Anda di halaman 1dari 15

ANAK ANGKAT, ANAK PUNGUT, ANAK HASIL ZINA DAN

ANAK HASIL HUBUNGAN INSEMINASI


DI
S
U
S
U
N

OLEH:
KELOMPOK 6

NAMA : Muhammad Syauqi Fadillah


: Farah fajarna
Unit. :1
Sem. :6
Prodi. : HES
dosen : Muhammad Mustajab M.A

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)


AL HILAL SIGLI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul: “anak angkat, anak pungut, anak hasil zina dan anak hasil hubungan
inseminasi”. Shalawat dan salam kita panjatkan kehadirpat Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
Dosen Pembimbing, atas bimbingan kepada penulis sehingga tersusunnya makalah ini
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagai semua pihak. Penulis menyadari, dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan di masa akan datang.

Sigli, Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 1

BAB II..................................................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2

A. ANAK ZINA .............................................................................................................................. 2

B. ANAK PUNGUT ....................................................................................................................... 5

C. ANAK ANGKAT ...................................................................................................................... 7

D. Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung ....................................................................................... 9

BAB III ................................................................................................................................................. 11

PENUTUP ............................................................................................................................................ 11

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan amanat dari Allah yang harus diperhatikan, baik kebutuhan fisiknya
maupun kebutuhun ruhaniahnya. Oleh sebab itu, merawat anak itu wajib dan mendidiknya
lebih wajib lagi. Islam mengganjar dengan dosa besar bagi orang-orang yang
menterlantarkan anak-anaknya, tidak diperkenalkan akhlak, tidak diperkenalkan pendidikan.
Padahal seorang anak merupakan penerus generasi yang memegang peranan penting bagi
eksistensi agama serta kemajuan bangsa dan Negara. Orangtua kelak akan dimintakan
pertanggungjawaban atas anak-anaknya dihapdapan Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana status anak angkat?
2. Bagaimana status anak pungut?
3. Bagaimana status anak hasil zina ?
4. Bagaimana status anak hasil hubungan inseminasi buatan?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANAK ZINA
1. Pengertian Anak Zina
Menurut Sudrajat, (2008:95), Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah. Sedangkan menurut Hassanain Makluf “bahwa anak
zinaadalah anak yang di lahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah.”Sedangkan
menurut Al-Jurnani dikutip oleh Masjfuk Z, (1993:33), zina yaitu :
ٍ ‫اَلْو ْطء ىِف قُب ىل خ ىال َعن ملى‬
‫ك َو ُشْب َه ٍة‬ َْ َ ُ ُ َ
Artinya :“Memasukkan penis (zakar:Arab) ke dalam vagina (farj:Arab) bukan
miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (kekeliruan atau keserupaan).”
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat dikatakan zina
jika:
a. Adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
b. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan tersebut.
Menurut Sayid Sabiq (1981:369) Dengan unsur pertama, maka jika ada dua
orang yang berbeda jenis kelamin bermesraan seperti berciuman atau berpelukan
belum dikatakan berzina yang dijatuhi hukum dera atau pun rajam. Tetapi mereka
bisa dihukumi ta’zir dengan tujuan mendidik. Sedangkan menurut Imah Tahido
Yanggo (2005:178) “Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa
pernikahan, biasa disebut dengan anak tidak sah.”
Dengan demikian yang dimaksud dengan anak zina adalah anak yang terlahir
dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-laki
dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa kekeliruan atau
kesalahan.Menurut Islam anak zina adalah suci dari segala dosa yang menyebabkan
eksistensinya di dunia ini, dan tidak menanggung beban dosa orang tuanya. Hal ini
berdasarkan Firman Allah dalam surat al Najm ayat 38 :

ْ ‫أَاَّل تَ ىزُر َوا ىزَرةٌ ىوْزَر أ‬


‫ُخَر‬
“Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Karena itu anak zina harus diperlakukan secara manusiawi.Diberi pendidikan,


pengajaran dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti.

2
Yang bertanggung jawab untuk mencukupi hidupnya adalah ibunya yang
melahirkannya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya.Sebagai akibatnya anak zina tidak dapat dihubungkan dengan ayahnya. Karena
anak mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak
sah.
2. Tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.
3. Tidak ada hubungan saling mewarisi.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak
mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya
dari sisi bapaknya. Hadits nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu Dawud][1]
2. Status Anak Zina
Menurut ulama, ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak zina
dikarenakan perbuatan salah orang tuanya.Yaitu:
a. Hilangnya martabat Muhrim dalam keluarga.
MenurutMasjfuk Zuhdi, (1993:179), Jika anak haram tersebut adalah
perempuan, maka antara bapak (pemilik sperma) dengan anak itu dibolehkan
menikah. Hal ini menurut pandangan imam malik dan Imam Syafii’ yaitu
diperbolehkan bagi seseorang mengawini putrinya (anak zina), saudara
perempuannya, cucu perempuannya, keponakan perempuannaya yang semuanya
dari hasil zina.
Mazhab Syi’ah Imamiyah, Hanafiah dan Hambaliah menyatakan haram
menikahi anak hasil zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina
namun tetap dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa dan adat atau
tradisi. Karena itu haram hukumnya menikahinya. Pendapat ini merupakan
pendapat yang berdasarkan alasan akal manusiawi karena melihat secara zhahir
bahwa anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan secara biologis dia
merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga, keharaman tersebut
hanya dilihat secara tradisi saja namun secara syara’ yang shahih maka mereka
juga membolehkan pernikahan tersebut.

[1] kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no. 1983

3
Secara hak perwalian ketika menikah maka jumhur ulama sepakat bahwa
orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya
kelak ketika anaknya menikah.
b. Hilangnya hak waris dalam keluarga
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina
kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Sedangkan
hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak
di luar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerabatan untuk mendapatkan
warisan.
Masjfuk Zuhdi, (1993:180), menyatakan bahwa menurut Ahlul-Sunnah
dan Mazhab Hanafiah menyebutkan anak zina memiliki hubungan waris dengan
ibu dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu
saja. Sedangkan golongan Syi’ah menganggap bahwa anak zina tidak mempunyai
hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan karena warisan merupakan
suatu nikmat bagi ahli waris sedangkan zina merupakan suatu kemaksiatan
sehingga kenikmatan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.
Sebagian ulama (Syafi’i, Hambali, Syi’ah) berpendapat bahwa akad nikah
itu merupakan sebab utama terjadinya nasab antara seseorang dengan orang
tuanya. Oleh karena itu jika anak terlahir sebelum usia pernikahan enam bulan
maka anak tersebut merupakan anak di luar nikah.
Maka salah satu jalan dari seorang bapak yang merasa bertanggung jawab
dengan anaknya untuk memberikan hartanya tidak bisa lewat warisan tetapi bisa
melalui hibah semasa dia masih hidup atau dengan jalan wasiat asalkan tidak
melebihi sepertiga dari jumlah hartanya.

3. Pandangan Islam terhadap Anak Zina


Berdasarkan Fatwa MUI yang dibuat pada 10 Maret 2012, setidaknya ada
enam poin ketentuan hukum yang dikeluarkan tentang status anak hasil zina.
Beberapa poin tersebut di antaranya:
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah
(nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan
ibunya dan keluarga ibunya.

4
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinahan yang dilakukan oleh orang
yang mengakibatkan kelahirannya.
4. Pezina dikenakan hukuman had (jenis hukuman yang bentuk dan kadarnya sudah
diatur dalam Alquran), untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-
nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman tazir (hukuman yang diberikan oleh
pihak yang berwenang) terhadap lelaki pezina. Beberapa hal yang diwajibkan
yaitu: Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; Memberikan harta setelah ia
meninggal melalui wasiat wajibah.

B. ANAK PUNGUT
1. Pengertian Anak Pungut
Anak pungut adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang
tua yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan
untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan harta keluarga rumah
tangga.Pemungutan anak di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan upacara
keagamaan, diumumkan dan disaksikan oleh pejabat dan tokoh agama agar jelas
statusnya. Setelah selesai upacara, si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang
mengangkatnya, dan terputus hak warisnya dengan kerabat lama.
Konotasi anak pungut versi Syaltut adalah anak yang terlantar dari orang
tuanya, kemudian ditemukan oleh seseorang. Adapun sebab-sebab menelantarkan
anak itu adalah karena takut miskin, tidak mampu mendidik dan member nafkah, atau
karena takut jatuhnya harga diri (kehormatan) bila anak tersebut hasil hubungan di
luar nikah,
2. Status Anak Pungut
Status anak pungut dengan orang tua yang memungutnya tetap seperti sebelum
pemungutan dan keluarga anak yang dipungut tetap seperti sebelum pemungutan,
tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Baik anak pungut itu dari intern
keluarga sendiri atau dari luar lingkungan kerabat.
3. Pandangan Islam tentang Anak Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa anak yang tersia-siakan dari orang tuanya
lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya.
Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak
5
pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar Ibn
Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, “pengurusannya
berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.”[2]
Umat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung
pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam
disebutkan bahwa “Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak
muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai
generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan
mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka
jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam
yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban
Allah s.w.t. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi
dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga,
maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak
angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau
dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan
meninggal dunia.”
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Mughni
(V/392),“Memungut anak seperti ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah
Ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 2. Karena dengan memungut anak tersebut
berarti ia telah mcnyelamatkan jiwa seorang yang masih hidup dan ini hukumnya
wajib. Seperti: dengan cara memberikan makanan dan menyelamatkan anak yang
hanyut”.[3]
Berdasarkan uraian tentang pengertian, dasar hukum dan pendapat ulama
tentang hukum anak pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa memungut anak
yang tersia-siakan merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi umat Islam. Karena
dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga
memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non
muslim jika dipungut oleh umat non muslim.

[2]http://madaniannida-kumpulanmakalahpai.blogspot.com/2011/01/status-anak-pungutanak-angkat-
anak-zina.html, diakses tanggal 3 April 2011.
[3] Al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy-Syaikh Shalih bin Fauzan, Hukum Mengadopsi Anak, Majalah
As-Sunnah Edisi 04/TAHUN XI/1428H/2007M.

6
Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan
sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits.Setelah anak
tersebut dipungut maka status anak tersebut sama dengan anak angkat yaitu secara
hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya,
maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa
masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua
pungutnya.
Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga
dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua pungutnya. Selama anak
pungut tersebut tidak menyusu dengan ibu pungutnya maka saudara dari keluarga
pungut berhak untuk menikahinya.

C. Anak Angkat
1. Pengertian Anak Angkat
Anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern
(2005:13), ”Anak adalah keturunan kedua”. Pengertian ini memberikan gambaran
bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi
anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang
tuanya.
Menurut Andi S. Alam, dkk., dalam Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, (Jakarta 2008:19), istilah “pengangkatan anak” berkembang di Indonesia
sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris “Adaption”, mengangkat seorang anak, yang
berarti mengangkat anak orang lain untuk di jadikan sebagai anak sendiri dan
mempunyai hak yang sama dengan anak kandung.
BerdasarkanKompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002:9), Pasal 171
huruf h Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang
dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan”.
2. Status Anak Angkat
Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan
dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah
hubungan darah / nasab / keturunan. Dengan kata lain bahwa peristiwa pegangkatan
7
anak menurut hukum kawarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap
status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi
dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut.

3. Pandangan Islam tentang Anak Angkat


Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanni, dan
dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas realitas
konkrit.
Dalam hal ini, Islam menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang mulia,
dan akan mendapat pahala berupa syurga, seperti yang dikatan oleh Rasulullah SAW
dalam haditsnya:

‫ (البخاري وابوداود‬.‫ واشا ر اب لسبا بة والو سطئ وفرج بينهما‬.‫اان وكا فل ا ليتم فئ اجلنة هكذا‬
)‫والرتمذي‬
Artinya: “Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil
ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia ranggangkan antara keduanya”.
(HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
Berdasarkan pendapat kedua ulama tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi tidak bisa
disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris,
ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula
mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram
bagi anggota keluarga orang tua angkatnya. Akan tetapi, mengambil anak yatim
kemudian memeliharanya dan mencukupi segala keperluannya, dan tidak
menganggapnya anak, maka hal tersebut boleh dan nabi sendiri melakukannya serta
akan mendapatkan pahala syurga.
Menurut M.Hamdan Rasyid dalam Fiqih Indonesia, (Jakarta, 2003:213), tata
cara pengangkatan anak yaitu :
a. Syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan seseorang mengambil anak
angkat dari orang lain, rumah yatim piatu, rumah sakit untuk di asuh, diberikan
kasih sayang, nafkah dan pendidikan.
b. Sesungguhnya mengambil anak angkat merupakan perbuatan mulia, tapi harus
memenuhi syarat, sebagai berikut:
1) Anak yang di adopsi dalam keadaan yang terlantar.

8
2) Tujuan adopsi adalah semata-mata mengasuh, memberi kasih sayang,
menyantuni dan mendidik anak yang di adopsi.
3) Pengadopsian anak dilakukan dengan cara-cara yang di benarkan oleh syariat
Islam.
4) Anak yang di adopsi diberikan kebebasan untuk kembali kepada keluarganya.
Seseorang yang mengadopsi anak orang lain tidak boleh memutuskan tali
persaudaraan dengan keluarganya.
c. Menurut Hukum Islam, status anak yang di adopsi adalah sama dengan orang lain
dan tidak mempunyai hubungan nasab atau silsilah dengan orang yang
mengadopsinya.
d. Anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan keluarga orang tua
angkat, oleh karena itu, anak angkat boleh di nikahi oleh ayah, ibu atau saudara
angkat.
e. Anak angkat tidak berhak saling mewarisi dengan orang tua angkat dan
keluarganya, karena harta pusaka hanya di berikan kepada orang-orang yang
mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan pernikahan dengan orang yang
wafat.
f. Umat Islam harus berhati-hati sehingga tidak menyerahkan anggota keluarganya
kepada orang-orang non muslim untuk di jadikan anak angkat atau adopsi.

D. Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung


1. Pengertian Inseminasi

Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris “Insimenation” yang artinya


pembuahan/penghamilan secara teknologi.

Adapaun Proses Terjadinya Bayi Tabung/ Inseminasi Buatan yaitu dokter mengambil
telur (ovum) wanita dengan cara fungsi aspirasi cairan folikel melalui vagina, dengan
alat yang disebut “Transpajinal Transkuler Ultra Sound” dan sperma dari laki-laki
tersebut, juga diambil kemudian dipadukan.
Perpaduan kedua sel tersebut, lalu disimpan dalam cawan pembiakan selama
beberapa hari. Inilah yang disebut dengan “Bayi Tabung” yaitu jabang bayi yang akan
diletakan kedalam rahim seorang ibu dengan cara menggunakan alat semacam
suntikan.

2. Status Anak Hasil Inseminasi


Adapun status anak hasil inseminasi, jika hal itu hasil inseminasi buatan
dengan donor sperma atau ovum orang lain maka menurut hukum islam tidak sah dan
statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Sedangkan yang sah adalah apabila anak
tersebut hasil inseminasi buatan dengan sperma dan ovum sendiri dari pernikahan

9
atau perkawinan yang sah. Hal ini dapat kita ketahui dalam pasal 42 UU perkawinan
No.1 tahun 1974 “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”.

3. Pandangan Islam terhadap Anak Hasil Inseminasi buatan

Ada beberapa pandangan ulama tentang hukum inseminasi. Di antanya adalah :

1. Haram, apabila hal itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum orang
lain karena hukumnya disamakan dengan “Zina”. Hal itu didasarkan pada sebuah
hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda

Tidak ada dosa yang lebih besar selain syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakan sperma (berzina) didalam
rahim perempuan yang tidak halal baginya.

Selain itu dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum mengharamkan Inseminasi
buatan dengan donor ialah Al-Qur’an surat Al Isro’ ayat 70

Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di
darat dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan yang telah kami ciptakan.
[[6][8]]

2. Boleh, apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami atau istri sendiri,
baik dengan cara pengambilan sperma suami, kemudian disuntikkan kedalam vagina
atau uterus istri maupun dengan cara pembuahan diluar rahim. Kemudian ditanam
didalam rahim istri, dengan alasan lain karena hal ini memang merupakan alternatif
terakhir untuk memperoleh keturunan.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terdapat persamaan yang dapat diambil antara anak angkat, anak pungut dan anak zina yaitu
ketiganya tidak dapat dianggap sebagai anaknya sendiri meskipun penganggapan tersebut
didasari oleh rasa sayang yang sepenuhnya. Persamaan yang lain adalah ketiga jenis anak ini
tidak memiliki hak warisan dari keluarga yang memeliharanya dan dapat diberikan untuk
mereka adalah hibah dan wasiat.

Perbedaan antara ketiganya adalah anak angkat merupakan anak yang dengan sengaja
dipelihara bukan dikarenakan oleh menemukan atau memungutnya tetapi memang sengaja
memeliharanya. Sedangkan anak pungut adalah anak yang dipelihara karena anak tersebut
sudah disia-siakan dengan tujuan agar anak tersebut terselamatkan baik secara jiwa maupun
secara agamanya.

Sedangkan anak zina merupakan anak yang secara lahiriah atau biologis merupakan anaknya
namun secara syara’ merupakan orang lain, tidak memiliki nasab kepadanya.

Adapun status anak hasil inseminasi, jika hal itu hasil inseminasi buatan dengan donor
sperma atau ovum orang lain maka menurut hukum islam tidak sah dan statusnya sama
dengan anak hasil zina. Sedangkan yang sah adalah apabila anak tersebut hasil inseminasi
buatan dengan sperma dan ovum sendiri dari pernikahan atau perkawinan yang sah

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, (2004), Ensiklopedi Anak, Penerjemah Ustadz
Ali Nur, Jakarta: Penerbit Darus-Sunnah.
2. Ahmad Syarabasyi, (T.Th), Himpunan Fatwa, Surabaya: Al-Ikhlas.
3. Al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy-Syaikh Shalih bin Fauzan, Hukum Mengadopsi
Anak, Majalah As-Sunnah Edisi 04/TAHUN XI/1428H/2007M.
4. Depag RI, (2007), Al-Qur’an dan Terjemahnya Perkata, Jakarta: Syaamil Al-Qur’an.
5. Imah Tahido Yanggo,(2005), Masailul Fiqhiyah, Bandung: Angkasa.
6. Kamisa,(2005), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern , Jakarta: Balai Pustaka.
7. Masjfuk Zuhdi,(1993), Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung.
8. Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, (t.Th), Halal dan Haram dalam Pandangan
Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu.
9. Sayid Sabiq,(1981), Fiqh Sunnah, Libanon: Darl Fikar.

12

Anda mungkin juga menyukai