Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

STUDI ISLAM KOMPRENHENSIF

tentang

ILMU TASAWUF

Oleh :
Muhammad Yusuf : 2120080022
Alwisyah Dalimuthe : 2120080041

Dosen pengampu:
Prof. Dr, Eka Putra Wirman, Lc. MA.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL
PADANG
2021 M / 1443 H
2

ILMU TASAWUF

A. Pendahuluan
Pada esensinya, agama Islam yang terdiri atas aqidah, syariat dan akhlak,
merupakan agama yang sempurna dan semua ajarannya terintegral dan saling berkaitan.
Aqidah menjelaskan syariat, syariat menjelaskan aqidah, dan aqidah serta syariat
menjelaskan akhlak. Dalam pengejawantahannya kemudian melahirkan praktek-prektek
yang beragam dikalangan ummat Islam. Dan dalam sejarah kemudian kita mengenal
adanya praktek-praktek sufi yang dijalani oleh beberapa orang dan kelompok.
Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak ibadah,
menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT. , dengan sesama manusia, dengan
mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua mahluk. Namun demikian
istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada sebuah gerakan batiniah dalam usaha
untuk mendekkatkan diri seorang hamba kepada sang Khalik.
Berangkat dari hal tersebut, penulis akan membahas masalah pengertian ilmu
tasawuf, Landasan, sejarah perkembangannya, aliran-alirannya dan inti ajarannya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Ilmu Tasawuf
a. Pengertian tasawuf secara bahasa
Tasawuf adalah salah satu ilmu yang bertipe mistis, dalam bahasa inggris disebut
dengan Sufisme. Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai usaha dari menafsirkan
tasawuf. Mencari pengertian tasawuf tidaklah mudah, hal ini telah diakui oleh para ahli
dalam bidang tasawuf .keadaan demikian disebabkan terutama karena kecendrungan
spiritual terdapat setiap agama, aliran filasafat dan peradaban dalam berbagai kurun waktu.
Oleh karena itu, wajar apabila setiaporang menyatakan pengalaman pribadinya dalam
konteks pemikiran dan keercayaan yang berkembang pada masyrakatnya 1.
Tasawuf adalah ilmu yang menekankan pada konteks batin yang bergantung pada
pengamalan spiritual atau rohani sesorang masing-masing orang yang mengamalkannya,
sehingga wajar bila seseorang berbeda-beda dalam menafsirkan tentang presepsi tasawuf
itu. Karna konsep inilah ada membedakan antara tasawuf dengan filsafat, dimana sufisme

1
Eep Sopwana Nurdin, Pengantar Ilmu Tasawuf (Bandung : PT Aslan Grafika, 2020) hal 1
3

tidak berupaya memberikan defenisi formal terhadap hakikat pengetahuan, sufisme tidak
menggunakan logika analisis.2
Dalam kaitan ini ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa teori sufisme melibatkan aspek-
aspek psikologis dan perilaku manusia sebagai objek dan subjek pengetahuan yang
tercermin dalam perilaku dan moralitas. Karena itulah pendekatan sufisme adalah bersifat
intuitif, berbeda dengan pendekatan filsafat yang bersifat analisis menyusul perbedaan
resepsi tentang objek-objek pengetahuan. Tasawuf adalah pengalaman spiritual yang tidak
mampu dipahami hanya dengan menggunakan analisis logika formal. Diperlukan
pendekatan fenomenologi yang ingin memahami perilaku manusia dari kerangka berpikir
pelaku itu sendiri. Bagaimana dunia ini di alami oleh seroang sufi.
Pengertian Tasawuf dilihat dari segi bahasa yang paling banyak disebutkan oara
ahli adalah3 :
Pertama, berasal dari kata Shuf yang berarti wol kasar, karena orang-orang sufi
selalu memakai tersebut sebagai lambang kesederhanaan . hal ini merupakan reaksi
terhadap kehidupan mewah dan dinikmati oleh birokrat penguasa, baik-baik penguasa dari
Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyyah. Kaum sufi ini berusaha menghindari
kemaksiatan dan penyelewengan terhadap contoh teladan yang sudah diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dan menagsingkan diri dan tekun beribadah serta megutamakan
kesucian jiwa.
Kedua, Tasawuf berasal dari akar kata Shafa yang berarti bersih, disebut sufi karena
hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya, memang tujuan sufi adalah membersihkan
batn melalui latihan-latihan yang lama dan ketat4.
Ketiga, Tasawuf berasal dari kata Ahl-Shuffah, yaitu orang-orang yang meninggal
di suatu kamar di samping masjid Nabi di Madinah. Mereka adalah orang-orang miskin
yang telah kehilangan harta bedanya karna ikut berhijrah dari Mekkah ke Madinah bersama
Nabi. Mereka tidur beralasankan batu sebagai bantal. Makan dan minum mereke
ditanggung oleh orang-orang kaya di Madinah. Walaupun Miskin, mereka adalah penjuang

2
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisti Press, 2005) hal 2
3
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2014) hal 21
4
Ibid, hal 24
4

fi sabilillah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Teori tentang asal kata tasawuf ini,
menunjukan bahwa praltik-praktik tasawuf sudah ada sejak zaman Nabi SAW.
Keempat, Tasawuf berasal dari kata Sophos, kata tersebut berasal dari kata Yunani,
yang mempunyai arti hikmah. Kalau diperhatikan sekilas, memang ada hubungan antara
orang sufi dan hikmah karena orang sufi membahas tentang masalah yang mereka
persoalkan berdasarkan pembahasan falsafi, berusaha mensucikan jiwa untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka beranggapan bahwa Allah adalah maha suci,
hanya jiwa suci yang dapat berhubungan dengan Allah.
Kelima, Tasawuf berasal dari kata Shaf makna shaf dinisbahkan kepada orang-
orang yang ketika sholat selalu berada di shaf paling depan. Alasanya adalah orang sholat
di shaf paling pertama mendapatkan kemulyan dan pahala dari Allah SWT. Kaum sufi pun,
menurut pendapat ini dimuliakan dan diberi pahala dari Allah SWT.
b. Pengertian Tasawuf Secara Istilah
menurut kalangan sufi maupun para pengamat tasawuf, memiliki makna yang
berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan pengamatan masing-masing. Menurut
Ibrahim Basyuni, seperti yang di kutip M. Syatoiri, walaupun bermacam-macam, define
tersebut bisa dikelompokkan kedalam tiga tingkatan5.
1) Al-Bidayah adalah defenisi tasawuf yang menggambarkan pengalaman tahap
pemulaaan, yaitu kesadaran akan dzat metafisik, merasa tenang bila dekat dengan-Nya
dan sebagainya.
a) Ma’ruf karhki, tasawuf adalah mengambil hakikat dan putus asa dari manusia.
Hidup fakir, siapa yang tak fakir belum bertasawuf.
b) Abu turab al-nakhsabi, sufi adalah orang yang tidak ada sesuatu pun yang dapat
mengotorinya.
c) Dzun al-mishri, sufi adalah orang yang tidak suka meinta dan tidak susah dengan
ketidak adaan.
d) Sahl al-tustari, sufi adalah bersih dari keruhnyya dunia dan terfokus pada tuhan.

5
Simuh, Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)hal 16
5

2) Al-mujahadah adalah definisi tentang penglaman yang berhubungan dengan


kesungguhan dalam menjalankan pendekatan dan penemuan kebenaran (amaliah
ibadah dan berhias dengan akhlaq al-karimah)6.
a) Abu hasan al-nuri, tasawuf adalah akhlaq, akhlaq yang hanya dapat dicapai dengan
berakhlaq kepada allah melalui serangkain ibadah dan penyucian batin, tidak bisa
melalui belajar dan penambahan wawasan.
b) Sah al-tustari, tasawuf adalah sedikt makan dan menjauhi manusia serta tenang
bersama allah.
c) Abu Muhammad Ruwaim, tasawuf memiliki tiga pilar: Pertama, berpegang pada
kefakiran dan berharap hanya kepada Allah SWT, kedua, tawadu’, ketiga tidak
menonjolkan dirinya.
3) Al-Mazaqah adalah defenisi yang membicarakan pengalaman dari segi perasaan dalam,
peleburan kehendaknya dan penyatuan.
a) Junaid Al-Baghdadi, tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa perantara.
b) Ruwaim, Tasawuf adalah membiarkan diri dengan Allah menurut kehendak-Nya.
c) Abu Bakar Sibli, Sufi adalah anak-anak kecil di pangkuan Tuhan.
Berdasarkan makna etimologi dan terinologi dari berapa ahli, maka tasawuf
memimiliki 5 prinsip utama yaitu 7:
1) Taqarrub, pendekatan diri kepada Allah melalui serangkaian ibadah baik yang mahdah
maupun ghairu mahdah. Ini berarti bentuk amal perbuatan yang dilakukan sebagai
sarana pendekatan diri kepada Allah adalah amaliah tasawuf
2) Tazkiya Al-Nufus, ikhtiar manusia yang dilakukan secara konsisten dan kontinu yang
menghilangkan berbagai sifat madzumah dalam jiwa, dan mensucikan diri dari
berbagai kecendrungan kepentingan rendah duniawi semata. Jika seseorang telah
melakukan upaya untuk menghilangkan pengaruh negative pada hatinya baik kerena
dosa, sifat tercela, makanan haram, cinta dunia dan sebagainya, maka mereka telah
bersufi
3) Takhalluq, yaitu peningkatan akhlak al-karimah dalam setiap bidang kehidupan. Upaya
ini merupakan tujuan dasar dan muara atau buah dari setiap ibadah dan amal shaleh

6
Ibid, hal 17
7
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisti Press, 2005) hal 11
6

lainnya. Manakala seseorang telah berusaha meningkatkan pengamalan akhlaq al-


karimah, berarti telah bertasawuf.
4) Pengetahuan sejati, suatu bentuk pengetahuan yang mampu mengahadirkan keyakinan
yang bulat, haqqul yaqin, yang tidak lagi ada keraguan sedikitpun tentang sesuatu. Ilmu
inilah yang dibutuhkan sebagai landasan iman dan islam agar tidak terjadi kehampaan
spiritual dan ketidakbermaknaan hidup. Siapapun yang ilmunya telah mencapai derajat
ketuhana yang mantap tiada tergoyahkan, maka dia telah menemukan esensi tasawuf
5) Kebahagian hakiki, tujuan hidup setiap manusia adalah tercapai rasa bahagia yang
kekal, yang tidak lekang ditelan jaman. Kebahagian yang tidak tergantung pada benda-
benda yang terlatif dan semu. Manusia manapun hendak mencari bahagia yang hakiki.
Jadi, tasawuf adalah pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia,
baik yang terpuji maupun tercela, kemudian bagaiman membersihkannya dari tercela itu
dan menghiasainnya dengan yang terpuji, bagaimana menempuh jalan kepada Allah dan
berlari secepatnya menuju kepada Allah8.
2. Landasan Tasawuf
Tasawuf yang merupakan pembersihan jiwa dari sifat yang jelek, maka pada
umumnya orang-orang sufi lebih mengutamakan kehidupan akhirat dari pada kehidupan
dunia, walaupun tidak mengurangi aktifitasnya didunia, dasar mereka berpegang adalah
seseuai dengan Al-Qur’an dan hadis 9:
a. Al-Qur’an
1) Surat Al-A’raf ayat 33

ْ َّ ِ ُ ْ ُ ْ َّ َّ ْ ْ َّ ْ َّ ْ َّ َّ ْ ْ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ ْ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ ْ َّ ِ َّ َّ َِّ َّ َّ َِّ ْ ُ
ْ ِِّ ِ ‫ح ِ ِق َّوان تْشرُِ ْوا بِاّلل هِ َّما ل ْم ُي َّن‬ ‫قل ا ِنما حرم ر ِّب الفواحِش ما ظهر مِنها وما بطن والا ِثم والبغ َّي بِغي ِر ال‬
َّ َّ َّ َّ ِ َّ َّ ُ ُ َّ ْ َّ َّ ‫ْ ه‬
‫بِه ُسلط ًنا ِوان تق ْول ْوا علي اّلل هِ َّما لا ت ْعل ُم ْون‬

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan


keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan
yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu,
sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu
membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

8
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005)hal 14
9
Imam Kanafi, Ilmu Tasawuf, (Jawa Tengah:PT Nasya Expanding management, 2020)hal 19
7

2) Surat Al-An’am ayat 151

ُ َّ َّ َّ ْ ُ ْ َّ َّ ً ْ ْ َّ َّ ْ َّ ً ْ َّ ْ ُ ْ ُ َِّ َّ ْ ُ ْ َّ َّ ْ ُ ُِ َّ َّ َِّ َّ َّ ُ ْ َّ ْ ْ َّ َّ َّ ْ ُ
‫ح َّسانا َّولا تق ُتلوا أ ْولادكم ِ ِم ْن‬ ِ ‫قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكم ألا تْش ِرُوا بِهِ شيئا وبِالوال ِدي ِن إ‬
َّ َّ ِ ْ َِّ ُ ُ ْ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ ْ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ ْ ْ ُ َّ ْ َّ َّ َّ ْ ُ َِّ ْ ُ ُ ُ ْ َّ ُ ْ َِّ َّ ْ
ْ
‫لنف َّس التِي َّح ِر َّم‬ ‫إملا ٍق نحن نرزقكم ِإَوياهم ولا تقربوا الفواحِش ما ظهر مِنها وما بطن ولا تقتلوا ا‬
َّ ُ َّ ُ َِّ َّ ُ َّ ُ َّ َّ ْ َِّ ُ ِ
‫ح ِ ِق ذل ِك ْم َّو ِصاك ْم بِهِ ل َّعلك ْم ت ْعقِلون‬ ‫اّلل إِلا بِال‬

Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan


kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu
bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.

b. Hadis

1) Semua hadis yang menjelaskan tentang larangan untuk dendam, sombong, ria, dengki
dan sifat-sifat tercela lainya. Juga hadis-hadis yang memerintahkan untuk menghasi
hati dengan segala akhlak yang terpuji da melakukan muamalah dengan baik.

2) Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi SAW: iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh
bagian, yang mana paling tinggi tingkatannya adalah ucapan “tiada tuhan Selain
Allah’. Yang paling rendah adalalah menyingkirkan duri dari jalan (yang dilalui
orang). Dan malu adalah bagian dari Iman” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa kesempurnaan iman seseorang diarih
dengan menyempurnakann sifat-sifat yang merupakan bagian iman tersebut. Imannya
bertambah jika sifat-sifat itu bertambah dan berkurang jika sifat-sifat itu berkurang jika
sifat-sifat tersebut berkurang. Penyakit-penyakit batin cukup untuk menggugurkan amal-
amal seseorang, meskipun banyak.10
3. Sejarah Tasawuf
Pemahaman tasawuf dalam lintas sejarah dia antaranya dapat dilacak dari seajarah
Rasul. Yang ada berada di gua hira untuk bertafakur dan beribadah sebagai orang yang
rindu akan Tuhannya dengan menghindarkan diri dari kehidupan duniawi dan bermewah-

10
Risan Rusli, Tasawuf da Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman sufi,(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003) hal 14
8

mewah. Tahanuts yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di gua Hira merupakan cahaya
pertama dan utama bagi nur tasawuf, karena itulah benih pertama bagi kehidupan rohaniah.
Didalam mengingat Allah serta memuja-Nya di Gua Hira, putuslah ingatan dan tali rasa
beliau dengan segala makhluk lainnya. Disitula pula berawalnya Nabi Muhammad
mendapat hidayah, membersihkan diri dan mensucikan jiwa dari noda-noda penyakit yang
menghinggapi sukma, bahkan sewaktu itu pulalah berpuncak kebesaran, kesempurnaan,
dan kemuliaan jiwa Muhammad saw. Dan membedakan beliau dari kebiasaan hidup
manusia biasa.
Fakta sejarah menunjukan bahwa selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau
menjadi tumpuan masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun pada dirinya, bahkan
beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya kedatipun diminum oleh
semua makhluk yang memerlukan air. Amal ibadah beliau tiada tara bandingannya. Dalam
sehari semalam Rasulullah minimal membaca istigfar minimal 70 kali, sahlat fardhu,
rawatib serta sholat duha yang tidak kurang dari depalan rakaat setiap hari. Shalat tahajjud
beliau tidak lebih dari sebelas rakaat, dan lama sujudnya sama dengan lamanya sahabat
membaca lima puluh ayat. Shalat beliau khusuk dan tuma’ninah amat sempurna. Dalam
berdoa, perasaan khauf dan raja’ selalu dinampakan Rasulullah dengan tangis dan sedu
sedannya.
Masih banyak lagi amalan Rasulullah yang menunjukan ketaswufannya. Apa yang
dikemukan diatas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa amalan tasawuf ternyata sudah
dipraktekan oleh Rasulullah saw. Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal
itu menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat dekat maupun sahabat
yang jauh. Tumpuan perhatian mereka senantiasa ditunjukan untuk mengetahui seagala
sifat, sikap dan tindakan Rasulullah, sehingga para sahabat tersebut dapat pula
memantulkan cahaya yang mereka terima kepada orang yang ada disekitarnya dan generasi
selanjutnya. Amalan tasawuf sebagaimana dipraktekan oleh Rasulullah itu juga diikuti oleh
para sahabat.11
Kehidupan para sahabat yang mencontoh nabi itu diantaranya mereka hidup dalam
kesederhanaan, wara’, tawadu’ dan zuhud itu semata perhatiannya ditunjukan kepada
Allah. Abu Bakar Ash-Shidiq misalnya, pernah hidup dengan sehelai kain saja.dalam

11
Eep Sopwana Nurdin, Pengantar Ilmu Tasawuf (Bandung : PT Aslan Grafika, 2020) hal 23
9

beribadat kepada Allah SWT. Karena terbakar oleh rasa takut kepada Allah, pada malam
hari ia beribadat dengan membaca Al-Qur’an sepanjang malam. Umar Bin Khatab dikenal
dengan keadailan dan amanahnya yang luar biasa. Ia pernah berpidato dihadapan orang
banyak, sedangkan didalam pakaiannya terdapat diua belas tambalan dan dia tidak
memilliki kain yang lainnya.
Usman Bin Affaan dikenal sebagai orang yang tekun beibadah dan pemalu,
meskipun ia juga dikenal sebagai orang sahabat yang tekun mencari rezeki, tetapi iapun
terkenal sebagai permurah, sehingga tidak sedikit kekayaannya digunakan untuk menolong
perjuangan Islam. Sahabat selanjutnya adalah Ali Bin Thalib yang tidak peduli terhadap
pakaianya yang robek dan menjahitnya sendiri.
Beberapa tokoh besar dalam sufi adalah Rabia’ah Al- Adawiyah, Zuman al-Misiri,
Abu Yazid Al-Bustami, Husein Bin Mansur Al-Hajaj, dan Al-Ghazali, Salman Al-farisy,
Abu Zar Al-Ghifari, Ammar Bin Yasir. Demikian fakta sejarah berbicara tentang
kehidupan yang dipraktekan oleh orang-orang bertasawuf, meninggalkan kemegahan
dunia dan hanya mengabdikan diri untuk akhiratnya.
4. Perkembangan Tasawuf Masing-Masing Abad
Fase abad pertama dan kedua hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase
tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase ke-Zuhudan dalam pengertian masih sangat
sederhana, adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut:12
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran, tatkala
sekelompok muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya hanya pad
apelaksanaan ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Bentuk amaliah itu seperti
memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan dan minum, menyedikitkan tidur dan lain
sebagiannya. Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama pasca terbunuhnya sahabat
ustman. Mereka adalah hasan al-Basri (w 110 H) dan Rabiah al-adawiyah (w 185 H)
Selama dua abad pertama, sufisme tetap merupakan fenomena individual yang
spontan tetapi dengan berkembangnya disiplin formal hokum islam dan tyeoligi dan
bersama dengan itu pemunculan gradual kelas utama, maka dengan cepat ia berkembang
menjadi suatu lembaga dengan daya tarik massa yang besar.

12
Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, ( Jakarta:Amzah, 2017) hal 14
10

Tasawuf pada fase pertama dan kedua hijriah lebih tepat disebut sebagai
keZuhudan, kesederhanaan kehidupan nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid.
Banyak ucapan dan tindakan nabi saw, yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan, baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan
yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi, dan scara logikapun tidak masuk akal
andaikata nabi saw yang menganjuurkan untuk zuhud sementara dirinya tidak
melakukannya.
Khauf sebagai rasa takut akan siksaaan dari allah swt, sangat menguasai sahabat
nabi saw, dan orang-orang shalih pada abad pertama dan kedua hijriah. Informasi al-Qur’an
dan nabi tentang keadaan kehidupan dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka.
Abad ketiga dan keempat Hijriah pembahasan yang luas dalam bidang akhlak
mendorong lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan serta
pengauhnya bagi pelaku. Pemikiran selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah
epistemology, berkaitan langsung pembahsan mengenai hubungan manusia dengan allah
swt dan sebaliknya, lahir konsepsi fana’ dari abu yazid albusthami, dengan demikian
sebuah ilmu telah terbentuk khusus bagi kalangan kaum sufi yang berbeda dengan ilmu
fiqh, baik dari segi objek, metodologi tujuan dn istilah-istilah yang digunakan.
Apabila abad pertama dan kedua hijriah disebut fase asketisisme (kezuhudan) maka
pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf, praktisi kerohanian yang ada
pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari’
dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriah mendapat sebutan sufi, kaum sufi
mulai memeperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku
hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Hal itu dikarenakan tujuan utama
kegiatan rohani meraka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan
pencapaian pahla dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung
dengan tuhan yang didasari dengan cinta, cinta tuhan membawa konsekuensi pada kondisi
tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai (fana’ fi al-mahbub), kondisi ini tentu akan
mendorong ke persatuan dengan yang dicintai (al-ittihad), disini telah terjadi perbedaan
tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.13

13
Ibid, hal 16
11

Muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti junaid dan sari al-saqathi serta al-kharraz yang
memberikan pengajaran dan penidikan kepada para murid dalam bentuk jamaah. Untuk
pertama kali dalam islam terekat yang pada waktu itu semacam lembaga pendidikan, yang
memberikan pengajaran tata cara pendidikan sufistik, baik secara teori maupun praktek
pada murid-murid yang berminat memasuki tasawuf, pada abad ini muncul tsawuf jenis
baru yang diperkenalkan oleh al-husein ibn Mansur al-hallaj yang dihukum mati akibat
doktrin hulunya pada 309 H.
Fase abad kelima hijriah, fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni
memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadis atau yang
sering disebut dengan tasawuf sunni yakni tasawuf yang sesuai tradisi (sunnah) nabi dan
para sahabatnya, fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana
tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) nabi dan
sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah abu hamid al-ghazali atau yang lebih
dikenal dengan al-ghazali, pemikiran tasawuf yang diperkenalkan al-gazali sedemikian
mendalam dan belum pernah dikenal sebelumnya, dia melakukan kritik-kritik tajam
terhadap filasafat, pemikiran muktazilah dan aliran kebatinan, kemudian menancapkan
pemikirannya pada tasawuf yang lebih moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologi
ahlus sunah wal jamaah atau tasawuf sunni.
Fase abad keenam sampai kesembilan hijriah dan sesudahnya, fase ini ditandai
dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan
rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat yunani, pengalaman-pengalaman yang
diklaim sebagai persatuan antara tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk
pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah
allah sedangkan selain allah hanya ganbar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan
khayal.
5. Aliran dalam Tasawuf
Secara garis besar aliran tasawuf, berdasarkan kecenderungan dan karakteristiknya,
dapat dibagi menjadi tiga aliran, yakni tasawuf falsafi, tasawuf salafi, dan tasawuf sunni
(akhlaqi/ amali).
12

a. Tasawuf Salafi
Tasawuf salafi adalah tasawuf yang selalu melandaskan ajaran-ajarannya dengan
al-Qur’an dan al-Sunnah secara ketat. Apa yang tidak diperintahkan atau diamalkan oleh
Nabi bukan tasawuf Islam. Tasawuf ini berusaha memurnikan tasawuf dari bid’ah,
khurafat dan tahayul. Tokoh yang termasuk dalam aliran ini mayoritas mereka yang dalam
fiqih mengikuti Aliran Hanbaliyah, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Syeikh
Waliyullah al-Dihlawi dan Muhammad Abduh14
Inti ajaran tasawufnya ialah menghayati ajaran Islam dan melakukan apa yang
pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, seperti shalat sunah, puasa sunah dan lain
sebagainya, yang terpenting ada sumber atau nash yang menerangkan hal itu15.
b. Tasawuf Akhlaqi/ Sunni
Tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang mengikatkan diri dengan al- Qur’an dan al-
Hadis, namun diwarnai pula dengan interpretasi-interpretasi baru dan menggunakan
metode-metode baru yang belum dikenal pada masa generasi awal. Tujuan akhir dari
praktek tasawuf aliran ini adalah terbentuknya moralitas yang sempurna dan menuai
Ma’rifat Allah. Oleh sebab tujuan inilah aliran ini juga dikenal dengan tasawuf akhlaqi.
Kemudian, jika dilihat berdasarkan karakteristik bentuknya, aliran ini bisa pula dikatakan
sebagai aliran moderat atau penengah antara aliran tasawuf falsafi yang cenderung bebas
dan aliran tasawuf salafi yang cenderung kaku16.
Tokoh fenomenal aliran ini ialah Imam al-Ghazali, dan diikuti oleh mayoritas
penganut teologi Asy’ari dan Maturidi. Inti ajarannya ialah keseimbangan antara syari’ah
dan hakikah, ma’rifat, akhlak, fana’, maqamat, tauhid, dan taqarrub ila Allah. Metode
pencapaiaannya antara lain mujahadah, dzikir, tazkiyah an nafs wa qalb, riyadhah,
kontemplasi, tafakkur, dan lain-lain17.
c. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat,
mengkompromikan atau memakai terma-terma filsafat yang maknanya disesuaikan dengan

14
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, (Kudus:
STAIN Kudus Press, 2007), h. 12-13.
15
Ibid
16
Abd al-Qadir Mahmud, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam, (Beirut: Dar al- Fikr, 1996), h. 78.
17
Ibid
13

tasawuf. Aliran ini juga sering dikenal dengan aliran “Mistikisme Islam” atau aliran yang
sangat dekat dengan “Gnostisisme‟. Tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori ini antara
lain Abu Yazid al-Bustomi, Abu Mansur al-Hallaj, Ibn al-‘Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Sab’in,
Ibnu al-‘Afif, Ibn al-Faridl, al-Najm al-Israili, dan yang senada dengan mereka18.
Kemudian ajaran-ajaran atau istilah-istilah yang sering dimunculkan ialah wahdat
al wujud, wahdat al adyan, wahdat asyuhud, hulul, fana‟, liqa‟, ittishal, ittihad,
isyraqiyyah, Nur Muhammad dan cinta. Lantas, metode yang digunakan untuk mencapai
tujuan tersebut, aliran ini menggunakan metode maqamat, ahwal, riyadhah, mujahadah,
dzikir, mematikan syahwat, tazkiyatun nafs wa qalb dan lain-lainnya sebagaimana aliran
tasawuf sunni19.
6. Inti Ajaran Tasawuf
Meskipun berbeda-beda pendapat dan perwujudan, secara garis besar, para praktisi
tasawuf bisa dikatakan sepakat bahwa ajaran tasawuf ialah Tazkiyyah al-Nafs (penyucian
diri, baik penyucian badan, ucapan, pemikiran, hati, maupun jiwa; dan pengesaan Allah
Swt.)39, melalui Takhalliyyah al-Nafs, Tahalliyyah al-Nafs, dan Tajalliyyah al-Nafs guna
mencapai kedekatan atau penyatuan dengan Allah Swt. Ajaran-ajaran ini oleh para sufi
disebut dengan maqamat dan ahwal20.
a. Ajaran Yang disepakati
1) Maqamat
Secara etimologis, maqamat adalah jamak dari kata maqam yang berarti
kedudukan, posisi, tingkatan atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada
Allah. Maqam yang arti dasarnya tempat berdiri dalam terminologi sufistik berarti tempat
atau martabat seorang hamba dihadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-
Nya21.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para sufi tentang apa yang dimaksud
dengan maqam. Al-Qusyairi, misalnya, mengatakan: Maqam adalah hasil usaha manusia
dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat

18
Abu al-‘Ala ‘Affifi, al-Tasawwuf al-Ruhiyyah fi al-Islam, (Kairo: tp., 1962), h. 92.
19
Ibid
20
Khairunnas Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h.
1-28 42.
21
. Imam al-Qusyairy al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, terj. Lukman Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti,
1999), h. 23.
14

membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban. Kedudukan hamba
dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan
hawa nafsu,latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-
mata untuk berbakti kepada-Nya22.
Dari pengertian ini jelas dapat dilihat bahwa maqam adalah tingkatan seorang
hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
Dalam jumlah dan urutan maqamat para sufi berbeda pendapat. Namun yang
popular adalah maqam Taubah, Zuhd, Sabr, Tawakkal, dan Ridha. Untuk penjelasannya
sebagai berikut:
a) Taubah
Untuk maqam taubah, para sufi sepakat menempatkannya pada tahap pertama. Hal
ini karena, menurut kesepakatan para sufi, bahwa untuk dapat mendekat kepada Allah Swt
yang Maha Suci, tidak akan mungkin jika sang salik masih berlumuran dengan dosa. Ia
harus bersih terlebih dahulu sebelum mendekat kepada- Nya. Pembersihan diri dari dosa
inilah pengertian dari maqam taubah23.
b) Zuhd
Secara definitif zuhd adalah mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini karena,
menurut kaum sufi, kehidupan duniawi adalah sumber kemaksiatan dan penyebab
terjadinya kejahatan dan dosa. Oleh karena itu, ia harus ditinggalkan. Maqam zuhd ini
sangat erat dengan maqam taubah, sebab taubat tidak akan mungkin berhasil selama hati
salik masih didominasi kecenderungan dan kesenangan duniawi. Namun, dengan
pendapat ini, Ibn Taimiyyah tidak sependapat. Menurutnya, zuhd tidak harus
meninggalkan semua materi duniawi, tetapi memilah dan memilih. Jika ia merugikan bagi
kehidupan akhirat, maka ia harus ditinggalkan. Jika tidak, maka juga tidak boleh
ditinggalkan24.
c) Sabr
Sabr bukanlah sesuatu yang harus menerima seadanya, namun malah sebaliknya,
yaitu berusaha secara sungguh-sungguh dalam menahan diri dalam memikul suatu

22
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1993), h. 2. 43
23
Masyharuddin, Op.Cit. 230-231
24
Ibid. 232
15

penderitaan baik dalam suatu perkara yang tidak diingini maupun dalam kehilangan
sesuatu yang disenangi. Sabr juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam
penerimaan sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk perintah
maupun larangan. Jadi, sabr adalah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu terhadap
perkaraperkara yang diharamkan oleh Allah Swt25.
d) Tawakkal
Secara definitif umum, Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan kepada
takdir Allah Swt. sepenuh jiwa dan raga. Kemudian, menurut para sufi, Tawakkal
dimaknai sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan
ketentraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka ia harus
bersukur dan ketika dalam keadaan duka ia harus bersabar. Dengan kata lain, dalam
keadaan apapun, sang salik tidak diperbolehkan resah dan gelisah, apalagi mencela takdir
Allah Swt26.
e) Ridha
Ridha adalah puncak kecintaan yang diperoleh sang salik selepas menjalani proses
ubudiyyahi kepada Allah Swt. yang panjang. Menurut al-Ghazali, kelebihan ridha Allah
Swt merupakan manifestasi dari keridhaan hamba. Ridha terikat dengan nilai penyerahan
diri kepada Allah yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan-
Nya agar senantiasa dekat dengan-Nya27.
2) Ahwal
Ahwal tidak lain adalah sesuatu anugerah spiritual pemberian Allah Swt kepada
sang salik karena ketaatan dan ibadahnya yang secara terus-menerus. Jadi, ahwal adalah
bersifat pemberian, bukan diusahakan sebagaimana maqamat. Menurut Rajab, ahwal
dalam tasawuf yang populer antara lain28:
a) Khauf
Dalam terma tasawuf, khauf adalah hadirnya perasaan takut ke dalam diri sang
salik karena dihantui oleh perasaan dosa dan ancaman yang akan menimpanya. Saat

25
Khairunnas Rajab, Op.Cit. 28
26
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental,
(Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994), h. 169.
27
Imam al-Ghazali, al-Mukasyafat al-Qulub, terj. Ahmad Sunarji, (Bandung: Pustaka Husaini, 1996), h.
346.
28
Khairunnas Rajab, Op.Cit.
16

rasa ini menghampirinya, sang salik akan merasa tenteram dan tenang karena kondisi
hatinya yang semakin dekat dengan Allah Swt. Perasaan ini juga akan menghalanginya
untuk melarikan diri dari Allah Swt, dan membuatnya selalu ingat serta ta’zhim kepada-
Nya29.
b) Tawaddu’
Secara definitif tawaddu’ adalah kerendahan hati seorang hamba kepada
kebenaran dan kekuasaan Tuhannya. Dengan rasa ini, kesombongan sang salik kepada
Tuhannya dan juga makhluk Tuhan lainnya akan hilang sirna, sebab ia merasa rendah.
Oleh karena itu, jika seseorang sudah sampai atau telah mendapatkan ahwal ini, maka
ia tidak akan bersikap pilih kasih dengan siapapun. Sebab ia memandang semuanya
adalah sama dan setara30.
c) Ikhlash
Dalam ajaran tasawuf, ikhlash merupakan suatu hal yang bersifat bathiniyyah
dan teruji kemurniannya dengan amal soleh. Ia adalah perasaan halus yang tidak dapat
diketahui oleh siapapun. Dengan ini, sang salik dalam melakukan apapun hanya semata
karena Allah Swt., bukan selain-Nya31.
d) Taqwa
Secara umum, taqwa berarti memelihara diri dari larangan Allah Swt. dan selalu
melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Sedangkan menurut terma tasawuf, taqwa
adalah usaha penjagaan dari tergelincirnya diri dalam syirik, dosa, kejahatan, dan hal-
hal yang subhat, termasuk didalamnya ialah lupa kepada Allah Swt32.
e) Syukur
Para sufi memaknai syukur dengan kesan kesadaran (rasa terima kasih) manusia
terhadap rahmat dan karunia yang diterimanya dari Allah Swt. Hadirnya sifat ini, dalam
diri manusia, akan memperlihatkan nilai positif atas diri manusia itu sendiri, yakni
perwujudan integritasnya dengan Allah dan lingkungannya33.

29
Ibid
30
Abdullah al-Anshari al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, (Beirut: Dar al- Kutub „Ilmiyyah, 1988), h. 60.
31
Ibid
32
Ibid 62
33
Ibid
17

f) Mutma’innah
Mutma’innah secara etimologi berarti ketenangan, sementara secara istilah
tidak lain ialah satu kesan batin di mana ketentraman, karena dekat dengan Allah Swt,
selalu menyelubunginya. Dan juga ada yang mengartikan sebagai kondisi psikologi
yang tenteram dengan selalu mengingat Allah, mengerjakan amal soleh dan
bertaqarrub kepada-Nya. Menurut ‘Abdullah al-Anshari, mutma’innah dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu: (1) mutma’innah hati karena menyebut asma Allah; (2) ketika
mencapai tujuan pengungkapan hakikat; dan (3) karena menyaksikan kasing sayang-
Nya34.
b. Ajaran-ajaran Yang Diperdebatkan
Beberapa ajaran tasawuf masih dalam perdebatan. Ajaran-ajaran ini pada umumnya
merupakan ajaran-ajaran yang masuk dalam kategori aliran tasawuf falsafi dan sedikit
dalam aliran tasawuf sunny. Ajaran-ajaran tersebut antara lain:
1) Al-Ma’rifah
Secara harfiah, al-ma’rifah berarti pengetahuan. Sedangkan dalam terma tasawuf ia
diartikan sebagai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari. Dan
pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati merasa bersatu dengan yang
diketahui. Jadi, perantara antar keduanya, hamba dan Tuhan, dalam al-ma’rifah ini adalah
hati. Maka dari itu, menurut penganut ajaran ini hati dan pembersihan atasnya adalah
sangat fital dan penting. Dalam prosesnya, ruh berfungsi untuk mencintai atau rindu kepada
Allah Swt. dan sirr, yang dikandung ruh, berfungsi untuk kontemplasi dan berfikir tentang
Allah sehingga sang salik dapat berkomunikasi dengan-Nya. Selain al-ma’rifah, ajaran ini
juga dikenal dengan al-kasyf, mukasyafah, musyahadah35.
Tokoh-tokoh sufi yang sangat getol memperjuangkan ajaran ini antara lain Imam
al-Ghazali, Ma’ruf al-Karkhi, Abu Sulaiman al- Darani, dan Dzun Nun al-Misri36.
2) Al-Mahabbah
Al-mahabbah dicetuskan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, dan menurutnya in adalah inti
dari tasawuf. Menurutnya, al-hubb akan membawa seseorang pada keridhaan atau

34
Ibid
35
Khairunna Rajab, Op.Cit. 25
36
Ibid
18

memberikan ketaatan tanpa disertai dengan penyangkalan, shawq (kerinduan yang


mendalam untuk bertemu Tuhannya), dan Uns (mempunyai hubungan spiritual yang intim
yang terjalin antara sang pecinta dengan dengan yang dicinta,Tuhan)37.
3) Al-Fana’
Menurut al-Ghazali, al-fana’ adalah maqamat terakhir sebelum menuju atau
memperoleh al-ma’rifah. Jadi, poin sangat penting dilalui oleh sang-salik, jika ia ingin
mendapatkan pengetahuan sejati dari Tuhannya. Poin ini, masih menurut al- Ghazali,
merupakan proses beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam kejiwaan dan alam
ketuhanan. Dalam perkembangannya, al-Fana’ terbagi menjadi dua, yakni al-Fana fi al-
Tauhid, hilangnya kesadaran tentang segala sesuatu selain Allah ketika seseorang larut
dalam pengalaman ketuhanan; dan al-Fana’ fi al-Ittihad, yaitu sirnanya segala sesuatu
selain Allah sehingga sang salik tidak mampu lagi menyaksikan dirinya sendiri karena
telah lebur dengan yang disaksikan, Allah38.
4) Al-Ittihad
Al-ittihad merupakan proses kelanjutan dari al-fana’ dan al-ma’ rifah. Sebab, ia
adalah kondisi puncak penghayatan salik atas alfana’ dan al-ma’rifah, sehingga dirasakan
telah bersatu dengan Tuhan. Pandangan ini adalah sebagai konsekwensi logis dari dasar
filosofi jiwa manusia yang merupakan aspek immateri manusia yang mempunyai relasi
ontologis dengan Tuhan. Siapa yang mampu melepaskan dirinya dari ikatan materi, maka
ia akan memperoleh jalan kembali kepada Tuhan yang tidak lain adalah sumbernya39.
5) Al-Hulul dan Wahdah al-Wujud
Kedua ajaran ini adalah kelanjutan dari ajaran al-ittihad. Al-hulul, yang
diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj, merupakan kelanjutan langsung dari al-ittihad
sementara wahdah al-wujud, yang diperkenalkan oleh Ibnu Arabi, kelanjutan atau
perluasan dari al-hulul40.

37
Ibid
38
Ibid
39
Ibid
40
Ibid
19

C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Tasawuf adalah salah satu ilmu yang bertipe mistis, dalam bahasa inggris disebut
dengan Sufisme
b. Ilmu Tasawuf berlandaskan dari al-Qur’an dan Hadis
c. Tasawuf sudah ada dari zaman Nabi. Secara keilmuan dikonsepkan setelah Nabi wafat
d. Aliran ilmu tasawuf itu ada tiga, Salafi, Akhlaki dan Falsafi
e. Inti ajaran dalam ilmu tasawuf itu ada yang dispakati da nada yang diperdebatkan.
20

DAFTAR PUSTAKA

‘Affifi , Abu al-‘Ala, al-Tasawwuf al-Ruhiyyah fi al-Islam, (Kairo: tp., 1962.


al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mukasyafat al-Qulub, terj. Ahmad Sunarji, (Bandung: Pustaka Husaini, 1996)
al-Harawi, Abdullah al-Anshari, Kitab Manazil al-Sairin, (Beirut: Dar al- Kutub „Ilmiyyah, 1988)
Isa, Abdul Qadir, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisti Press, 2005)
Jaya ,Yahya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta:
Pustaka Ruhama, 1994)
Kanafi, Imam, Ilmu Tasawuf, (Jawa Tengah:PT Nasya Expanding management, 2020)
Mahmud ,Abd al-Qadir, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam, (Beirut: Dar al- Fikr, 1996
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, (Kudus: STAIN Kudus
Press, 2007)
al-Naisaburi Imam al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, terj. Lukman Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Nasution , Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1993
Ni’am, Syamsun, Tasawuf Studies (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2014)
Nurdin, Eep Sopwana, Pengantar Ilmu Tasawuf (Bandung : PT Aslan Grafika, 2020)
Rajab ,Khairunnas, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007.
Rusli, Risan, Tasawuf da Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman sufi,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, ( Jakarta:Amzah, 2017)
Simuh, Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005)

Anda mungkin juga menyukai