Anda di halaman 1dari 9

PEMIKIRAN MANHAJ AHL AL-TASAWUF

MAKALAH

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam

Dosen Pengampu: Ahmad Muthohar, M. Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 5

1. Qonaatul Mubarokah 2003016016


2. Nandya Febrilia Hilmasari 2003016028
3. Indri Stianingrum 2003016031

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2023
A. Pendahuluan
Tasawuf menurut Ibnu Khaldun adalah ilmu yang memberi perhatian khusus pada
usha menjaga tata krama bersama Allah SWT secara dhohir dan batin, yakni dengan
tetap menjalankan hukum-hukum syariat secara formal sambil menyucikan hati secara
substansial sehingga fokus hanya kepada Allah.1Tasawuf tumbuh dan berkembang
sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk
Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia-para sufi untuk memusatkan perhatiannya
untuk beribadah kepada Allah SWT yang dibarengi dengan kehidupan asketisme atau
zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral. Kecenderungan kepada
moralitas itu, mendorong mereka untuk mempercakapkan pengetahuan intuitif berikut
sarana dan metodenya. Tindak lanjut dari percakapan itu mengarahkan mereka kepada
aspek-aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan atau hubungan Khaliq
dengan makhluk.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan melalui dalil. Orang yang
mendapat pengetahuan ini di anggap berada dalam cahaya Allah di jalan yang benar,
karena mereka mampu melihat sesuatu langsung dari hakikatnya, itu sebabnya tasawuf
sukar untuk di ungkap dengan kata-kata yang mudah dipahami masyarakat awam.
Apalagi pengalaman tasawuf ini merupakan karunia dari Tuhan setelah seseorang
menempuh penyucian rohani itu melalui pelatihan-pelatihan fisik-psikis yang berat.
Dalam konteks ini tasawuf hanya di karuniakan Allah kepada Nabi dan Wali, karena
merekalah yang mencapai puncak tertinggi proses penyucian rohaninya dalam
mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam hal ini, akan dibahas mengenai manhaj/pemikiran ahlul tasawuf falsafi dan
ahlul tasawuf akhlaki. Selain itu, akan dibahas juga mengenai tarekat dan
perkembangannya.2 Oleh karena itu dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemikiran manhaj Ahl al-Tasawuf Falsafi?
2. Bagaimana pemikiran manhaj Ahl al-Tasawuf Akhlaqi?
3. Bagaimana perkembangan tarekat dan substansi pemikiran tarekat?

B. Pemikiran Manhaj Ahl Al-Tasawuf Falsafi


1
Muhammad fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm.6.
2
A. Rivey Siregar, Tasawuf (Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 34.
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan dengan
pendekatan Rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya
mengenal Tuhan saja melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud
(kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat. 3Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan
kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filosof tentang
Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. 4
Tasawuf falsafi lebih menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep
tasawuf falsafi lebih mengedepankan asa rasio dengan pendekatan-pendekatan filosof
yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang-orang awam.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad ke-6 H. Meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu,
tasawuf ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof
sampai menjelang akhir-akhir ini. Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-
samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai
filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Tetapi tidak dapat
pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Menurut Ibnu Khaldun, ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi
filosof, di antaranya yaitu: Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta
instropeksi diri yang timbul darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari
alam ghaib, seperti sifat-sifat rabbani, arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh. Ketiga,
peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau
keluarbiasaan. Keempat, menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas
samar-samar yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya dan menyetujuinya.5 Dalam bukunya Nasirudduin, M. Ag, tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan
pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat.

3
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2013), hlm. 33.
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 18.
5
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf : pengenalan, pemahaman, dan
pengaplikasiannya disertai biografi dan tokoh-tokoh sufi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 33-34.
Adapun ciri dari tasawuf falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa
atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran
dan renungan. Di antara konsep tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
1. Fana’
Fana' dalam tasawuf pada umumnya dipahami sebagai tidak adanya kesadaran
indrawi dan yang disadari hanya Allah SWT. Sehingga orang yang tenggelam (fana’)
ke dalam Tuhan berarti tidak lagi sadar terhadap selain Tuhan.6
2. Ittihad
Ittihad adalah apabila seorang sufi telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga
wujudnya kekal atau al-baqa’. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati
dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan.
3. Al-Hulul
Pengertian al-Hulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya
dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan.7
C. Pemikiran Manhaj Ahl Al-Tasawuf Akhlaqi
Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan tingkah laku. Tujuan dari tasawuf ini yaitu untuk mendekatkan diri
kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghiasi
diri dengan perbuatan yang terpuji. Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari:8
1. Takhalli, yaitu usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela dan kotoran
atau penyakit yang merusak.
2. Tahalli, adalah upaya menghias diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang
baik, membina pribadi agar berakhlak mulia. Sifat-sifat itu antara lain: tauhid, ikhlas,
taubat, zuhud, hubb, wara’ sabar, syukur, dan lainnya.9

6
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 109-110.
7
A. Rivey Siregar, Tasawuf : dari sufisme klasik ke neo-sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 152-156.
8
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 18.
9
Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm.
15-16.
3. Tajalli, tahap tajalli ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi sependapat
bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan,
yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.
Ciri-ciri tasawuf akhlaki antara lain:
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam ajarannya, cenderung
memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya.
2. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at, yaitu keterkaitan antara tasawuf
(sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (sebagai aspek lahiriyah).
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar Tuhan dan manusia.
4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pembinaan akhlak dan pengobatan jiwa
dengan cara latihan mental (takhalli, tahallli, dan tajalli).
5. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat, terminlogi-terminologi yang
dikembangkan lebih transparan.
D. Perkembangan Tarekat dan Substansi Pemikiran Tarekat
1. Perkembangan Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah yang artinya jalan, cara, aliran atau
metode. Secara istilah tarekat adalah suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan
dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran
Islam menuju tercapainya makrifatullah. Tarekat berakar dari pengalaman seorang
sufi-ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana
kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya
kemudian, tarekat terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini,
maka penamaan suatu tarekat diambil dari nama pimpinan kelompok belajar itu.
Misalnya tarekat Naqsyabandiyah dinamai demikian adalah karena kelompok
pembelajaran tasawuf itu dirintis oleh Bahauddin al-Naqsyaband.10
Dilihat dari sisi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul
sebagai lembaga tidak dapat diketahui secara jelas. Akan tetapi nampaknya tarekat
Taifuriyah adalah tarekat tertua. Tarekat ini berdiri pada abad ke XI di Persia yang
dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthami al-Taifuriyah. Namun perkembangan
nyata tarekat adalah sekitar abad ke XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan
(Persia) dan Mesopotamia (Irak). Tarekat yang bermunculan di daerah Khurasan
beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan tarekat yang berkembang di daerah

10
A. Rivey Siregar, Tasawuf : dari sufisme klasik ke neo-sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 246.
Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid Al-Baghdadi. Pada era abad dua belas itu,
di Khurasan berdiri tarekat Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi (w.
1169) dan tarekat Khawajaganiyat yang didirikan oleh Abdul Khaliq al-Ghazdawani
(1220).
Tarekat Yasaviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru
tarekat Bekthasiyah diidentikan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin
Ibrahim Hajji Bektash (w. 1335). Terekat ini cukup populer pada masa kekuasaan
Sultan Murad I, karena tarekat ini memiliki pasukan komando sebagai kekuatan inti
kerajaan Turki Usmani, yang disebut “jenisari”. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan
pengembangan dari tarekat Khawajaganiyah yang didirikan Muhammad Bahauddin
an-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335). dalam perkembangan selanjutnya,
tarekat ini menyebar ke Turki, India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan
pendirinya di kawasan setempat. Di Indonesia, tarekat yang merupakan cabang dari
Naqsyabandiyah antara lain tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidiyah,
Ahsaniyah, dan lain-lain. Selain dari kedua induk tadi, tarekat yang tergolong rumpun
khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia tarekat, seperti tarekat
Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w.1379).
Tarekat yang berasal dari rumpun mesopotamia (Irak) anutannya berakar pada
tasawuf Abdul Qadir Qasim Al-Junaidi yang meninggal sekitar tahun 910 atau
menganut paham tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani (w.1078).Tarekat Suhrawardiyah
yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (1234), tarekat Kubrawiyah yang
dipelopori oleh Najamuddin Kubra (w.1221) dan tarekat Maulawiyah yang didirikan
oleh Jalaluddin al-Rumi(w.1273), adalah tarekat-tarekat yang besar yang mengacu
pada tasawuf Junaidi. Tarekat Qadiriyah yang dibangun oleh Muhayyidin Abdul
Qodir al-Jailani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui tarekat Shadziliyah
yang di dirikan oleh Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan tarekat Rifaiyah yang dirintis
oleh Ahmad Ibn Ali Ar-Rifai (w.1182). Tarekat yang berasal dari rumpun Qadiriyah,
tersebar luas dihampir seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah yang mengilhami
lahirnya tarekat Sanusiyah dan Idrisiyah di Kawasan Afrika Utara adalah tarekat-
tarekat yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar tasawuf Dzuna Nun al-mishri
(w.860). Tarekat Qadiriyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al-
Ghawthiya sekitar tahun 1617.11

11
A. Rivey Siregar, Tasawuf : dari sufisme klasik ke neo-sufisme, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1999, hlm. Hlm 266-268.
Dengan demikian, Tarekat yang pada awalnya dimaknai sebagai metode
mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi sistem pembelajaran tasawuf yang
melembaga. Dalam tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau
pembimbing dan biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih yang disebut
khalifah atau wakil, pengikutnya dinamai “murid” yang berminat. Tempat untuk
belajar dan pondokan semacam asrama disebut ribath atau zawiyah dan juga dinamai
taqiyah yang dalam bahasa Persia disebut khonaqah.12
2. Substansi Pemikiran Tarekat
Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi atau zahid di sepanjang
zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang
berbeda-beda. Sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu untuk menuju atau mendekati
Tuhan atau bersatu dengan-Nya.13Sedangkan tarekat dalam arti metode spiritual,
sebagaimana yang dipraktikkan tarekat-tarekat tertentu, meliputi program penyucian
jiwa, dzikir, tafakur, meditasi, mendengarkan musik dan menari, qiyamul lail dan
sebagainya. Dalam hal ini kita melihat beberapa praktik yang berbeda antara satu
tarekat dengan tarekat yang lain, tetapi sebenarnya substansi dan tujuan mereka adalah
sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub Ila Allah).14

E. Kesimpulan
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan dengan
pendekatan Rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya
mengenal Tuhan saja melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud

12
A. Rivey Siregar, Tasawuf : dari sufisme klasik ke neo-sufisme, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1999, hlm. 264.
13
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 16.
14
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 177.
(kesatuan wujud). Dalam bukunya Nasirudduin, M. Ag, tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih
dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari tasawuf
falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses
bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.
Adapun konsep tasawuf falsafi meliputi fana’, ittihad dan al-hulul.
Tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan
tingkah laku. Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli, tahalli dan tajalli. Adapun ciri-ciri tasawuf
akhlaki yaitu berlandas pada al-Qur’an dan sunnah, bersinambung antara hakikat dengan
syari’at, bersifat dualisme, berfokus pada pembinaan akhlak, serta tidak menggunakan
terminologi-terminologi filsafat.
Tarekat adalah suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan
sebagai upaya spiritualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran Islam menuju
tercapainya makrifatullah. tarekat tertua adalah tarekat Taifuriyah. Tarekat dalam arti
metode spiritual, sebagaimana yang dipraktikkan tarekat-tarekat tertentu, meliputi
program penyucian jiwa, dzikir, tafakur, meditasi, mendengarkan musik dan menari,
qiyamul lail dan sebagainya. Dalam hal ini kita melihat beberapa praktik yang berbeda
antara satu tarekat dengan tarekat yang lain, tetapi sebenarnya substansi dan tujuan
mereka adalah sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub Ila Allah).

Daftar Pustaka

Hajjaj, Muhammad fauqi, 2002, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm.6.
Kartanegara, Mulyadhi, 2006, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga.
Nasirudin, 2010, Pendidikan Tasawuf, Semarang: RaSAIL Media Group.
Nasution, Ahmad Bangun & Rayani Harum Siregar, 2013, Akhlak Tasawuf, Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada.
Nasution, Ahmad Bangun & Rayani Harum Siregar, 2013, Akhlak Tasawuf : pengenalan,
pemahaman, dan pengaplikasiannya disertai biografi dan tokoh-tokoh sufi, Jakarta :
Rajawali Pers.
Nata, Abuddin, 2009, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Siregar, Rivey, A, 1999, Tasawuf : dari sufisme klasik ke neo-sufisme, Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Solikhin, Muhammad, 2004, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, Semarang: Pustaka Nuun.

Anda mungkin juga menyukai