DI
S
U
S
U
N
OLEH:
Kelompok 7
NAMA : Mardiah
: Raihannatun jannah
SEM :4
UNIT :1
PRODI : HES
DOSEN : Chaidir, M.E.I
Assalamu’alaikum wr wb
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT., yang
telah memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah ini dengan judul “KONSEP KEBUTUHAN
DALAM ISLAM DAN ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM
“ shalawat dan salam penulis sanjung sajikan kepangkuan alam Nabi besar
Muhammad SAW., yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………. ........ 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………… ........ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Islam tentang Kebutuhan …………………… ............................ 2
B. Asumsi Rasionalitas dalam Eknomi Islam ……………………………... 11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………. ............. 17
B. Saran ……………………………………………………. ....................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam, kebutuhan tidak lepas dari nilai moral yang ketat dalam
memasukkan keinginan dalam motif aktivitas ekonomi. Kebutuhan didefinisikan
sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan
hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia atas segala
hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Islam Tentang Kebutuhan
1. Pengertian Kebutuhan
Hal ini sesuai dengan Kardes dkk. definisi kebutuhan; yakni “A need is a
fundamental physical or psychological state of left deprivation.” Maksudnya
kebutuhan adalah salah satu keadaan seseorang merasa kekurangan secara fisik
atau psikologis terhadap pemuas dasar tertentu/hakekat biologis. Selanjutnya
keinginan (wants), merupakan hasrat atau kehendak yang kuat akan pemuas
kebutuhan spesifik. Dari definisi kebutuhan dan keinginan dapat diambil
kesimpulan bahwa kebutuhan dan keinginan merupakan segala sesuatu yang
diperlukan oleh manusia yang bertujuan mempertahankan dan mensejahterakan
hidupnya. Kebutuhan adalah cerminan perasaan ketidakpuasan atau kekurangan
dalam diri manusia yang ingin dicapainya.
Akan tetapi hal tersebut tidak didukung pendapat yang disampaikan oleh
Imam Al-Ghozali, beliau berpendapat bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda
jauh. Menurut Imam Al-Ghozali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya
sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal. Karena ibadah kepada
Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu
1
Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing, 2016), Hlm. 20.
2
terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang
berlaku.
1. Dharuriyat (primer)
Artinya : “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah (2): 193)
2
Ibid., Hlm. 20-22.
3
Oleh sebab itu, tujuan yang bersifat dharuri adalah tujuan utama untuk
pencapaian kehidupan yang abadi bagi manusia. Lima kebutuhan dharuriyah
tersebut harus dapat terpenuhi, apabila salah satu kebutuhan tersebut diabaikan
akan terjadi ketimpangan atau mengancam keselamatan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Manusia akan hidup bahagia apabila kelima unsur
tersebut dapat berjalan dengan baik.
2. Hajiyat (sekunder)
3. Tahsiniyat (tersier)
3
Ibid., Hlm. 20-22.
4
manusia, yang dilakukan untuk memenuhi kebutahan jasmani (hajatu al-
udhawiyah) dan naluri (gharizah) baik berupa sandang, papan, dengan segala
kelengkapannya, pangan, sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Semuanya adalah kebutuhan yang telah menjadi potensi kehidupan
yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.
4
Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), Hlm.
66-68.
5
2. Perbedaan Maslahah dan Utilitas
c. Maslahah relatif lebih obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga
suatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak.
Sementara utilitas mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, karenanya
dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.
6
e. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh perilaku ekonomi (konsumen,
produsen, dan distributor) maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik
konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu
kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi konvensional,
konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan
keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda
tujuan yang akan dicapainya.
Dalam konsep Ekonomi Konvensional, tidak ada benda lain yang lebih
berharga dari pada benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tingkat
kepuasan yang diperoleh akibat mengkonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda
yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi lebih berharga dibandingkan
yang memberikan utilitas lebih rendah. Sedangkan dalam konsep ekonomi Islam,
terdapat benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-
benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya.
Disamping itu, terdapat suatu kebutuhan yang lebih mendesak berdasarkan tingkat
kemaslahatannya.
7
siapapun, dan mereka akan bebas hidup sesukanya. Tujuan hidup mereka untuk
mencapai kepuasan maksimum dan tidak mempengaruhi kepentingan orang lain.
Sebaliknya, jika yang dimiliki didunia ini milik Allah, maka mereka harus
bertanggung jawab atas ciptaan-Nya.
8
melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu
sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur
dalam ekonomi Islam.
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh,
akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu
dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya
bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan
pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh
yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap
makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur
tubuh”.
9
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan
menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan
rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang
dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan
pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di
atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai
interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang
untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya.
Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh
terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu
membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga
tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
9
Rismawanti, Konsep Kebutuhan dalam Islam,
http://rismawanti123.blogspot.co.id/2016/02/konsep-kebutuhan-dalam-islam.html (Diakses pada
tgl. 30-Agustus-2017, pkl: 21.03 WIB)
10
B. Asumsi Rasionalitas dalam Ekonomi Islam
10
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, kelima (Jakarta: PT rajagrafindo Persada,
2014), hlm. 51.
11
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics,” hlm. 35.
11
statistik tidak sama sekali dianggap rasional. Konsep rasionalitas dalam ekonomi
sering memunculkan istilah rational economic man, yang dalam ekonomi
konvensional menyamakan rasionalitas tersebut dengan serving of self-interest
through the maximization of wealth and want satisfaction. Kendali self-interest
didasarkan hanya pada the moral equivalent of the force of gravity in nature.
Rasionalitas sangat dekat dengan self-interest, sehingga oleh Robert H.
Frank dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu : (1) self-interest rationality
(rasionalitas kepentingan pribadi), ini jenis genuine rationality dan (2) presentaim
rationality (rasionalitas tujuan yang dihadapi berdasarkan preferensi), ini muncul
dari self-interest yang dipengaruhi oleh faktor internal (psikologis) maupun
eksternal (sosiologis, lingkungan) secara ekonomi Menurut Walter Nicholson self-
interest didasarkan pada 3 sifat manusia yang menjadi aksioma kecenderungan
manusia, yaitu: (1) completeness (kelengkapan), maknanya pada situasi yang
sama manusia tidak dapat mempunyai pilihan yang jelas karena keduanya menjadi
prioritas dan diperlukan, (2) transitivity (transitivitas), maknanya ada prioritas
pilihan, dan (3) contiunuity (kontinuitas), maknanya berbagai hal (media, situasi,
dan lain-lain) yang dibutuhkan untuk menunjang tercapainya tujuan harus pula
menjadi prioritas pilihan. Kecenderungan itu menggiring manusia secara natural
dan naluriah membangun preferensinya membuat tiga asumsi tentang preferensi,
yaitu: (1) strong monotonicity (kemonotonan yang kuat), maknanya
kecenderungan manusia adalah ingin lebih banyak atau lebih baik dan tetap pada
posisi semula adalah batas minimal, (2) local non-satiation (diri yang tidak pernah
merasa puas), maknanya perubahan harus selalu tercapai meskipun sedikit, dan
(3) strict convexity (konveksitas -cembung- ketat), maknanya manusia hakikatnya
suka yang rata-rata ketimbang yang ekstrim.
Setelah melihat kecenderungan self-interest terhadap rasionalitas, kemudian
secara teoritis, terminologi rasionalitas dibangun atas dasar asumsi. Oleh Roger
LeRoy Miller, asumsi rasionalitas adalah manusia berperilaku secara rasional
(masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat keputusan yang akan
menjadikan mereka lebih buruk. Rasional tersebut membentuk sebuah perilaku
yang mengerucut pada dua makna yaitu, (1) metode, yang maknanya adalah
12
tindakan yang dipilih berdasarkan pikiran yang beralasan, bukan berdasarkan
kebiasaan, prasangka atau emosi; dan (2) hasil, yang maknanya tindakan yang
benar-benar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai).
Asumsi-asumsi tersebut dibangun atas dasar kaidah-kaidah yang diterima
secara universal dan tidak perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan
kebenarannya, yang disebut sebagai aksioma. Aksioma-aksioma ini diposisikan
sebagai acuan dalam pengujian rasionalitas dari suatu argument atau perilaku.
Dalam banyak hal, aksioma didasarkan pada budaya yang bersifat universal,
namun penafsiran operasional dari nilai budaya tersebut didasarkan pada cara
pandang dan berpikir yang ada pada budaya tersebut yang sering dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang melingkupinya.12
12
Isfandiar, hlm. 35-36.
13
nilai-nilai dalam perilaku ekonomi) terkonsentrasi pada bidang konsumsi
menyatakan bahwa hal pertama yang harus disadari konsumen adalah bahwa
dirinya sekarang hidup sebagai muslim tentunya standar hidup yang digunakan
adalah standar Islam. Salah satunya bahwa untuk mencapai kepuasan, konsumen
tidak lagi hanya mengejar maksimisasi kepuasan semata secara ekonomi. Inilah
yang olehnya disebut sebagai Islamic rationality.
Dalam konteks rasionalitas dalam konsumsi yang lebih spesifik, Fahim
Khan membedakan antara maslahah dan kepuasan (utility). Maslahah
dikoneksikan dengan kebutuhan (needs), sedangkan kepuasan (utility)
dikoneksikan dengan keinginan (wants). Ia menderivasikan pandangan pada
konsep maqashid shariah dengan maslahah yang berujung pada li mashalih al-
‘ibad (untuk kemaslahatan manusia). 13
Pandangan ekonomi islam tentang kesejahteraan didasarkan pada
pandangan komprehensif tentang kehidupan. Istlah umum yang banyak digunakan
untuk menggambarkan kesejahteraan hakiki ini suatu keadaan hidup yang
sejahtera secara material-spiritual pada kehidupan dunia dan akhirat dalam
bingkai ajaran islam adalah falah.
Dalam pengertian lateral, falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu
kemuliaan dan kemenangan dalam hidup.
Falah, kehidupan yang mulia dan sejahtera didunia dan akhirat, dapat
terwujud apabila terpenuhi kebutuhan hidup manusia secara seimbang yang oleh
asy-syatibi dikonsepsikan sebagai maslahah. Maslahah adalah segala bentuk
keadaan, baik material maupun nonmaterial, yang mampu meningkatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Menurut asy-syatibi,
maslahat dasar bagi kehidupan manusia terdiri atas lima hal, yaitu agama (din),
jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).14
Berkaitan dengan rasionalitas perilaku muslim dalam hal kepuasan (utility),
membedakan secara fundamental antara homo economicus dan homo Islamicus, di
mana fungsi-fungsi yang melekat dengan homo economicus melekat juga pada
13
Isfandiar, hlm. 37-38.
14
Dr. Muhaimin, S.Ag., M.A, Rahasia Sukses Bisnis Orang “Halabiu,” revisi (Yogyakarta: PT. LKIS
Pelangi Aksara, 2013), hlm. 17-18.
14
homo Islamicus, yang membedakan adalah adanya pahala (reward) dan hukuman
-dosa- (punishment) di akhirat.
Pengembangan rasionalitas: pertama, rasionalitas terbatas (bounded
rationality). Pernyataan bahwa setiap agen ekonomi memiliki pengetahuan dan
informasi yang lengkap untuk membuat keputusan adalah tidak realistis. Oleh
karena itu, kebutuhan akan keterbatasan tersebut menjadi niscaya. Rasionalitas
manusia adalah rasionalitas yang terbatas, ternyata berkaitan dengan keputusan
ekonominya manusia bergantung pada teknologi. Kedua, altruisme, diartikan
sebagai kepekaan terhadap sesama. Kata altruism (berasal dari bahasa Perancis
autre yang bermakna other (yang lain), ia juga berasal dari bahasa Latin alter
bermakna other (yang lain) dicetuskan pertama kali oleh Auguste Comte,
Perancis, pendiri aliran Positivism, untuk menggambarkan doktrin etikanya. Ia
percaya bahwa individu mempunyai kewajiban moral untuk layani kepentingan
orang lain atau greet good of humanity. Sebagai nama doktrin etika, altruisme,
ketentuan dokrin etika yang dijalankan merujuk pada ajaran tersebut yaitu
altruisme (melayani orang lain menempatkan kepentingan mereka diatas
kepentingan sendiri. Manusia rasional bukan berarti manusia tanpa perasaan dan
emosi, tetapi manusia yang peka terhadap sekitar dan problem umat manusia.
Upaya yang dilakukan adalah menggabungkan rasionalitas egois dan rasional
altruis, yang posisinya sebagai alat maksimisasi kepuasan, dengan stimulan bahwa
(1) perilaku memberi (philanthropy acts ) menciptakan kepuasan, dan (2)
pencitraan image kepada publik. Ketiga, pandangan dunia Islam (Islamic world-
view).
Secara konseptual dan teoritis, rasionalitas dalam ekonomi Islam dibangun
atau dasar aksioma yang diderivasi dari nilai dan ajaran Islam yang merupakan
kaidah yang bersifat umun dan berlaku universal. Aksioma tersebut antara lain:
Pertama, Setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah.
Maslahah adalah segala bentuk keadaan ataupun perilaku yang mampu
meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
Sebaliknya, suatu keadaan yang maslahatnya negatif disebut masharat. Secara
alami maslahah mengandung makna (1) maslahah yang banyak lebih disukai dari
15
pada yang lebih sedikit, termasuk di dalamnya adalah monotonicity (monoton),
dan (2) Maslahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu, dimaknai dari
quasiconcavity, di mana situasi yang menunjukkan non-decreasing. Kedua, setiap
pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran
(nonwasting). Ketiga, setiap pelaku ekonomi akan berhubungan dengan resiko,
yang mengandung 3 tindakan, yaitu (1) selalu berusaha untuk meminimumkan
resiko, (2) berhadapan dengan resiko ketidakpastian, dan (3) melengkapi
informasi dalalm upaya meminimumkan resiko.
Aksioma yang bersifat universal tersebut, didukung oleh aksioma yang
hanya dikandung dalam ajaran Islam dan hanya diyakini oleh seorang muslim,
yaitu (1) adanya kehidupan setelah kematian di dunia, (2) kehidupan dunia
merupakan media untuk mencapai kehidupan akhirat, dan (3) sumber utama
hanyalah Qur’an dan Hadis.15
15
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics,” hlm. 38-39.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut mufllih, ada dua bentuk konsep berfikir konsumen dalam peranan
ekonomi yaitu utility atau utilitas dan maslahah. Maslahah mengacu pada
manfaat/kepuasan bersama (masyarakat), sedangkan utilitas lebih pada kepuasan
individu.
Sumber daya dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) sumber daya alam, (2) sumber
daya modal dan (3) sumber daya manusia. Semua sumber daya itu harus
digunakan se-efisien mungkin untuk kemaslahatan umat.
B. Saran
Dengan segala kerendahan hati, kami menyatakan bahwa dalam
menyajikan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan
penulis sendiri. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari teman-teman, dan juga dari dosen yang telah memberikan tugas
dengan tema “Konsep Kebutuhan dalam Islam” ini kepada kami.
17
DAFTAR PUSTAKA
Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Alim’s Publishing, 2016), Hlm. 20.
Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011), Hlm.
66-68.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, kelima (Jakarta: PT rajagrafindo Persada,
2014), hlm. 51.
Isfandiar, “Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics,” hlm. 35.
Dr. Muhaimin, S.Ag., M.A, Rahasia Sukses Bisnis Orang “Halabiu,” revisi (Yogyakarta:
PT. LKIS Pelangi Aksara, 2013), hlm. 17-18.
18