Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KONSEP ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam


Dosen Pembimbing:
Rihlah Nur Aulia, M. A.

Disusun Oleh:
1. Wulan Ayu Novitasari 1404617015
2. Hafis Maulana Ihsan 1404617024
3. Aulia Rizqy Ananda 1404617042
4. Siti Aisah Oktaviani 1404617048
5. Dianada Puspita 1404617061
6. Almira Raihan 1404617074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020
A. Definisi Ontologi Pendidikan Islam

Ontologi sering diidentikan dengan metafisika (Kattsoff, 2004: 72), yang juga disebut dengan
proto-filsafat atau filsafat pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah hakikat
sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala
sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada di bumi dengan tenaga-tenaga yang di
langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga (Jalaluddin, 2010: 126-127). Tugas
ontologi sebagaimana menurut Aristoteles adalah menyelidiki ada sebagai adanya atribut–atribut
yang terdapat padanya atas dasar hakikatnya sendiri. Pada zaman modern, persoalan – persoalan
ontologi ini diselidiki antara lain oleh Martin Heidegger (1889–1976) dan Paul Tillich (1886-
1965), dengan pendekatan yang tentu saja berbeda dengan Aristoteles. Salah satu hasil dari
penyelidikan mereka adalah ada tidak menunjuk sesuatu, melainkan merupakan suatu sifat yang
dimiliki oleh segala sesuatu yang ada, dan atas dasar itu maka mereka ada(Ahdar, I: (2), 2014:
134). Ontologi membicarakan asas-asas rasional dari yang-ada (Kattsoff, 2004: 73). Sehingga
ontologi bisa dikatakan sebagai cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang suatu yang ada dan
sifatnya, serta digali secara mendalam hingga benar-benar mendapat substansi dari sesuatu yang
ada tersebut.

Ontologi pendidikan ialah berbicara tentang hakikat atau substansi dari pendidikan terhadap
kehidupan manusia. Sebelum melangkah pada ontologi pendidikan Islam, baiknya kita
menyebrang terlebih dahulu ke dalam ontologi pendidikan Barat atau umum. Pendidikan dalam
kacamata umum ialah usaha manusia dalam membimbing kepribadiannya sesuai dengan nilai-
nilai yang ada di dalam masyarakatnya (Ahdar, 2014: 130). Sehingga penekanan pendidikan
dalam kacamata umum ialah pada bimbingan pribadi manusia untuk beralih dari yang tidak tahu
menjadi tahu dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.

Sedangkan dalam perspektif Islam atau ontologi pendidikan Islam, pendidikan tidaklah lepas
dari tiga aspek hubungan manusia, yaitu hubungan manusia terhadap Tuhan, hubungan manusia
terhadap sesamanya dan hubungan manusia terhadap alam. Pendidikan dalam Islam bermula dari
kependidikan Rabb atau Tuhan kepada manusia yang mengemban amanah sebagai wakilNya di
muka bumi. Tuhan mendidik manusia dengan memberikan segala potensi yang ada dan
memberikan pedoman berupa Kitab Suci agar manusia mampu mengemban amanahnya. Proses
penciptaan dan bimbingan inilah yang dikatakan kependidikan (rububiyah) Allah terhadap
manusia. Selanjutnya sebagai wakilNya di muka bumi, manusia harus melaksanakan segala
perintahNya dan saling membimbing satu sama lain sebagaimana Allah membimbingnya untuk
tujuan yang luhur yaitu mengabdi dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Mappasiara, VI : (2),
2017: 277-278). Sehingga bisa diartikan bahwa makna pendidikan dalam Islam ialah membina
manusia satu sama lain sesuai ajaran Tuhan untuk mencapai kebermaknaan hidup yang tinggi
yaitu mengabdi dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

B. Hubungan Ontologi dengan Filsafat

Telah kita ketahui bersama bahwasanya ontologi ialah suatu kajian keilmuan yang berpusat
pada pembahasan tentang hakikat. Ketika ontologi dikaitkan dengan filsafat pendidikan, maka
akan munculah suatu hubungan mengenai ontologi filsafat pendidikan.

Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna bahwa adanya
pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal penting
dalam penyelengaraan pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat
membawa anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani.
Dengan mengetahui makna pendidikan maka makna ontologi dalam pendidikan itu sendiri
merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang
bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa
yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang
mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati
posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah teletak undang-undang dasarnya
dunia ilmu.

Di atas telah disebutkan bahwa Pendidikan ditinjau dari sisi ontologi berarti persoalan
tentang hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada
dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak
mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, pendidikan secara
khusus difungsikan untuk menumbuh kembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada
dalam diri manusia. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti
pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada.

C. Ontologi Pendidikan menurut Aliran-aliran Filsafat Pendidikan


1. Ontologi Pendidikan menurut Progresivisme
Progresivisme ialah sebuah pandangan yang selalu mengarah pada kemajuan, terutama
dalam pendidikan. Aliran Progresivisme didirikan pada tahun 1918, muncul dan berkembang
pada permulaan abad XX di Amerika Serikat. Aliran Progresivisme lahir sebagai pembaharu
dalam dunia filsafat pendidikan terutama sebagai lawan terhadap kebijakan-kebijakan
konvensional yang diwarisi dari abad XIX. Pencetus Aliran filsafat Progresivisme yang
populer adalah Jhon Dewey. Aliran filsafat Progresivisme bermuara pada aliran filsafat
pragmativisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan Jhon dewey (1859-
1952) yang menitik beratkan pada manfaat praktis. Dalam banyak hal, Progresivisme identik
dengan pragmativisme. Filsafat Progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide filsafat
pragmativisme yang telah memberikan konsep-konsep dasar dengan asas yang utama, bahwa
manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup, manusia harus pragmatis dalam
memandang kehidupan (Ali, 2001: 45).
Bagi aliran ini, pendidikan haruslah berkemajuan (progress), agar manusia dapat
mengalami kemajuan, sehingga manusia akan bertindak dengan intelegensinya sesuai dengan
tuntutan dan lingkungan (Barnadib, 2000: 75). Jadi, bagi aliran progresivisme hakikat
pendidikan ialah yang mampu membina manusia menuju arah kemajuan sesuai dengan
tuntutan lingkungannya.

2. Ontologi Pendidikan menurut Perennialisme


Pengertian Perennialisme

Secara etimologis, perenialisme diambil dari kata perennial dengan mendapat tambahan -
isme, perennial berasal dari bahasa Latin yaitu perennis, yang kemudian diadopsi ke dalam
bahasa Inggris, berarti kekal, selama-lamanya atau abadi. Sedangkan tambahan –isme di
belakang mengandung pengertian aliran atau paham. Jadi perenial-isme bisa didefinisikan
sebagai aliran atau paham kekekalan.
Istilah philosophia perennis (filsafat keabadian) barangkali digunakan untuk pertama
kalinya di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni
Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut dimasyhurkan oleh Leibniz
dalam sepucuk surat yang ditulis pada 1715 yang menegaskan pencarian jejak-jejak
kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap,
sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perenial.

Istilah perenial biasanya muncul dalam wacana filsafat agama dimana agenda yang
dibicarakan adalah pertama, tentang Tuhan, wujud yang absolut, sumber dari segala sumber.
Kedua, membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga,
berusaha menelusuri akar-akar religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol
serta pengalaman keberagamaan.

Ada perbedaan pandangan diantara para tokoh berkenaan dengan awal kemunculan
filsafat perenial. Satu pendapat mengatakan bahwa istilah filsafat perennial berasal dari
Leibniz, karena istilah itu digunakan dalam surat untuk temannya Remundo tertanggal 26
Agustus 1714, meskipun demikian Leibniz tidak pernah menerapkan istilah tersebut sebagai
nama terhadap sistem filsafat siapapun termasuk sistem filsafatnya sendiri.

Namun jika dilihat dari segi makna, sebenarnya jauh sebelum Steuchus atau Leibniz,
agama Hindu telah membicarakannya dalam istilah yang disebut Sanatana Darma. Demikian
juga di kalangan kaum Muslim, mereka telah mengenalnya lewat karya Ibnu Miskawaih
(932-1030), al-Hikmah al-Khalidah yang telah begitu panjang lebar membicarakan filsafat
perenial. Dalam buku itu, Miskawaih banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan
tulisan-tulisan orang-orang suci dan para filosof, termasuk di dalamnya mereka yang berasal
dari Persia Kuno, India, dan Romawi.

Meminjam istilah Sayyed Hussein Nasr, filsafat perennial juga bisa disebut sebagi tradisi
dalam pengertian al-din, al-sunnah dan al-silsilah. Al-din dimaksud adalah sebagai agama
yang meliputi semua aspek dan percabangannya. Disebut al-sunnah karena perennial
mendasarkan segala sesuatu atas model-model sacral yang sudah menjadi kebiasan turun
temurun di kalangan masyarakat tradisional. Disebut al-silsilah karena perennial juga
merupakan rantai yang mengaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan
pemikiran di dunia tradisional kepada sumber segala sesuatu, seperti terlihat secara jelas
dalam dunia tasawuf.

Konsep Pemikiran Perennialisme

Filsafat Perenial sebagai suatu wacana intelektual, yang secara populer muncul beberapa
dekade ini, sepenuhnya bukanlah istilah yang baru. Filsafat Perennial cenderung dipengaruhi
oleh nuansa spiritual yang kental. Hal ini disebabkan oleh tema yang diusungnya, yaitu
“hikmah keabadian” yang hanya bermakna dan mempunyai kekuatan ketika ia dibicarakan
oleh agama. Makanya tidak mengherankan baik di barat maupun Islam, bahwa lahirnya
filsafat perennial adalah hasil telaah kritis para filosof yang sufi dan sufi yang filosof pada
zamannya.

Kaum perenialis amat menekankan tradisi kesejarahan. Secara historis, perenialisme lahir
sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang
situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama
dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai
atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.

3. Ontologi Pendidikan menurut Rekonstruksionisme

Pengertian Rekonstruksionisme

Secara harfiah rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris, yang asal kata dasarnya
adalah construct (membangun), construction (pembangunan), reconstruct; menyusun
kembali. Aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata
susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Kehadirannya merupakan kritik dan ketidakpuasan serta kekecewaan terhadap aliran
progresivisme yang lebih cenderung meninggalkan nilai-nilai, moral, disiplin mental, dan
budaya.
Imam Barnadib menerjemahkan rekonstruksionisme sebagai filsafat pendidikan yang
menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya secara rekonstruktif
menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat
adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengikut aliran rekonstruksionisme,
lanjutnya pada umumnya menganggap bahwa progresivisme berjalan cukup jauh dalam
mengupaya perbaikan masyarakat. Mereka menganggap bahwa progresivisme hanya
memperhatikan problematika masyarakat pada saat itu saja (sedang dihadapi), padahal yang
diperlukan di abad kemajuan teknologi yang bergerak demikian cepat ini adalah upaya
rekonstruksi masyarakat penciptaan tatanan dunia baru secara menyeluruh.

Prinsip Rekonstruksionisme

Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis, jika praktek-praktek yang ada sekarang
tidak dibalik (diubah secara mendasar), maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami
kehancuran. Menurut kalangan rekonstruksionisme modern, hilangnya nilai-nilai
kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya „kedunguan‟ fungsional penduduk
dunia. Singkatnya, dunia sedang menghadapi persoalan-persoalan social, militer dan
ekonomi pada skala yang tak terbayangkan.

Teori-Teori Pendidikan Rekonstruksionisme

Fungsi Sekolah

Aliran rekonstruksionisme menghendaki sekolah memfungsikan diri sebagai lembaga


tempat membina kembali manusia agar hidup sesuai dengan norma-norma yang benar, demi
generasi sekarang dan yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan
umat manusia.

Metode Pendidikan

Secara etimologi metode dalam bahasa Arab, dikenal dengan istilah thariqah yang berarti
langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila
dihubungkan dengan pendidikan, maka metode itu harus diwujudkan dalam proses
pendidikan. Metode kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat
ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu
mereka mengembangkan alternatif-altenatif bagi kebijaksanaan kontroversial.

Kurikulum

Berisi mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa


depan. Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, sains, politik,
antropologi, sosiologi, dan psikologi yang dihadapi umat manusia, yang termasuk di
dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri; dan program-program
perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif

Guru

Pandangan rekonstruksionisme terhadap peranan guru dalam pendidikan tidak jauh beda
dengan pendangan progresivisme. Menurut rekonstruksionisme, guru harus menjadikan
muridnya siap menghadapi persoalan-persoalan dalam masyarakat, membantu mereka
mengidentifikasi permasalahan, lalu meyakinkan bahwa mereka sanggup memberikan
solusinya, maka tugas guru adalah harus tampil dalam membantu siswa menghadapi
persoalan dan perubahan.

Tujuan Pendidikan

Aliran ini berkaitan dengan tujuan pendidikan adalah menghendaki pendidikan sebagai
wadah meningkatkan kesadaran siswa mengenai probematika social, politik dan ekonomi
yang dihadapi oleh manusia secara global, dan untuk membina mereka, membekali mereka
dengan kemampuan-kemampuan dasar agar bisa menyelesaikan persoalan-persoalan
tersebut.

Tokoh Aliran Rekonstruksionisme

Rekonstrusionisme di pelopori oleh George Count dan Harold Rugg Caroline Pratt pada
tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru, masyrakat yang pantas dan adil. George
Counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya Dare the school build a new
sosial order mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah
menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan (rasialisme).
Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar
merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu
dan rekonstruksi sosial dari pada pendidikan hanya mempertahankan status dengan
ketidaksamaan dan masalah-masalah yang terpendam di dalamnya.

4. Ontologi Pendidikan menurut Essensialisme

Pengertian Essensialisme

Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa inggris yakni essential yang berarti inti
atau pokok dari sesuatu, dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Aliran Filsafat
Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada
kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu telah banyak berbuat
kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang dimaksud dengan kebudayaan lama adalah,
kebudayaan yang telah ada semenjak peradaban manusia yang pertama-tama dahulu. Akan
tetapi yang dijadikan pedoman adalah peradaban semenjak zaman Renaissance, yaitu yang
tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Pada zaman
Renaissance telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali
ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan
Romawi purbakala.

Dalam berbicara pendidikan, aliran Esensialisme memandang bahwa pendidikan yang


bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak
menentu serta kurang stabil. Nilai-nilai yang dapat memenuhinya adalah yang berasal dari
kebudayaan dan filsafat yang memiliki hubungan empat abad sebelumnya. Sejak zaman
Renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialisme awal.
Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke-19.

Sejarah lahir dan Ciri Aliran Esensialisme

Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua
aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan
tidak pula melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing. Dengan demikian
zaman Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut
esensialisme, karena itu timbul pada zaman tersebut, esensialisme adalah konsep meletakkan
sebagian ciri alam pikir modern.

Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak


dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh
mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Realisme modern,
yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai
alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, memiliki
pandangan-pandangan yang bersifat spiritual.

Sedangkan, ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley
adalah sebagai berikut :

 Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
 Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa
balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
 Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
 Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.

Tokoh-Tokoh Aliran Esensialisme

Adapun para tokoh yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsafat paham
(aliran) esensialisme, yaitu : Plato, Aristoteles, dan Demokritos. Plato dianggap sebagai
bapak obyektive idealisme dan juga sebagai peletak dasar teori modern dalam esensialisme.
Sedangkan Aristoteles dan Demokritos, keduanya dianggap sebagai bapak obyektive
realisme. Kedua ide tersebut (idealisme dan realisme) yang menjadi latar belakang thesis
essensialisme.
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaissance yang pertama
adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670), yaitu segala sesuatu diajarkan melalui indera,
karena indera adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich Herbart
(1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebajikan Tuhan. Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835-1909)
yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan kesatuan spiritual.

D. Pendidikan Islam dalam Tinjauan Ontologis

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, ontologi merupakan salah satu ilmu filsafat yang
membahas mengenai hakikat dari segala sesuatu. Ia membahas tentang segala yang bersifat
universal dan mencari inti dari setiap yang kenyataan yang ada. Dalam Pendidikan Islam, kajian
ontologi adalah kajian yang tidak dapat dipisahkan dari Sang Pencipta-Nya atau dengan kata lain
dapat disimpulkan bahwa hakikat pendidikan harus mengacu pada pemikiran yang bersumber
dari wahyu. Jika merujuk pada wahyu, pendidikan Islam terdiri dari 3 term, yaitu ta‟lim,
tarbiyah, dan ta‟dib. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, istilah tarbiyah memiliki
pengertian pendidikan yang sangat luas sedangkan ta‟dib memiliki pengertian pendidikan yang
lebih sempit. Berbeda dengan Abdur Rahman Assegaf, menurutnya ta‟lim lebih cenderung pada
pola pengajaran yang lebih menekankan pada proses transfer ilmu, sedangkan tarbiyah dan ta‟dib
adalah aktivitas pendidikan yang menekankan pada interaksi edukatif antara guru dan murid.

Ketiga konsep pendidikan Islam tersebut memiliki fokusnya masing – masing. Ta‟lim
memfokuskan peserta didik pada aspek pengetahuan atau kognitif. Sedangkan ta‟dib dan
tarbiyah memfokuskan peserta didik pada aspek afektif dan psikomotorik. Dengan adanya
ketiga aspek tersebutlah peserta didik memiliki aspek pendidikan yang lengkap yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik.

Kajian ontologi dalam pendidikan Islam juga dapat dilihat dalam pembahasan mengenai
persoalan-persoalan pendidikan yang mengacu pada teks ilahiah, yaitu ;

1. Rumusan tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil termasuk menjadi
khalifah. Konsep tujuan ini merupakan salah satu konsekuensi manusia sebagai hamba-Nya
untuk menghambakan diri kepada Allah dan menjadi khalifah sesuai dengan yang tertulis dalam
Al-Qur‟an. Implikasi dari fenomena di atas adalah bahwa dalam kegiatan pendidikan Islam tidak
hanya menekankan pada pembangunan moral semata, tetapi juga perlu melihat aspek-aspek lain
yang cukup dominan untuk mengarahkan peserta didik dalam menjalani aktivitas sosial.
Pengangkatannya menjadi khalifah di bumi ini, mengandung pengertian bahwa pada
hakikatnya, manusia mendapatkan tugas khusus dari Allah sebagai “pengganti, wakil atau kuasa-
Nya”. Status manusia sebagai khalifah juga mengandung peran sebagai pengemban atau
pelaksana fungsi penciptaan dan rububiyah-Nya
2. Analisa ontologis terhadap pendidikan Islam juga terlihat pada lahirnya teori fitrah dalam
pendidikan. Fitrah berarti potensi yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman, dan
tauhid serta perilaku suci.
Konsep fitrah dalam Islam berbeda dengan konsep teori tabula rasa yang dikemukakan
oleh Jhon Locke, dalam konsep teori tabula rasa, manusia bagaikan kertas putih bersih yang
terbebas dari coretan dan hadirlah lingkungan sebagai yang mengisi coretan dalam kertas putih
tersebut. Artinya, manusia terlahir dalam keadaan pasif. Sebaliknya, fitrah memandang manusia
lebih dari ibarat kertas putih dan bersih, karena dalam diri manusia terdapat potensi yang terbawa
sejak lahir, yakni daya untuk menerima agama atau tauhid. Perbedaan antara konsep fitrah dan
konsep teori tabula rasa terlihat pada pandangan mereka dalam mendefinisikan manusia.
Menurut teori tabula rasa, dalam kelahirannya manusia memiliki potensi pasif, sedangkan
menurut fitrah, manusia dalam kelahirannya memiliki potensi aktif yang selanjutnya dipengaruhi
oleh lingkungan tetapi pada hal ini lingkungas hanya dianggap sebagai salah satu faktor yang
bisa menjadi bertambah atau berkurangnya fitrah tersebut.
Dalam implementasi pendidikan, konsep fitrah tidak hanya mengandung dimensi
spiritual-religius untuk bertauhid. Fitrah juga memiliki aspek fisik-materiil dan sosial. Hal ini
sesuai dengan hadist yang berbunyi :
‫ع ْه أ َ ِتي ه َُري َْرة َ ِر َوا َية‬
َ ‫ة‬ َ ‫سعِي ِذ ت ِْه ْال ُم‬
ِ َّ‫سي‬ َ ‫ي َحذَّثَىَا‬
َ ‫ع ْه‬ ُّ ‫س ْف َيا ُن قَا َل‬
ُّ ‫الز ْه ِر‬ ُ ‫ي َحذَّثَىَا‬ َ ‫َحذَّثَىَا‬
ٌّ ‫ع ِل‬

‫ب‬
ِ ‫ار‬
ِ ‫ش‬َّ ‫ص ال‬
ُّ َ‫َار َوق‬
ِ ‫ظف‬ْ َ ‫اْلتْطِ َوت َ ْقلِي ُم ْاْل‬
ِْ ‫ف‬ُ ْ‫ِط َرةِ ْال ِخت َانُ َو ِاِل ْستِ ْحذَاد ُ َووَت‬
ْ ‫س م ِْه ْالف‬
ٌ ‫س أ َ ْو َخ ْم‬ ْ ‫ْالف‬
ٌ ‫ِط َرة ُ َخ ْم‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Ali telah menceritakan kepada kami Sufyan, Az
Zuhri mengatakan; telah menceritakan kepada kami dari Sa'id bin Musayyab dari Abu
Hurairah secara periwayatan, fitrah itu ada lima, atau lima dari sunnah-sunnah fitrah, yaitu;
berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur
kumis.” (HR. Bukhari : 5439)

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa fitrah juga mencakup pada aspek fisik-materiil
manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai fitrah mencakup berbagai dimensi yaitu
spiritual-religius dan fisik-materiil. Pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani merupakan dua
aspek yang sangat penting untuk dimiliki oleh manusia.

Implementasi lain mengenai konsep fitrah juga dapat dilihat pada dimensi sosial yaitu
pada ajaran Islam yang mewajibkan umatnya untuk memberikan sebagian rezekinya pada orang
miskin dan mustahiq lainnya, yang kenal dengan istilah zakat fitrah. Dengan adanya konsep
fitrah dalam hal ini, Islam telah mengajarkan umatnya untuk memiliki rasa kepekaan dan
solidaritas sosial yang diwujudkan dengan memberi sebagian rezekinya kepada orang lain.
Karena tidak sepatutnya seorang muslim hanya menikmati rezekinya seorang diri tanpa peduli
dengan kondisi muslim lainnya yang sedang kesulitan.

Dengan konsep fitrah yang multi dimensi ini, sistem pendidikan Islam sudah semestinya
melakukan shift paradigma dari orientasi religius semata, menuju pada keseimbangan orientasi
sosio-religius. Pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada pembangunan akhlak dan
persoalan ritual semata, tetapi juga memberikan ruang pada pada pengembangan daya nalar
kritis yang mampu ditransformasikan dalam aktivitas sosial masyarakat. Dengan demikian,
sistem pendidikan Islam akan mengandung nilai universal selaras dengan ajaran Islam yang
rahmatan li al-„alamin.

E. Ruang Lingkup Kajian Ontologi Dalam Pendidikan Islam


1. Hakikat Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan Islam
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ontos berarti yang berada (being) dan Logos
berarti pikiran (logic). Jadi, ontologi berarti ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu
yang ada/berada atau dengan kata lain artinya ilmu yang mempelajari tentang “yang ada”
atau dapat dikatakan berwujud dan berdasarkan pada logika. Sedangkan, menurut istilah
adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani maupun secara
rohani. Sehingga bila kaitkan ontologi dengan Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan Islam
maka kajian yang dibahas akan mengenai hakikat dari Pendidikan Islam dan Ilmu Pendidikan
Islam.
Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup menarik, karena
pemahaman makna tentang pendidikan sendiri pun juga beragam. Perlu diketahui bahwa
banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan itu sendiri, seperti pengajaran, pembelajaran,
pedagogi, pendidikan, pelatihan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat kita jumpai dalam
buku-buku yang mengkaji tentang pendidikan. Pendidikan menurut Marimba adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sementara itu, Al Syaibany
memaknai pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan
perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok hanya akan berhasil
melalui interaksi seseorang dengan perwujudan dan benda sekitar serta dengan alam
sekelilingnya, tempat ia hidup, benda dan persekitaran adalah sebagian alam luas tempat
insan itu sendiri dianggap sebagai bagian dari padanya.
Dengan penjabaran atas pendidikan diatas apakah kita sudah mulai dapat
menghubungkannya dengan pendidikan Islam maupun ilmu pendidikan Islam, karena dengan
adanya tambahan kata “Islam” pada kata pendidikan maupun ilmu pendidikan ialah untuk
menunjukan suatu keunikan atau warna tertentu dari pendidikan dan ilmu pendidikan
tersebut dibandingkan dengan pendidikan dan ilmu pendidikan yang lainya. Kata Islam
dalam pendidikan Islam menunjukkan bahwa pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan
yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam, namun apakah itu yang
dinamakan pendidikan Islam. Dalam Islam dapat kita jumpai beberapa istilah tentang
pendidikan, yaitu al-ta‟lim, al-ta‟dib, al-riyadhat, al-tarbiyyah dan lain sebagainya.Al-Ta‟lim
dapat diartikan dengan pengajaran. Tetapi menurut Sayid Muhammad al Naquib al Attas,
bahwa istilah al-ta‟dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan
pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah
ini mencakup juga pendidikan untuk hewan.
Menurut Imam al Baidlawi, di dalam tafsirnya arti asal al-rabb adalah al-tarbiyah, yaitu
menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Berdasarkan ketiga kata itu,
Abdurrahman al Bani menyimpulkan bahwa pendidikan terdiri atas empat unsur, yaitu
pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa; kedua,mengembangkan
seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan;
keempat, dilaksanakan secara bertahap. Dari sini, jelas bahwa pendidikan menurut Islam
adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.
Adapun pendidikan Islam, menurut M. Yusuf al Qardhawi adalah pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karenanya
pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai
maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan
dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Dengan demikian pendidikan Islam adalah suatu
proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT
Kepada Muhammad SAW.
Setelah melihat hakikat pendidikan Islam dalam kajian ontologi selanjutnya kita akan
membahas ilmu pendidikan Islam. Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang
berdasarkan Islam. Isinya ilmu adalah teori, seperti ilmu bumi adalah teori tentang bumi,
ilmu dagang adalah teori tentang dagang dan lain sebagainya. Sehingga ilmu pendidikan
Islam adalah teori-teori tentang pendidikan berdasarkan Islam. Secara esensialnya berupa
teori, tetapi secara lengkap isi suatu ilmu bukan saja teori, akan tetapi juga penjelasan-
penjelasan tentang teori itu serta kadang-kadang terdapat data-data yang mendukung
penjelasan itu. Sehingga isi ilmu terdapat tiga hal, yaitu teori, penjelasan dan data. Jadi, jika
kita menemukan buku ilmu pendidikan Islam, maka sudah sewajarnya berisi ketiga
komponen tersebut.
Menurut Ahmad Tafsir ilmu adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan
riset terhadap obyek-obyek yang empiris, benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh
logis tidaknya dan ada tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis dan ada bukti empiris,
maka teori ilmu itu benar. Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan Islam harus terdapat teori-
teori yang dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris. Apabila tidak bisa, maka bukan
suatu ilmu pendidikan Islam, bahkan mungkin ilmu pendidikan Islam adalah mistis
(khayalan). Sehingga dari pemaparan atas ilmu pendidikan Islam dapat kita katakan bahwa
hakikat dari ilmu pendidikan Islam ialah kumpulan-kumpulan teori-teori yang telah terbukti
secara empiris mengenai pendidikan yang berdasarkan Islam.
2. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam
Bahwa setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu tujuan, terdapat sesuatu yang
ingin di capai. Karena dengan tujuan itu dapat ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat
orang berjalan, maka ada sesuatu tempat yang akan dituju. Sehingga orang itu tidak
mengalami kebingungan dalam berjalan, andaikata kebingungan pun sudah jelas kemana ia
akan sampai. Serupa dengan hal itu, tak ubahnya dalam dunia pendidikan, apakah pendidikan
Islam maupun non Islam. Maka sudah dapat dipastikan akan memiliki suatu tujuan.
Tujuan menurut Zakiah Drajat(1992: 29) adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah
suatu usaha atau kegiatan selesai. Sementara itu, Arifin(1993: 223) mengemukakan bahwa
tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak
tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Meskipun
banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu
berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu.
Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk tujuan, tidak terlepas dari pandangan
masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu. Sehingga tidak mengherankan
apabila terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing manusia, baik
dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara, karena perbedaan kepentingan yang
ingin dicapai.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, Ahmad Tafsir(1994: 46)
menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup. Jika
pandangan hidupnya (philosophy oflife) adalah Islam, maka tujuan pendidikan
menurutnya haruslah diambil dari ajaran Islam. Azra(1999: 8) menyatakan bahwa
pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam,
yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan
dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.1 Dalam konteks sosial-
masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil‟alamin,
baik dalam sekala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat
disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam (ultimate aims of islamic education).

1
Lihat misalnya surat Al-Dzariyat ayat 56 : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi
kepdaKu” atau surat Al Imran ayat 102: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam”.
Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih spesifik
menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan khusus ini lebih
praksis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi
ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis
itu dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap tertentu proses
pendidikan, sekaligus dapat dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Mohammad ‟Athiyah al Abrasy(1974: 15), pendidikan budi pekerti adalah
jiwa dari pendidikan Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi
pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna
adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam. Definisi ini menggambarkan bahwa manusia
yang ideal harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna
akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.
Sementara itu, Muhammad Quthb(1984: 27), berpendapat bahwa Islam melakukan
pendidikan dengan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga
tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani,
baik kehidupannya secara mental dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam
memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam
dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang
diabaikan dan tidak memaksa apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam
mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang. Dengan
terbinanya potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melaksanakan fungsi
pengabdiannya sebagai khalifa di muka bumi ini.
Selain itu, Ali Ashraf(1996: 2) menyatakan bahwa pendidikan bertujuan
menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui
latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu
pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala
aspek spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual
maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak
kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.
Pemahaman ini terkesan bahwa tujuan utama pendidika Islam tiada lain adalah perwujudan
pengabdian secara optimal kepada Allah SWT. Untuk dapat melaksanakan pengabdian
tersebut, harus dibina seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi spiritual,
intelektual, perasaan, kepekaan dan sebagainya.
Dengan demikian, melihat berbagai tujuan yang telah dikemukakan bahwa tujuan
pendidikan Islam tiada lain adalah untuk mewujudkan insan yang berakhlakul karimah
yang senantiasa mengabdikan dirinya kepada Allah SWT.
3. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidik (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga
berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan
segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara
historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah
makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana
firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah, ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa
dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya
pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini.
Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan
peserta didik.
Manusia sebagai pendidik, sebagaimana pemahaman Marimba(1989: 37) tentang
pendidikan, bahwa salah satu unsur pendidikan adalah adanya pembimbing (pendidik).
Pendidik adalah orang yang memikul pertanggunganjawab untuk mendidik. Kita sudah
dapat membayangkan bahwa seorang pendidik adalah seorang manusia dewasa yang
bertanggungjawab atas hak dan kewajiban pendidikan anak didik, tidak hanya
membimbing dan menolong, akan tetapi lebih dari itu dengan segala pertanggunganjawab
yang dipikulnya. Sementara itu, Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam ialah
siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam,
orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik,
yang disebabkan oleh 2 faktor, yaitu pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua
ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab
mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua
berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses
orang tua juga(A. Tafsir, 1994: 74). Adapun guru yang kita pahami adalah seorang pendidik
yang memberikan pelajaran kepada anak didik (murid), berupa mata pelajaran di
sekolah(A. Tafsir, 1994: 75). Walaupun demikian, pendidik yang utama terhadap anak didik
adalah kedua orang tua.
Pendidik dalam pengertian lain, ada beberapa istilah, seperti ustadz, mu‟alim, mu‟adib,
murabi dan lain sebagainya. Dari istilah-istilah itu pada dasarnya mempunyai makna yang
sama, yakni sama-sama pendidik (guru). Pada hakikatnya pendidik dalam Islam adalah
orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan
psikomotor(Ramayulis, 2002: 85).
Senada dengan ini Moh. Fadhil al Jamali menyebutkan bahwa pendidik adalah orang
yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia(Ibid; 85).
Sedangkan menurut al Aziz, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam
menginternalisasikan nilai-nilai religious dan berupaya menciptakan individu yang memiliki
pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna(Ibid; 85). Masing-masing definisi tersebut,
mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik
tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara
afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat
perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu
menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang
bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing(Abuddin,
1997: 79). Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke
arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik
(peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya
sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana
perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka
dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun
kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan
cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar(Ibid;
79). Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan
pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu
berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada
guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang
peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai
yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai
Allah(Ibid; 80). Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang
perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang
mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak
dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina
manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh
alam.
4. Hakikat Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu
sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan
dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan
tingkat pendidikan. Tujuan pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh
falsafah dan pandangan hidup bangsa atau negara tersebut. Berbedanya falsafah dan
pandangan hidup suatu bangsa atau negera menyebabkan berbeda pula tujuan yang
hendak dicapai dalam pendidikan tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan
suatu negara mempengaruhi pula bidang pendidikan, yang sering membawa akibat
terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum bersifat dinamis
guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi.
Kurikulum secara harfiah berasal dari kata curriculum yang berarti bahan
pengajaran. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Perancis courier yang
berarti berlari(Nasution, 1991: 9). Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan kepada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan Crow and Crow,
bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran
yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu
program pendidikan tertentu(Crow, 1990: 75). Selain itu, ada pula yang berpendapat
bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan
rancangan yang sistematis dan koordinatif dalam rangka mencapai suatu tujuan
pendidikan yang ditetapkan(Abdurrahman, tt: 123). Dari beberapa definisi tersebut, bahwa
kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang
pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak
memperoleh ijazah.
Sementara itu, kurikulum dalam pendidikan Islam, yaitu kata manhaj, yang
bermakna jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang
kehidupannya(Omar, tt: 478). Jadi, kurikulum yang dimaksud adalah jalan terang yang
dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk
mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka(Ibid; 478). Keberadaan
kurikulum dalam pendidikan Islam sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan
baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan,
bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan ketrampilan mereka yang bermacam-macam dan
menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul
tanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsanya dan turut serta secara
aktif untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya(Ibid; 476). Dengan demikian,
kurikulum hanya sebatas sarana untuk mendidik generasi muda dengan segala potensi
yang dimilikinya sehingga mampu memikul tanggungjawab bagi dirinya, keluarga,
masyarakat maupun bangsanya.
Ahmad Tafsir(1994: 54-55), merinci kurikulum dalam beberapa komponen, yaitu
tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi. Setiap komponen dalam
kurikulum sebenarnya saling berkaitan bahkan masing-masing merupakan bagian
integral dari kulum tersebut. Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan suatu yang
hendak dituju dalam proses belajar mengajar. Dalam operasinya tujuan ini dibagi menjadi
bagian-bagian yang kecil. Bagian-bagian itu dicapai hari demi hari dalam proses belajar
mengajar, yang dirumuskan dalam rencana pengajaran (lesson plan), disebut juga
persiapan mengajar. Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar
tersebut. Materi (isi) ini harus relevan dengan tujuan pengajaran yang telah
dirumuskan. Relevansi antara tujuan yang dingin dicapai dan isi proses belajar mengajar
tidak gampang dalam operasionalnya. Karena untuk merelevansikan diperlukan pakar
yang benar-benar ahli dalam merencanakan isi proses tersebut. Komponen berikutnya
adalah proses belajar mengajar, mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam
proses belajar mengajar, yakni dengan tidak membiarkan anak belajar sendirian, karena
hasil belajarnya kurang maksimal. Karena itu para ahli menyebutnya dengan proses belajar
mengajar sebab memang terdapat gabungan antara anak didik belajar dan guru
mengajar yang tidak dapat dipisahkan. Komponen berikutnya evaluasiyakni kegiatan
kurikuler berupa penilaian untuk mengetahui berapa persen suatu tujuan dapat dicapai.
Maka ada ilmu khusus yang mempelajari tentang ini, yaitu teknik evaluasi. Dari hasil
evaluasi ini biasanya dinyatakan dengan angka-angka yang dicapai siswa.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa kurikulum mempunyai peran penting dalam
upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan pendidikan Islam yang begitu
kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara afektif, kognitif
maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul
karimah.
F. Problematika Pendidikan Islam

Pendidikan dapat dikatakan adalah investasi masa depan baik dalam lingkup kecil yaitu
perorangan maupun dalam lingkup luas yaitu negara, karena dengan pendidikan yang baik akan
mencetak generasi-generasi penerus yang berkualitas dan dapat membawa perubahan ke arah
yang lebih baik. Seiring dengan perkembangan zaman maka akan timbul juga masalah-masalah
di dalamnya salah satunya ialah masalah pendidikan. Berbagai macam masalah dalam
pendidikan bermunculan menyesuaikan tantangan yang diberikan oleh perkembangan zaman, hal
itu juga dirasakan oleh pendidikan Islam pada perkembangannya dari awal hingga sekarang ini

Secara mikro, telaah Ilmu Pendidikan Islam menyangkut seluruh komponen yang termasuk
dalam pendidikan Islam. Sedangkan secara makro, objek formal Ilmu Pendidikan Islam ialah
upaya normatif (sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah
dan kauniyah) keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan
agama baik dalam skala kedaerahan, nasional maupun internasional. Objek kajian pendidikan
Islam senantiasa bersumber dari landasan normatif Islam yaitu al-Qur‟an (qauliyah) melalui
pengalaman batin Nabi Muhammad SAW yang kemudian kita kenal dengan wahyu, kemudian
disampaikan kepada seluruh umat dan alam semesta (kauniyah). Di samping itu, pendidikan
Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus
semakin cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak
memperdulikan lagi sistem suatu agama, masalah-masalah yang tidak terselesaikan dalam
pendidikan Islam inilah yang menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga
pendidikan lainnya. Dari segi kuantitatif serta kualitatif pendidikan Islam sebagai pendidikan
yang dinomor duakan akan menjadi dampak buruk tersendiri bagi pemeluk agama Islam

Pada kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan
realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam masih berada pada romantisme historis yaitu,
dimana umat Islam bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan
besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu
pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka
menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada
realitas masyarakat industri dan teknologi modern. Hal ini pun didukung dengan pandangan
sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan beberapa pihak ada
yang sampai pada tingkat “mengharamkan”. Belum lagi untuk penyelenggaraan PAI untuk
Perguruan Tinggi Umum, yang cenderung masih menyisakan problem yang sangat beragam.
Aspek kebijakan, akademik, teknis, maupun penyelenggaraan PAI pada unit-unit kampus PTU
cenderung menunjukkan fenomena problem “gunung es”. Tentu, kondisi demikian ini
merupakan tantangan tersendiri yang harus segera diselesaikan secara cepat, tepat, dan efektif.

Adapun ketertinggalan pendidikan Islam sendiri dilandasi oleh beberapa faktor yang
menjadikan lembaga pendidikan Islam tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan lainnya ialah
sebagai berikut:

1. Keterlambatan respon pendidikan Islam akan perkembangan yang terjadi.


2. Islam kebanyakan masih lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang
humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia,
biologi, dan matematika modern.
3. Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam ketimbang berorientasi kepada masa
depan, atau kurang bersifat future oriented.
4. Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam penyiapan
tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.

Dalam hal ini ambil saja contoh masalah pendidikan Islam yaitu mengenai problem
konseptual- teoritis. Dalam hal ini dijabarkan bahwa pendidikan Islam hanya didasarkan oleh
pemahaman pendidikan Islam yang hanya mementingkan aspek kehidupan ukhrawi yang
terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan
kehidupan jasmani. Oleh karena itu, akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang
dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat.
Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara
pandang dikotomi. Dalam literatur lain beberapa tokoh ada pula yang menambahkan terkait
problem yang dihadapi oleh pendidikan Islam terkhusus pendidikan Islam di Indonesia, yaitu
sebagai berikut :

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik


Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan
tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak
memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam
pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Dengan banyaknya problematika pendidikan Islam di atas tentu juga ada solusi-solusi yang
dapat diharapkan bisa mengatasi problematika di atas, salah satu tokoh pendidikan Islam
bernama Baharuddin mengutarakan bahwa untuk mengatasi problematika, ialah sebagai berikut :

1. Merubah paradigma filosofis makna pendidikan. ”Pendidikan adalah proses


pengembangan potensi anak didik: anak didik kreatif, subjek pendidkan, guru
menciptakan, suasana kondusif. Disamping itu mutu pendidikan :”kesesuaian antara
produk, dengan kebuuhan pelanggan”. Pelanggan pendidikan adalah siswa, orang tua,
masyarakat, negara, perusahaan dan lain-lain.
2. Produk pendidikan bukan lulusan, tetapi pelayanan yang meliputi: pelayanan
administrasi, kurikulum, esktrakurikuler dan ko kurikuler, pengajaran, penelitian.
3. Manajemen pendidikan, bukan sentralistik, tetapi otonomi.
4. Pembelajaran, demokratis, dialogis, dan multialogis. Sumber belajar bukan guru, atau
dosen tetapi perpustakaan, laboratorium, dan lapangan.
DAFTAR PUSTAKA

Al Toumy al Syaibany, Omar Muhammad. tt. Falsafatut Tarbiyah Islamiyah, terj. Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Arifin, HM. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


Ashraf, Ali. 1996. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Assegaf, Abdur Rahman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali.
Athiyah al Abrasyi, Mohammad. 1974. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A.
Ghani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang,
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Crow and Crow. 1990. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin.

D. Marimba, Ahmad. 1989.Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al Ma‟arif.


Darajat, Zakaiah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Djamaluddin, Ahdar. 2014. Filsafat Pendidikan. Istiqra‟, Vol. I, No. 2.
Jalaluddin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya. Jakarta: Kalam
Mulia.

Jalaludin, dan Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat, terj. oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Mappasiara. 2017. Filsafat Pendidikan Islam. Volume VI Nomor 2, Makassar: Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin.
Moh. Wardi, PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DAN SOLUSI ALTERNATIFNYA
(Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis)
Musrifah, ANALISIS KRITIS PERMASALAHAN PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA DI
ERA GLOBAL.

Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nurfahanah, ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
ISLAM.
Quthb, Muhammad. 1984. Sistem Pendidikan Islam. terj. Salman Harun. Bandung: al Ma‟arif.
Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
S. Nasution. 1991. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Adirya Bakti.
Salih Abdullah, Abdurrahman. tt. Educational Theory a Quranic Outlook. Makkah al
Mukarramah: Umm al Qura University.
Sudrajat, A. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran Dalam Paradigma Baru. Yogyakarta:
Paramitra Publishing.
Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
https://www.nu.or.id/post/read/75853/problematika-pendidikan-agama-islam

https://uin-malang.ac.id/r/160701/berbagai-problem-lembaga-pendidikan-islam.html

https://duta.co/problematika-pendidikan-islam-masa-kini-kajian-fundasional-dan-operasional

https://journal.unipdu.ac.id/index.php/dirasat/article/view/507/449

http://tesispendidikan.com/masalah-pendidikan-islam-dan-solusinya/

Anda mungkin juga menyukai