munqiz
min ad-Dalal, Tahaful al-Falasifah, Ihya ‘Ulum ad-Din, Mizan al-‘Amal, Misykat al-Anwar,
al-Adab fi ad-Din, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain. Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali di
antaranya :
1) Ma’rifah. Di dalam tasawufnya al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan al-qur’an dan sunnah ditambah dengan doktrin ahlussunnah wal
jamaah. Inti tasawuf al-Ghazali adalah jalan menuju Allah atau ma’rifatullah.
Menurut Ghazali sarana tasawuf adalah qalbu bukan segumpal daging yang
terletak pada kiri dada manusia tapi sebagai radar dan sebagai daya rohaniah
ketuhanan dan dialah hakikat-realitas manusia. Qalbu bagaikan cermin, sementara
ilmu adalah gambaran realitas yang tergambar didalamnya. Maka jika qalbu yang
sebagai cermin tidak bening maka tidak dapat, maka tidak dapat memantulkan
realitas-realitas cermin. Cara qalbu bisa bening yaitu dengan jalan taat kepada
Allah dan kemampuan menguasai hawa nafsu. Menurut al-Ghazali ma’rifah ada 3
tingkatan yaitu ma’rifat orang awam, ma’rifat orang mutakallimin, dan ma’rifah
para sufi.
2) As-Sa’adah. Menurut al-Ghazali kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi
adalah melihat Allah. Di dalam kitab kimiya as-sa’adah, ia menjelaskan bahwa
as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai dengan watak /tabiat, sedangkan watak sesuatu
itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar
yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang
merdu.demikian juga seluruh anggota tubuh, masing-masing kenikmatan tersndiri.
Kenikmatan hati -sebagai alat memperoleh ma’rifah- terletak ketika melihat
Allah. Melihat Allah merupakam kenikmatan yang paling agung yang tiada
taranya karena ma’rifah itu sendiri agung dan mulia.60
59
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari
Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Bandung : Pustaka. 1997), h. 140
60
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik..., Ibid, h. 85-86

16
4. ‘Abd al-Karim bin Hawazin Al-Qusyairi (376H-465H), karya yang terkenal adalah
Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm at-Tasawufi.

2. Tasawuf Amaly/ Irfani


Tasawuf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Rumusan Tasawuf amaly adalah “menjadikan diri kita bersih lahir-
batin, dekat dengan Allah, menjadi sahabat dan kekasih Allah sekaligus dekat dengan umat”.
Dengan demikian tasawuf amaly adalah tasawuf yang fokus utamanya berorientasi pada
pengamalan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari.61 Tasawuf amali ini adalah lanjutan dari
tasawuf akhlaky, karena seseorang tidak bisa dekat dengan Allah dengan amalan yang ia
kerjakan sebelum ia membersihkan jiwanya, sebagaimana QS.Al-Baqarah:222.
Tasawuf amali bertitik tolak dari ilmu yang diyakini harus diamalkan atau diterapkan
dalam kehidupan. Kaidah yang dibangun dalam tasawuf amali adalah ilmu amaliah dan ilmu
ilmiah. Jadi, tidak benar para pengamat yang menyimpulkan bahwa tasawuf amali
mengabaikan ilmu. Tasawuf amali tidak mengabaikan ilmu, tetapi tidak berhenti pada ilmu
untuk ilmu.
Jadi, Tasawuf Amaly ini suatu pendekatan diri kepada Allah dengan mengetahui Islam
dari alquran, juga mengetahui tentang kehidupan Nabi dan Sahabat-sahabatnya serta para
Tabi’in-tabi’innya yang bertujuan agar kita lebih damai menjalani kehidupan jika kita sendiri
dekat dengan Allah swt. dan Nabi saw.
Apabila dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat
beberapa istilah yang khas dalam ilmu tasawuf. Orang sufi membagi ajaran agama kepada
ilmu lahir dan ilmu batin, yakni ajaran agama itu ada yang mengandung arti lahiriah dan arti
batiniah. Oleh karena itu, cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek
lahir dan aspek batin. Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu agama tersebut mereka bagi
menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Syari’ah. Syari’ah artinya undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan
termasuk didalamnya hukum-hukum halal dan haram.
2. Tariqah. Menurut keyakinan sufi, orang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan
ibadah sebelum menempuh jalan ke arah itu. Jalan itu dinamakan tariqah.
3. Haqiqah. Secara etimologi, haqiqah berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari
sesuatu. Haqiah juga dapat berarti kebenaran, sejati dan mutlak, sebagai akhir dari
semua perjalanan, tujuan dari segala jalan.

61
Asep Usman Ismail, Tasawuf..., Ibid, h. 123

17
4. Ma’rifah. Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan.
Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai
tuhan melalui hati (qalb).62
Proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri kepada Allah adalah jalan yang
sangat panjang melalui tahapan-tahapan, yang disebut Maqamat. Abu Nasr As-Sarraj At-Tusi
(w. 378H/988M), tokoh tasawuf sunni dari Iran, menjelaskan bahwa maqamat adalah
kedudukan seorang hamba dihadapan Allah swt. yang berhasil diperolehnya melalui ibadah,
perjuangan melawan hawa nafsu, berbgai latihan spiritual, dan penghadapan segenap jiwa
raga kepada Allah swt. Maqamat yang harus dijalani oleh seorang sufi atau calon sufi terdiri
atas beberapa peringkat. Menurut Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 380H/990M), tokoh sufi asal
Bukhara, Asia Tengah, menyebutkan ada tujuh maqam yang harus dilalui sufi menuju Allah,
yaitu:
1. Al-Zuhud, yaitu suatu keadaan meninggalkan keduniawian dan hal-hal yang bersifat
kematerian.
2. At-Taubah, yang artinya kembali. Dalam dunia sufi taubat memiliki arti yaitu
menyesali segala perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan berjanji serta
bersungguh-sungguh untuk tidak melakukan lagi.
3. Al-Wara’, memiliki arti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam pengertian
sufi adalah meninggalkan sesuatu yang diragukan halal dan haramnya dan tidak jelas
asal-usulnya.
4. Al-Faqr, diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan
dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada
diri kita.
5. Al-Shabr. Secara harfiah sabar berarti tabah hati.
6. At-Tawakkal, yang mempunyai arti menyerahkan diri. Dalam dunia sufi tawakkal
berarti menyerahkan diri pada qada dan keputusan Allah.
7. Al-Ridla, yang mempunyai arti rela, suka, senang. Para sufi mengartikan ridha adalah
penerimaan seseorang atas keputusan Allah.63
Tokoh-tokoh Tasawuf Amaly, antara lain:
1. Rabiah Al-Adawiah (95H-185H/713M-801M)
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti Ismail al Adawiyah al Bashoriyah,
juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri
ke empat dari anak-anak Ismail. Sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal Al-Quran dan
sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.64
62
Asmaran, Pengantar Studi..., Ibid, h. 93-101
63
Asep Usman Ismail, Tasawuf..., Ibid, h. 80-83
64
Ibid, h.76

18
Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan menurut
banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan
pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai
wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan
situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya
dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat
puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:65
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta
sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya
“Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia
ditanyai tentang cintanya kepad Rasulullah saw., ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat
mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk
mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi mealui syair
berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia,
Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.66
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin
dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan. Dalam riwayat yang lain juga
disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit, Ia mengira bahwa
sakitnya itu dikarenakan ghirah atau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati Rabiah pada
saat itu tertarik akan surga.67
2. Dzu Al-Nun Al-Mishiri (180H-246H/796M-856M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-
Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui
tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum
mengungkapkan masalah ini. Ia disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang
tersohor dan tekemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah.68

65
Ibid, h.77
66
Ibid, h.77-78
67
Ibid, h.79
68
Ibid, h. 80

19
Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits
dan Fiqih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik
keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitif
barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para
Fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq,
sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya
dan berkelana ke negeri lain. Namun sekembalinya dari perkelanaan tersebut, orang banyak
tetap menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Bahkan orang-orang menuruhnya untuk
pergi ke Baghdad menemui khalifah untuk menerima hukuman penjara.69
Akan tetapi di Baghdad ada banyak sufi yang berasal dari Mesir dan diantara mereka
ada yang bekerja sebagai pegawai di lingkungan istana, dan merekalah yang mengusahakan
kebebasan Dzu al-Nun tersebut. Ternyata kemudian ajarannya diterima di Baghdad.
Sekembalinya di Mesir, ia kembali mengajarkan ajaran tasawufnya dan semenjak itu pula
tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan mesir.70 Jasa-jasa Dzu al-Nun yang paling
besar adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut
al-maqomat. Ajarannya memberi petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai
dengan pandangan sufi.
Disamping itu, dia juga pelopor doktrin al-makrifah. Dalam hal ini ia membedakan
antara pengetahuan dengan keyakinan. Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil
pengamatan inderawi, yaitu apa yang ia dapat diterima melalui panca indera. Sedangkan
keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan / atau diperoleh melalui intuisi. Dia
membagi tiga kualitas pengetahuan, yaitu:
1) Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat.
2) Pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti-bukti dan pendemonstrasian
ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orangyang bijak, pintar dan terpelajar.
3) Pengetahuan tentang sifat-sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-
orang yang shaleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata
hatinya.71
Ketika Dzu al-Nun ditanya tentang bagaimana ia mengenal Tuhan, maka dia
menjawab: “Aku mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku
tidak akan mengenal Tuhan” Dzu al-Nun menjelaskan, bahwa ciri-ciri makrifat itu ialah
69
Ibid, h. 80
70
Ibid, h. 81
71
Ibid, h. 81-82

20
seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan memutuskan segala
sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala sesuatu hanya
semata-mata karena Allah.72
3. Abu Yazid Al-Bustami (874M-947M)
4. Abu al-Mughist al-Hasan bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi (Abu Manshur Al-
Hallaj) (224H/855M).
Jadi, tasawuf mengajarkan kita bagaimana cara membersihkan diri guna untuk lebih
dekat dengan Allah. Tujuan kita dekat dengan Allah agar kita bisa menjalani kehidupan
didunia akan terasa damai, tentram dan lebih terarah dengan petunjuk-petunjuk yang Allah
berikan kepada setiap manusia. Dan bertujuan untuk memberi jalan yang baik didunia untuk
bekal diakhirat. Selain adanya cara untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada
Allah. Tasawuf juga memberi sejarah bagaimana “tasawuf” dan “filsafat” berkaitan. Berikut
penjelasannya.

3. Tasawuf Falsafy
Dalam Tasawuf falsafi terpadu dua disiplin ilmu, yaitu tasawuf dan filsafat. Tasawuf
menekankan adz-dzauq yaitu emosi atau rasa; sedangkan filsafat menekankanal-’aql yaitu
intelek. Tasawuf menekankan olah rasa, sedangkan filsafat menekankan olah rasio/intelek.73
Tasawuf falsafy adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Ciri umum tasawuf falsafi ialah kesamaran-kesamaran ajarannya,
akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka
yang memahami ajaran tasawuf sejenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai
filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula
dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.74 Sekarang tentu
jelas perbedaan antara tasawuf dengan filsafat, sebab filsafat berdasar kepada fikiran sedang
tasawuf lebih mengarah ke perasaan dan emosi.Ada beberapa cabang ilmu yang sama-sama
dimasuki oleh tasawuf dan filsafat, yaitu ethika (akhlak), estetika (keindahan), dan yang
terutama adalah metafisika (yang ghaib). Meskipun semua meneropong dari tempatnya
masing-masing.75 Filsafat dibangun di atas empat pilar, yaitu:
1. Pemikiran yang mendalam hingga akar
2. Substansi atau hakikat sesuatu
72
Ibid, h. 83
73
Asep Usman Ismail, Tasawuf..., Ibid, h. 126
74
Asmaran, Pengantar Studi..., Ibid, h. 149-150
75
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 153.

21
3. Pemikiran yang masuk akal atau rasional
4. Pemikiran yang sistematis dan metodologis.
Keempat pilar pemikiran filosofis tersebut dipadukan dengan kecintaan kepada
kebenaran, yang merupakan hasil pemikiran, kesetiaan (loyalitas) dan commitment kepada
kebenaran. Singkatnya, tasawuf filosofis adalah taswuf yang memadukan kepekaan emosi
dan kejernihan ruhani pada satu sisi dengan ketajaman pemikiran filosofis pada sisi yang lain
dalam menjelaskan tema-tema taswuf seperti konsep tentang jiwa, Tuhan dan manusia,
terutama tentang hubungan manusia dengan Allah.
Dalam tasawuf falsafi, ada beberapa tema pokok yang menjadi pembahasan utama,
seperti ittihad, hulul, dan wahdatul wujud yang akan dijelaskan pada paparan berikut ini:
a. Ittihad. Secara etimologis ittihad yaitu integrasi, menyatu atau persatuan. Dalam
istilah taswuf filosofis, ittihad adalah pengalaman puncak spiritual seorang sufi,
ketika merasa dekat dengan Allah, bersahabat, mencintai dan dicintai Allah, dan
mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan-Nya. Secara
terminologis berarti persatuan hambanya dengan tuhan. Menurut Prof. Dr. Harun
Nasution, yang dimaksud dengan ittihad ialah suatu tingkatan tasawuf dimana
seseorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana
yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Ittihad dalam ajaran tasawuf
kata Dr. Ibrahim Madzkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam
perjalanan jiwa manusia.
b. Al-Hulul. Secara etimologis yaitu berhenti atau diam.
c. Wahdatul Wujud. Pengertian Wahdatul Wujud adalah merupakan penggambaran
bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Tokoh-tokoh
Tasawuf falsafi, antara lain:
1) Ibnu Arabi (560M), karyanya adalah Fusus al Hikam yang bercerita tentang
tajali dan tanazzul zat Tuhan
2) ‘Abd al-Karim bin Ibrahim Al-Jili (1365M-1417M), konsepnya al-insan al-
kamil fi ma’rifah al-awakhir wa al-awail.
3) Abd al Haq ibn Ibrahim ibn Nashr al-Akki al-Mursi (Ibnu sabi’in) (614H),
karyanya Budd al-‘Arif, al-Kalam ‘alaal Masail as-Shaqliyyah dan lain-lain.
Maka menjadi tinggilah martabat tasawuf itu kalau sekiranya ahlinya berpengetahuan,
dan juga mempunyai alat filsafat, seperti Ibnu ‘Arabi dan Ghazali, Suhrawardi dan lain-lain.
Tasawuf menjadi kacau-balau jika didapatkan oleh orang yang tidak ada dasar ilmu sama
sekali. Dengan berkembang pikirannya, maka maju filsafatnya dan tinggi ilmu
pengetahuannya.76
76
Hamka, Tasauf..., Ibid, h. 152

22
Trimingham membagi kawasan utama pemikiran dan perkembangan tarekat menjadi
tiga lingkungan utama: 1) lingkungan Mesopotamia, 2) lingkungan Mesir dan Maghribi, 3)
lingkungan Iran, Turki dan India. 77
Tarekat Qadiriyah adalah tarekat yang didirikan oleh syaikh Abdul Qadir Al-Jailani,
tarekat inilah yang menjadi pelopor lahirnya organisasi tarekat, dan juga sebagai cikal bakal
munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.
Tarekat berkembang secara pesat di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perkembangan tarekat yang pesat membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah. Di
antara aliran-aliran tarekat yang berkembang dalam dunia Islam adalah sebagai berikut:78

No Nama Tarekat Pendiri Pusat perkembangan

1. Qadiriyah Abdul Qadir Al-Jailani ( 470-561 H) Baghdad, Irak, Turki,


Cina, India dan
Indonesia.
Abu Hasan Ali Asy-Syadzili
2. Syadziliyyah Tunisia, Mesir, Aljazair
(593 – 656 H) dan Indonesia ( wilayah
jawa timur dan jawa
tengah).

3. Syattariyyah Syaikh Abdullah Syattar (w. 890 H) India, Pakistan dan


Indonesia.

4. Naqsyabandiyyah Muhammad An-Naqsyabandi (717-791 Asia tengah, Turki,


H) India, Cina, dan
Indonesia.

5. Rifa’iyyah Syekh Ahmad al-Rifa’I ( w. 578 H) Turki, Syiria, Mesir dan


Indonesia.

Sedangkan di Indonesia, tokoh Tasawuf yang terkenal adalah:


a. Nur ad-Din Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji al Hamid asy Syafi’i al Asy’ari al
Ayydarusi ar-Raniri, hasil karyanya diantaranya adalah: at-Tabiyan fi ma’rifah al-
adyan fi at-Tasawwuf, Jawahir al Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Syifa’ al-Qulub, dan
lain-lain.
77
J. Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, h. 3
78
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Ibid, h. 321

23
b. Hamka, hasil karya diantaranya adalah: Tafsir al Azhar, Tasawuf Modern, Falsafah
Hidup, dan lainnya
c. Harun Nasution, hasil karyanya diantaranya adalah: Islam ditinjau dari berbagai
Aspek, Filsafat Agama, Akal dan wahyu dalam Islam, dan lainnya.
d. Jalaluddin Rahmat, hasil karyanya antara lain: Renungan-renungan Sufistik,
membuka tirai kegaiban, Reformasi Sufistik
e. Nurcholish Majid, hasil uraiannya dapat dilihat tentang taqwa, tawakkal, ikhlas,
taubat, syukur, harapan, sabar, khauf, uzlah dan takdir.

24
BAB III
SIMPULAN

Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai ilmu, sebelumnya
dipelajari sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia pada dasarnya
adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri
merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam
kehidupan tasawuf.
Ada beberapa alasan tentang lahirnya tasawuf, Pertama, bahwa spritual sufisme
membawa ekstrimitas pada spritual “kasyfi” yang cendrung ujungnya berakhir pada wihdatul
wujud. Kedua, spritualisme sufisme juga tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang
berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah.
Ketiga, tasawuf cendrung ke tareqat yang melembaga dengan ekstrimitasnya tersendiri.
Tarekat berkembang secara pesat di hampir seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perkembangan tarekat yang pesat membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah.
Walaupun sufisme mendasarkan ajarannya pada alquran dan as-sunnah, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini memasukkan unsur-unsur
asing dari luar. Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat para orientalis
dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidakaslian sufisme berasal dari
Islam.
Dalam tasawuf terdapat tipologi, yaitu akhlaqy yang bermakna membersihkan tingkah
laku, amaly yang bermakna menjadikan diri kita bersih lahir-batin, dekat dengan Allah,
menjadi sahabat dan kekasih Allah sekaligus dekat dengan umat dan falsafy yang ajaran-
ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.

25
DAFTAR PUSTAKA

A., Asmaran, 1994, Pengantar Study Tasawuf , Jakarta: Raja Grafindo


Aceh, Abu Bakar, 1991, Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Ramadani
---, 1996, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani
Alba, Cecep, 2012, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Al-Ifriqiyyi Al-Mishiriyyi, Jamaluddin Aba Al-Fadhal Muhammad bin Makram bin Manzhur
Al-Anshariyyi, 2003, Lisanul-‘Arab, jilid X, Beirut: Darul Fikr
al-Taftazani , Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, 1997, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam , Bandung : Pustaka
Amin, Ahmad, 1997, “Al-Akhlaq”, (penerj.), K.H. Farid Ma’ruf, Etika (Ilmu Akhlak),
Jakarta: Bulan Bintang
Amin, Samsul Munir, 2012, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah
Anwar, Rosihon, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Asmaran, 1996, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Assegaf, Rahmat, 2013, Aliran Pemikran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers
Azra, Azyumardi, 1990, Akar-akar Historis Pembaharuan Islam Indonesia: Neo-Sufisme
Abad ke-11-12H/ 17-18M Predule bagi Gerakan Pemabahrauan Muhammadiyah,
dalam Buku “Muhammadiyah Kini dan Esok”, Jakarta: Pustaka PanjiMas
Djaelani, Abdul Kadir,1996, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf Jakarta: Gema Insani Press
Gülen, Muhammad Fethullah, 2014, Kalbin Zümrüt Tepeleri, Terj. Fuad Syaifudin Nur,
Tasawuf Untuk Kita Semua, Jakarta: Anggota IKAPI DKI Jakarta
Haeri, Syaikh Fadhlalla, 1998, Belajar Mudah Tasawuf, Jakarta: Lentera Basritama
---, 2000, The Elements Of Sufism, Terj. Burdah dan Shohifullah, Jenjang-Jenjang Sufisme,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haidar, Bagir, 2006, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan
Hamka, 1970, Tasauf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam
---, 1983, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983
---, 1986, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas
Hasmy, A., 1993, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Ibrahim, Muhammad Zaki, 2006, Tasawuf Hitam Putih, Solo: Tiga Serangkai
Ismail, Asep Usman, 2012, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, Jakarta: Transpustaka

26
Masyharuddin, Amin Syukur, 2002, Intelektualisme Tasawuf, Semarang: Pustaka Pelajar
Nashir, Haedar, 2000, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: BIGRAF
Publishing
Nasution, Harun, 1983, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan bintang
---, 1985, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press
---, 1993, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin, 2003, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
---, 2006, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Pemadi, 2004, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Rineka Cipta
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1992, Ensiklopedia Islam di Indonesia Jakarta: Anda
Utami
Saifullah, Mohammad, 1998, Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang
Shihab, Alwi, 2009, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, Depok :
Pustaka Iman
Simuh, 2002, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada
Siregar, Rivay, 2004, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Solihin, M dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Pustaka setia : Bandung
Subhy, Ahmad Mahmud, 1992, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi- Fikr al-Islam, Kairo; Dar'
al- Ma'rif
Syukur, Amin, 1999, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Trimingham , J. Spencer, The Sufi Order in Islam
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
Yuslem, Nawir, 2013, Metodologi dan Pendekatan dalam Pengkajian Islam, Bandung:
Ciptapustaka Media

27

Anda mungkin juga menyukai