Anda di halaman 1dari 11

“SENI BUDAYA DALAM RELASI TASAWUF”

MAKALAH SEMINAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM IIB


MATA KULIAH SEMINAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh :
Kelompok 8
1. Anjani Putri Purnamasari (4444190045)
2. Rian Sopian (44441900
3. Iis Istihamsyah (44441900

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2020
A. Pendahuluan
Seni budaya merupakan bagian dari sisi kehidupan manusia. Selain itu, dari sisi
seni dapat dikatakan bahwa manusia merupakan salah satu karya terbaik dan terindah
(ahsan al-khaliqin dan ahsan taqwim) dari sang Pencipta yaitu Allah SWT. sekaligus
manusia adalah pembentuk kebudayaan dan juga berbudaya.
Islam sebagai din al-fithrah seluruh ajarannya harmonis, selaras, memnuhi hajat
hidup, sekaligus sebagai control agar manusia tidak terjerumus kedalam kerusakan.
Seni budaya bebas berkembang tetapi tidak bebas nilai. Nilai-nilai keagungan Allah
dapat disampaikan melalui seni budaya yang melahirkan nilai-nilai luhur moral,
sejalan dengan martabat kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan
dan kehalusan budi pekerti.
Seni budaya dapat mengekspresikan suluk dunia tasawuf dengan cinta dan
pengagungan kepada Allah SWT. Sang pencipta cinta dan keindahan. Relasi tasawuf
dengan seni budaya imanen dan dekat. Seni budaya dapat menjadi media dakwah
dan dalam perspektif tasawuf seni budaya bersifat religious.1

B. Definisi Seni Budaya


Seni adalah bidang atau cara sesorang untuk menyampaikan pesan dari hati atau
ungkapan perasaan yang dikemas dalam bentuk suatu karya, baik dengan benda atau
semacamnya dengan menonjolkan unsur keindahan, yang mampu membangkitkan
perasaan orang lain.
Istilah Seni berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Sani yang berarti persembahan,
pemujaan, dan pelayanan yang erat hubungannya dengan suatau acara keagaman.
Namun, ada juga yang mengatakan kata Seni berasal dari Bahasa Belanda ‘Genie’
yang berarti jenius. Unsur terpenting dari seni adalah keindahan, yang dapat
menggerakan perasaan indah orang yang melihatnya. Oleh sebab itu, perbuatan
manusia yang bias mempengaruhi serta menimbulkan perasaan indah adalah seni.

1
Tim Dosen MPK PAI UNTIRTA, Dinamika Nalar Islami (Serang:Untirta Press, 2020)
h.223
Budaya adalah cara pandang atau hidup untuk melakukan suatu hal yang sudah
menjadi ciri khas daerah mereka atau suatu kegiatan yang memang sudah menjadi
jati diri. Sedangkan, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat.
Dengan merajuk pada pengertian tersebut, dapat diartikan pula seni budaya
sebagai kaya yang dibuat secara sengaja, berlandaskan kepada akal tau budi yang
dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang kemudian berkembang secara turun-
temurun.2
Bagi kalangan teolog dan orang-orang yang beragama, kebudayaan adalah
perpanjangan dari perilaku agama. Agama bagaikan ruh yang datang dari langit,
sedangkan budaya adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama sehingga
pertemuan antara keduanya melahirkan peradaban. Ruh tidak bisa beraktivitas dalam
pelataran sejarah tanpa jasad sedangkan jazad akam mati dan tidak sanggup terbang
menggapai langit-langit makna ilahi tanpa ruh agama. Tak ada peristiwa budaya dan
peristiwa sejarah tanpa kehadarian dan keterlibatan tuhan di dalamnya. 3

C. Definisi Tasawuf
Harun Nasution mengatakan bahwa Tasawuf merupakan upaya pembinaan
akhlak yang mulia (At Takhallaqu bi Akhlaqillah) yaitu berbudi pekerti dan bersifat
seperti budi pekerti dan sifat-sifat Allah. Sehingga, tumbuhlah akhlak-akhlak mulia
pada manusia dalam bersifat dan berperilaku. Tasawuf (sufisme) sering disebut
sebagai aspek esoteris atau kedalaman dari agama islam. Tasawuf mengajak untuk
mengenal rahasia besar yang tersembunyi didalam yakni mengenal Allah dengan cara
menghaluskan perasaan.

2
Tim Dosen MPK PAI UNTIRTA, Dinamika Nalar Islami (Serang:Untirta Press, 2020)
h.225
3
M. Thoybi, Dkk, Sinergi Agama dan Budaya: Dialektika Muhammadiyah Dan Seni Lokal,
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hlm. 7.
Abu Hasyim adalah orang yang pertama kali digelari dengan kata al-shufi,
seorang ahli tasawuf yang sangat sederhana. Menurut syekh abdul ahmad ibni
athaillah, arti tasawuf dan asal katanya secara Bahasa adalah sebagai berikut :
1. Berasal dari kata suffah (‫)صفة‬, yang berarti segolongan sahabat-sahabat nabi
yang menyisihkan dirinya disamping masjid Nabawi untuk mendengarkan fatwa-
fatwa Rasulullah SAW dan menyampaikannya kepada orang lain.
2. Berasal dari kata sūfatun (‫)صوفة‬, yang berarti bulu binatang sebab orang yang
memasuki tasawuf menggunakan pakaian dari bulu binatang.
3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (‫) صوفة الصفآ‬, yang berarti bulu yang terlembut
dengan maksud bahwa orang shufi adalah orang yang lembut.
4. Berasal dari kata safa’ (‫)صفآ‬, yang berarti suci bersih, lawan dari kotor. Karena
orang orang yang mengamalkan tasawuf selalu suci bersih lahir dan batin, serta
selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan kotor.4

Sangat Sulit mendefinisikan tasawuf secara lengkap karena para ahli hanya
dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Anne Marie Schimmel, seorang sajarawan dan dosen tasawuf pada Harvard
University. Sebagai contoh apa yang telah didefinisikan oleh syekh al-imam al-
qusyairi dalam kitabnya risalah al-qusyariiyah :

‫المراعونانفااسهممعاللهتعلي الحافضونقلوبهمعن طوارق الغفلة با سم التصو ف‬


“orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya secara besama-samaan dengan
allah ta’ala, orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat
lalai dan lupa kepada allah dengan cara tersebut dinamakan tasawuf”

Sedangkan Abdul Husain Al-Nur memberikan Batasan pada definisi yang lain
yaitu akhlak yang membentuk tasawuf, yaitu :

4
Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh Ahmad bin Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi
al-Hanif, Mempertajam Mata Hati (Bintang Pelajar, 1990), h.5.
‫التسوف الحريةوالكرموترك التكلف واسخآء‬
“Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta
dermawan.5

Dengan pengertian tasawuf diatas menunjukan bahwa hubungan Allah dengan


manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbu sehingga manusia yang
bertasawuf itu selalu berada dalam ilahi yang qodim.
Secara definisi tasawuf diartikan sebagai cabang studi keislaman yang mengkaji
filsafat agama dan hikmah tasawuf merupakan jalan pembinaan karakter sebagai cara
menciptakan pribadi yang sempurna.
Dari definisi di atas tentang tasawuf, dapat diambil garis tengahnya yaitu tasawuf
lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya. Hal ini disebabkan karena
para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, memercayai keutamaan “spirit” ketimbang
“jasad”, memercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Secara ontologism
mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan riil dibanding dengan dunia
jasmani. 6

D. Tujuan Tasawuf
Tujuan akhir tasawuf sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang
mencakup :
a. Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
b. Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari
sifat-sifat jelek.
c. Pemusatan pada perenungan terhadap tuhan, yang dicari kecuali Allah SWT.

5
Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulamma Sufi (Cet. II;Surabaya:
Media Varia Ilmu, 1996), h.13.
6
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.1-3.
Selain itu, Abudin Nata mengungkapkan bahwa tujuan ilmu tasawuf adalah
untuk mencapai ma‟rifatullah dengan sebenarbenarnya dan tersingkapnya dinding
(hijab) yang membatasi diri dengan Allah. Yang dimaksud ma’rifatullah adalah :
1. Ma’rifat billah, adalah melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata
dengan segala kenikmatan dan kebesarannya, tetapi tidak dengan kaifiyat, artinya
Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun yang lain dengan
ketentuan bentuk dan rupa sebagai jawaban.
2. Insan Kamil, yang tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan. Manusia
yang mengenal dirinya sendiri, keberadaannya memiliki sifat-sifat utama.
Untuk mencapai tujuan tasawuf yakni yakni memperoleh hubungan dan
kedekatan rohaniah dengan Tuhan diperlukan jalan (maqamat) yang harus ditempuh
dengan sungguh-sungguh.7

E. Macam-Macam Tasawuf
Berdasarkan objek sasaranya tasawuf diklarifikasikan mejadi tiga macam yaitu :
1. Tasawuf Akhlaki, yaitu tashawuf yang sangat menekankan pada moral dan
akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna
memperoleh kebahagiaan yang nyata. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf ini
meliputi Takhalli yaitu penyucian dari sifat sifat tercela, Tahali yaitu
membiasakan diri dengan sikap terpuji, dan Tajali yakni tersingkapnya nur ilahi
2. Tasawuf Amali lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, sehingga tujuannya
agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3. Tasawuf Falsafi, yaitu menekankan pada masalah masalah yang berhubungan
dengan metafisik. Membicarakan tasawuf, tidak lengkap tanda membicarakan
maqâmât. An-Nar menafsirkan maqâmât sebagai sebuah metode psikoterapi

7
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi Pemikiran
Tasawuf Al-Gazali, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001), hlm. 23.
sufistik modern. Sementara Ali Murtadlo mencoba memaknai tahapan maqâmât
itu sebagai metode konseling transpersonal. 8
Imam Al Ghazali membagi maqam-maqam yang harus dilalui seseorang untuk
mencapai puncak tertinggi dalam spiritualitas. Menurut Abu Nasr As-Sarraj maqamat
dalam tasawuf adalah sebagai berikut :
1. Tobat
Tobat yaitu memohon ampun kepada Allah SWT. atas segala dosa dan kesalahan
serta berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi perbuatan
dosa yang telah dilakukan.
2. Wara’
Wara’ yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang
tidak baik atau syubhat (menghindari jauh-jauh segala hal yang di dalamnya
terdapat keragu-raguan antara halal dan haram).
3. Zuhud
Zuhud, yaitu menjauhi dari perkara yang bersifat keduniawian.
4. Fakir
Fakir, yaitu tidak meminta lebih dari yang menjadi haknya, tidak banyak
memohon rizki, kecuali untuk menjalankan kewajiban dalam mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
5. Sabar
Sabar, yaitu menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT., tenang ketika
mendapat cobaan, dan menampakkan sikap perwira walaupun sebenarnya berada
dalam kefakiran secara ekonomi.
6. Tawakal
Tawakal, yaitu berseah diri kepada Allah SWT. setelah ada usaha yang
maksimal.
7. Rida

8
Dr. Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan modern, Cet.1 (Jakarta: Hikmah
Penerbitan Jakarta,2004) h. 120.
Rida, yaitu menerima qada dan qada Allah SWT dengan hati senang, serta
mengeluarkan perasaan benci dari hati.
Hubungan antara akhlak dan Tasawuf juga dapat dilihat dari ibadah-ibadah yang
lain, yaitu shalat, puasa, haji, zikir, dan semua aktivitas yang dilakukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT secara taqwa (melaksanakan perintah-Nya dan
mejauhi larangan-Nya). Karena dalam tasawuf, akhlak atau karakter merupakan
perwujudan bersatunya iman, islam, dan ikhsan.
Prinsip asasi sufisme adalah bahwa tidak ada wujud mutlak kecuali Allah dan
jiwa manusia adalah limpahan dari wujudnya. Dengan demikian, hakikat tasawuf
adalah proses mendekatkan diri kepada Tuhan, yang dengan itu seseorang menempuh
berbagai jalan yang mengantarkannya ke stasiun-stasiun tertentu yang disebut
maqam.
Imam Al-Qusyairi menyebut maqam atau stasiun-stasiun tertentu yang harus
dilampaui para penempuh jalan tasawuf sebagai tahapan adab seseorang menempuh
jalan tasawuf untuk dekat kepada Tuhan, yang harus mereka tempuh dengan sepenuh
upaya, dan lewat riyadhah (latihan spiritual). 9

F. Seni Budaya dan Tasawuf


Hubungan antara tasawuf dan seni budaya dapat dilihat dari karya sastra, lukisan
kaligrafi dan musik-musik bergenre religi. Kuatnya kecenderungan sufistik salah
satunya terasa pada karya-karya sastrawan kontemporer kita. Seperti
dikemukakan Abdul Hadi WM, kecenderungan sastra sufistik ini mulai tampak pada
tahun 1970-an dan meluas lagi pada tahun 1980-an. Hubungan tasawuf dengan seni
budaya juga terlihat pada lukisan, khususnya pada lukisan kaligrafi.
Bentuk dari pada seni yang rapat berjalin dengan agama adalah mitos, yang
mengisahkan kejadian segala sesuatu dari bumi, manusia, hewan hingga adat istiadat

9
Tim Dosen MPK PAI UNTIRTA, Dinamika Nalar Islami (Serang: Untirta Press, 2020) h. 235-237.
yang kudus. Mitos itu biasanya diulang-ulang dalam upacara pada hari-hari yang
penting dalam kehidupan masyarakat. 10
Untuk memahami seni tradisional dihubungkan dengan dengan pengetahuan
tentang kesucian dan pengetahuan suci, yang pertama penting menjelaskan apa yang
dimaksud dengan seni tradisional, sejak kita mengenal agama, yang mengingatkan
manusia terhadap tuhan yang terdapat pada jantung tradisi, mungkin diajarkan bahwa
seni tradisional adalah seni religius sederhana.11
Menurut Nasaruddin Umar, sejak semula, Islam dan dunia seni memang
bagaikan sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Islam tanpa seni dan seni tanpa
Islam tidak akan mencapai kesempurnaan. Islam merupakan ajaran Tuhan yang
memerlukan seni di dalam mengartikulasikan kedalaman aspek kebatinan dari ajaran
itu. Kata dia, seni merupakan bagian dari sisi dalam manusia yang membutuhkan
lokus untuk mengaktualisasikan nilai-nilai estetisnya. Islam dan seni menuntut
ekspresi rasa yang amat mendalam dari manusia. Islam berisi ajakan kelembutan,
kedamaian, kehalusan, dan harmoni kepada pemeluknya, sedangkan seni
menawarkan ajakan-ajakan itu.12

G. Perenungan Tentang Keindahan


Al-Qur’an mengajak kita untuk merenungi keindahan alam semesta misalnya
pada Q.S Fathir, (35) : 27-28. Seperti dikemukakan Syu’bah Asa1 yang menarik ialah
setelah menyebut air hujan , ayat-ayat itu melukiskan alam secara khusus dari segi
warna tidak hanya warna buah-buahan, tapi juga warna-warni manusia, guung-
gunung, binatang, dan ternak.
Pada Q.S al-Baqarah, (2): 164. Dalam pandangan Syu’bah Asa, penciptaan
langit dan bumi pada ayat di atas , bukan sasaran indera. Juga pergiliran malam dan
siang. Kapal-kapal di lautan memang bisa di lihat, tapi yang juga dikatakan

10
Sutan Takdir Alisyahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai-Nilai,
(Jakarta: Dian Rakyat, 1982), hlm. 22.
11
Kuntowioyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. XI.
12
Tim Dosen MPK PAI UNTIRTA, Dinamika Nalar Islami (Serang:Untirta Press, 2020) h. 243
bagaimana kapal-kapal itu mengangkut “barang-barang yang bermanfaat bagi
manusia”, dengan kata lain arti ekonomis perjalanan kapal-kapal itu. Seperti itu juga
hujan dari langit bisa dilihat, juga dialami, tapi bahwa hujan menghidupkan bumi
sesudah matinya, dan dengan itu menyediakan makanan bagi segala makhluk hidup
yang disebarkan Tuhan di situ, bukan masalah mata, melainkan otak. Tiupan angina
juga bisa dirasakan, tetapi perkisaran angina-angin, yang berhubungan dengan musim
maupun iklim, serta formasi dan jenis-jenis awan, adalah masalah ilmu alam.
Lalu pada Q.S. Ali Imran,(3): 190-191. Pada ayat ini hanya memuat dua tanda
(petunjuk) ketuhanan; penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam.
Sedangkan ayat sebelumnya memuat enam tanda; penciptaan alam, pergantian siang
dan malam, kapal di lautan, air hujan, angina dan awan. Menurut Fakhruddin al-Razi
sebagaimana dikutip Syu’bah, “Tidak boleh tidak, orang yang menempuh jalan
kepada Allah pertama kali akan membutuhkan banyak tanda, tetapi bila hati telah
bersinar dengan cahaya makrifat Allah, jadilah kesibukannya dengan tanda-tanda itu
justru penghalang bagi ketenggelamnya dalam makrifat Allah.”
Al-Razi melihat gerak maju dari banyak tanda ke sedikit tanda dalam konteks
perjalanan mistis. Untuk menjelaskan jalan pikirnya, kita bisa melihat gerak maju itu
dari dua hal. Pertama, dari kenyataan menyederhanakan tanda, yang disebut Razi
sebagai suatu perangkuman; sesuatu yang sudah dikuasai rinciannya tinggal diberikan
garis besarnya. Dua tanda dalam ayat terakhir diatas (penciptaan alam dan pergiliran
siang dan malam) sesudah mewakili semua yang tersebut terdahulu; penciptaan
mewakili dunia benda, yang membentuk ruang, sementara malam dan siang mewakili
waktu. Jadi, ruang dan waktu. Tetapi gerak maju juga, sebagai tambahan buat al-Razi,
kita lihat dari kalimat doa pada ayat terakhir itu: “Tuhan kami, tidaklah engkau
menciptakan (seluruh alam) ini dengan sia sia.” Inilah doa yang mengandung rahasia
dan perintah pemanfaatan alam yang telah diciptakan Tuhan untuk kita. Sebab, “tidak
sia-sia” berarti punya tujuan. Dan tujuan itu bisa kita dapatkan misalnya dari asayat
ini: “Tidaklah kalian lihat bahwa Allah menundukkan untuk kalian semua yang ada di
seluruh langit dan di bumi, dan melengkapkan atas kalian anugerah-Nya, yang lahir
maupun batin?” [Q.S. al-Jatsiyah, (45): 13]. Berarti, seluruh langit dan bumi
ditundukkan Allah kepada kita, tujuannya adalah tugas pemakmuran.

H. Kesimpulan
Banyak hal yang bisa diambil pelajaran dari tasawuf. Kita dapat mengambil apa
yang baik dari tasawuf dan meninggalkan apa yang tidak sejalan dengan syari’at.
Bagi kalangan sufi, agar terus meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan menjadi
semakin terbuka (inklusif), bukan sebaliknya menutup diri (eksklusif) seakan
kebenaran hanya miliknya.
Melalui penjelasan di atas, bahwa ajaran tasawuf dalam perpektif budaya sama
sekali tidak ada pertentangan, yang terjadi justru malah sebaliknya, ada persenyawaan
yang sangat kuat antara keduanya. Persenyawaan intuisi ini jika dikelola dengan baik,
maka tak menutup kemungkinan umat muslim akan menemukan kejayaannya yang
lebih baik lagi.

I. Daftar Pustaka
An-Najar, Amir. 2004. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan modern, Cet.1. Jakarta:
Hikmah Penerbitan.
Athaillah, Ibnu, al-Iskandariah, Syekh Ahmad bin Athaillah, Abu Jihaduddin Rifqi al-
Hanif. 1990. Mempertajam Mata Hati. Jakarta: Bintang Pelajar.
Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.
Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nata, Abuddin. 2001. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi
Pemikiran Tasawuf Al-Gazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulamma Sufi (Cet. II).
1996. Surabaya: Media Varia Ilmu.
Sutan Takdir Alisyahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai-
Nilai, (Jakarta: Dian Rakyat, 1982), hlm. 22.
Tim Dosen MPK PAI UNTIRTA. 2020. Dinamika Nalar Islami. Serang: Untirta
Press.

Anda mungkin juga menyukai