Anda di halaman 1dari 21

KONSEP KEBUTUHAN DALAM ISLAM DAN ASUMSI

RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM

DI
S
U
S
U
N

OLEH:
Kelompok 7

NAMA : Mardiah
: Raihannatun jannah
SEM :4
UNIT :1
PRODI : HES
DOSEN : Chaidir, M.E.I

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)


AL HILAL SIGLI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT., yang
telah memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah ini dengan judul “KONSEP KEBUTUHAN
DALAM ISLAM DAN ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM
“ shalawat dan salam penulis sanjung sajikan kepangkuan alam Nabi besar
Muhammad SAW., yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada


Dosen pembimbing, karena atas bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan
makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Dengan
segala keikhlasan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun, guna untuk
penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Sigli, Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. ii


Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………. ........ 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………… ........ 1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Islam tentang Kebutuhan …………………… ............................ 2
B. Asumsi Rasionalitas dalam Eknomi Islam ……………………………... 11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………. ............. 17
B. Saran ……………………………………………………. ....................... 17

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan


manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan
adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin
dipuaskan.

Dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai


dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian
membentuk suatu perilaku konsumsi yang bersifat individualis sehingga
seringkali mengakibatkan keseimbangan dan keharmonisan sosial.

Dalam Islam, kebutuhan tidak lepas dari nilai moral yang ketat dalam
memasukkan keinginan dalam motif aktivitas ekonomi. Kebutuhan didefinisikan
sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan
hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia atas segala
hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan.

Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat


ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang
yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih
baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Menurut al-Syathibi, rumusan
kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu: dharuriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep kebutuhan dalam Islam?


2. Bagaimana asumsi rasionalitas dalam ekonomi Islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Konsep Islam Tentang Kebutuhan

1. Pengertian Kebutuhan

Pandangan ekonomi konvensional atau kapitalisme tentang kebutuhan atau


keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam ramgka
mensejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan
ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan. Orang
membutuhkan sesuatu karena tanpa sesuatu itu ia merasa ada yang kurang dalam
dirinya.1

Hal ini sesuai dengan Kardes dkk. definisi kebutuhan; yakni “A need is a
fundamental physical or psychological state of left deprivation.” Maksudnya
kebutuhan adalah salah satu keadaan seseorang merasa kekurangan secara fisik
atau psikologis terhadap pemuas dasar tertentu/hakekat biologis. Selanjutnya
keinginan (wants), merupakan hasrat atau kehendak yang kuat akan pemuas
kebutuhan spesifik. Dari definisi kebutuhan dan keinginan dapat diambil
kesimpulan bahwa kebutuhan dan keinginan merupakan segala sesuatu yang
diperlukan oleh manusia yang bertujuan mempertahankan dan mensejahterakan
hidupnya. Kebutuhan adalah cerminan perasaan ketidakpuasan atau kekurangan
dalam diri manusia yang ingin dicapainya.

Akan tetapi hal tersebut tidak didukung pendapat yang disampaikan oleh
Imam Al-Ghozali, beliau berpendapat bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda
jauh. Menurut Imam Al-Ghozali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya
sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal. Karena ibadah kepada
Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu

1
Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing, 2016), Hlm. 20.

2
terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang
berlaku.

Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkan dengan tujuan utama manusia


diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi
manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsuini maka
muncullah keinginan dalam diri manusia. Menurut al-Syathibi, rumusan
kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga macam, yaitu: dharuriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah.2

1. Dharuriyat (primer)

Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama dan paling penting.


Kebutuhan ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak. Jika kebutuhan ini
meliputi, khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu
‘aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga
harta). Untuk menjaga kelima unsur tersebut maka syariat Islam diturunkan.
Sesuai dengan firman Allah SWT, dalam QS. Al-Baqarah: 179 dan 193.

        

Artinya : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup


bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al-
Baqarah (2): 179)

              

 

Artinya : “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah (2): 193)

2
Ibid., Hlm. 20-22.

3
Oleh sebab itu, tujuan yang bersifat dharuri adalah tujuan utama untuk
pencapaian kehidupan yang abadi bagi manusia. Lima kebutuhan dharuriyah
tersebut harus dapat terpenuhi, apabila salah satu kebutuhan tersebut diabaikan
akan terjadi ketimpangan atau mengancam keselamatan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Manusia akan hidup bahagia apabila kelima unsur
tersebut dapat berjalan dengan baik.

2. Hajiyat (sekunder)

Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder, atau kebutuhan setelah


kebutuhan dharuriyat. Apabila kebutuhan dharuriyat tidak terpenuhi tidak akan
mengancam keselamatan kehidupan umat manusia, namun manusia tersebut akan
mengalami kesulitan dalam melakukan sesuatu kegiatan. Kebutuhan ini
merupakan penguat dari kebutuhan dharuriyat. Maksudnya untuk memudahkan
kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih
baik terhadap lima unsur pokokn kehidupan manusia. Apabila kebutuhan tersebut
tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Pada dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan pelengkap
yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat. Atau lebih
spesifiknya lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan
manusia di dunia.

3. Tahsiniyat (tersier)

Kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang tidak mengancam kelima hal


pokok yaitu khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu
‘aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga
harta), serta tidak menimbulkan kesulitan bagi umat manusia.

Kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan dharuriyat dan kebutuhan hajiyat


terpenuhi, kebutuhan ini merupakan kebutuhan pelengkap.3

Jenjang ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan


dharuriyat dan hajiyat. Pembelian merupakan bagian dari keseluruhan perbuatan

3
Ibid., Hlm. 20-22.

4
manusia, yang dilakukan untuk memenuhi kebutahan jasmani (hajatu al-
udhawiyah) dan naluri (gharizah) baik berupa sandang, papan, dengan segala
kelengkapannya, pangan, sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Semuanya adalah kebutuhan yang telah menjadi potensi kehidupan
yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.

Dalam pemasaran, istilah kebutuhan (need) bearti hasrat untuk memenuhi


kebutuhan, keinginan adalah hasrat terhadap pemuas spesifik untuk terpenuhinya
kebutuhan itu.

Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam.


Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan
primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap
orang untuk memenuhi kebutuh-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan
kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat
yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Isslam memandang tiap orang
secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah
negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus
dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam
memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-
kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.

Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup secara pribadi serta


memberikan kesempatan kepada tiap orang tersebut untuk memperoleh
kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah membatasi
perolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
primer serta kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan ketentuan yang khas,
termasuk yang menjadikan interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang
mengikuti gaya hidup yang khas pula.4

4
Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), Hlm.
66-68.

5
2. Perbedaan Maslahah dan Utilitas

Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfa’at


atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan
psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan
akhirat. Konsep maslahah ini diderivasikan dari konsep maqashid syari’ah yang
berujung pada masalih al-‘ibad (kemaslahatan hamba/manusia).5
Menurut mufllih, ada dua bentuk konsep berfikir konsumen dalam peranan
ekonomi yaitu utility atau utilitas dan maslahah. Secara bahasa, utility berarti
berguna (usefulness), membantu (helpness) atau menguntungkan (advantage).

Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang


dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan
ini bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari kesulitan karena mengkonsumsi
suatu barang. Karena rasa inilah utilitas sering diartikan juga sebagai kepuasan
yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian, kepuasan dan utilitas
dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan
oleh utilitas.6

Perbedaan maslahah dan utility7 :

a. Konsep maslahah dikorelasikan dengan kebutuhan (need), sedangkan


kepuasan (utility) dikorelasikan dengan keinginan (want).

b. Utility atau kepuasan bersifat individualistis, maslahah tidak hanya bisa


dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompok orang lain atau masyarakat.

c. Maslahah relatif lebih obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga
suatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak.
Sementara utilitas mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, karenanya
dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.

d. Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya,


utilitas individu sering bersebrangan dengan utilitas sosial.
5
Ibid., Anita Rahmawaty, ......................., Hlm. 70.
6
Ibid., Rokhmat Subagyo, ......................., Hlm 24-25.
7
Ibid., Hlm. 25-26.

6
e. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh perilaku ekonomi (konsumen,
produsen, dan distributor) maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik
konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu
kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi konvensional,
konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan
keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda
tujuan yang akan dicapainya.

3. Konsep Pemilihan dalam Konsumsi

Pada dasarnya konsumsi muslim tidak dapat dipisahkan dari peranan


keimanan. Keimanan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi
baik dalam bentuk kepuasan materi maupun spiritual. Upaya tersebut
meningkatkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Keimanan
memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan juga memotivasi
pemanfaatan pendapatan untuk hal-hal yang efektif. Dalam persepsi ini bertujuan
untuk menjadi preferensi yang serasi antara individual dan sosial, serta dalam
rangka mewujudkan kebaikan dan kemanfaatan.

Dalam konsep Ekonomi Konvensional, tidak ada benda lain yang lebih
berharga dari pada benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tingkat
kepuasan yang diperoleh akibat mengkonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda
yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi lebih berharga dibandingkan
yang memberikan utilitas lebih rendah. Sedangkan dalam konsep ekonomi Islam,
terdapat benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-
benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya.
Disamping itu, terdapat suatu kebutuhan yang lebih mendesak berdasarkan tingkat
kemaslahatannya.

Menurut Masyhuri dalam bukunya Teori Ekonomi Islam, tujuan dari


sistem ekonomi pada prinsipnya ditentukan oleh pandangan masyarakat
pendukungnya tentang dunia. Jika manusia berpandangan bahwa alam ini
terbentuk dengan sendirinya, maka mereka tidak akan bertanggung jawab atas

7
siapapun, dan mereka akan bebas hidup sesukanya. Tujuan hidup mereka untuk
mencapai kepuasan maksimum dan tidak mempengaruhi kepentingan orang lain.
Sebaliknya, jika yang dimiliki didunia ini milik Allah, maka mereka harus
bertanggung jawab atas ciptaan-Nya.

Menurut Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an melarang perbuatan yang melampaui


batas (berlebih-lebihan) dalam belanja dan menikmati rizki yang baik. Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Sikap berlebih-lebihan itu adalah
sikap yang melampaui batas yang wajar. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
yang berbunyi:

        

Artinya: "dari (azab) Fir'aun. Sesungguhnya dia adalah orang yang


sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas." (QS Ad-
Dukhaan (44):31)
Konsumsi dalam islam yang dimaksud ialah manusia tidak boleh berlebih-
lebihan dalam membelanjakan harta dan tidak berfoya-foya, karena sesungguhnya
yang ada di dunia ini hanya milik Allah SWT. Di dalam mengkonsumsi suatu
barang, manusia harus bisa memprioritaskan suatu barang yang lebih bermanfaat
dalam pemenuhannya. Untuk melaksanakan hal tersebut, manusia perlu adanya
etika dan norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah.8
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat)
dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan
pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya
sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua
unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi
itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai
penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang
diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk
8
Ibid., Hlm. 26-28.

8
melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu
sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur
dalam ekonomi Islam.
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh,
akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu
dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya
bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan
pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh
yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap
makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur
tubuh”.

Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak


selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari
seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara
aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri.
Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada
salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki
manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.

Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia


juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas
berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh
potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya,
Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam
batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam
prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang
tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun
dan menjaga bumi dan isinya.

9
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan
menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan
rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang
dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan
pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.

Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di
atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai
interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang
untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya.
Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh
terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu
membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga
tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.

Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan


terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah
berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim
dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian
ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang
dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu,
barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup


kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan
yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu,
manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna
maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.9

9
Rismawanti, Konsep Kebutuhan dalam Islam,
http://rismawanti123.blogspot.co.id/2016/02/konsep-kebutuhan-dalam-islam.html (Diakses pada
tgl. 30-Agustus-2017, pkl: 21.03 WIB)

10
B. Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islam

Asumsi Rasionalitas adalah anggapan bahwa manusia berperilaku secara


rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang
akan menjadikan mereka lebih buruk. Paling tidak perilaku rasional dapat
mempunyai dua makna, yaitu : metode dan hasil. Dalam makna metode, perilaku
rasional berarti “action selected on the basis of reasoned thought rather than out of
habit, prejudice, or emotion (tindakan yang dipilih berdasarkan pikiran yang
beralasan, bukan berdasarkan kebiasaan, prasangka, atau emosi).” Sedangkan
dalam makna hasil, perilaku rasional berarti “action that actually succeeds in
achieving desired goals (tindakan yang benar-benar dapat mencapai tujuan yang
ingin dicapai).”10
Sebelum menjelaskan tentang makna rasionalitas, seringkali para ekonom
mencari kejelasan ungkapan umum dalam ilmu ekonomi bahwa “keputusan yang
diambil oleh pelaku ekonomi harus rasional”. Ungkapan tersebut mengarah pada
substansi bahwa pelaku ekonomi akan membuat keputusan dengan akal sehat
(rasional) atas dorongan kepentingan pribadinya untuk mensejahterakan dirinya.
Namun persoalannya adalah rasionalitas sendiri mengandung muatan dan ukuran
makna yang berbeda di dalam masyarakat. Boleh jadi rasional menurut seseorang,
tetapi tidak rasional menurut yang lain. Demikian juga individu dari sebuah
masyarakat mempunyai pandangan rasionalitas yang berbeda dengan individu
yang lain. Hal ini terjadi akibat dari perbedaan keyakinan dan pengaruh budaya
yang berlaku di masyarakat.11
Dalam bidang keilmuan pun terjadi perbedaan pandangan. Khususnya, ilmu
sosial memandang bahwa secara umum rasionalitas menjadi kajian yang
kontroversial dan tidak ada makna definitif yang bisa diterima oleh semua
kalangan. Apa yang oleh ahli ekonomi dan statistik dianggap sebagai rational
decision process , oleh ahli psikologi dianggap sebagai habitual behaviour. Apa
yang dianggap oleh ahli psikologi sebagai rational choice, oleh ahli ekonomi dan

10
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, kelima (Jakarta: PT rajagrafindo Persada,
2014), hlm. 51.
11
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics,” hlm. 35.

11
statistik tidak sama sekali dianggap rasional. Konsep rasionalitas dalam ekonomi
sering memunculkan istilah rational economic man, yang dalam ekonomi
konvensional menyamakan rasionalitas tersebut dengan serving of self-interest
through the maximization of wealth and want satisfaction. Kendali self-interest
didasarkan hanya pada the moral equivalent of the force of gravity in nature.
Rasionalitas sangat dekat dengan self-interest, sehingga oleh Robert H.
Frank dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu : (1) self-interest rationality
(rasionalitas kepentingan pribadi), ini jenis genuine rationality dan (2) presentaim
rationality (rasionalitas tujuan yang dihadapi berdasarkan preferensi), ini muncul
dari self-interest yang dipengaruhi oleh faktor internal (psikologis) maupun
eksternal (sosiologis, lingkungan) secara ekonomi Menurut Walter Nicholson self-
interest didasarkan pada 3 sifat manusia yang menjadi aksioma kecenderungan
manusia, yaitu: (1) completeness (kelengkapan), maknanya pada situasi yang
sama manusia tidak dapat mempunyai pilihan yang jelas karena keduanya menjadi
prioritas dan diperlukan, (2) transitivity (transitivitas), maknanya ada prioritas
pilihan, dan (3) contiunuity (kontinuitas), maknanya berbagai hal (media, situasi,
dan lain-lain) yang dibutuhkan untuk menunjang tercapainya tujuan harus pula
menjadi prioritas pilihan. Kecenderungan itu menggiring manusia secara natural
dan naluriah membangun preferensinya membuat tiga asumsi tentang preferensi,
yaitu: (1) strong monotonicity (kemonotonan yang kuat), maknanya
kecenderungan manusia adalah ingin lebih banyak atau lebih baik dan tetap pada
posisi semula adalah batas minimal, (2) local non-satiation (diri yang tidak pernah
merasa puas), maknanya perubahan harus selalu tercapai meskipun sedikit, dan
(3) strict convexity (konveksitas -cembung- ketat), maknanya manusia hakikatnya
suka yang rata-rata ketimbang yang ekstrim.
Setelah melihat kecenderungan self-interest terhadap rasionalitas, kemudian
secara teoritis, terminologi rasionalitas dibangun atas dasar asumsi. Oleh Roger
LeRoy Miller, asumsi rasionalitas adalah manusia berperilaku secara rasional
(masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan
menjadikan mereka lebih buruk. Rasional tersebut membentuk sebuah perilaku
yang mengerucut pada dua makna yaitu, (1) metode, yang maknanya adalah

12
tindakan yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan
kebiasaan, prasangka atau emosi; dan (2) hasil, yang maknanya tindakan yang
benar-benar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai).
Asumsi-asumsi tersebut dibangun atas dasar kaidah-kaidah yang diterima
secara universal dan tidak perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan
kebenarannya, yang disebut sebagai aksioma. Aksioma-aksioma ini diposisikan
sebagai acuan dalam pengujian rasionalitas dari suatu argument atau perilaku.
Dalam banyak hal, aksioma didasarkan pada budaya yang bersifat universal,
namun penafsiran operasional dari nilai budaya tersebut didasarkan pada cara
pandang dan berpikir yang ada pada budaya tersebut yang sering dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang melingkupinya.12

Rasionalitas dalam ekonomi islam


Jika dalam ekonomi konvensional, manusia disebut rasional secara ekonomi
jika mereka selalu memaksimumkan utility untuk konsumen dan keuntungan
untuk produsen. Maka dalam ekonomi Islam seorang pelaku ekonomi, produsen
atau konsumen, akan berusaha untuk memaksimalkan Maslahah. Konsep rational
economic man dalam ekonomi Islam juga tidak dibatasi untuk kepentingan pribadi
di dunia semata, tetapi juga diperluas jangkauannya untuk kepentingan Akhirat
melalui kerelaan seorang mukmin terhadap nilai-nilai moral yang dapat
mengendalikan self-interest untuk mempertimbangkan social-interest.
Beberapa pakar ekonomi Islam membuat batasan terhadap rasionalitas
dalam ekonomi Islam. memberikan catatan bahwa:
The time horizon of an Islamic individual is extended to include the
hereafter which implies that he should not limit his behaviour to doing things
which he can collect the benefits resulting from them in this life, he so oriented
that he will do what is good or useful for its sake.
Ia juga menambahkan bahwa Islamic Rationality yang dimaksud olehnya
adalah validity of the maximisation proposition in the context of consumer
behaviour in Islam. Menurutnya, syarat maksimisasi adalah konsistensi terhadap

12
Isfandiar, hlm. 35-36.

13
nilai-nilai dalam perilaku ekonomi) terkonsentrasi pada bidang konsumsi
menyatakan bahwa hal pertama yang harus disadari konsumen adalah bahwa
dirinya sekarang hidup sebagai muslim tentunya standar hidup yang digunakan
adalah standar Islam. Salah satunya bahwa untuk mencapai kepuasan, konsumen
tidak lagi hanya mengejar maksimisasi kepuasan semata secara ekonomi. Inilah
yang olehnya disebut sebagai Islamic rationality.
Dalam konteks rasionalitas dalam konsumsi yang lebih spesifik, Fahim
Khan membedakan antara maslahah dan kepuasan (utility). Maslahah
dikoneksikan dengan kebutuhan (needs), sedangkan kepuasan (utility)
dikoneksikan dengan keinginan (wants). Ia menderivasikan pandangan pada
konsep maqashid shariah dengan maslahah yang berujung pada li mashalih al-
‘ibad (untuk kemaslahatan manusia). 13
Pandangan ekonomi islam tentang kesejahteraan didasarkan pada
pandangan komprehensif tentang kehidupan. Istlah umum yang banyak digunakan
untuk menggambarkan kesejahteraan hakiki ini suatu keadaan hidup yang
sejahtera secara material-spiritual pada kehidupan dunia dan akhirat dalam
bingkai ajaran islam adalah falah.
Dalam pengertian lateral, falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu
kemuliaan dan kemenangan dalam hidup.
Falah, kehidupan yang mulia dan sejahtera didunia dan akhirat, dapat
terwujud apabila terpenuhi kebutuhan hidup manusia secara seimbang yang oleh
asy-syatibi dikonsepsikan sebagai maslahah. Maslahah adalah segala bentuk
keadaan, baik material maupun nonmaterial, yang mampu meningkatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Menurut asy-syatibi,
maslahat dasar bagi kehidupan manusia terdiri atas lima hal, yaitu agama (din),
jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).14
Berkaitan dengan rasionalitas perilaku muslim dalam hal kepuasan (utility),
membedakan secara fundamental antara homo economicus dan homo Islamicus, di
mana fungsi-fungsi yang melekat dengan homo economicus melekat juga pada
13
Isfandiar, hlm. 37-38.
14
Dr. Muhaimin, S.Ag., M.A, Rahasia Sukses Bisnis Orang “Halabiu,” revisi (Yogyakarta: PT. LKIS
Pelangi Aksara, 2013), hlm. 17-18.

14
homo Islamicus, yang membedakan adalah adanya pahala (reward) dan hukuman
-dosa- (punishment) di akhirat.
Pengembangan rasionalitas: pertama, rasionalitas terbatas (bounded
rationality). Pernyataan bahwa setiap agen ekonomi memiliki pengetahuan dan
informasi yang lengkap untuk membuat keputusan adalah tidak realistis. Oleh
karena itu, kebutuhan akan keterbatasan tersebut menjadi niscaya. Rasionalitas
manusia adalah rasionalitas yang terbatas, ternyata berkaitan dengan keputusan
ekonominya manusia bergantung pada teknologi. Kedua, altruisme, diartikan
sebagai kepekaan terhadap sesama. Kata altruism (berasal dari bahasa Perancis
autre yang bermakna other (yang lain), ia juga berasal dari bahasa Latin alter
bermakna other (yang lain) dicetuskan pertama kali oleh Auguste Comte,
Perancis, pendiri aliran Positivism, untuk menggambarkan doktrin etikanya. Ia
percaya bahwa individu mempunyai kewajiban moral untuk layani kepentingan
orang lain atau greet good of humanity. Sebagai nama doktrin etika, altruisme,
ketentuan dokrin etika yang dijalankan merujuk pada ajaran tersebut yaitu
altruisme (melayani orang lain menempatkan kepentingan mereka diatas
kepentingan sendiri. Manusia rasional bukan berarti manusia tanpa perasaan dan
emosi, tetapi manusia yang peka terhadap sekitar dan problem umat manusia.
Upaya yang dilakukan adalah menggabungkan rasionalitas egois dan rasional
altruis, yang posisinya sebagai alat maksimisasi kepuasan, dengan stimulan bahwa
(1) perilaku memberi (philanthropy acts ) menciptakan kepuasan, dan (2)
pencitraan image kepada publik. Ketiga, pandangan dunia Islam (Islamic world-
view).
Secara konseptual dan teoritis, rasionalitas dalam ekonomi Islam dibangun
atau dasar aksioma yang diderivasi dari nilai dan ajaran Islam yang merupakan
kaidah yang bersifat umun dan berlaku universal. Aksioma tersebut antara lain:
Pertama, Setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah.
Maslahah adalah segala bentuk keadaan ataupun perilaku yang mampu
meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Sebaliknya, suatu keadaan yang maslahatnya negatif disebut masharat. Secara
alami maslahah mengandung makna (1) maslahah yang banyak lebih disukai dari

15
pada yang lebih sedikit, termasuk di dalamnya adalah monotonicity (monoton),
dan (2) Maslahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu, dimaknai dari
quasiconcavity, di mana situasi yang menunjukkan non-decreasing. Kedua, setiap
pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran
(nonwasting). Ketiga, setiap pelaku ekonomi akan berhubungan dengan resiko,
yang mengandung 3 tindakan, yaitu (1) selalu berusaha untuk meminimumkan
resiko, (2) berhadapan dengan resiko ketidakpastian, dan (3) melengkapi
informasi dalalm upaya meminimumkan resiko.
Aksioma yang bersifat universal tersebut, didukung oleh aksioma yang
hanya dikandung dalam ajaran Islam dan hanya diyakini oleh seorang muslim,
yaitu (1) adanya kehidupan setelah kematian di dunia, (2) kehidupan dunia
merupakan media untuk mencapai kehidupan akhirat, dan (3) sumber utama
hanyalah Qur’an dan Hadis.15

15
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics,” hlm. 38-39.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat


ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang
yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih
baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Menurut al-Syathibi, rumusan
kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu: dharuriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah.

Menurut mufllih, ada dua bentuk konsep berfikir konsumen dalam peranan
ekonomi yaitu utility atau utilitas dan maslahah. Maslahah mengacu pada
manfaat/kepuasan bersama (masyarakat), sedangkan utilitas lebih pada kepuasan
individu.

Dalam konsep ekonomi Islam, terdapat benda-benda ekonomi yang lebih


berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut akan diutamakan
dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat suatu kebutuhan
yang lebih mendesak berdasarkan tingkat kemaslahatannya.

Sumber daya dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) sumber daya alam, (2) sumber
daya modal dan (3) sumber daya manusia. Semua sumber daya itu harus
digunakan se-efisien mungkin untuk kemaslahatan umat.

B. Saran
Dengan segala kerendahan hati, kami menyatakan bahwa dalam
menyajikan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan
penulis sendiri. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari teman-teman, dan juga dari dosen yang telah memberikan tugas
dengan tema “Konsep Kebutuhan dalam Islam” ini kepada kami.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing, 2016), Hlm. 20.
Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), Hlm.
66-68.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, kelima (Jakarta: PT rajagrafindo Persada,
2014), hlm. 51.
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics,” hlm. 35.
Dr. Muhaimin, S.Ag., M.A, Rahasia Sukses Bisnis Orang “Halabiu,” revisi (Yogyakarta:
PT. LKIS Pelangi Aksara, 2013), hlm. 17-18.

18

Anda mungkin juga menyukai