PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, memiliki anak adalah sebuah dambaan bagi suami dan istri.
Anak merupakan anugrah dari Allah SWT dan menjadikan sebuah keluarga kepada
kebahagiaan dan kesempurnaan. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling
berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya.
Namun, tidak semua pasangan suami istri diberi kemudahan dalam hal memiliki
anak. Akan tetapi, saat ini sudah terdapat banyak cara yang bisa ditempuh oleh pasangan
suami istri yang kesulitan memiliki anak untuk dapat memiliki anak. Misalnya, dengan cara
mengadopsi anak. Bahkan dengan kemajuan teknologi saat ini juga telah memudahkan
dalam hal memperoleh anak, yaitu dengan inseminasi. Lalu bagaimana pandangan Islam
mengenai hal ini?
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis berusaha memberikan gambaran
mengenai status anak pungut, anak angkat dan anak hasil inseminasi dari sudut pandang
Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian anak angkat?
2. Pengertian Anak Hasil Zina?
3. Pengertian anak hasil inseminasi (bayi tabung dan cloning)?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa
Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt “. Pengertiannya dalam bahasa Belanda menurut
kamus hukum adalah pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung. Adopsi
memiliki dua pengertian, ialah :
a. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan
kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri,
tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
b. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia
berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan
hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.1
2. Pandangan Islam Mengenai Anak Angkat
1 Syaikh Shalih, Fikih Muyassar, (Jakarta: Darul Haq, 2017) hlm. 423.
baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat
dengan anak aku-akuan”.
Artinya : “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
(4). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba-hamba sahaya
yang sudah dimerdekakan). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (5).”2
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah
adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga
dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua
angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga
dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.3
2 Masyfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1993), hlm. 19.
3 Al Qur’andan terjemahnya.depatemen Agama
Adapaun masalah hukumnya, islam memperbolehkan bahkan sangat
menganjurkan, sepanjang hal itu demi keberlangsungan kehidupan dan masa depan si-
anak.
B. Anak Hasil Zina
1. Adanya persetubuhan (sexsual intercrouser) antara dua orang yang berbeda jenis
kelaminnya.
2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sex (sex
act).
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang berbeda kelaminnya baru
bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan maka, belum dapat dikatakan zina,
yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum menikah atau rajam bagi
yang sudah menikah. Sedangkan unsur yang kedua (syubhat), maka sexsual intercrouse
yang dilakukan oleh orang karena kekeliruan misalnya dikira ”istrinya” maka tidak
disebut zina.4
Kalau kita perbandingkan antara KUHP Indonesia dengan hukum pidana Islam
mengenai kasus zina, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, diantaranya:
1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana
penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal
salah seorang atau kedua-duanya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Ini berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum/tidak kawin,
tidaklah kena sanksi hukuman tersebut. Asal kedua-duanya telah dewasa dan
suka sama suka (tidak ada unsur pemerkosaan). Baru kalau ada unsur
pemerkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan sanksi hukuman
Mengenai hukuman rajam, yang berarti hukuman mati bagi pelaku zina yang telah
kawin karena si pelaku zina seharusnya wajib mejaga loyalitas dan nama baik keluarga,
dan perbuatan zina itu mengandung bahaya yang besar bagi keluarga, masyarakat, dan
negaranya. Sedangkan hukuman dera yang relatif ringan bagi pelaku zina yang belum
kawin, karena si pelaku zina masih hijau, belum berpengalaman, maka dengan hukuman
dera itu diharapkan bisa memberi kesadaran kepadanya, sehingga ia tidak mau
mengulang perbuatan yang tercela.
Adapun anak zina adalah anak yang lahir di dunia di luar perkawinan yang sah,
sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya, dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 2(1)) dan (2) UU No. 1/1974. Pencatatan
perkawinan yang dilakukan oleh pegawai penacatat dari KUA untuk mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam sedangkan mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamnya dan kepercayaanya selain
Islam, maka pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (vide pasal 2(1) dan (2) PP
No.9/1975 tentang pelaksanaan UU No.1/1974 tentang perkawinan)..
Menurut Hukum Perdata Islam, anak zina itu suci dari segala dosa yang
menyebabkan eksistensinya didunia ini. Sesuai dengan hadist:“Semua anak dilahirkan
atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda)” dan pembawaan beragama tauhid,
sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanya lah yang menyebabkan anaknya
menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.(Hadist riwayat Abu Ya’la, Al Thabrani, dan Al
Baihaqi dari Aswad bin Sari). Dan firman Allah dalam surat An-Najm ayat 38
Artinya:”Bahwasanya seseorang yang berdosa itu tidak akan memikul dosa orang lain.”
Karena itu anak zina perlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran,
dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Ynag
bertanggung jawab menyukupi kebutuhan hidupnya materiil dan spiritual adalah terutama
ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai
nasab atau perdata dengan ibunya. Perlu diperhatikan, bahwa anak yanglahir sebelum 6
bulan dari perkawinan, maka sang ayah berhak menolak keabsahan anak itumenjai
anaknya, sebab masa hamil yang paling sedikitberdasarkan Al-Quran surat Al Baqarah
ayat 233 dan surat Qaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari
seorang wanita tiada nash yang jelas dalam Al Quran dan Hadist. Pendapat fuqaha
tentang masalah ini berbeda pendapat mulai dari 9 bulan menurut madzab Dhahiri,
setahun menurut Muhammad bin Abdul Hakam Al Maliki, da tahun menurut madzab
Hanafi, empat tahun menurut madzab Syafi’i dan hanya berdasarkan atas informasi dari
sebagia wanita yang dijadikan responden, yang belum tentu mengerti ilmu kesehatan,
khususnya ilmu tentang kesehatan.
Bayi tabung adalah suatu proses pembuahan dengan mempertemukan sel telur dan
spermatozoa dalam sebuah tabung. Sejatinya bayi tabung ini diciptakan khusus bagi para
pasangan yang mengalami infertilitas. Proses pengambilan sel telur pada wanita
menggunakan sebuan alat yang dinamakan transvaginal transculer ultra sound yang mana
alat ini memiliki bentuk pipih memanjang sebesar 2 jari orang dewasa. Antara sel telur dan
sperma akan disimpan ke dalam cawan pembiakkan selama beberapa hari sampai muncul
tanda bakal janin (zigot) selanjutnya akan dipindah ke rahim calon ibu, dan ibu akan
mendapatkan kehamilan seperti kehamilan pada dasarnya dan melahirkan.
Sedangkan kloning merupakan teknik pembuatan keturunan dengan kode etik yang
sama dengan induk yaitu berupa manusia. Kloning pada manusia dilakukan dengan
mempersiapkan sel telur yang sudah diambil intinya lalu disatukan dengan sel dewasa dari
suatu organ tubuh. Hasilnya ditanam ke rahim seperti halnya embrio bayi tabung.
Bayi tabung / inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum
suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk
istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan baik
dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau
uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya
(vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang
bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak,
karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma
dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibu yang melahirkan.5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Masyfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV HAJI MASAGUNG, 1993), hlm. 19.