Anda di halaman 1dari 16

KEWAJIBAN BELAJAR DAN MENGAJAR

Dosen Pengampu :
Dr. Achmad Zuhdi, M.Fil.I.

Oleh :
Imam Rohhani
Moch. Danu Kurniadi

PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2018
A. Pendahuluan
Belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif
mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan murid ketika berlangsungnya kegiatan
belajar mengajar. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar
yang telah dilakukan, diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dirumuskan
sebelum pengajaran dilakukan. Pada kegiatan belajar mengajar, murid dan guru saling
mempengaruhi dan memberi masukan. Karena itulah proses belajar mengajar haruslah
menjadi aktivitas yang hidup, sarat nilai dan senantiasa memiliki tujuan.
Tujuan utama dari adanya kegiatan belajar dan mengajar adalah adanya perubahan
pada suatu masyarakat ke arah yang lebih baik dengan adanya sistem yang
memungkinkah terjadinya proses pembelajaran. Tujuan ini sejalan dengan prinsip Islam
yang ingin mendidik manusia menjadi pribadi-pribadi yang beriman dan berbudi pekerti.
Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar mengajar merupakan
kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan
dijalankan.
Oleh karena itu, Islam sangat menekankan kepada umat Islam untuk terus belajar
dan mengajarkannya kepada orang lain. Hal ini dilakukan supaya terbentuk suatu
masyarakat yang berkualitas, baik ditinjau dari sisi akhirat atau dunia.
Makalah singkat ini akan mengulas mengenai kewajiban belajar dan mengajar
dalam perspektif agama Islam. Dalil-dalil dari Al Qur’an, Hadis dan perkataan para
ulama akan diuraikan untuk mengetahui sejauh mana pandangan Islam mengenai
kegiatan belajar dan mengajar. Di mana semua itu akan menjelaskan kepada kita
seberapa besar perhatian Islam dalam proses belajar dan mengajar demi mewujudkan
masyarakat yang berkualitas dan unggul.

B. Pembahasan
a. Pengertian Belajar Mengajar
Banyak definisi para ahli tentang belajar, di antaranya adalah yang
dikemukakan oleh C.T. Morgan, dia mengartikan bahwa belajar sebagai suatu
perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari

1
pengalaman yang lalu.1 Thursan Hakim juga menyatakan bahwa belajar adalah suatu
proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut
ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti
peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan,
daya fikir dan lain-lain kemampuannya.2
Adapun pengertian mengajar adalah suatu proses yang kompleks. Tidak hanya
sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa. Banyak kegiatan maupun
tindakan harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar yang lebih baik pada
seluruh siswa. Oleh karena itu, rumusan pengertian mengajar tidaklah sederhana.
Dalam arti, membutuhkan rumusan yang dapat meliputi seluruh kegiatan dan
tindakan dalam perbuatan mengajar itu sendiri.
Bohar Suharto mendefinisikan, mengajar merupakan suatu aktivitas
mengorganisasi atau mengatur (mengelola) lingkungan sehingga tercipta suasana
yang sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi
proses belajar yang menyenangkan.
Sementara Oemar Hamalik mendefinisikan mengajar sebagai proses
menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa. Mengajar menurut
pengertian mutakhir merupakan suatu perbuatan yang kompleks. Perbuatan yang
kompleks dapat diterjemahkan sebagai penggunaan secara integratif sejumlah
komponen yang terkandung dalam perbuatan mengajar itu untuk menyampaikan
pesan pengajaran.3
Atau dengan gaya bahasa lain, mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan
yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan yang dimaksud,
terdiri dari beberapa komponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan
instruksional yang ingin dicapai, materi pelajaran yang diajarkan, guru dan murid
sebagai subyek yang akan berperan serta berada dalam jalinan hubungan sosial
tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan serta saran dan prasarana belajar mengajar
yang tersedia.4

1
Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum &
Konsep Islami (Bandung: Revika Aditama, 2010), 6.
2
Ibid.
3
Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar MengajarMelalui Penanaman Konsep Umum &
Konsep Islami(Bandung: Refika Aditama, 2010),7-8.
4
Lalu Muhammad Azhar, Proses Belajar Mengajar Pola C.B.S.A (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 11.

2
b. Kewajiban Belajar
Dari dua definisi belajar yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada diri seseorang setelah
melakukan aktivitas tertentu. Walaupun tidak semua perubahan dikategorikan
sebagai proses belajar, seperti perubahan fisik, dll. Maka dengan ini kita mengetahui
bahwa belajar merupakan proses yang sangat penting bagi setiap individu untuk bisa
menjadi pribadi yang lebih baik.
Agama Islam sebagai agama yang sempurna pun senantiasa mewajibkan
pemeluknya untuk belajar. Hal ini ditekankan agar setiap orang yang memeluk
agama Islam memiliki keyakinan yang pasti dengan ilmu yang dimiliki dan
beragama atau beramal sesuai yang diinginkan oleh Islam. Ini adalah salah satu
pembeda antara kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi yang mereka berilmu
tapi tidak beramal, dan orang-orang Nasrani yang mereka beramal tanpa ilmu.
Imam Bukhori dalam kitab Shahih Al Bukhori membuat judul bab “ilmu
sebelum berkata dan beramal”, dengan dalil Firman Allah Ta’ala:
ِ ِ ‫فَاعلَم أَنَّه ََل إِلَه إََِّل هللا و‬
َ ِ‫استَ ْغف ْر ل َذنْب‬
‫ك‬ ْ َُ َ ُ ْْ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan
mohon ampunlah atas dosamu”. (Q.S. Muhammad : 19), Maka Allah memulai
dengan ilmu (sebelum meyakini Laa ilaaha Illallah).5
Ayat di atas dijadikan dalil oleh Imam Bukhori tentang wajibnya berilmu
terlebih dahulu sebelum berkeyakinan, berkata dan beramal. Tidak mungkin bagi
seorang muslim untuk berkeyakinan, berkata dan beramal tanpa memiliki dasar
ilmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menekankan tentang wajibnya
belajar dalam sabdanya:

‫ضةٌ َعلَى ُك ِل ُم ْسلِم‬ ِ َ‫طَل‬


َ ْ‫ب اْلع ْل ِم فَ ِري‬
ُ
“Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim”, (H.R. Ibnu Majah).6
Selain mewajibkan mempelajari ilmu, Islam pun memberikan keutamaan-
keutamaan bagi orang yang mempelajari ilmu, bahkan mencela orang-orang yang
tidak mau mempelajari ilmu. Di antaranya adalah :

5
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Riyadh: Daar As-Salaam, 1997), 20
6
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Riyadh: Daar Al Hadarah, 2015), 39.

3
1. Keutamaan Belajar
Keutamaan orang yang mempelajari ilmu dan orang berilmu ini pun
memperkuat wajibnya seorang untuk mempelajari ilmu, di antaranya adalah
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

‫يَ ْرفَ ِع هللاُ الَّ ِذيْ َن َآمنُ ْوا ِمْن ُك ْم َوالَّ ِذيْ َن أُوتُوا الْعِْل َم َد َر َجات‬
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al Mujadalah : 11)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ َوَم ْن‬،ِ‫اه ِد ِِف َسبِ ِيل هللا‬


ِ ‫ َكا َن َكالْمج‬،‫ أَو لِي علِمه‬،‫من دخل مس ِج َد ََن ه َذا لِي ت علَّم خْيا‬
َُ ُ َ َ ُ ْ ًْ َ َ َ ََ َ ْ َ َََ َْ
ِ ‫ َكا َن َكالن‬،‫ك‬
ِ ِ‫َّاظ ِر إ‬ ِ‫دخلَه لِغَ ِْي ذَل‬
ُ‫س لَه‬
َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫َل‬
َ ِ َ ْ ُ ََ
“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini dengan tujuan mempelajari
kebaikan dan mengajarkannya, maka ia seperti orang yang berjihad di jalan
Allah. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka ia
seperti orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” (H.R.
Ahmad)7
Dalam ayat dan hadis tersebut, Allah dan rasul-Nya menjelaskan bahwa
orang yang memiliki ilmu diangkat beberapa derajat dari orang-orang selainnya,
serta orang yang mempelajari ilmu diperumpamakan seperti orang yang berjihad
di jalan Allah, di mana jihad merupakan suatu amalan yang agung dalam agama
Islam.

2. Celaan Bagi Orang Yang Tidak Belajar


Bahkan tidak hanya menyebutkan tentang keutamaan mempelajari Ilmu,
Allah dan rasul-Nya juga mencela orang-orang yang tidak mau mempelajari
ilmu. Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫قُل َهل يستَ ِوي الَّ ِذين ي ْعلَمو َن والَّ ِذين ََل ي ْعلَمو َن ۗ إََِّّنَا ي تَ َذ َّكر أُولُو ْاْلَلْب‬
‫اب‬َ ُ َ ُ َ َ َ ُ ََ َْ ْ ْ

7
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Jilid 14, (Beirut: Daar Ar Risalah, 1997), Cet. 1, 257.

4
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui ?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang
dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az Zumar : 9)
Syaikh Abdurrahman As Sa’diy mengatakan, “Orang yang berakal sehat dan
cerdas adalah orang yang mengutamakan sesuatu yang bernilai tinggi dari
sesuatu yang bernilai rendah, mengutamakan ilmu dari kebodohan dan
mengutamakan ketaatan dari kemaksiatan”.8

Menurut para Ulama, ilmu yang dijelaskan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis
tentang kewajiban memepelajarinya, keutamaannya dan celaan bagi orang yang
tidak mempelajarinya adalah ilmu syariat, bukan ilmu-ilmu selainnya. Imam
Abdullah bin Mubarak ketika ditanya tentang makna hadis “menuntut ilmu
hukumnya wajib bagi setiap muslim”, beliau berkata:
ِِ ِ ِ ِ َ‫إََِّّنَا طَل‬
ُ‫الر ُج ُل ِ ِْف َش ْيء م ْن أ ُُم ْوِر ديْنه فَيَ ْسأ َُل َعْنهُ َح ََّّت يَ ْعلَ َمه‬ َ ْ‫ب الْع ْل ِم فَ ِري‬
َّ ‫ضةٌ أَ ْن يَ َق َع‬ ُ
“Sesungguhnya mempelajari ilmu yang hukumnya wajib adalah ketika seseorang
tidak mengetahui tentang perkara agamanya, maka dia bertanya tentangnya sampai
mengetahuinya”.
Imam Al Baidhowiy juga berkata tentang hadis di atas:
ِ‫الصانِ ِع والْعِْل ِم بِوح َدانِيَّتِ ِه ونُب َّوة‬
َُ َْ
ِ ِِ
َ َّ ‫َع ْن تَ َعلُّمه َك َم ْع ِرفَة‬ ‫ِم َن اْلعِْل ِم ُهنَا َما ََل َمْن ُد ْو َحةَ لِْل َعْب ِد‬
‫املَر ُاد‬
ُ
ِ َّ ‫رسولِِه وَكي ِفيَّ ِة‬
ُ ‫الصالَة فَِإ َّن تَ َعلُّ َمهُ فَ ْر‬
‫ض َع ْي‬ ْ َ َُ
“Yang dimaksud dengan ilmu (yang wajib dipelajari) disini adalah ilmu yang
seorang tidak mungkin untuk tidak mempelajarinya, seperti mengetahui tentang
pencipta dan keesaan-Nya, kenabian rasul-Nya, tata cara shalat. Sesungguhnya
mempelajari itu adalah wajib ‘ain”.9
Hal ini pun sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
ketika menjelaskan Firman Allah dalam Q.S. Thaha : 114, beliau berkata, “Firman
Allah Ta’ala (yang artinya), ’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’
mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah
Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk

8
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2003), 687.
9
Raid bin Shabri bin Abi ‘Ulfah, Syuruh Sunan Ibnu Majah (Amman: Bait Al Afkar Ad Dauliyah, 2007), 155.

5
meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan
(kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Yaitu ilmu yang akan
menjadikan seorang muslim yang terbebani syari’at mengetahui kewajibannya
berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-
sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan
mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”.10
Walaupun ilmu yang dijelaskan keutamaannya dan wajib untuk
mempelajarinya adalah ilmu syariat, akan tetapi tidak dinafikan bahwa ilmu-ilmu
yang lainnya juga memiliki manfaat dan faidah bagi kaum muslimin jika dipelajari.
bahkan hukum mempelajarinya bisa sampai tingkat wajib jika manusia butuh kepada
ilmu tersebut tapi tidak ada yang mempelajarinya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin, “Jadi, ilmu syar’i adalah ilmu yang disanjung dan dipuji orang yang
memilikinya (dalam teks-teks Al Qur’an dan Hadis). Akan tetapi saya tidak
mengingkari bahwa ilmu-ilmu yang lain mengandung banyak faidah, yaitu faidah
bagaikan dua sisi pisau. Apabila dipergunakan untuk membantu dalam ketaatan
kepada Allah, menolong agama Allah dan bermanfaat bagi hamba-hamba Allah
yang lain, maka mempelajari ilmu tersebut merupakan suatu kebaikan dan
kemaslahatan. Bahkan mempelajarinya bisa sampai pada hukum wajib pada
beberapa keadaan.
Sungguh para ahli ilmu menyebutkan bahwa mempelajari manufaktur
hukumnya fardhu kifayah. Demikian itu karena manusia membutuhkan bejana-
bejana untuk memasak dan minum, serta perkara-perkara lain yang mereka
mengambil manfaat darinya. Apabila tidak ada orang yang mempelajari pembuatan-
pembuatan itu semua, maka hukum mempelajarinya fardhu kifayah”.11

c. Kewajiban Mengajar
Setelah seseorang melewati proses belajar dan mendapatkan ilmu. Maka akan
ada konsekuensi dari ilmu yang ia pelajari, yaitu mengamalkannya. Banyak sekali
perkataan ulama yang menganjurkan dan memotivasi para penuntut ilmu untuk
mengamalkan ilmunya, di antaranya :

10
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fath Al Baari, Jilid 1, (Beirut: Daar Al Ma’rifah, 1995), 141.
11
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Kitab Al-Ilmi (Qasim: Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin Al Khoiriyyah, 2003),14.

6
a. Fudhail bin ‘Iyadh
ِ ‫ََل ي ز ُال الْع ِاِل ج‬
ً‫اهالً ِِبَا َعلِ َم َح ََّّت يَ ْع َم َل بِِه فَِإ َذا َع ِم َل بِِه َكا َن َعالِما‬ َ ُ َ ََ
“Senantiasa seorang yang berilmu (alim) itu bodoh terhadap apa yang
diketahuinya hingga ia mengamalkannya, maka apabila ia telah
mengamalkannya, barulah ia menjadi seorang alim (yang sejati).”
Beliau juga berkata :

‫َّاس أَ ْن يَتَ َعلَّ ُم ْوا فَِإ َذا َعلِ ُم ْوا فَ َعلَْي ِه ْم الْ َع َم ُل‬
ِ ‫َعلَى الن‬
“Wajib atas manusia untuk belajar (menuntut ilmu), maka apabila ia telah
berilmu, wajib atasnya untuk mengamalkannya.
b. Abdullah bin Mu’taz

‫ِع ْل ٌم بِ َال َع َمل َك َش َجَرة بِ َال ثَ َمَرة‬


“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”12

Dan di antara bentuk mengamalkan ilmu adalah mengajarkan dan


mendakwahkannya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah menjelaskan kepada murid-
muridnya bagaimana cara mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu, maka beliau
berkata:
ِ‫اْله ِل عن نَ ْف ِس ِه وعن َغ ِْيه‬
ْ ََْ ْ َ ْ َْ ‫يَْن ِوي َرفْ َع‬
“Dia (penuntut ilmu) berniat untuk mengangkat (menghilangkan) kebodohan dari
dirinya dan orang lain”.13
Maka tidaklah seseorang dapat mengangkat kebodohan dari dirinya kecuali
dengan belajar, dan dari orang lain melainkan dengan mengajarkan apa yang telah ia
pelajari.
Ada beberapa hal yang mendorong kita untuk mengajarkan ilmu, di antaranya :

1. Allah mengajarkan ilmu kepada hamba-hamba-Nya

Allah Subhanahu Wa Ta’aala sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui telah


mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai macam ilmu. Terdapat banyak
12
Ahmad bin Ali Al-Khotib Al-Baghdadi, Iqtidha Al-Ilmi Al-Amal (Beirut: Al Maktab Al-Islami, 1984), 37.
13
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Kitab Al-Ilmi (Qasim: Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin Al Khoiriyyah, 2003), 29.

7
ayat di dalam Al Quran yang menunjukkan akan hal ini. Allah berfirman dalam
Surah Al-Alaq :

ِْ ‫َعلَّم‬
‫اْلنْ َسا َن َما َِلْ يَ ْعلَ ْم‬ َ
“Dialah (Allah) yang telah mengajari manusia apa yang belum ia ketahui” (Q.S.
Al-Alaq : 5)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat
tersebut “Bahwa sesungguhnya Allah Ta’aala mengeluarkan manusia dari perut
ibunya tidak mengetahui apa-apa, maka Allah jadikan untuknya pendengaran,
penglihatan, dan hati, kemudian Allah mudahkan untuknya sarana-sarana ilmu.
Maka Allah pun mengajarinya Al-Quran dan Hikmah.14
Di ayat yang lain Allah berfirman :

‫َْسَاءَ ُكلَّ َها‬ َ ‫َو َعلَّ َم‬


ْ ‫آد َم ْاْل‬
“Dan Dia (Allah) mengajarkan Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”
(Q.S. Al-Baqarah : 31)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat tersebut
“Bahwasanya Allah mengajarkan nama-nama segala sesuatu baik itu dzatnya,
sifatnya, begitu pula perilakunya.15
Di ayat yang lain Allah mengajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam apa-apa yang belum beliau ketahui. Allah berfirman :

‫يما‬ ِ َ ‫اَّللِ علَي‬ َ ‫ْمةَ َو َعلَّ َم‬ ِْ ‫ك الْ ِكتَاب و‬


ً ‫ك َعظ‬ ْ َ َّ ‫ض ُل‬ْ َ‫ك َما َِلْ تَ ُك ْن تَ ْعلَ ُم َوَكا َن ف‬ َ ‫اْلك‬ َ َ َ ‫اَّللُ َعلَْي‬
َّ ‫َوأَنْ َزَل‬
“Dan Allah telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab dan Hikmah, dan
mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Dan karunia Allah
kepadamu amatlah besar.” (Q.S. An-Nisa : 113)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Allah mengajarkan kepada
hamba-hamba-Nya berbagai ilmu pengetahuan, terutama kepada manusia yang
merupakan khalifah di muka bumi ini.
Maka sebagai satu pernyataan dari rasa syukur atas nikmat berupa anugerah
dan hidayah ilmu yang diberikan Allah Ta’aala, sudah sepatutnya nikmat ilmu
pengetahuan tersebut diajarkan kepada orang lain.16

14
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2003), 889.
15
Ismail bin Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Adziim (Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2000), Jilid 1, 63.

8
2. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang pengajar dan pendidik

Tidak diragukan lagi bahwasanya Rasulullah adalah manusia terbaik di dunia


ini. Beliau adalah sosok sempurna dalam segala aspek kehidupannya. Sisi
kehidupannya sarat dengan hikmah yang dapat digali dari berbagai dimensi
kehidupan.
Beliau bukan hanya seorang Nabi dan Rasul. Beliau juga seorang pemimpin
ulung, pengajar dan pendidik terhebat dalam sejarah umat manusia. Bagaimana
tidak, bangsa Arab yang tidak pernah tercatat dalam perjalanan sejarah dunia,
melalui bimbingan, asuhan, dan didikan beliau, tumbuh menjadi bangsa yang kuat,
besar, bermartabat bahkan mampu menaklukkan dua bangsa adikuasa waktu itu,
Romawi dan Persia. Maka sudah selayaknya sebagai umat Islam untuk meniti jalan
dan mengikuti apa yang telah beliau contohkan, khususnya dalam hal mendidik
dan mengajarkan umat akan ilmu dan kebaikan. Sebagai bentuk pengamalan dari
firman Allah Ta’aala :

ٌ‫ُس َوةٌ َح َسنَة‬ َِّ ‫ول‬ِ ‫لََق ْد َكا َن لَ ُكم ِِف رس‬
ْ ‫اَّلل أ‬ َُ ْ
“Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah suri tauladan bagi kalian.” (Q.S. Al-
Ahzab : 21)
Rasulullah sebagai seorang pengajar dan pendidik umatnya telah menjelaskan
kepada mereka apa yang turun dari Rabb mereka dengan penjelasan yang lengkap,
menyeluruh dalam setiap detail urusan mereka, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, hingga mengajari mereka apa yang mereka butuhkan berupa
makanan, minuman, pernikahan, pakaian, tempat tinggal dan apa saja yang mereka
butuhkan untuk beribadah kepada Allah Ta’aala, begitu pula dalam berinteraksi
dengan makhluk-Nya yang lain, beliau pun mengajari mereka bagaimana
bermuamalah dengan manusia yang lain dalam hal jual beli, dan lain sebagainya.17
Terdapat banyak sekali hadits-hadits Rasulullah yang menganjurkan kita untuk
mengajarkan ilmu, di antaranya:
Dari shahabat Abu Mas'ud Uqbah bin Amir Al-Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

16
Sitiatava Rizema Putra, Metode Pengajaran Rasulullah (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 20.
17
Sulaiman bin Abdillah, Mashaadir Ad-Diin Al-Islamiy (Riyadh: Daar Al-Ashomah, 2010), 16.

9
‫اعلِ ِه‬
ِ َ‫من د َّل علَى خْي فَلَه ِمثْل أَج ِر ف‬
ْ ُ ُ َْ َ َ ْ َ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan
pahala seperti pahala orang yang mengikutinya” (H.R. Muslim no. 1893)18
Dalam redaksi yang lain Rasulullah juga bersabda:

‫ُجوِرِه ْم‬ ِ َ ِ‫ ََل ي ْن ُقص ذَل‬،‫ َكا َن لَه ِمن ْاْلَج ِر ِمثْل أُجوِر من تَبِعه‬،‫من دعا إِ ََل ه ًدى‬
ُ ‫ك م ْن أ‬ ُ َ َُ ْ َ ُ ُ ْ َ ُ ُ ََ َْ
‫َشْي ئًا‬
“Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti
pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”
(H.R. Muslim no. 2674)19
Rasulullah juga bersabda:

ً‫بَلِغُوا َع ِّن َولَ ْو آيَة‬


“Sampaikanlah dariku walau satu ayat” (H.R. Bukhari no. 3461)20
Maka dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah sangat
memotivasi dan mendorong umatnya untuk mengajarkan dan menebarkan
kebaikan kepada sesama. Hal itu terlihat dari besarnya pahala dan ganjaran yang
dijanjikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bagi siapa saja yang mau
mengamalkannya.
Tidak hanya memotivasi, beliau juga memberikan ancaman yang mengerikan
bagi siapa yang tidak mau mengajarkan ilmu bahkan menyembunyikannya.
Rasulullah bersabda:

‫ُْلِ َم يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة بِلِ َجام ِم ْن ََنر‬


ْ ‫َم ْن ُسئِ َل َع ْن ِع ْلم فَ َكتَ َمهُ أ‬
“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya,
maka kelak di hari kiamat, ia akan dibungkam mulutnya dengan api neraka.” (H.R.
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albaniy)21

18
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim (Riyadh: Daar As-Salaam), 848.
19
Ibid., 1165.
20
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih, 712.
21
Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy, Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghir wa Ziyaadatuhu (Beirut: Al-Maktab Al-
Islamiy, 1988), 1077.

10
3. Para Salaf Ash-Shalih adalah generasi pendidik dan pengajar

Para Salaf Ash-Shalih dari kalangan Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ At-Tabi’in,
serta para ulama setelah mereka adalah generasi pendidik dan pengajar. Mereka
meneruskan tongkat estafet dari perjuangan dan dakwah Rasulullah untuk
membimbing umat manusia kepada ilmu dan amal serta kebaikan di dunia dan di
akhirat. Mereka adalah pewaris para Nabi sebagaimana yang digambarkan oleh
Rasulullah dalam sabda beliau:

‫ فَ َم ْن أَ َخ َذ بِِه‬،‫ إِ َّن اْلَنْبِيَاءَ َِلْ يُ َوِرثُوا ِدينَ ًارا َوََل ِد ْرََهًا إََِّّنَا َوَّرثُوا العِْل َم‬،‫إِ َّن العُلَ َماءَ َوَرثَةُ اْلَنْبِيَ ِاء‬

‫َخ َذ ِِبَظ َوافِر‬


َ‫أ‬
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak
mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Maka barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang banyak.”
(H.R. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy)22
Generasi shahabat merupakan buah dan hasil didikan Rasulullah yang nantinya
akan mendidik dan mengajar generasi setelahnya yaitu Tabi’in. Berikutnya Tabi’
At-Tabi’in merupakan bukti nyata keberhasilan pendidikan dan pengajaran
generasi sebelumnya yaitu Tabi’in. Dan begitu pula seterusnya hingga kepada para
ulama yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Semua itu adalah bukti yang
menunjukkan bahwa para Salaf Ash-Shalih merupakan generasi pendidik dan
pengajar, pewaris para Nabi.
Berikut ini adalah beberapa gambaran pendidikan dan pengajaran yang
dilakukan oleh para Salaf Ash-Shalih:
a. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (Generasi Shahabat)
Pada masa Khulafa Ar-Rasyidin, aktivitas keilmuan dan pembelajaran
mengalami peningkatan yang pesat di Madinah Al-Munawwarah, sebagai buah
dari penaklukan dan pembebasan berbagai daerah oleh kaum muslimin.

22
Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy, Shahih Sunan At-Tirmidzi (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2000), Jilid
3, 71.

11
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, Masjid Nabawi menjadi menara ilmu,
dan madrasah yang mengajarkan kaum muslimin berbagai ilmu yang
bermanfaat. Beliau radhiyallahu ‘anhu sangat bersemangat dalam mengajari
kaum muslimin terkait urusan-urusan agama mereka, bahkan kepada orang-
orang yang berada jauh dengan beliau. Semua itu beliau lakukan, agar mereka
berilmu dan faham akan agama.
Suatu ketika, beliau radhiyallahu ‘anhu menulis surat untuk para
pemimpin pasukan di Syam, memperingatkan mereka akan riba. Beliau berkata:

‫ َوََل الْ َوَر َق َِبلْ َوَرِق إََِّل‬،‫ب إََِّل َوْزَنً بَِوْزن‬


ِ ‫الذ َهب َِب َّلذ َه‬
َ َ ‫إِنَّ ُك ْم َهبَطْتُ ْم أ َْر‬
َّ ‫ فَ َال تَتَ بَايَعُوا‬،‫ض ِرََب‬

‫ َوََل الطَّ َع َام َِبلطَّ َع ِام إََِّل ِبِِكْيَال‬،‫َوْزَنً بَِوْزن‬


“Sesungguhnya kalian telah datang di negeri riba. Maka janganlah kalian
bertransaksi atau tukar menukar emas dengan emas kecuali sama timbangannya,
tidak pula mata uang dengan mata uang kecuali sama nilainya, tidak pula
makanan pokok dengan makanan pokok melainkan harus sama takarannya.”
Pengajaran beliau ini dibangun di atas Al-Quran dan Sunnah Rasulullah,
sebagai bentuk perhatian beliau kepada kaum muslimin dalam melanjutkan
pendidikan dan pengajaran yang dimulai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dan sebagai bentuk pengamalan akan perintah Allah ‘Azza wa
Jalla.23
b. Umar bin Abdul Aziz (Generasi Tabi’in)
Beliau adalah seorang imam, seorang ulama, mujtahid, ahli ibadah, dan
seorang pemimpin kaum muslimin sejati. Sosok khalifah yang terkenal dengan
kezuhudannya, yang paling berpengaruh dan bijak dari keturunan Bani
Umayyah.24
Abu Said Al-Faryabi berkata, “Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan mengutus kepada umat manusia
seorang yang mengajarkan tentang ajaran agama-Nya setiap seratus tahun sekali
dan menepis bahwa Rasulullah adalah berbohong. Kemudian kami melihat

23
Naji Muhaamad Hasan, At-Ta’lim fi Al-Madinah Al-Munawarah (1993), 143-144.
24
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabiy, Siyar A’lam An-Nubala (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996), 114.

12
realitas yang ada dan ternyata dia adalah Umar bin Abdul Aziz pada seratus
tahun pertama dan Imam Syafii untuk seratus tahun kedua.”25
Ini menunjukkan bahwa beliau selain menjadi seorang khalifah, beliau
juga seorang pendidik dan pengajar kebaikan. Hal ini juga dapat kita lihat dari
banyaknya murid yang pernah belajar dan menuntut ilmu dari beliau.
Imam Adz-Dzahabii berkata: “Di antara para perawi yang meriwayatkan
hadits darinya antara lain Abu Salamah, Abu Bakar bin Hazm, Raja’ bin
Haiwah, Ibnu Al-Munkadir, Az-Zuhri, ’Anbasah bin Said, dan masih banyak
lagi yang lainnya”26
Di antara bentuk kesungguhan dan perhatian beliau terhadap pendidikan
dan pengajaran kaum muslimin, beliau pernah menulis surat kepada para
pemimpin daerah, mengingatkan mereka tentang berbagai macam hal di
antaranya:

‫ َولِيَ تَ َحدَّثُ ْوا بِِه ِِف‬،‫ك‬ ِ ِ ِ


َ ‫ فَ ْليَ ْن ُش ُرْوا َما َعلَّ َم ُه ُم هللاُ ِم ْن َذل‬،‫َوُم ْر أ َْه َل الْعِْل ِم َوالْف ْق ِه ِم ْن ُجْند َك‬

‫اج ِد ِه ْم‬
ِ ‫مس‬
ََ
“Dan perintahkanlah orang-orang yang berilmu di daerahmu untuk
menyebarkan ilmu yang telah diberikan Allah kepada mereka dan
mengajarkannya di masjid-masjid mereka.”27
Maka sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk mengikuti para Salaf
Ash-Shalih khususnya dalam semangat mereka untuk mendidik umat,
mengajarkan ilmu, dan menyebarkan kebaikan. Karena mereka adalah orang-
orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla dan telah mendapatkan
rekomendasi dari-Nya untuk kita ikuti jejak kehidupan mereka. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

َّ ‫وه ْم ِبِِ ْح َسان َر ِض َي‬ ِ َّ ِ ْ‫اج ِرين و ْاْلَن‬


ِ ِ
‫اَّللُ َعْن ُه ْم‬ ُ ُ‫ين اتَّبَ ع‬ َ َ َ ‫السابِ ُقو َن ْاْل ََّولُو َن م َن الْ ُم َه‬
َ ‫صار َوالذ‬ َّ ‫َو‬

‫ك الْ َف ْوُز الْ َع ِظ ُيم‬ ِ ِ ‫ورضوا عْنه وأَع َّد ََلم جنَّات ََت ِري ََتت ها ْاْل َْْنَار خالِ ِد‬
َ ‫ين ف َيها أَبَ ًدا َذل‬
َ َ ُ َ َْ ْ َ ُْ َ َ ُ َ ُ َ َ
)100 : ‫(التوبة‬
25
Ahmad Farid, Min A’lam As-Salaf (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 1998), 89.
26
Ibid., 98.
27
Abdullah bin Abdul Hakam, Sirah Umar bin Abdul Aziz (Kairo: Maktabah Wahbah, 1954), 68.

13
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. At
Taubah:100).

C. Penutup
Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam memiliki
perhatian lebih terhadap kegiatan belajar dan mengajar. Hal ini sebagaimana dijelaskan
di dalam ayat-ayat Al Qur’an dan redaksi-redaksi hadis yang banyak membahas tentang
ilmu, keutamaan mempelajarinya dan mengajarkannya.
Akan tetapi wajibnya belajar yang dimaksudkan pada teks-teks Al Qur’an dan
hadis adalah dalam konteks mempelajari ilmu syar’i, yang dengannya seseorang bisa
beragama dengan baik dan benar. Adapun mempelajari ilmu selain itu, maka hukumnya
berbeda-beda tergantung pada urgensi dan tujuan dipelajarinya ilmu tersebut.
Sedangkan wajibnya mengajarkan ilmu, tidaklah dibatasi dalam konteks
mengajarkan ilmu agama saja. Hal ini sebagaimana dipahami dari kisah Nabi Adam
‘alaihissalam, ketika Allah mengajarkan kepadanya nama-nama segala sesuatu, sifat-
sifatnya, dll. Walaupun demikian, menyampaikan ilmu syar’i tetap lebih ditekankan dan
memiliki keutamaan tersendiri di dalam agama Islam daripada ilmu-ilmu yang lainnya.

D. Daftar Pustaka

Al-Albaniy,Muhammad Nashiruddin.Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghir wa Ziyaadatuhu.


Beirut: Al-Maktab Al-Islamiy, 1988.
Al-Albaniy,Muhammad Nashiruddin.Shahih Sunan At-Tirmidzi. Riyadh: Maktabah Al-
Ma’arif, 2000.
Al Asqalani, Ibnu Hajar.Fath Al Baari. Jilid 1. Beirut: Daar Al Ma’rifah, 1995.
Al-Baghdadi, Ahmad bin Ali Al-Khotib. Iqtidha Al-Ilmi Al-Amal. Beirut: Al Maktab
Al-Islami, 1984.
Al-Bukhari,Muhammad bin Ismail.Shahih Al-Bukhari. Riyadh: Daar As-Salaam, 1997.
Adz-Dzahabiy,Muhammad bin Ahmad.Siyar A’lam An-Nubala. Beirut: Muassasah Ar-
Risalah, 1996.
Al-Utsaimin,Muhammad bin Shalih. Kitab Al-Ilmi. Qasim: Muassasah Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Al Khoiriyyah, 2003.

14
As-Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir.Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman. Beirut: Daar Ibnu
Hazm, 2003.
Azhar, Lalu Muhammad.Proses Belajar Mengajar Pola C.B.S.A. Surabaya: Usaha
Nasional, 1993.
Farid, Ahmad.Min A’lam As-Salaf. Iskandariyah: Daar Al-Iman, 1998.
Fathurrohman, Pupuh, dan M. Sobry Sutikno.Strategi Belajar Mengajar Melalui
Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Revika Aditama, 2010.
Hasan,Naji Muhaamad.At-Ta’lim fi Al-Madinah Al-Munawarah, 1993.
Ibn Abdillah,Sulaiman.Mashaadir Ad-Diin Al-Islamiy. Riyadh: Daar Al-Ashomah,
2010.
Ibn Abdul Hakam,Abdullah.Sirah Umar bin Abdul Aziz. Kairo: Maktabah Wahbah,
1954.
Ibn Abi ‘Ulfah, Raid bin Shabri.Syuruh Sunan Ibnu Majah. Amman: Bait Al Afkar Ad
Dauliyah, 2007.
Ibn Al-Hajjaj,Muslim,Shahih Muslim. Riyadh: Daar As-Salaam.
Ibn Hanbal, Ahmad.Musnad Imam Ahmad. Jilid 14. Beirut: Daar Ar Risalah, 1997.
Ibn Katsir,Ismail.Tafsir Al-Quran Al-Adziim. Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah,
2000.
Majah,Ibnu.Sunan Ibnu Majah. Riyadh: Daar Al Hadarah, 2015.
Putra,Sitiatava Rizema.Metode Pengajaran Rasulullah.Yogyakarta: Diva Press, 2016.

15

Anda mungkin juga menyukai