Anda di halaman 1dari 30

MODEL-MODEL BIMBINGAN

Makalah Kelompok

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Landasan-landasan BK


yang diampu oleh Prof. Dr. Uman Suherman AS., M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 3

Asep Dian Insan Fadila


Fadhila Rahman
Hendriyani Oktavia
Intan Nurul Kemala

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Bimbingan dan Konseling telah mengalami perkembangan dari masa ke masa.


Perkembangan ini mengarah kepada penyempurnaan aspek teoritis, aspek fungsional
serta teknis pemberian layanan. Pemikiran mengenai ilmu Bimbingan dan Konseling
tentunya dilandasi dengan adanya kebutuhan individu atau kelompok untuk mencapai
aktualisasi diri dalam kehidupannya. Proses pencapaian aktualisasi diri merupakan
proses panjang yang akan menuntut individu menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan dengan baik sesuai dengan tahapan perkembangannya. Pemenuhan
tugas perkembangan yang terganggu akan menghasilkan masalah-masalah
perkembangan, baik bersifat pribadi maupun sosial. Tentunya, kehidupan individu
yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak akan menjadi sumbangsih
hadirnya permasalahan yang juga kompleks dan berkaitan dengan banyak hal. Di
sinilah urgensi Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah produk keilmuan tentang
pemberian bantuan kepada individu.
Shertzer & Stone memperkenalkan model-model bimbingan yang hadir
sebelum abad ke 20. Terdapat 10 model bimbingan yang masing-masing
dipopulerkan oleh tokoh yang berbeda sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
satu. Masing-masing tokoh menekankan urgensi pemikirannya sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan yang dominan saat itu. Pertanyaannya, apakah kebutuhan akan
Bimbingan dan Konseling akan selalu sama dari masa ke masa sehingga model-
model ini masih dikatakan relevan dengan tuntutan di abad ke 20 ini? Untuk itu, perlu
diketahui terlebih dahulu inti kajian dari keseluruhan model bimbingan.
Permendikbud nomor 111 tahun 2004 Pasal 1 ditekankan bahwa Bimbingan
dan Konseling merupakan upaya sistematis, objektif, logis, berkelanjutan dan
terprogram yang dilakukan konselor atau guru BK untuk memfasilitasi perkembangan
peserta didik dalam pencapaian kemandiriannya. Kemandirian ini membantu siswa
mengelola diri secara bijak dan mampu menemukan dan menyesuaikan potensi diri
dengan peluang yang ditawarkan lingkungan. Sebagai salah satu layanan yang
memandirikan, Bimbingan perlu memiliki fokus tinggi pada keadaan diri pribadi
siswa yang kemudian akan menjadi dasar penentuan program untuk memandirikan
individu. Individu yang mandiri adalah individu yang mampu mengelola potensinya,
mampu menentukan dan mengambil keputusan dengan penuh tanggungjawab serta
bergerak ke arah pencapaian pribadi yang utuh.
Selanjutnya adalah mengenai pendidikan, pencapaian karir dan pekerjaan.
Peluang besar bagi program Bimbingan untuk mengambil peran dalam hal
pencapaian ketiga hal tersebut. Dimana individu dengan segala keunikannya, tidak
mudah untuk menyelaraskan apa yang dimiliki dan apa yang menjadi tuntutan
lingkungan. Melalui pendidikan, dimana Bimbingan berperan di dalamnya, Individu
blajar memahami diri (minat, bakat, kecerdasan, kelebihan dan kekurangan diri),
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mampu berperan di lingkungan.
Individu yang tidak terampil akan mengalami kesulitan menghadapi tuntutan
lingkungan. Brewer dan Proctor adalah tokoh yang menekankan peran bimbingan
dalam kaitannya tentang proses pendidikan serta distribusi dan potensi penyesuaian
potensi siswa kaitannya dengan perencanaan karir dan pekerjaan.
Proses memandirikan manusia bukan pekerjaan mudah. Seseorang lulusan
jurusan Bimbingan dan Konseling pun tidak menjadi jaminan bagi seseorang mampu
menjalani peran ini. M.S. Vitesel, Donald G. Paterson, dan E.G. Williamson
(Schetzer & Stone, 1996) mengawali sejarah diajukannya protes bahwa proses
Bimbingan dapat dilakukan oleh siapapun. Dengan adanya protes ini, hadirlah peran
bimbingan sebagai proses klinis, yaitu Bimbingan sebagai upaya yang diusahakan
oleh seorang professional dengan menggunakan cara-cara sesuai keilmuan. Pada
masanya Bimbingan sebagai proses klinis menekankan kepada penggunaan tes
psikologis, teknik klinis, dan studi diagnostik analitik untuk mengetahui secara
cermat permasalahan konseli. Sehingga butuh keterampilan khusus untuk melakukan
sebuah proses Bimbingan dan karenanya proses Bimbingan hanya dapat dilakukan
oleh individu yang terlatih dan professional.
BAB II
RINGKASAN

A. MODEL-MODEL DALAM BIMBINGAN


Model-model bimbingan dan konseling bermula dari gerakan di Amerika
yang dikembangkan di sejumlah kerangka pikir yang menjadi pedoman dan pegangan
dalam pelayanan di sekolah-sekolah. Istilah model menurut Shertzer dan Stone
(1966) yaitu suatu konseptualisasi yang luas, bersifat teoritis namun belum memenuhi
semua persyaratan bagi suatu teori ilmiah. Berbagai pendekatan dapat digunakan
dalam Bimbingan untuk membantu individu dalam pengoptimalan bakat dan
kemampuannya.

B. MODEL BIMBINGAN PERIODE AWAL


1. Model Parsons (The Parsonian Model)
a. Sejarah
Pada awalnya Freudian masuk ke Eropa melalui konsep psikoanalis.
Perbedaan individu menjadi fokus penelitian yang terjadi di Eropa dan Amerika.
Namun setelah itu, beberapa kalangan mulai mengadopsi teori lain yaitu Parson,
dimana Meyer Bloomfield sukses mengajarkan model ini dan mempraktekkan
langsung di Harvard University.
b. Dasar Teori
Metode Parson fokus pada mencari pekerjaan yang tepat dengan cara
mencocokkan karakteristik individu dengan tuntutan atau persyaratan pekerjaan.
Model ini berupaya menjodohkan (matching) karakteristik baik itu kemampuan,
minat, bakat, dan tempramen individu dengan syarat-syarat yang dituntut suatu
pekerjaan (Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2011:45). Teori ini meyakini bahwa
individu yang bekerja di bidangnya, dapat menampilkan dan melakukan hal terbaik
jika bekerja sesuai dengan minat dan bakatnya. Individu diyakini memilih bidang
pekerjaan yang sesuai dengan potensi mereka, sehingga dapat berhasil di bidang
pekerjaan itu (Shertzer dan Stone: 1966). Parsons menunjukkan tiga langkah yang
harus diikuti dalam memilih suatu pekerjaan yang sesuai,yaitu:
1) Man Analysis
Konselor dan Konseli bekerjasama untuk menganalisis pemahaman diri
konseli tentang kemampuan diri, minat, dan prilaku yang jelas mengenai
kemampuannya dalam memilih suatu pekerjaan.
2) Job Analysis
Pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi supaya
dapat mencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan,serta mengkaji keunggulan
suatu pekerjaan serta prospek pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
3) Joint and Cooperative Comparison of These Two Sets of Analyses
Konselor menggajak konseli untuk berpikir secara rasional mengenai
hubungan antara kedua kelompok diatas. Jadi,langkah pertama menggunakan analisis
diri; langkah yang kedua memanfaatkan informasi jabatan (vocational
information);langkah yang ketiga menerapkan kemampuan untuk berpikir rasional
guna menemukan kecocokan antara ciri-ciri kepribadian, yang mempunyai relevansi
terhadap kesuksesan atau kegagalan suatu pekerjaan / jabatan, dengan tuntutan
klasifikasi dan kesempatan yang terkandung dalam suatu pekerjaan atau jabatan.
Dengan demikian, konseli bukannya mencari pekerjaan demi asal punya
pekerjaan tapi benar-benar bekerja dengan bidang yang disukainya dan menjadi
bakatnya.
c. Keunggulan dan Kelemahan
Keunggulan teori ini adalah individu dapat mengenali kelebihan dan
kekurangan dirinya untuk mencapai suatu pekerjaan dan mendorong seseorang untuk
lebih dewasa dan berpikir dengan matang.
Kelemahan teori ini sebagaimana telah dirangkum oleh Barry dan Wolf antara
lain, baru sedikit orang yang memilih pekerjaan berdasarkan bantuan Parson,
metodologi dikatakan kuno karena saran dan informasi-informasi yang diberikan
konselor, serta bimbingan karir sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bimbingan
pribadi, adanya pandangan bahwa keterbatasan konselor dalam menggali informasi
pekerjaan, informasi tidak bisa dikatakan faktual, realistik dan autentik.
d. Implikasi
Metode parson menggunakan teknik penilaian psikologis individu untuk
mengetahui karakteristiknya, observasi mengenai kemampuan konseli dan bakatnya
harus dilakukan secara objektif oleh konselor. Implikasi lainnya adalah bimbingan
dapat dilihat sebagai suatu langkah yang harus ditempuh sebelum memasuki dunia
pekerjaan. Didalam buku Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2011:46) juga
perkembangan bimbingan, terutama menyangkut tiga aspek:
1) Kegiatan analisis sebelum memilih pekerjaan mengilhami penggunaan tes
psikologis untuk mendiagnosis karakteristik individu atau memfasilitasi
terselenggaranya kegiatan “man analysis”
2) Bimbingan dipandang sebagai suatu program yang membantu individu
memasuki dunia pekerjaannya.
3) Bimbingan model Parson memfokuskan pada aspek vokasional.

2. Bimbingan sebagai identitas dari Pendidikan


a. Sejarah
Bimbingan sebagai identitas dari Pendidikan telah dicanangkan dan dipakai
sebelumnya oleh Brewer dalam buku yang berjudul Educational as Guidance
(Shertzer dan Stone:1966). Istilah “bimbingan pendidikan” pertama kali digunakan
oleh Truman L Kelley yang berprofesi sebagai dosen di Columbia University. Ia
menggunakan istilah tersebut untuk memberikan bantuan kepada siswa yang
memiliki pertanyaan mengenai pilihan studi dan penyesuaian diri di sekolah.
Bimbingan sebagai identitas dari pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan para
siswa agar mampu melakukan aktifitas-aktifitas kehidupan yang bermakna, melalui
pengetahuan dan kebijakan. (Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan:2011)
b. Dasar Teori
Dikutip dari Shertzer dan Stone (1966), Brewer mengemukakan beberapa
kriteria bimbingan sebagai berikut :
1) Individu dibimbing dalam rangka menyelesaikan suatu masalah, tugas, atau
mencapai tujuan.
2)  Individu dibimbing biasanya berdasarkan inisiatifnya.
3)  Bimbingan bersifat simpatik, bersahabat, dan pemahaman.
4) Pembimbing harus memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kebijakan
5)  Bimbingan hendaknya memberikan peluang kepada individu untuk memperoleh
pengalaman dan wawasan baru.
6)  Individu dibimbing secara progresif dan mengambil keputusan sendiri.
7) Bimbingan memberikan bantuan kepada individu agar dapat membimbing diri
sendiri dan lebih baik.
8) Keunggulan dan Kelemahan
Menurut Shertzer dan Stone (1966) bimbingan sebagai identitas dari
pendidikan menekankan pada individu dan situasi hidup dalam hubungannya dalam
proses pendidikan. Metode ini percaya bahwa guru adalah sarana untuk mengajar
“anak” bukan “subjek”. Beberapa kelemahan model ini adalah perluasan dari
bimbingan untuk memasukkan pendidikan didalam setiap aspek seperti pendidikan,
etika, personal, dan moral yang tak terhingga. Kebanyakan hal yang terjadi saat ini
adalah otoritas pendidikan yang dipisahkan dari berbagai proses pendidikan seperti
instruksional, administrasi, dan bimbingan pribadi dari individu.
c. Implikasi
Konsep pada model bimbingan ini adalah sebagai bagian dari pendidikan.
Bimbingan yang dimaksud adalah ketika konselor bisa “mengajarkan” anak seperti
mengajarkan pelajaran di kelas. Proses mengajar sama dengan proses membimbing.
Berjalan dengan itu, konsep bimbingan sebagai pendidikan kadang tidak
terimplementasikan dengan seksama, hal tersebutlah yang mendorong berbagai
perubahan dalam istilah bimbingan yang sebagaimana kita kenal dengan Bimbingan
dan Konseling sampai saat ini.
C. MODEL BIMBINGAN PERIODE BERIKUTNYA
3. Bimbingan sebagai Distribusi dan Penyesuaian
a. Sejarah
Pertengahan tahun 1920-an, William M. Proctor mengemukakan fungsi
bimbingan sangat terkait dengan proses distribusi dan penyesuaian. Selanjutnya,
tahun 1930-an Koos dan Kefauver dalam Shertzer dan Stone (1966) memperkuat
pendapat Proctor dan menekankan bahwa bimbingan harus menekankan pada dua
fungsi pokok sebagai berikut:
1) Distribusi
Konselor membantu individu untuk menentukan apa tujuannya dan
diharapkan dapat memahami tentang dirinya dan juga lingkungannya. Dalam hal ini,
individu dibantu untuk menemukan peluang-peluang dalam pendidikan dan
pekerjaan.
2) Penyesuaian.
Dalam hal ini siswa dibantu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
tujuan-tujuannya.
3) Dasar Teori
Bimbingan yang berfungsi distributif  dan penyesuaian membantu siswa
untuk mencocokkan berbagai mata pelajaran, aktifitas sekolah, kegiatan
ekstrakurikuler, yang yang bermuara pada jalur karir dan pekerjaan yang sesuai
dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Tujuan khususnya adalah sebagai berikut:
a) Membantu siswa meperoleh tingkat efisiensi dan kepuasan yang tinggi
sesuai dengan tujuannya.
b) Membantu memilih kegiatan di luar sekolah yang membuat dirirnya bahagia
c)  Membantu merencanakan tujuan yang ingin dicapai.
d)  Membantu sisa memperoleh informasi mengenai perencanaan dan peluang-
peluangnya sesuai dengan kemampuan dan minat
4) Keunggulan dan Kelemahan
Dalam Shertzer dan Stone (1966) dijabarkan bahwa keuntungan dalam model
ini adalah menolong siswa untuk memahami kemampuan yang ada pada diri dan
lingkungannya agar dapat digiring dalam pekerjaan yang sesuai dengan minat dan
bakat untuk memudahkan ia beradaptasi nantinya di lingkungan pekerjaan.
Kekurangan dari model ini adalah program dan kurikulum yang diberikan sekolah
kadang tidak sesuai dengan kemampuan siswa
5) Implikasi
Model ini mampu mengajak orang tua dan guru untuk melihat lebih dekat
kemampuan yang dimiliki anak sehingga dapat memahami setiap keputusan yang
diambil oleh anak. Kemudian implikasi lainnya adalah mendorong agar siswa
termotivasi dan fokus pada tujuan karir dan pekerjaannya (Shertzer dan Stone:1966).

4. Bimbingan sebagai Proses Klinis


Bimbingan sebagai proses klinis pertama kali diperkenalkan oleh M.S.
Vitesel, Donald G. Paterson, dan E.G. Williamson. Model bimbingan ini ditandai
dengan ciri-ciri (1) sebagai protes terhadap metode tiruan yang sering dianggap
sebagai bimbingan, (2) berupaya mengembangkan teknik-teknik untuk menganalisis
individu secara komprehensif, (3) menekankan peranan konselor yang terlatih secara
profesional yang bertugas untuk membantu siswa yang memiliki masalah kesulitan
penyesuaian diri, dan (4) mengikuti prosedur yang teratur tetapi tidak mekanis, yaitu:
analisis, sitesis, diagnosis, prognosis, konseling, dan tindak lanjut.
Bimbingan sebagai suatu proses klinis menekankan kepada penggunaan tes
psikologis, teknik klinis, dan studi diagnostik analitik, senhingga clinician (konselor)
dapat memahami kliennya secara lebih baik, dan dapat menentukan masalah-masalah
klien secara lebih cepat dan akurat, serta memberikan treatment yang lebih cepat
juga. Para konselor tidak menaruh perhatian terhadap pengambilan keputusan bagi
klien, tetapi lebih kepada upaya mengorganisasikan situasi belajar, sehingga klien
memperoleh wawasan atau pemahaman tentang faktor penyebab masalah yang
dihadapinya, dan memilih alternatif tingkah laku yang tepat.
Model bimbingan klinis ini pendekatannya bersifat direktif, yang hasilnya
sering efisien dan ekonomis, sehingga konselor dapat bekerja dengan lebih banyak
klien. Disamping itu bmbingan klinis ini pendekatannya bersifat ilmiah dalam
memecahkan masalah yang dialami klien, dan menggunakan metode yang objektif
dalam pengumpulan data klien.
4. Bimbingan sebagai Pengambilan Keputusan
Dua orang ahli, yaitu Jones dan Myer adalah yang pertama kali
mempersepsikan bimbingan sebagai pengambilan keputusan. Kedua orang ahli ini
berpendapat bahwa situasi bimbingan itu eksis hanya ketika siswa membutuhkan
bantuan dalam membuat pilihan, interpretasi, atau penyesuaian diri. Bagi Jones,
bimbingan merupakan pemberian bantuan dalam membuat pilihan dan penyesuaian
diri, pemecahan masalah, dan pengembangan kemampuan untuk pengarahan diri
(self-direction).
Myer mengemukakan bahwa bimbingan merupakan pengambilan keputusan
yang melibatkan dua hal, yaitu (1) keragaman kemampuan individu, dan (2)
keragaman alternatif pilihan. Menurut Myer, bidang bimbingan yang utama adalah
bimbingan pendidikan dan jabatan (pekerjaan). Bidang bimbingan lainnya adalah
bimbingan rekreasi, bimbingan sosial, dan bimbingan kesehatan.
Katz mendefinisikan bimbingan sebagai intervemsi profesional terhadap
individu agar dapat melakukan pilihan-pilihan dalam bidag pendidikan atau
pekerjaan. Menurut dia, kemampuan mengambil keputusan dipengaruhi oleh faktor-
faktor sosio-kultural, dan nilai-nilai. Pengambilan keputusan itu terjadi ketika
seseorang (1) tidak mengetahui informasi yang dia perlukan, (2) tidak memiliki
informasi yang diinginkan, dan (3) tidak dapat menggunakan informasi yang dimiliki.
Dalam model bimbingan ini, konselor memiliki tugas untuk (1) mendorong
siswa untuk memahami nilai-nilai, dan menyertakan nilai-nilai pilihannya dalam
mengambil keputusan; dan (2) memberikan informasi kepada klien tentang peluang-
peluang yang bermanfaat dari setiap alternatif yang dipilih.
Model bimbingan ini berasumsi bahwa (1) keragaman antar individu cukup
berarti, baik dalam aspek abilitas maupun interes; dan (2) permasalahan tidak dapat
diselesaikan dengan sukses oleh para pemuda (remaja) tanpa bantuan dari orang lain
yang profesional (konselor).
Model bimbingan ini sangat berkontribusi terhadap pengembangan sikap
demokratis para siswa, karena mereka dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan tersebut.
5. Bimbingan sebagai Sistem Eklektik
Kata “eclectic” berarti menyeleksi atau memilih doktrin, atau metode yang
tepat dari berbagai sumber, teori atau sistem. Bimbingan sebagai sistem eklektik tidak
dapat diidentifikasi dengan satu teori tunggal, tetapi merupakan representasi dari
pendapat atau teori Strang. Traxler, Erickson, Froechlich, Darley, Thorne, dan yang
lainnya. Srang merupakan salah seorang ahli bimbingan eklektik, yang sejak tahun
1932 telah banyak mempublikasikan pendapat-pendapatnya.
Strang berpendapat bahwa bimbingan sebagai upaya yang positif, dan
meyakini bahwa pengalaman sekolah harus diseleksi dan dipadukan kedalam
pengalaman hidup siswa secara keseluruhan. Menurut dia yang menjadi inti layanan
bimbingan adalah (1) mengetahui individu, (2) mengetahui peluang-peluang
pendidikan, dan (3) membantu individu untuk melakukan pilihan melalui bimbingan
kelompok atau konseling.
Model bimbingan eklektik memiliki beberapa asumsi dasar, yaitu; (1)
individu memerlukan bantuan profesional secara periodik dalam rangka memahami
diri dan situasi, serta memecahkan masalahnya; (2) individu memiliki kemampuan
untuk belajar dan membuat perencanaan; dan (3) pemberian layanan yang
berorientasi kepada teori tunggal memiliki keterbatasan dalam prosedur, teknik, atau
pandangan dibandingkan dengan yang bersumber kepada beberapa teori.
Model bimbingan ini merupakan kompromi dari beberapa teori dalam upaya
mereduksi polarisasi dua kutub pelayanan yang pendekatannya sangat berbeda, yaitu
kutub konseling direktif dari Williamson dan kutub konseling non-direktif dari
Rogers.

D. Model Bimbingan Kontemporer


6. Bimbingan Perkembangan
Model bimbingan ini dikembangkan oleh Wilson Little dan A.L Chapman
penyusun buku Developmental Guidance in the Secondary School, Herman . Peters
dan Gail Farwell penyusun buku Guidance: A Developmental Approach, dan Robert
Mathewson penyusun buku Guidance Policy and Practice. Bimbingan dipandang
sebagai suatu proses perkembangan yang menekankan pada upaya membantu semua
individu dalam fase perkembangannya agar dapat tumbuh secara optimal. Bimbingan
perkembangan bersifat komprehensif, meliputi seluruh rentang kehidupan. Perhatian
utama model ini adalah perkembangan positif pada semua aspek perkembangan
individu yang dalam penyelenggaraannya bekerjasama dengan semua pihak yang
dapat berkontribusi baik bagi perkembangan individu. Mathewson menyebutkan
empat hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan bimbingan, yaitu:

a) Kebutuhan untuk menilai dan memahami diri


b) Kebutuhan untuk menyesuaikan diri sesuai dengan harapan lingkungan
c) Kebutuhan untuk memiliki orientasi atau wawasan mengenai kondisi masa
kini dan masa depan.
d) Kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri.

Bimbingan perkembangan didasarkan pada tiga landasan, yaitu (Syamsu, 2011):


a) Landasan Filosofis
Bimbingan perkembangan diarahkan pada pencapaian diri yang cakap dan
efektif melalui pengetahuan diri, kepedulian atas lingkungan, penguasaan
hubungan diri dengan lingkungan serta pemahaman mendalam tentang nilai-
nilai pribadi dan sosial.
Bimbingan ini bersifat komprehensif, yang berlangsung di lingkungan sekolah
maupun di lingkungan luar (masyarakat), dan melibatkan semua pihak:
personel sekolah (kepala sekolah, guru dan konselor), para siswa, para
orangtua, dan masyarakat.
b) Landasan Individualitas
Bimbingan pengembangan menekankan pada (1) kekuatan individu untuk
merancang, beraksi (berperilaku), dan menilai hubungan antara dirinya dan
lingkungannya; (2) pengembangan potensi diri; (3) cara individu dalam
menafsirkan lingkungan atau situasi yang terkait dengan kebutuhan, minat dan
nilai-nilai serta dampak terhadap penampilan dirinya.
c) Landasan Organisatoris
Bimbingan dengan pendekatan perkembangan didasarkan kepada premis-
premis (1) semua individu membutuhkan bimbingan dalam semua rentang
kehidupannya; (2) prosesnya bersifat komprehensif; (3) tujuan bimbingan
diarahkan kepada pengembangan kemampuan atau potensi individu dengan
tujuan dia mampu mengembangkan diri secara bermakna, baik bagi diri
sendiri ataupun oranglain (masyarakat).
7. Bimbingan sebagai ilmu dari sebuah kegiatan yang bertujuan
Tiedeman dan Field pada tahun 1962 memperkenalkan model ini serta
mendefinisikannya sebagai kegiatan kegiatan profesional yang menggunakan suatu
ilmu pengetahuan tentang kegiatan bertujuan dalam struktur pendidikan yang
spesifik. Praktek bimbingan yang terjadi merefleksikan keinginan-keinginan untuk
membuat pengajaran lebih efektif tanpa membatasi pengajaran dari guru. Hadirnya
model ini berkaitan dengan asumsi sistem pendidikan yang menempatkan posisi guru
pada posisi superior dan konselor hanya berada di posisi pelengkap (Syamsu, 2011).
Model ini menekankan bahwa bimbingan harus eksis dalam proses pendidikan,
sehingga posisi konselor menyatu dalam sebuah proses pendidikan, bukan di luar
proses pendidikan.
Terdapat tiga upaya yang diusahan oleh Tiedeman dan Field untuk
menjadikan bimbingan sebagai sebuah pekerjaan profesional, yaitu:
1) Lahirnya organisasi-organisasi profesional seperti The American Personnel
and Guidance Association dan The American Psychological Association.
2) Pengaruh dukungan keuangan dan hukum, seperti dukungan dari National
Defense Education Act pada tahun 1958
3) Dukungan para teoritisi, seperti Mathewson, Sonal Super, dan Wrenn.
8. Bimbingan sebagai rekonstruksi sosial
Model ini dikembangkan oleh Edward J. Shoben pada tahun 1962. Model ini
memandang konselor sebagai pemimpin dalam merekonstruksi atau memperbaiki
keadaan sosial di sekolah. Salah satu contoh upayanya adalah terlibat dalam
pengelompokan siswa dan perumusan kurikulum. Tugas utama bimbingan adalah
membantu individu mengembangkan potensi, menemukan cara mengekspresikan diri
sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Bimbingan harus dirancang secara sistematis
dan mendorong siswa untuk menelaah nilai-nilai dan untuk menjalani kehidupan
yang teruji (Syamsu, 2011).

E. STRUKTUR ORGANISASI BIMBINGAN


1. Empat tipe dalam organisasi formal yang umum dipakai dalam masyarakat
Yaitu terdiri dari :
a. Line and Staff. Garis dalam struktur kepegawaian menunjukkan divisi atau
bagian-bagian dalam organisasi,yang menggambarkan otoritas pimpinan
terhadap bawahannya. Garis tersebut merupakan garis komando untuk saling
memperhatikan pelayanan, kontrol, koordinasi, dan kontrol fiskal organisasi.
b. Scalar. Organisasi yang dilakukan oleh suatu jumlah atau struktur tertentu,
maka tugas yang dilaksanakan harus sesuai dengan wewenang dan
tanggungjawabnya.
c. Ruang Gerak. Menunjukkan wilayah sentral dan fungsi dari sebuah organisasi
. yang menunjukkan tanggungjawab pimpinan sebagai supervisor dan
tanggungjawab sebagai administrator
d. Lingkaran. Struktur organisasi ini biasa disebut lingkaran bola atau
perputaran. Jabatan dalam badan eksekutif merupakan posisi pusat yang
mengatur seluruh otoritas kepemimpinan, peran dan tanggungjawab masing-
masing peran.

Dalam sebuah institusi layanan bimbingan terorganisir dalam suatu lingkaran,


oleh karena itu dibutuhkan profesionalitas dan kompetensi yang berimbang antara
legalitas sebagai pembimbing dan otoritas dalam organisasi.
Llyod Jones telah membagi program bimbingan dalam 3 pola, yaitu : klasikal,
neo klasikal dan instrumental. Bimbingan dalam tiga pola ini memiliki karakteristik
yang sama. Bimbingan menurut Llyod Jones secara klasikal bimbingan adalah usaha
yang profesional butuh kemampuan khusus dan harus ada di dunia pendidikan
utamanya di sekolah tinggi. Padapola neo klasikal bimbingan merupakan bentuk
layanan yang harus memiliki banyak insrumen untuk pengolahan data dan
mengembangkan kreativitas dan fungsi dalam biumbingan.
Glen, membagi 4 pendekatan program bimbingan di sekolah . 4 pendekatan
ini adalah sebagai berikut:
1. Specialist Central : pendekatan ini mempersiapkan konselor yang profesional,
administratif, dan pekerja sosial. Personil bimbingan memiliki ciri khas
kualitas baik, tegas dan mampu berkoordinasi untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan siswa.
2. Desentralisasi general : pendekatan ini bergantung pada seluruh guru dan staf
tata usaha untuk menunjukkan fungsi bimbingan dalam menetapkan aturan.
Semboyannya adalah bahwa “setiap Guru adalah Pembimbing”.
3. Perencanaan pembelajaran bimbingan dan konseling. Pendekatan ini
terintregasi dengan perencanaannya dengan memanfaatkan pendekatan
kelompok, layanan orientasi, perencanaan pembe;lajaran, dan pengembangan
karir.
4. Hubungan antar manusia dan kelompok kerja. Pendekatan ini folus terhadap
kesehatan mental, kematangan dalam berlikir dan kemapuan interpersonal.

Mathewson membagi program-program bimbingan kedalam 7 sekala yang


berdimensi dua kutub, yaitu :
1. Edukatif : direktif yaitu bimbingan menyusun proses pembelajaran dalam diri
individu, di sisi lain bimbingan mendiagnosa permasalahan-permasalah
individu dengan mereferalkan masalah pada tim ahli.
2. Kumulatif : problem point, yaitu bimbingan dalam hal kumulatif adalah usaha
terus menerus yang mengutamakan mendidik siswa atau menyelesaikan
masalah yang hanya mendasar sajadan hanya pada siswa yang membutuhkan
saja
3. Self evaluation : mentor evaluation yaitu bimbingan terdiri dari satu kesatuan
sebagai persepsi diri atau bagian diri yang bisa dievaluasi dan ditampilkan ke
dalam identitas diri tanpa bantuan dari orang lain. Dan bimbingan sebagai
motivasi ekstrinsik.
4. Personal value : sosial velue. bimbingan menutamakan keunikan individu
sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.yang memiliki aturan dan
konsekuensi.
5. Subjectif focus : objectif focus. Perhatian bimbingan pada sisi psikologis
secara subjektif dengan melihat pemahaman diri siswa dan konsep diri siswa.
Sedangkan fokus objektivitas yaitu melihat data, hasil tes dan tingkatan
lainnya.
6. Multiphasic : unphasic, yaitu bimbingan adalah sebagai proses yang
komprehensif menyangkut seluruh kebutuhan pada umumnya. Dan setiap
masalah bisa diatasi oleh tim ahli namun disisi lainnya bimbingan memiliki
fase atau tahapan yang memerlukan jabatan, pendidikan dan ciri khas
personal.
7. Coordinatif : Specialist, yaitu bimbingan adalah rangkaian upaya dan
kreativitas yang, membutuhkan tenaga spesialis. Yaitu guru, staf tata usaha
dan lain sebagainya.

Setiap program-program bimbingan di berbagai organisasi memiliki karakteristik


yang berbeda tergantung pada sejarah dan budaya masing-masing institusi. Namun
masing-masing memiliki peran dan tanggung jawabnya yang berbesa-beda. Oleh
karena itu, kita harus memilih dan memilah keuntungan dan kerugian organisasi
bimbingan. Yaitu sebagai berikut:
2. Keuntungan dari organisasi sentral /terpusat
a. Lebih ekonomis dan efisien dan memungkinkan untuk diadministrasikan.
b. Bisa digunakan untuk menghindari duplikasi
c. Biasanya lebih berkualitas karena memerlukan staf bimbingan yang
progfesional
d. Staf tata usaha lebih mudah mengadministrasikan seluruh program
untukmengatasi permasalahan siswa.
e. Hal-hal yang ingin direfereal lebih mudah diedentifikasi.
3. Kekurangan dari organisasi terpusat
a. Memperkerjakan staf yang ahli sangatlah mahal
b. Kecendrungan perhatiannya lebih kepada kemapuan guru dalam
membimbing dan mereka harus mencari contoh konselor yang baik. Dan
para guru harus belajar lagi fungsi-fungsi bimbingan
c. Masalah-masalah siswa yang dihadapai lebih ke cara mengembangkan diri
siswa dari pada membahas masalah siwa
4. Keuntungan dari desentralisasi organisasi
a. Mendukung usaha-usaha bimbingan dan memiliki banyak kontribusi pada
guru
b. Lebih memperhatikan situasi pembelajaran
5. Kerugian dari desentralisasi
a. Para guru tidak terlatih dalam hal konseling.
b. Minimnya fungsi bimbingan karena diserahkan pada seorang guru yang
bukan ahlinya.
c. Guru harus menjadi orang yang serba bisa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Model Bimbingan dan Konseling Komprehensif


Dewasa ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan
bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi
tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada
pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif (ABKIN,
2008). Pendekatan Bimbingan dan Konseling Perkembangan
(Bimbingan dan Konseling Komprehensif) didasarkan pada upaya
pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan
pengentasan masalah-masalah yang dihadapi oleh konseli.
Implementasi pendekatan Bimbingan dan Konseling Komprehensif
diorientasikan pada upaya memfasilitasi perkembangan potensi
peserta didik secara optimal yang meliputi aspek pribadi, sosial,
belajar, dan karir. Artinya, bimbingan dan konseling komprehensif
diarahkan untuk melayanani semua peserta didik (Guidance for all)
tidak hanya ditujukan bagi peserta didik yang hanya memiliki
permasalahan saja. Bimbingan dan konseling perkembangan
merupakan pandangan mutakhir yang bertitik tolak pada dari asumsi
yang positif tentang potensi individu. Berdasarkan asumsi ini,
bimbingan dan konseling dipandang suatu proses perkembangan
(developmental process) yang menekankan kepada upaya membantu
semua peserta didik (peserta didik) atau individu dalam semua fase
perkembangannya.
Sehubungan dengan sifat program bimbingan dan konseling
komprehensif, Suherman (2015) mengemukakan tiga hal yang secara
mendasar perlu diperhatikan dalam penyusunan program bimbingan
dan konseling di sekolah, yaitu (1) ruang lingkup yang menyeluruh,
artinya bahwa program bimbingan dan konseling di sekolah tidak
saja berfokus pada layanan bagi seluruh peserta didik tetapi juga
pada seluruh aspek kehidupan peserta didik; (2) dirancang sebagai
pencegahan, artinya program bimbingan dan konseling disekolah
tidak dibatasi sebagai penasihat dan pencari solusi tentang
permasalahan yang dihadapi para siswa saja tetapi untuk memberikan
kemampuan khusus dan mempelajari sikap pencegahan yang proaktif,
serta memfasilitasi semua siswa memperoleh keberhasilan dalam
mengembangkan potensi yang dimilikinya; (3) pengembangan
potensi siswa, artinya program bimbingan dan konseling yang
komprehensif disusun sebagai pelayanan untuk menemukan
karakteristik dan lebutuhan siswa pada berbagai jeis dan tahapan
perkembangan.
Murro dan Kottman (1995) mengemukakan bahwa struktur
program bimbingan dan konseling komprehensif diklasifikasikan
kedalam empat jenis layanan, yaitu : (1) layanan dasar bimbingan;
(2) layanan responsif; (3) layanan perencanaan individual; dan (4)
dukungan sistem (Yusuf dan Nurihsan, 2009). Pada tahun 1992
American School Counselor Association (ASCA) mengembangkan
Model Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif di Sekolah.
Program tersebut telah berkali-kali direvisi, terakhir pada tahun
2005.
Model Program Komprehensif Bimbingan dan Konseling itu
dirangkumkan sebagai berikut.
IK
KE

EM
PE

ST
SI
M IM

AN
PI

AH
NA

UB
N

ER
–D

–P
AKUNTABILITAS
UK

N Laporan Hasi
UN

GA
GA

UN Evaluasi Kinarja Konselor


UK
N

Odit/Evaluasi Program
–P

–D
ER

N Badan Penasihat
NA
UB

PI SISTEM
SISTEM
A

IM
HA

M MANAJEMEN
PENYAMPAIAN
N

PE Kesepakatan
SI

KE Kurikulum Bimbingan
ST

Penggunaan Data–Menutup
EM

Perencanaan Individual
Kesenjangan
IK
KE

dengan Siswa
Monitoring Siswa
PE

Layanan Responsif IK
EM
MI

Penggunaan Waktu
ST
MP

Dukungan Sistem
Penjadwalan SI
I
NA

LANDASAN AN
N

AH
–D

Filsafat UB
UK

Wilayah: Pendidikan, Karir, ER


UN

–P
GA

Pribadi/Sosial A N
N

Standar Nasional/ NG
–P

KU
ER

Kompetensi DU
UB


AN
A
HA

IN
MP
N

MI
SI
ST

PE
EM

KE
IK
Gambar 1. Model Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif
(ASCA, 2005)
Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif di Sekolah merupakan
bagian terpadu dari keseluruhan program pendidikan setiap sekolah. Program itu
merupakan program yang sesuai dengan perkembangan peserta didik dan
menyediakan kegiatan sekuensial yang ditata dan diimplementasikan oleh konselor
sekolah yang berkualifikasi. Isi program mencakup wilayah: Perkembangan
Akademik, Perkembangan Karir dan Perkembangan Pribadi/Sosial. Program
disampaikan melalui Layanan Dasar, Layanan Responsif, Perencanaan Individual,
dan Dukungan Sistem.

Visualisasi bagaimana seharusnya Bimbingan Berperan dalam memandirikan


individu
Gejala pada Individu : Dikembangkan melalui proses
 Bakat Bimbingan dan Pendidikan.
 Minat
 Bimbingan belajar
 Potensi
 Karakter  Bimbingan Karir
 Tujuan/Cita-cita  Kegiatan ekstrakurikuler
 Keterikatan komunitas
 Dll.

Kecakapan penentuan langkah karir dan pekerjaan sehingga terdapat


kesesuaian antara potensi diri-pendistribusian dan pengolahan kemampuan
diri- pencapaian karir dan pekerjaan (individu menjadi lebih terdidik dan
terampil menjalani kehidupan.

Bimbingan bukan merupakan proses tunggal. Selain membutuhan seorang


professional, pelaksanaannya membutuhkan dukungan dari berbagai disiplin ilmu.
Penerepannya membutuhkan dukungan banyak pihak. Kolaborasi yang terstruktur
dan sistematis akan menunjang keberhasilan yang muaranya tertuju pada
terbentuknya pribadi yang ideal. Penjelasan mengenai Sembilan model Bimbingan
pada awal bab merupakan gambaran bagaimana Bimbingan hadir sebagai jawaban
atas kebutuhan individu sepanjang kehidupannya. Model-model Bimbingan tersebut
masing-masing menekankan prinsip-prinsip yang menjadi objek kajian Bimbingan.
Paling tidak, beberapa fokus yang menjadi penekanan Sembilan model Bimbingan,
secara kesuluruhan yaitu:
1. Bimbingan berfokus pada pencarian informasi tentang diri pribadi
2. Bimbingan berfokus pada proses Pendidikan
3. Bimbingan berfokus pada ketepatan perolehan karir dan pekerjaan
4. Bimbingan berfokus pada profesionalisme dalam bekerja
5. Bimbingan berfokus pada kolaborasi keilmuan dan keterlibatan berbagai
pihak
Kelima hal di atas diasumsikan sebagai apa yang menjadi prioritas pada
Bimbingan di masa lalu. Pergantian waktu tentunya akan berdampak pada
perkembangan konsep Bimbingan. Tentunya, tuntutan kehidupan akan semakin
meningkat seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, konsep nilai dan
norma. Dengan berubahnya keadaan di kehidupan yang lebih modern, apakah fokus
Bimbingan akan tetap sama dari masa ke masa?
Ada beberapa perbedaan ciri antara program bimbingan dan konseling
komprehensif ini dibandingkan dengan program yang “tradisional”, seperti
dikemukakan di bawah ini.

Pendekatan Tradisional Program Komprehensif


 Reaktif  Proaktif
 Proses  Hasil/Baku mutu
 Berfokus pada posisi  Berfokus pada program
 Layanan  Program
 Konseling individual  Individual/Kelompok/Kela
• Apa yang dilakukan konselor s
• Tidak semua peserta didik • Apa yang dipelajari peserta
didik
• 100% program untuk semua
peserta didik
Komponen Program
Terdapat dua hal yang berbeda antara aktivitas Bimbingan dan Konseling.
Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Bimbingan fokus pada pengembangan
individu secara optimal, Konseling fokus pada teratasinya permasalahan konseli
( Prayitno, 2004). Keempat hal ini mencakup seluruh kegiatan Bimbingan dan
Konseling dengan tanpa memisahkan keduanya. Semua aktivitas yang bermuara pada
upaya mengembangkan potensi individu, bermuatan Bimbingan. Semua aktivitas
yang bermuara pada teratasinya permasalahan individu, bermuatan konseling. Berikut
adalah skema program Bimbingan dan Konseling,

Gambar Komponen Program Bimbingan dan Konseling (ABKIN, 2009)

Komponen-komponen ini menjelaskan cara penyampaian program, yang


mencakup Layanan Dasar, Layanan Responsif, Perencanaan Individual dan
Dukungan Sistem.

a. Layanan Dasar
Dalam konsep asli dari ASCA, layanan ini disebut Guidance Curriculum.
ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) mengartikannya sebagai
Layanan Dasar, untuk menghindarkan penafsiran bahwa bimbingan itu merupakan
sebagaian dari kurikulum yang diajarkan kepada peserta didik. Layanan Dasar
merupakan layanan yang terstruktur untuk semua peserta didik sampai tingkat kelas
tiga SMA (K-12) disajikan melalui kegiatan kelas (klasikal) atau kelompok untuk
membahas kebutuhan perkembangan dalam bidang akademik, karir, dan pribadi
sosial peserta didik. Tujuan layanan ini dapat dirumuskan sebagai upaya membantu
peserta didik agar (1) memiliki kesadarn pemahaman diri dan lingkungannya
(pendidikan, pekerjaanm sosial-budaya, dan agama); (2) mampu mengembangkan
keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku
tepat (memadai) bagi penyesuaian dirinya dengan lingkungannya; (3) mampu
menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya, serta mengembangkan dirinya
dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.
Gysbers & Henderson (2006) mengemukakan bahwa layanan dasar
merupakan bagian pusat perkembangan program bimbingan dan konseling
komprehensif, dirancang untuk melayani semua siswa berdasarkan kompetensi yang
harus dikembangkan oleh siswa dan sering dilakukan melalui bimbingan klasikal atau
bimbingan kelompok.Proporsi waktu yang disediakan untuk penyelenggarakan pada
setiap tingkat sekolah berbeda-beda. ABKIN (2008) menjelaskan untuk tingkat
sekolah dasar adalah sebesar 30-40% dari seluruh program bimbingan dan konseling
di sekolah, untuk SMP 20-30% dan untuk SMA 15-25%.
b. Layanan Responsif
Layanan responsif merupakan layanan bantuan bagi para peserta didik yang
memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan (pertolongan) dengan
segera. Layanan responsif dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan kepedulian
peserta didik yang mendesak atau para peserta didik yang mengalami hambatan
dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Indikator dari kegagalan itu
berupa ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri atau perilaku bermasalah (Yusuf
dan Juntika, 2009). Kebutuhan mereka mungkin terpenuhi melalui konsultasi,
konseling pribadi, konseling untuk menangani krisis atau program referal. Kontak
dengan konselor dapat berupa inisiatif peserta didik atau melalui referal. Proporsi
waktu yang disediakan untuk layanan ini pada jenjang sekolah dasar adalah 30-40%,
SMP 30-40%, dan SMA 30-40% (ABKIN, 2008).
c. Perencanaan Individual
Perencanaan individual adalah bantuan kepada peserta didik/konseli agar
mampu merumuskan dan melakukan aktivitas-aktivitas sistematik yang berkaitan
dengan perencanaan masa depan berdasarkan pemahaman tentang kelebihan dan
kekurangan dirinya, serta pemahaman terhadap peluang dan kesempatan yang
tersedia di lingkungannya (Permendikbud No. 111, 2014). Perencanaan individual
mencakup kegiatan yang membantu semua peserta didik dalam merencanakan,
memonitor dan mengelola pembelajaran, perkembangan pribadi dan sosial mereka
sendiri. Kegiatan itu biasanya dirancang dan diarahkan oleh konselor. Proporsi waktu
yang disediakan untuk layanan ini pada jenjang Sekolah Dasar adalah 5-10%, SMP
15-25%, dan SMA 25-35% (ABKIN, 2008).
d. Dukungan Sistem
Layanan ini merupakan kegiatan manajemen yang membangun, memelihara
dan memperkuat program bimbingan dan konseling di sekolah, termasuk program
pengembangan profesional, hubungan staf dengan masyarakat, komite penasihat,
jangkauan masyarakat, manajemen program, penelitian dan pengembangan. Proporsi
waktu yang disediakan untuk layanan ini pada jenjang sekolah dasar adalah 15-20%,
SMP 15-20%, dan SMA 15-20% (ABKIN, 2008).
STRUKTUR ORGANISASI DALAM BIMBINGAN

1. Pengertian pengorganisasian dalam bimbingan


Pengorganisasian dalam bimbingan adalah bentuk kegiatan yang mengatur
struktur kerja, pola pekerjaan, cara kerja, wewenang, tanggungjawab serta ruang
gerak dalam bekerja bagi masing-masing anggota dalam suatu organisasi bimbingan
dan konseling. dengan adanya organisasi dalam suatu bimbingan maka
kepemimpinan, koordinasi, perencanaan, sasaran dalam bimbingan akan terlaksana
dengan baik. Organisasi merupakan proses instrumental yang menjebatani
tercapainya sasaran-sasaran program bimbingan. Organisasi juga merupakan
Rangkuman dari keseluruhan tujuan bimbingan yang direncanakan, kemudian
dikomunikasikan ke bawah menurut garis koordinasi dengan ide, komitmen dan
kesepakatan bersama yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Dalam situasi
akademik organisasi adalah sebagai dukungan sistem dalam bimbingan dan konseling
yang memiliki manfaat serta peranan penting. Dukungan sistem merupakan
komponen layanan yang tidak langsung yang meliputi pemberian layanan dan
kegiatan manajemen.
2. Manfaat dalam pengorganisasian
Manfaat pengorganisasian dalam bimbingan yaitu :
a. Setiap personil sekolah menyadari tugas dan peranan serta kedudukan,
wewenang dan tanggungjawabnya masing-masing.
b. Tidak ada tumpangtindih tugas diantara personil bimbingan
c. Terjadi mekanisme kerja secara teratur
d. Tercapainya efektivitas dan efisiensi perlaksanaan layanan bimbingan.
3. Pihak-pihak yang terlibat dalam organisasi Bimbingan dan konseling
sebagai dukungan sistem penyelenggaraan bimbingan dan konseling di
sekolah, yaitu :
a. Kepala sekolah. Kepala sekolah adalah penanggungjawab seluruh kegiatan
pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, begitupun kegiatan bimbingan dan
konseling disupervisi dan dievaluasi oleh kepala sekolah. Adapun tugas dan
peran kepala sekolah menurut Uman Suherman dalam manajemen BK , yaitu :
1) Penentuan staf personel bimbingan dan konseling
2) Penyusunan program bimbingan dan konseling
3) Sosialisasi dan penetapan program bimbingan dan konseling kepada
sivitas sekolah sebagai bagian dari program bimbingan.
4) Penyediaan kelengkapan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam
kegiatan bimbingan dan konseling.
5) Pemantauan supervisi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling.
6) Pengembangan kerjasama dengan instansi atau profesi lain yang berkitan
dengan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling.
7) Pengembangan program bimbingan dan konseling termasuk pembinaan
dan pelatihan personil bimbingan dan konseling.
b. Wakil kepala sekolah. Wakil kepala sekolah adalah orang kedua yang
bertanggungjawab atas kebijakan pendidikan di sekolah bekerjasama dengan
kepala sekolah. Adapun peran dan tagnggungjawab wakil kepala sekolah
adalah sebagai berikut :
1) Pelaksana kebijakan pimpinan sekolah terutama yang berkaitan dengan
bimbingan dan konseling
2) Penyedia informasi baik berkaitan dengan aktivitas dan prestasi
akademik, penyediaan sarana dan prasarana, sebagai penghubung antara
sekolah dengan pihak lain atau kehumasan, juga sebagai pendukung
dalam penyusunan progrfam layanan bimbingan dan konseling.
3) Mensosialisasikan program bimbingan dan konseling kepada seluruh
personil dan komponen sekolah sesuai dengan bidang dan
kewenangannya.
4) Dukungan dan pemantauan pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling.
c. Guru mata pelajaran. Merupakan bagian penting dalam kegiatan bimbingan
dan konseling. Tugas dan wewenangnya adalah
1) Mengidentifikasi peserta didik yang memerlukan bantuan layanan
bimbingan dan konseling berdasarkan hasil belajar.
2) Mensosialisasikan layanan bimbingan dan konseling terutama dalam hal
motivasi dan sikap belajar yang efektif.
3) Memantau perkembangan dan kemajuan belajar siswa.
4) Melakukan upaya perbaikan dan remedial untuk kemajuan siswa
berdasarkan hasil penilaian dan masukkan dari guru bimbingan dan
konseling.
5) Pelaksana konfrensi kasus
d. Wali kelas. Wali kelas adalah mitra bagi guru BK yang memiliki tugas dan
tanggungjawab sebagai penyedia informasi tentang kebutuhan dan
karakteristik peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya,
mensosialisasikan keberadaan bimbingan dan konseling, menginformasikan
kepada guru mata pelajaran tentang siswa yang perlu perhatian khusus,
bekerjasama dengan guru BK malakukan kunjungan rumah dan ikut serta
dalam konfrensi kasus.
e. Staf administrasi. Merupakan salah satu komponen pendukung terlaksananya
layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Yang bertugas membantu
mengadministrasikan seluruh kegiatan bimbingan dan konseling, menyiapkan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan layanan bimbingan dan
konseling dan membantu mempersiapkan seluruh kegiatan bimbingan dan
konseling.
f. Guru Bimbingan Konseling / Konselor. Konselor atau guru BK merupakan
tenaga profesional dan menjadi kunci utama keberhasilan aktivitas layanan
bimbingan dan konseling. Adapun tugas dan tanggungjawab guru bimbingan
dan konseling adalah sebagai berikut :
1) Mensosialisasikan kegiatan bimbingan dan konseling
2) Merencanakan program bimbingan
3) Melaksanakan persiapan kegiatan bimbingan seperti menghimpun data
dan mengidentifikasi kebutuhan siswa
4) Melaksanakan layanan bimbingan terhadap sejumlah siswa yang mejadi
tanggungjawabnya
5) Melaksanakan kegiatan penunjang bimbingan.
6) Menilai proses dan hasil kegiatan layanan bimbingan
7) Menganalisis hasil penilaian
8) Melaksanakan tindak lanjut dari hasil penilaian
9) Mengadministrasikan kegiatan bimbingan dan konseling, dan
10) Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya kepada kepala sekolah.
BAB IV
SIMPULAN
Melihat apa yang ditawarkan pada Sembilan model pada paparan Shetzer dan
Stone dan apa yang ditawarkan pada layanan Bimbingan pada konsep BK
Komprehensif memang tidak bisa dikatakan berbeda secara umum. Sebab keduanya
menitikberatkan pada hal yang sama mengenai pentingnya pemahaman diri,
pengembangan keterampilan, membangun hubungan baik dengan lingkungan,
kemampuan mengambil keputusan, dan mengarah kepada perkembangan optimal
individu. Hal yang mungkin menjadi pembeda dapat saja terletak pada tata cara
pemberian layanan Bimbingan yang mana dibutuhkan kajian lebih jauh mengenai hal
ini. Dapat disimpulkan bahwa apa yang dikembangkan saat ini bersumber pada muara
yang sama, yaitu situasi yang membuat individu membutuhkan pihak lain sebagai
berfungsi memberikan bantuan baik dalam hal pribadi, sosial, belajar dan karir.
Seiring berkembangnya zaman dan tuntutannya, layanan Bimbingan dikemas sesuai
dengan kebutuhan individu agar terdapat ketepatan guna atas keilmuan Bimbingan itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

American School Counselor Association. 2005. The ASCA National Model.


Alexandria.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Ppenataan pendidikan profesional konselor


dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal.
Jakarta : Depdiknas.

Gysbers, N. C. & Henderson, P. 2006. Developing and managing your school


guidance and counseling program. United State of America: The American
Counseling Association.

Kartadinata, S. 2007. Seri landasan dan teori bimbingan dan konseling. www.upi.edu

Nurihsan, J. 2003. Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Bandung : Mutiara

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111


Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah.

Prayitno dan Amti, 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta :


Depdikbud.

Shertzer dan Stone. 1966. Fundamentals of guidance. Ney York : Houghton Mifflin
Company.

Suherman, Uman. 2015. Manajemen bimbingan dan konseling. Bandung : Madani.

Yusuf, S. & Nurihsan. 2009. Landasan bimbingan dan konseling. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai