Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun
1959 dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam
berkomunikasi baru dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya The
Process of Communication (an introduction to theory and practice). Barlo (1960)
menggambarkan proses komunikasi dalam model yang diciptakannya.
Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita memperhatikan faktor-faktor
SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver). Antara sources dengan
receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan
sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi antarbudaya
yang dijelaskan melalui teori etnosentrisme ini berbasis pada konteks komunikasi
kelompok (etnik).
1. Kebudayaan
1. Etnosentrisme
1. Prasangka
1. Streotip
Teori Pendukung
1. Teori Pertukaran
Teori Etnosentrisme
Menurut Sumner (1906), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang
cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga
menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistic
(pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka
perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu.
Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan
sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan
benar. Seperti yang dikutip oleh LeVine, dkk (1972), teori etnosentrisme Sumner
mempunyai tiga segi, yaitu: (1) sejumlah masyarakat memiliki sejumlah ciri
kehidupan sosial yang dapat dihipotesiskan sebagai sindrom, (2) sindrom-sindrom
etnosentrisme secara fungsional berhubungan dengan susunan dan keberadaan
kelompok serta persaingan antarkelompok, dan (3) adanya generalisasi bahwa
semua kelompok menunjukkan sindrom tersebut. Ia menyebutkan sindrom itu
seperti: kelompok intra yang aman (ingroups) sementara kelompok lain
(outgroups) diremehkan atau malah tidak aman.
Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA:
McGraw-Hill