Anda di halaman 1dari 17

Rabu, 10 Juni 2009

SASTRA TUTUR SUMATERA SELATAN: MEDIA INOVATIF PEMBELAJARAN


MULTIBAHASA
SASTRA TUTUR SUMATERA SELATAN:
MEDIA INOVATIF PEMBELAJARAN MULTIBAHASA

Izzah

1. PENDAHULUAN
Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia tidak saja memiliki kekayaan alam, tetapi juga
memiliki kekayaan budaya, bahasa, dan sastra tutur (sastra lisan). Di Palembang, misalnya, dikenal
adanya sastra tutur berupa dongeng dan nenggung. Lain lagi dengan di beberapa daerah sekitar
Palembang, seperti adanya Rejung, Guritan, Betadut, dan Tangis Ayam di Lahat dan Pagaralam. Daerah
Ogan Komering Ulu terkenal dengan Bujang Jelihim. Ogan Komering Ilir terkenal dengan Jelihiman,
Bujang Jemaran, dan Nyanyian Panjang, dan Musi Banyuasin terkenal dengan Senjang
(www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/06/sumbagsel/1733473.htm).
Namun, sangat disayangkan bahwa kekayaan sastra tutur ini tidak signifikan dengan usaha pemerintah
untuk melestarikan dan mendokumentasikannya. Di samping itu, dalam pembelajaran di sekolah-sekolah
pun guru tidak menaruh perhatian penuh terhadap keberadaan sastra tutur. Menurut Ratnawaty
(www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/06/sumbagsel/1733473.htm) dari 100 guru yang diobservasi,
hanya 40% yang tahu nama-nama dan jenis-jenis sastra tutur Sumatera Selatan. Di Palembang,
misalnya, tidak banyak yang tahu cerita tentang Putri Dayang Merindu dan Putri Pinang Masak karena
tidak banyak lagi yang menuturkan cerita itu.
Menurut Bayu (www2.kompas. com/kompas- cetak/ 0603/ 15/ humaniora /2507086.htm) sastra tutur
telah mengalami krisis regenerasi. Di Palembang diperkirakan hanya ada sepuluh orang saja yang
merupakan penutur aktif cerita rakyat (dongeng), itu pun telah berusia renta, rata-rata di atas 70 tahun.
Kepiawaian bercerita ini didapatkan mereka secara turun-temurun. Namun, anak keturunan mereka
tampaknya enggan meneruskan tradisi ini karena beberapa hal, antara lain 1) tidak banyak yang
berminat mendengarkan sastra tutur dan 2) teknik bercerita pada sastra tutur ini kalah jauh
dibandingkan dengan teknologi audio visual saat ini.
Ade Karyana, selaku Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Sumatera Selatan pun
berpendapat senada. Menurutnya, keberadaan sastra tutur, seperti Dul Muluk, Wayang Kulit Palembang,
dan mendongeng nyaris punah (http://web.bisnis.com). Melihat kenyataan ini, UNESCO mengutus Karen
Smith, dari Australia dan Yushi Simishu, dari Jepang, untuk menyelamatkan tradisi lisan masyarakat
Palembang yang telah diwariskan nenek moyang secara turun-temurun.
Upaya penyelamatan dan pelestarian sastra tutur ini dipandang sangat penting karena, menurut Nasir
(www.sastra-indonesia.com) sastra tutur tidak hanya berisi cerita dongeng, tetapi sarat dengan filosofi
hidup, memuat cerita sejarah, dan mengandung nilai-nilai pendidikan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai
agama.
Sementara itu di kelas, menurut Yunuar (2002:9) di sekolah hasil belajar siswa dalam mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia cenderung rendah jika dilihat dari kemampuan komunikatif (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis, termasuk apresiasi sastra). Rendahnya mutu lulusan itu, menurut
Rahman (2000), antara lain, disebabkan rendahnya minat siswa terhadap pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Minat yang rendah itu dipengaruhi oleh pola pembelajaran yang diciptakan guru di dalam
kelas yang cenderung monoton. Selain itu, siswa menganggap bahwa pelajaran bahasa Indonesia tidak
lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan bahasa asing. Ditambah lagi, banyak orang berpendapat
bahwa mengapresiasi sastra dianggap suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat dan penuh kesia-siaan
(Sadikin, 2001). Akibatnya, di mata siswa pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan pelajaran
yang membosankan.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa masalah yang perlu dibahas dalam tulisan ini, yaitu 1) upaya
apa yang dapat dilakukan untuk melestarikan sastra tutur Sumatera Selatan, dan 2) menghadapi
tantangan globalisasi, bagaimanakah sastra tutur Sumatera Selatan dapat menjadi salah satu media
alternatif pembelajaran multi- bahasa?

2. PELESTARIAN CERITA PROSA RAKYAT


Tradisi lisan Sumatera Selatan sangatlah luas bagaikan hutan belantara yang belum sempat terambah
secara menyeluruh. Tradisi lisan (sastra tutur) ini masih memerlukan sentuhan kaum intelektual untuk
menggali, mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisisnya karena di dalamnya terkandung
potensi dan fakta. Menurut Edy Sedyawaty (http://kampoengilir.blogspot.com) potensi dan fakta itu
meliputi 1) sistem genealogi, 2) kosmologi dan kosmogoni, 3) sejarah, 4) filsafat, etika, dan moral, 5)
sistem pengetahuan (local knowledge), dan 6) kaidah kebahasaan dan kesastraan.
Menurut Vebri Al Lintani (www.nu.or.id) sastra tutur bukan saja sebagai hiburan dan tontonan. Lebih
jauh lagi manfaat sastra tutur adalah sebagai tuntunan bagi masyarakat karena di dalamnya sarat akan
nilai-nilai yang luhur yang diajarkan dan dianjurkan nenek moyang secara implisit. Misalnya ada sastra
tutur yang berfungsi menghibur anggota keluarga yang sedang dirundung duka karena salah satu
anggota keluarganya mengalami musibah kematian. Bentuk sastra tutur yang demikian ini adalah guritan
dari suku Besemah. Selain menghibur anggota keluarga yang ditinggalkan, sastra tutur yang satu ini juga
berfungsi untuk memberikan nasihat agar tabah dan sabar dalam menghadapi musibah.
Budaya bercerita yang berselimutkan menanamkan nasihat-nasihat yang berguna itu kian jarang
dijumpai, padahal bercerita merupakan salah satu media ampuh dan sangat potensial untuk
menanamkan berbagai nasihat yang memuat nilai-nilai akidah dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan
bertuhan, beragama, dan bermasyarakat. Beberapa nilai kehidupan ini, antara lain, dapat digali melalui
karya sastra. Dulu, budaya bercerita lisan senantiasa dilakukan para orang tua (Soetopo, 2006). Sambil
mengusap-usap kepala anaknya, mereka bercerita tentang para nabi, tokoh-tokoh/pejuang terkenal, dan
ulama-ulama terkenal, mereka juga bercerita tentang cerita rakyat tertentu, kalau di Sumatera Selatan,
misalnya Dempu Awang, Kuali Panjang, Ayam Item, Bujang Jelihim, Si Pahit Lidah Si Mata Empat, dan
Pak Pandir.
Masih menurut Soetopo (2006) melalui cerita, tidak hanya informasi kognitif yang dapat diterima anak,
mereka pun memperoleh informasi afektif yang dapat mengukir tingkah laku dan akhlak mereka. Nilai-
nilai ini sangat sulit ditularkan melalui komunikasi dengan bahasa yang menggurui. Akan tetapi,
bermediakan cerita rakyat, nilai-nilai ini tidak akan terasa menggurui, bahkan lambat laun dapat meresap
dan mengurat nadi di dalam jiwa pendengarnya. Buktinya, para orang tua dan para pendahulu kita
senantiasa membudayakan bercerita sebagai media memberikan nasihat dan memasukkan berbagai nilai
kehidupan pada masa dahulu, di samping menjadikannya sebagai media hiburan. Inilah yang
diungkapkan Horace (dalam Suharianto, 1982) yang menyatakan bahwa karya sastra memiliki dulce et
utile ‘menghibur dan memberikan manfaat’. Dengan demikian, melalui media bercerita ini diharapkan
para pendengarnya (anak/siswa) menjadi pribadi yang santun dalam berkata dan pribadi yang arif dalam
bertindak.
Akan tetapi, budaya bercerita tampaknya telah mulai luntur dan kendur. Tidak hanya di rumah-rumah
sebagai pengantar tidur, budaya bercerita pun agaknya menjadi budaya yang langka di sekolah-sekolah.
Oleh sebab itu, multi- krisis pun mulai melanda bangsa kita, termasuk krisis akhlak.
Sastra tutur atau sastra lisan merupakan genre sastra yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar
secara lisan, anonim, dan mengambarkan kehidupan masa lampau. Sastra tutur/sastra lisan meliputi
bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat
(Danandjaja, 1984).
Cerita prosa rakyat Sumatera Selatan yang masih hidup hingga saat ini antara lain adalah cerita tentang
Puyang-Puyang. Cerita tentang Puyang hampir terdapat di seluruh daerah di Sumatera Selatan. Misalnya
Puyang Belulus (Besemah), Puyang Siak Mandi Api (Besemah), Puyang Depati Konedah (Musi), Puyang
Remanjang Sakti (Enim), dan Puyang Gadis (Lematang). Selain itu, hampir di tiap daerah di Sumatera
Selatan terdapat cerita Pak Pandir, misalnya Pak Pandir dan Harimau (Palembang) dan Pak Pandir Pergi
Memancing (Besemah). Di samping itu, cerita prosa rakyat Sumatera Selatan juga memiliki kisah tentang
Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat dalam berbagai versi, baik dalam versi bahasa Melayu Palembang,
Bahasa Besemah, Bahasa Kayu Agung, Bahasa Musi, maupun bahasa-bahasa daerah yang ada di
Sumatera Selatan lainnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991).
Sebenarnya telah ada upaya pemerintah melalui pihak terkait untuk melakukan pelestarian sastra tutur,
antara lain, dengan adanya Festival Sastra Tutur Sumatera Selatan yang dilakukan tiap tahunnya. Pada
festival ini ditampilkan penutur-penutur sastra lisan dari berbagai daerah, termasuk kota Palembang,
untuk menampilkan kebolehannya. Sayangnya, kegiatan semacam ini hanya dipenuhi beberapa pelajar
dan sejumlah guru pengantar mereka. Pejabat yang terkait tidak banyak yang datang walaupun mereka
telah diundang, menurut Nurhayat Arif Permana, Ketua Majelis Seniman Sumsel (www.sastra-
indonesia.com) .
Pada Sabtu 22 Mei 2009 lalu para pelajar yang berjumlah kurang lebih 200 orang menghadiri Festival
Sastra Tutur di Auditorium Radio Republik Indonesia Stasiun Palembang. Selaku Ketua Majelis Seniman
Sumsel, Permana mengaku kecewa karena pemerintah yang semestinya “mengamankan” dan membina
keberadaan sastra tutur tidak banyak yang menghadiri acara ini.
Pelestarian sastra tutur memang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri atau oleh kelompok tertentu saja.
Kegiatan ini harus dilakukan berjamaah. Menurut Rahman (http://news.okezone.com) bangsa kita
cenderung ingin melakukan sesuatu secara individual. Ini mungkin bias dari penjajahan Belanda. Sebagai
contoh, van ophuysen, nyaris sendirian membawa bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia
(walaupun itu bermuara baik). Begitu pula W.J.S. Poerwadarminta yang nyaris sendirian memasukkan
beberapa kosakata ke dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang cenderung diamini saja oleh bangsa
Indonesia yang notabene menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan di Oxford, Rahman
menyatakan bahwa untuk memasukkan satu kosakata saja, mereka membahasnya secara berjamaah,
tidak dilakukan secara per orangan.
Demikian pula pada sastra tutur. Tidak mungkin akan “terselamatkan”jika masyarakat Sumatera Selatan
bekerja sendiri-sendiri. Masing-masing pihak yang merasa bertanggung jawab lalu berbuat untuk
mengkodifikasi dan melestarikan sastra tutur. Sementara pihak lain, termasuk pemerintah, guru, dan
masyarakat Sumatera Selatan secara umum, tidak merasa berkepentingan untuk itu.
Menurut Jalaluddin (http://news.okezone.com), mantan Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, sastra
tutur bukan saja warisan budaya yang dapat dituturkan secara turun- temurun. Akan tetapi, sastra tutur
dapat dipelajari. Al Lintani ((www.sastra-indonesia.com) mendukung pendapat itu. Menurutnya, sastra
tutur dapat dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal. Dengan demikian, pelestariannya pun dibuat
secara terencana dan terprogram, sehingga jelas kompetensi yang hendak dicapai melalui indikator-
indikator yang telah dirembukkan bersama pihak terkait, yakni pemerintah (selaku pengambil kebijakan),
guru (selaku ujung tombak pendidikan), dan siswa (selaku subjek pembelajaran).
Amran Halim (http://news.okezone.com), mantan Rektor Universitas Sriwijaya, menambahkan bahwa
jika sastra tutur Sumatera Selatan ingin benar-benar hidup dan dilestarikan hendaklah ada upaya yang
serius untuk melakukan revitalisasi. Ada dua cara revitalisasi yang ditawarkan beliau, yaitu 1)
merevitalisasi sastra tutur dan 2) merevitalisasi masyarakat pendukungnya.

3 . MEDIA ALTERNATIF PEMBELAJARAN MULTIBAHASA


Diskursus mengenai pemisahan pembelajaran bahasa dengan pembelajaran sastra hingga saat ini masih
ditemukan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Ketidakharmonisan
antara pembelajaran bahasa dengan pembelajaran sastra, antara lain, disebabkan bahwa guru lebih
mengejar target agar siswa dapat menjawab soal-soal ujian Bahasa Indonesia yang umumnya lebih
banyak berkisar pada unsur bahasa daripada sastra. Pembelajaran sastra cenderung tidak dianggap
sebagai pemerkaya pembelajaran bahasa (John, 1986:18).
Inderawati (2002) mendukung pendapat itu. Menurutnya, sastra telah diperlakukan secara “kurang adil”
di seluruh jenjang pendidikan. Sebenarnya, pembelajaran sastra akan lebih bermakna bila diajarkan
berdampingan dengan pengajaran bahasa (Widdowson, 1985). Pernyataan ini juga memperkuat
pandangan Alwasilah (2002) bahwa bahasa dan sastra tidak boleh dianggap sebagai dua kutub yang
berbeda. Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa meskipun tampaknya
kompetensi-kompetensi dasarnya tampak terpisah.
Carter dan Long (1991:2) menguatkan pendapat mengenai integrasi antara pembelajaran bahasa dan
sastra. Menurutnya, keterampilan berbahasa siswa dapat dikembangkan dengan cara yang sistematik
apabila sastra diajarkan berdampingan dengan bahasa. Jadi, kedua kompetensi itu tidak berdiri sendiri-
sendiri apalagi dipisahkan.
Era globalisasi “memaksa” bangsa kita untuk menerima produk luar, termasuk bahasa dan budaya asing.
Adalah hal yang klise jika kita mengangkat permasalahan “jauhkan bahasa asing untuk mencintai bahasa
Indonesia”. Sebaliknya, hal yang manusiawi dan cenderung inovatif adalah dengan menerima bahasa dan
budaya asing dengan filter yang kuat.
Kini bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sejak Taman Kanak-Kanak diperkenalkan, bahkan
dipakai sebagai bahasa pengantar di beberapa TK di Indonesia. Bahasa ini dipakai hingga tingkat
Perguruan Tinggi, bahkan beberapa sekolah membuat sistem pendidikan dwibahasa (bilingual). Hal
semacam ini lumrah terjadi untuk mengantisipasi era pasar bebas. Akan tetapi, adanya budaya lokal,
termasuk sastra tutur, dapat menjadi filter dalam menghadapi era globalisasi itu.
Karya sastra (baca: sastra tutur) yang dikumpulkan dan dicetak nantinya dalam tiga bahasa, yakni
bahasa daerah setempat, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris sekaligus dapat menjadi media dalam
pembelajaran tata bahasa pada ketiga bahasa itu. “Warna lokal” yang kental akan sangat berpengaruh
pada pribadi yang membaca karya sastra itu, walaupun karya tersebut dibalut dan dilengkapi dengan
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Pembelajaran bahasa memang terasa mnoton jika contoh kalimatnya yang itu-itu saja. Akan tetapi, jika
bermediakan karya sastra (baca: cerita prosa rakyat Sumatera Selatan) yang telah dicetak/diterbitkan,
pembelajaran bahasa terasa lebih hidup (Muslim, 2006). Siswa dapat belajar kalimat tunggal, kalimat
majemuk, kalimat langsung dan tidak langsung dari kalimat-kalimat yang disajikan dalam karya sastra.
Demikian pula pembelajaran kosakata. Baik kosakata bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun bahasa
Inggris dapat dengan mudah dipelajari melalui teks sastra.

4. INOVASI MELALUI REPRODUKSI


Menulis atau menceritakan kembali dengan gaya bahasa masing-masing individu merupakan salah satu
devinisi reproduksi. Selain itu, mereproduksi dapat pula bermakna membuat cerita baru berdasarkan
cerita yang pernah didengar atau dibaca. Beberapa teknik reproduksi karya sastra yang inovatif,
termasuk cerita prosa rakyat Sumatera Selatan, adalah 1) mengganti tokoh cerita dengan nama siswa, 2)
merekam, 3) mementaskan, 4) membuat film, dan 5) membuat cerita bergambar.
4.1 mengganti tokoh cerita dengan nama siswa
Bentuk reproduksi karya sastra itu bermacam-macam bergantung pada kreativitas orang per orang.
Muslim (2006), misalnya, mereproduksi cerita dengan cara mencari cerita pendek yang sesuai dengan
usia dan jenjang pendidikan siswa lalu mengganti nama-nama tokoh dengan nama-nama siswa yang ada
di kelas yang diampunya.
Menurutnya, dampaknya sungguh luar biasa. Suasana kelas menjadi hidup. Selain itu, keantusiasan siswa
dalam mengapresiasi sastra bukan isapan jempol belaka. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ismail (2008)
yang menyatakan bahwa animo siswa terhadap sastra sungguh luar biasa. Sebaiknya, keantusiasan siswa
ini diikuti dengan tersedianya buku-buku sastra di perpustakaan.
Cerita prosa rakyat Sumatera Selatan pun dapat dijadikan media pembelajaran berrbicara dan menulis
yang kreatif dengan mengganti nama tokoh dengan nama siswa di kelas itu.

4.2 merekam
Pada tahap ini cara yang pernah penulis lakukan adalah menugasi mahasiswa semester 1 Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sriwijaya untuk merekam salah satu cerita
prosa rakyat yang ada di Sumatera Selatan (Izzah, 2008). Caranya, beberapa mahasiswa ini mencari
cerita rakyat yang hidup atau pernah ada di Sumatera Selatan. Setelah itu, mereka membuat skrip
sebagai bahan rekaman. Di dalam skrip telah tertulis berapa jumlah tokoh, nama-nama tokoh, siapa yang
memerankan tokoh apa, suara-suara yang mendukung isi rekaman, seperti suara kecipak air, suara
jangkrik, suara gemuruh, dan alunan musik pengiring penambah nilai estetika dalam cerita.
Selanjutnya, siswa boleh merekam sendiri atau memakai jasa operator rekaman di salah satu studio
rekaman/radio. Hasil rekaman lalu diceritakan kembali oleh kelompok lain, dikomentari, dan direspon,
sehingga secara tidak langsung telah menjadi media pembelajaran bahasa dan sastra yang komunikatif
dan integratif.

4.3 Mementaskan
Reproduksi cerita dapat berbentuk pementasan. Bahan baku ceritanya adalah cerita prosa rakyat
Sumatera Selatan. Seperti pada uraian 4.2, pementasan didahului dengan membuat skrip secara lengkap.
Selanjutnya, siswa dapat memperlihatkan kebolehan mereka di depan kelas, di atas pentas acara
perpisahan, atau boleh juga dengan cara mengadakan perlombaan/festival pementasan cerita prosa
rakyat Sumatera Selatan.

4.4 membuat film


Beberapa waktu lalu tokoh Si Pahit Lidah pernah dilayarlebarkan. Tokoh legendaris dalam cerita rakyat
Sumatera Selatan ini sempat menarik perhatian masyarakat untuk menyaksikan cerita versi layar
lebarnya. Berikutnya, menyusul cerita Pak Pandir. Pemerintah daerah bekerja sama dengan salah satu
rumah produksi dari Jakarta berhasil membungkus cerita rakyat ini menjadi tontonan yang
mengasyikkan.

4.5 membuat cerita bergambar


Saat ini bahan bacaan anak dipenuhi dengan kartun-kartun buatan luar negeri. Lihat saja Sinchan,
Doraemon, Dragon Ball, Detektif Conan, dan Naruto. Cerita ini dikemas dengan bahasa yang lugas,
sederhana, tetapi dilengkapi dengan harmonisasi teknik gambar yang mampu “menggoda” anak-anak
untuk membacanya. Padahal, boleh dikatakan bahwa di dalamnya tidak ada muatan nilai moral. Bahkan
Crayon Sinchan, komik produksi Jepang ini, terkesan amoral karena beberapa di antara dialognya
menyuguhkan sesuatu yang seharusnya dikonsumsi orang dewasa.
Sehubungan dengan itu, Trisman (2006) mengungkapkan bahwa Sumatera Selatan bukan hanya
memiliki multibahasa, tetapi juga memiliki multibudaya, seperti cerita prosa rakyat. Cerita prosa rakyat
inilah, menurutnya, dapat dijadikan alternatif bahan baku cerita bergambar. Di samping dapat dijadikan
bahan bacaan bermutu, kartun yang mengandung nilai-nilai luhur ini juga dapat dijadikan alternatif
media pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia.
Lebih jauh lagi, cerita bergambar ini juga dapat dibuat dalam beberapa bahasa. Misalnya, bahasa daerah
itu sendiri, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Dengan demikian, dalam pembelajaran pun berlaku
pepatah, “Sekali merengkuh dayung, semua pulau terlampaui”.

5. PENUTUP
Sumatera Selatan yang kaya akan sastra tutur, termasuk cerita prosa rakyat bukan tidak mungkin suatu
saat dapat dilestarikan dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat, yakni pemerintah, pecinta seni
dan budaya, guru, dan masyarakat Sumatera Selatan. Pelestarian cerita prosa rakyat ini diharapkan
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
dengan cara reproduksi. Paling tidak ada lima cara reproduksi yang ditawarkan, yaitu 1) mengganti tokoh
cerita dengan nama siswa, 2) merekam, 3) mementaskan, 4) membuat film, dan 5) membuat cerita
bergambar.
Hasil reproduksi yang inovatif ini cenderung menarik dan dapat dijadikan media alternatif pembelajaran
bahasa dan sastra secara terpadu. Di samping itu, penerbitan buku dalam tiga bahasa (daerah,
Indonesia, dan Inggris) akan sangat membantu menjadi media pembelajaran multibahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. “Memanusiakan Ilmu Bahasa,” Pikiran Rakyat. Bandung, 22 Juni 2002.

Bisnis Indonesia. “Wayang Palembang Punah: Dalang Berbahasa Melayu Palembang Habis”.
(http://web.bisnis.com, diakses 10 Juni 2009).

Inderawati, Rita. 2002. “Pengembangan Kualitas Pembelajaran Sastra sebagai Seni Bahasa dalam
Menggali Nilai-nilai Budaya di Perguruan Tinggi.” Makalah. Dipresentasikan dalam Forum Sastra dan
Budaya II di UPI Bandung, 24-26 Oktober 2002.

Ismail, Taufik. 2008. www.suarakarya-online.com., diakses 19 November 2008.

Izzah. 2009. “Ada Apa dengan Sastra”. Makalah disajikan pada Seminar Bahasa dalam Rangka Bulan
Bahasa. Palembang, 22 November 2009.

John, Joseph. 1986. “Language versus Literature in University English Departments.” English Teaching
Forum. Vol. XXIV/4.
Kompas. 2005. “Sastra Tutur Sumsel Makin Ditinggalkan” (www2.kompas.com/kompas-
cetak/0505/06/sumbagsel/1733473.htm, Jumat, 6/5/05, diakses 10 Juni 2009).

Kompas. 2006. “Seniman Sastra Tutur Sumsel Makin Berkurang” (www2.kompas.com/kompas-


cetak/0603/15/humaniora/2507086.htm, Rabu, 15/3/2006, diakses 10 Juni 2009).

M.S.R., Muslim. 2006. “Upaya Menciptakan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang Rekreatif
dalam Puspa Ragam Bahasa dan Sastra: Seuntai Karangan untuk Drs. H. Zainal Abidin Gaffar.
Palembang: Universitas Sriwijaya.

Nasir, Muhamad. 2009. Nasib Sastra Lisan Dikalahkan Biduan. (www.sastra-indonesia.com, diakses 9 Juni
2009).

Rahman, Arpan. 2007. Sastra Tutur sebagai Teknologi Lisan. (http://news.okezone.com, diakses 9 Juni
2009)

Soetopo, Soengkowo. 2006. “Kekuatan Cerita dalam Pembentukan Nilai Pribadi Pembelajar” dalam Puspa
Ragam Bahasa dan Sastra: Seuntai Karangan untuk Drs. H. Zainal Abidin Gaffar. Palembang: Universitas
Sriwijaya.

Suharianto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori sastra. Surakarta: Widya Duta.

Trisman, B. 2006. “Kehadiran Cerita Bergambar Bersumber dari Cerita Rakyat Sumatera Selatan: Sebuah
Harapan” dalam Puspa Ragam Bahasa dan Sastra: Seuntai Karangan untuk Drs. H. Zainal Abidin Gaffar.
Palembang: Universitas Sriwijaya.

Widdowson, H.G. 1985. “The Teaching, Learning, and Study Literature.” Dalam Quirk, R. dan H.
Widdowson, English in the World: Teaching and Learning the Language and Literature. London:
Cambridge University Press
Sastra Tutur, Sebuah Catatan Kecil
Oleh Pringadi Abdi pada Rabu, 26 Januari 2011 pukul 17.06
Tulisan ini awalnya dihimpun oleh rekan saya, Putu Carolina, Duta Bahasa Sumatera Selatan 2009 yang
sedikit saya sunting.

http://reinvandiritto.blogspot.com/2010/05/sastra-tutur-di-sumatera-selatan.html

Sastra Tutur, Sebuah Catatan Kecil

Bahasa adalah gudang kebudayaan (Harroff, 1962). Berbagai arti yang diberikan manusia terhadap objek-
objek, peristiwa-peristiwa, dan perilaku-perilaku merupakan jantung kebudayaan. Dan bahasa merupakan
sarana utama untuk menangkap, mengomunikasikan, mendiskusikan, dan mewariskan arti-arti ini.

Bahasa tidak pula berarti merujuk pada sebuah arti besar---pada hal-hal yang bersifat bangsa atau suku semata.
Tetapi juga, setiap benda memiliki bahasanya sendiri. Kucing tidak mengeong untuk berbicara dengan
sesamanya. Televisi mengonversi berbagai prinsip elektronika untuk menciptakan bahasanya. Dan huruf-huruf
yang diketikkan di komputer pun adalah sebuah hasil penerjemahan bahasa binary.

Sementara itu, tagline pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah yang dulunya adalah ‘Bahasa dan
Sastra Indonesia’ lambat laun mengurangi porsi pengajaran sastra. Sastra dianggap sebagai sesuatu yang
klasik, kuno, atau tertinggal. Padahal keduanya tidak dapat dipisahkan. Sastra merefleksikan banyak hal
termasuk budaya dan kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Salah satu yang keberadaannya
mulai menidakpopuler di kalangan anak muda adalah sastra tutur.

Sastra tutur di Sumatera Selatan diekspresikan dalam berbagai bentuk dengan nama khusus sesuai dengan
tradisi daerah masing masing. Ada bermacam-macam sastra tutur di Sumatera Selatan antara lain Njang
Panjang dan Bujang Jelihim yang berkembang di daerah Ogan Komering Ulu, Jelihiman di Ogan Ilir, Senjang
di Musi Banyuasin, terdapat Geguritan, Betadur, dan Tangis Ayam yang berkembang di Lahat, Nyanyian
Panjang dan Bujang Jemaran terdapat di Ogan Komering Ilir. Meskipun memiliki nama-nama yang berbeda,
pada dasarnya tradisi sastra tutur merupakan satu kesatuan yang berakar dari nenek moyang masyarakat
Sumatera Selatan.

Sangat disayangkan mengetahui bahwa banyak masyarakat Sumatera Selatan yang hidup di zaman moderen ini
melupakan dan menyepelekan tradisi dan warisan budaya yang sepatutnya dijaga dan dan dilestarikan.
Beberapa sastra tutur yang ada di daerah di Propinsi Sumatera Selatan antara lain:

1. Guritan

Pada abad ke 18 sampai pertengahan abad 20 di sebuah dusun yang bernama Besemah guritan tumbuh dan
berkembang. Guritan adalah seni prosa yang lirik berbentuk cerita panjang yang ditembangkan. Guritan berisi
falsafah, ajaran moral, nasihat, aturan-aturan adat, suara-suara hati nurani, sejarah, dan potret karakter manusia
dan kisah-kisah kepahlawanan yang dikemas dalam bentuk sastra.

Guritan biasanya dituturkan dalam acara-acara umum seperti syukuran panen, pesta pernikahan, acara pada
saat malam bulan purnama. Penembangan guritan juga diselenggrakan ketika ada anggota keluarga yang
meninggal dunia sebagi penghibur bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.

Penuturan guritan dilakukan usai maghrib hingga lewat tengah malam. Selama penuturan berlangsung
penggurit atau penutur guritan duduk bersila dengan tangan dilipat diatas sambang (alat khusus terbuat dari
bambu berdiameter 9 cm panjang dua jengkal dan dilubangi ujungnya). Dengan bantuan alat ini penggurit
mengatur vibrasi suaranya.
Di saat bulan purnama musim panen, perempuan dusun Besemah mulai menganyam tikar di lapangan terbuka
dan orang tua, muda, anak-anak berkumpul. Di saat-saat seperti itu penggurit pun mulai melantunkan guritan
sampai larut malam.
Kekuatan guritan tidak hanya terletak pada penghayatan pembaca terhadap ruh yang tersimpan di dalam
guritan, tetapi juga pada kepurbaan bahasa dan isi guritan. Melalui pembacaan guritan, dapat dihadirkan
suasana magis yang muncul sebagai gema dari sejarah masa silam.

Guritan terdiri dari dua jenis, yaitu guritan lama dan guritan baru. Guritan lama berisi kisah-kisah masa silam
dan peribahasa-peribahasa. Bahasa yang digunakan dalam penuturan guritan lama adalah bahasa lama yang
masyarakat Besemah sendiri tidak paham. Lain hal dengan guritan baru, guritan baru berisi kisah-kisah
peristiwa selama zaman gerilya dan bahasa yang digunakan pun dimengerti orang banyak. Diantara guritan
yang terkenal adalah “Keriye Rumbang Ngempang Lematang” dan “Jagad Besemah”

1. Tadut

Kata tadut (melalui proses tadud) dari kata dalam bahasa Arab jadidun berarti “baru”. Lalu menjadi tadut
dalam dialek Besemah yang berarti pembaharuan. Maksud dari pembaharuan adalah pembaharuan terhadap
kepercayaan lama yang ada dengan kepercayaan baru. Hal ini disebabkan oleh masuknya ajaran Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW di daerah Besemah. Islam sebetulnya sudah sejak lama ada di daerah
Besemah, namun Islam yang diajarkan adalah ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Karena itulah,
perkembangan tadud dibarengi dengan masuknya Islam ajaran Nabi Muhammad di masyarakat Besemah.

Tadut merupakan jenis puisi yang dipergunakan untuk menyampaikan ajaran agama Islam pada saat Islam
berkembang cukup pesat di daerah Pagaralam. Penutur tadut biasanya adalah seorang laki-laki yang
pemahaman terhadap ajaran agama Islam cukup tinggi. Dengan kata lain, penutur tadut adalah pemegang kitab
kuning atau perukunan (melayu). Karena isi tadut kebanyakan adalah ajaran agama, penuturan tadut biasanya
dituturkan pada malam hari di dalam kelompok pengajian tradisional atau yang disebut bepu’um. Kebanyakan
anggota pengajian tradisonal adalah orang-orang lanjut usia.

1. Tembang/ Nyanyian Panjang


Tembang/ Nyanyian panjang merupakan sastra tutur berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ulu. Sastra tutur
ini merupakan salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara
lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.

Nyanyian panjang dikenal juga dengan nama tembang panjang atau njang panjang. Dahulu, Nyanyian panjang
sempat mendapat tempat di hati masyarakat pendukungnya dengan berbagai tema yang disuguhkan penutur
kepada pendengar. Diantara nyanyian panjang yang cukup dikenal masyarakat Kabupaten Ogan Ilir adalan
Raden Alit dan nyanyian panjang Sejarah Saman Diwa.

Saat ini, nyanyian panjang telah muncul dengan cerita-cerita lisan yang beragam tetapi unsur kepahlawanan
tokoh “pahlawan” dengan sosok yang memiliki kegagahan dengan keberanian dan kelebihan yang luar biasa
menjadi suguhan yang menarik bagi pendengarnya.

Nyanyian panjang dituturkan dengan bahasa masyarakat setempat, seperti bahasa Ogan, Bahasa Belide, dan
bahasa enim. Di masa lalu nyanyian panjang dituturkan saat panen telah tiba, saat ada hajatan masyarakat,
seperti pesta pernikahan, pada acara khitanan, dan pada saat kelahiran bayi bahkan kalau ada orang yang
meninggal dunia.
Penutur nyanyian panjang umumnya adalah laki-laki berusia matang, kira-kira di atas tiga puluh tahun yang
harus mempunyai hubungan darah dengan penutur sebelumnya. Sebelum penuturan dimulai, disiapkan sesajen
berupa nasi pulut, ayam burik, pisang emas, serabi, bubur gemuk, beras kunyit, dan kemenyan. Setelah sesajen
disiapkan, mulailah penutur membakar kemeyan dengan membaca baca-bacaan tertentu biasanya bacaan
tersebut dalam bahasa Arab. Saat itulah, penutur mulai mengingat jalinan kisah yang akan dituturkan secara
lengkap dan dapat memanggil roh-roh orang yang telah meninggal.

Pada saat proses penuturan nyanyian panjang sejarah saman Diwa penutur nyanyian panjang bisanya
kerasukan ruh leluhur. Ayakan padi yang ada pada penutur lalu dipukul-pukul sebanyak tiga kali.

1. Senjang

Senjang pertama kali dipopulerkan oleh masyarakat Kecamatan Sungai Keruh Kabupaten Musi Banyuasin.
Penyebaran sastra tutur senjang ke beberapa kecamatan lain di Musi Banyuasin membuat irama senjang tidak
sama antara satu kecamatan dengan kecamatan lain.

Senjang adalah salah satu bentuk media seni budaya yang menghubungkan antara orang tua dengan generasi
muda atau dapat juga antara masyarakat dengan pemerintah dalam penyampaian aspirasi yang berupa nasehat,
kritik maupun penyampaian strategi ungkapan rasa gembira. Karena antara lagu dan musik tidak saling
bertemu, maksudnya saat berlagu musik berhenti, saat berbunyi orang yang bersenjang diam sehingga syair
dan musik tidak pernah bertemu. Itulah yang disebut senjang.

Diamati dari segi bentuk, senjang adalah puisi yang berbentuk pantun( talibun). Hal ini dapat dilihat dari
jumlah lirik dalam satu bait selalu lebih dari empat baris. Keistimewaan senjang dilihat dari penyajiannya yang
selalu diiringi dengan musik. Setiap kali pesenjang berhenti bernyanyi, maka musik akan dimainkan.
Ikatan senjang juga memiliki pola tersendiri. Sebuah senjang biasanya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
merupakan bagian pembuka. Bagian kedua merupakan isi senjang yang akan disampaikan. Bagian ketiga
merupakan bagian penutup yang biasanya berisi permohonan maaf dan pamit dari pesenjang.
Selain sastra tutur yang telah diuraikan diatas masih ada beberapa sastra tutur di Propinsi Sumatera Selatan
yang pernah populer dan berjaya di zamannya, seperti nandai dari Kota Lubuk Linggau, jelihiman dari
Kabupaten Ogan Ilir dan lain-lain.

Keberadaan sastra tutur di tengah-tengah masyarakat moderen Sumatera Selatan saat ini memang semakin
langka. Hal ini disebabkan oleh banyak penutur sastra tutur yang sudah meninggal dunia atau sudah berusai
lanjut. Sayangnya, pada masa kejayaan sastra tutur kesadaran masyarakat untuk mengabadikan sastra tutur
belum ada. Kesadaran untuk mengabadikan sastra tutur baru muncul pada tahun 1972. Muhammad Saman
Loear, seorang penutur guritan, dengan mendapat bantuan dana dari seorang calon Doktor Antropologi
University of California Los Angeles, William A Collin berinisiatif menyelamatkan guritan. Dalam proses
perekaman sastra tutur guritan, salah seorang penutur sastra tutur guritan wafat sehingga beberapa bagian dari
sastra tutur guritan tidak sempat direkam.

Di sisi lain, generasi muda saat ini yang merasa malu mempelajari dan menikmati tradisi dan budaya lokal
mengancam keberadaan sastra tutur. Minat generasi muda yang rendah terhadap tradisi dan budaya lokal
membuat keberadan sastra tutur semakin seperti kehilangan ‘pasar’. Arus globalisasi yang pesat juga membuat
budaya dan tradisi lokal kalah saing dengan tradisi yang berasal dari luar.

Jika generasi muda dapat menghargai dan menghormati kreativitas leluhurnya dengan cara mempelajari dan
melestarikan sastra tutur, hal ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan masyarakat itu
sendiri. Selain dapat menjaga dan mempertahankan identitas dan jati diri putra daerah, kelestarian sastra tutur
juga dapat menjadi daya tarik wisatawan asing atapun domestik yang berkunjung ke Propinsi Sumatera
Selatan.

Kita dapat bercermin dari masyarakat di propinsi Bali yang telah berhasil memanfaatkan aset budaya lokal
menjadi penopang kehidupan perekonomian masyarakat setempat. Begitu banyak pertunjukan-pertunjukan
khas daerah yang disuguhkan masyarakat Bali dapat dinikmati oleh masyarakat luar Pulau Bali. Hal ini
tentunya memberikan keuntungan yang besar tidak hanya terhadap pelestarian budaya Bali tetapi juga bagi
kehidupan ekonomi masyarakat.

Dalam upaya mengembalikan keberadaraan sastra tutur di tengah-tengah kehidupan masyarakat Sumatera
Selatan, pemerintah dan masyarakat harus bekerja secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Festival Sastra
Tutur yang telah diselenggarakan beberapa tahun terakhir telah berdampak positif dalam upaya
memperkenalkan kembali dan meningkatkan rasa cinta dan rasa memiliki sastra tutur di kalangan generasi
muda sekarang.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk menyelamatkan sastra tutur Sumatera Selatan. Salah satunya adalah
membuat sastra tutur dalam bentuk buku. Untuk menjaga keberadaan sastra tutur, alangkah bijak bila tradisi
sastra tutur yang bernilai tinggi itu selain disajikan dalam pertunjukan langsung, juga dikemas dalam bentuk
buku. Hal ini dilakukan agar sastra tutur dapat terjaga dengan baik dan dapat dijadikan sumber pelajaran
muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dikarenakan pendidikan adalah sarana efektif untuk menyalurkan
dan mengajarkan nilai-nilai kecintaan kepada tradisi dan budaya bangsa. kepada generasi muda.

Pengertian Seni Sastra, Ciri, Fungsi, Manfaat,


Unsur, Jenis-Jenis Seni Sastra Terlengkap
Pengertian Seni Sastra, Ciri, Fungsi, Manfaat, Unsur, Jenis-Jenis Seni Sastra Terlengkap - Sastra
atau kesusastraan adalah salah satu bentuk seni yang menonjolkan keindahan tutur kata dan juga cerita.

Pengertian Seni Sastra

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Seni sastra didefinisikan menjadi 3 poin yaitu:

1. Seni Sastra
Seni sastra berasal dari dua kata yakni seni dan sastra. Seni berarti ungkapan perasaan manusia yang
memiliki nilai keindahan. Sedangkan sastra merupakan kata serapan dari Bahasa Sanksekerta yang
artinya panduan, pedomanatau perintah dalam bentuk teks maupun suara. Jadi dapat disimpulkan bahwa,
seni sastra yaitu tulisan atau cerita yang berasal dari ungkapan perasaan manusia yang memiliki nilai
keindahan.

2. Seni Sastra atau Kesusastraan

Seni sastra atau kesusastraan adalah sesuatu yang berbentuk tulisan maupun cerita yang memiliki nilai
seni dan budaya yang menyajikan keindahan tutur dan hahasa untuk menyampaikan makna tertentu.

3. Sastra
Sastra adalah bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab dan bukan merupakan Bahasa sehari-hari.
Selanjutnya sastra dapat pulaaaaa didefinisikan sebagi karya tulis yang jika dibandingkan dengan dengan
tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan dan keindahan dalam isi
maupun ungkapannya.

Ciri-Ciri Seni Sastra


Adapun ciri-ciri seni sastra, yaitu:
Seni sastra berupa bahasa
Seni sastra berupa bahasa maksudnya sastra berbentuk ungkapan, kata-kata, cerita ataupun gaya bahasa.

Seni sastra berupa ungkapan perasaan


Seni sastra berupa ungkapan perasaan, maksudnya sastra berbentuk kitab, buku, tulisan ataupun karangan.

Seni sastra yang tertuang dalam gagasan atau nilai


Seni sastra yang tertuang dalam gagasan atau nilai, maksudnya sastra berbentuk ajaran, pedoman,
perintah maupun pendidikan.

Fungsi Seni sastra


Adapun fungsi seni sastra yaitu:

Penyampai Pesan Moral


Dalam sebuah karya sastra terselip pesan moral dibeberapa bagian misalnya pada awal, tengah atau akhir.
Pesan moral tersebut ada yang disampaikan secara terang-terangan dan adapula yang sembunyi-
sembunyi, tujuannya agar pembaca atau penikmat kary sastra tersebut punya andangan atau akan
bertindak dan berperilaku seperti ajakan pembuat karya sastra.
Penyampai Kritik
Adapula karya sastra yang sengaja dibuat untuk menyampaikan kritik baik itu kritik sosial, ekonomi,
politik dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan agar oenikmat sastra memiliki kesadaran tentang kritik
tersebut dan menindaklanjuti.

Membangkitkan Rasa Nasionalisme


Sastra membangun rasa nasionalisme melalui sugesti yang dibangkitkan dari dalam diri penikkmatnya
lalu sugesti tersebut diperkuat dengan penanaman nilai dan semangat kebangsaan dan nasionalisme

Melestarikan Budaya
Sastra merupakan salah satu sarana untuk melestarikan budaya yaitu budaya yang berasal dari lisan lalu
diabadikan melalui tulisan.

Sarana Pendidikan
Dengan secara tidak langsung, seseorang yang menikmati sastra sedang mempelajari nilai, norma dan
ajaran budi pekerti luhur.

Manfaat Seni Sastra


Berikut ini adalah manfaat seni sastra yaitu:

 Menunjukkan kebenaran hidup melalui kisah yang ada didalamnya.

 Memperkaya rohani penikmatnya. Umumnya sastra menyisakan nilai dan pesan bagi
penikmatnya sehingga bisa memperkaya rohani penikmat sastra tersebut.

 Melampaui batas bangsa dan zaman. Karya sastra suatu negara juga dapat terkenal di negara lain.
Karya sastra juga akan tetap hidup meskipun telah ditulis ratusan tahun yang lalu.

 Bahasa yang dikemas dalam sastra indah dan juga menarik. Dengan Bahasa yang menarik
biasanya karya sastra akan menggunakan kalimat yang santun sehingga akan melekat pada
penikmat sastra tersebut.

 Sastra berisikan kebudayaan sehingga bisa menjadikan penikmatnya menjadi manusia yang lebih
berbudaya.

Unsur-Unsur Seni Sastra


Adapun unsur-unsur seni sastra, diantaranya:

Unsur Instrinsik Seni Sastra


Unsur instrinsik adalah unsur yang mempengaruhi seni sastra yang ada dalam seni sastra itu sendiri, unsur
instinsik seni sastra diantaranya:

a. Tema, yaitu pokok persoalan yang ada dalam cerita.

b. Amanat, yaitu pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.

c. Karakter/perwatakan, yaitu tokoh dalam cerita. Karakter tersebut dapat digolongkan menjadi:

 Tokoh utama yaitu tokoh yang menjadi sorotan utama dalam cerita

 Tokoh pembantu yaitu tokoh yang mendampingi tokoh utama.

Apabila dilihat dari karakter baik buruknya, tokoh dibagi menjadi tokoh protagonis (buruk) dan juga
antagonis (baik).

d. Konflik, yaitu permasalahan yang dialami oleh karaktek dalam cerita. Konflik terbagi menjadi dua
jenis yatu: konflik internal (konflik yang tidak melibatkan tokoh lain), dan konflik eksternal ( konflik
yang melibatkan tokoh lain).

e. Setting/latar, yaitu keterangan tempat, waktu, dan suasana.

f. Plot/alur, yaitu jalan cerita dalam karya sastra dari awal hingga akhir

g. Simbol, yaitu penggunaan karya sastra untuk mewakili suatu hal yang abstrak.

h. Sudut pandang, yaitu penggambaran karakter tokoh oleh penulis dalam cerita. Sudut pandang penulis
terbagi menjadi:
Orang pertama: aku atau saya
Orang kedua : kamu
Orang ketiga: mereka atau dia.
Unsur Ekstrinsik Seni Sastra
Unsur ekstrinsik karya sastra merupakan unsur yang membentuk karya sastra dari luar. Umumnya unsur
ini berupa latar belakang kehidupan penulis, keyakinan dan cara pandang penulis, adat istiadat, situasi
politik, sejarah dan ekonomi yang berada dalam karya sastra.

Jenis-Jenis Seni Sastra


Adapun macam-macam jenis seni sastra diantaranya:

Prosa
Prosa adalah karya sastra yang berbentuk uraian yang dikemas dengan bahasa yang bebas yang tidak
terikat dengan irama, diksi, rima dan kemerduan bunyi atau kaidah serta pedoman kesusastraan lainnya.
Jenis tulisan yang biasa digunakan dalam prosa yaitu jenis tulisan yang mendeskripsikan fakta atau ide.

Prosa biasa digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia dan berbagai jenis media lainnya.
Prosa dibagi menjadu empat jenis yaitu:

 Prosa naratif

 Prosa deskriptif

 Prosa eksposisi

 Prosa argumentasi

Terdapat 2 bentuk prosa, yaitu:

Roman
Roman yaitu cerita yang mengisahkan tokoh secara keseluruhan dari lahir hingga akhir hayatnya.

Novel
Novel yaitu cerita yang mengisahkan sebagian kehidupan dari tokoh.

Puisi
Puisi yaitu karya sastra yang diuraikan menggunakan diksi atau kata pilihan. Umumnya puisi secara tidak
langsung, puisi dapat menimbulkan kecenderungan dari seseorang untuk mempertajam kesadarannya
melalui bahasa yang beirama dan bermakna khusus. Contoh puisi yaitu seperti sajak, pantun dan balada.
Dilihat dari isinya, seni sastra dibagi menjadi empat yaitu:

1. Epik
Epik yaitu karangan yang melukiskan sesuatu secara objektif tanpa mengikuti pikiran dan perasaan
pribadi pengerang.

2. Lirik
Lirik yaitu karangan yang berupa curahan perasaan pengarang secara subjektif.

3. Didaktif
Didaktif yaitu karya sastra yang berisikan pesan moral, tata karma, agama dan lain sebagainya.

4. Dramatik
Dramatik yaitu karya sastra yang berisikan suatu kejadian yang melukiskan gambaran yang berlebihan.

Berdasarkan sejarahnya, karya sastra dibagi menjadi dua jenis yaitu:

1. Sastra lama
Sastra lama yaitu jenis karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan yang berada pada zaman kerajaan atau
dimana belum ada pergerakan nasional. Sastra lama terdiri atas pantun, dongeng dan hikayat.

2. Sastra Modern
Sastra modern yaitu sastra yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Karya sastra ini lahir
setelah muncul pergerkan nasional. Sastra modern berupa puisi, prosa, cerpen, novel, roman, dan drama.

Demikianlah penjelasan artikel yang berjudul tentang Pengertian Seni Sastra, Ciri, Fungsi, Manfaat,
Unsur, Jenis-Jenis Seni Sastra Terlengkap. Semoga dapat bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai