Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KEBUTUHAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

OLEH :

DYTIA DWIYANTI – 200313106

MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang.................................................................. Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah ........................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB II PEMBAHASAN........................................................ Error! Bookmark not defined.

A. Apakah perbedaan kebutuhan dan keinginan dalam perspektif islam ............... Error!
Bookmark not defined.

B. Bagaimana cara manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam islam ........... Error!
Bookmark not defined.

C. Bagaimana implementasi standar kebutuhan hidup di Indonesia dalam perspektif


islam ........................................................................................ Error! Bookmark not defined.

BAB III PENUTUP ............................................................... Error! Bookmark not defined.

A. Pembahasan....................................................................... Error! Bookmark not defined.

B. Kesimpulan ........................................................................ Error! Bookmark not defined.

Daftar Pustaka ....................................................................... Error! Bookmark not defined.


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, karenanya ia merupakan bagian
yang tidak dapat terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam,
ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Islam adalah sistem
kehidupan (way of life), dimana Islam telah menyediakan berbagai perangkat aturan yang
lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Ketika homo economicus
tidak mampu menjelaskan perilaku manusia secara lengkap, dan kesadaran para pembaharu
ekonomi konvensional terhambat dengan tidak adanya standar moral yang dapat dijadikan
acuan, Islam menjadi solusi satu-satunya. Pandangan Islam terhadap manusia dan bagaimana
perilaku ekonominya adalah konsep yang komprehensif, konsep ini dapat disingkat dengan
istilah homo Islamicus. Homo Islamicus mengarahkan manusia kepada tujuan hakiki dari
kegiatan ekonomi, yaitu falah.
Dalam kegiatan berekonomi kita tidak akan jauh dari istilah distribusi, produksi, dan
konsumsi. Beberapa jenis kegiatan tersebut saling.berkaitan, dalam hal ini peneliti ingin
mengkaji lebih dalam kegiatan konsumsi seorang konsumen atau kita sering dengar dengan
perilaku konsumen. Yang dimaksud dengan konsumsi adalah pembelanjaan atau pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan hidup secara jasmani atau rumah tangga yang bertujuan untuk
memuaskan kebutuhan manusia, bertujuan menghantarkan kesejahteraan yang berdimensi
fisik, materialis, dan hedonisme tanpa batas. Sehingga tidak ada pembahasan secara spesifik
dalam mengikuti bagaimana gaya konsumsinya, batasan ini muncul apabila seseorang telah
mendapatkan titik kepuasan dalam konsumsinya. Perilaku konsumen merupakan perilaku
atau sikap manusia dalam memanfaatkan pemasukan dalam memenuhi kebutuhannya, baik
secara individu maupun sosial. Sisi keunggulan perilaku konsumen muslim dari pada
perilaku konsumen konvensional ialah bentuknya bukan sekedar memenuhi kepuasan semata,
melainkan juga memiliki nilai manfaat dan berkah, dalam hal ini hedonisme tidak berlaku
dalam perilaku konsumen muslim. Dalam Islam, perilaku seorang konsumen harus
mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah Swt, inilah yang membedakan dengan
perilaku konsumsi konvensional. Manusia tidak dilihat dari sudut moral, tetapi dilihat sebagai
manusia seperti apa adanya, yang biasanya selalu menginginkan kehidupan material yang
lebih baik. Banyak ahli ekonomi memandang konsep kepuasan yang tidak terbatas sebagai
suatu anggapan kerja (working hypothesis) bukan sebagai konsepsi manusia yang utuh.
Dalam penerapannya ilmu ekonomi tidak bisa lepas dari permasalahan (yaitu penilaian
mengenai mana yang “baik” dan mana yang “buruk”), anggapan kerja ini memang harus
digunakan dengan hati-hati. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peran
keimanan. Peran keimanan menjadi tolak ukur penting, karena memberi cara pandang kepada
dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku,
gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya, dan ekologi.
Keimanan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk
kepuasan material maupun spiritual. Perkembangan sistem ekonomi Islam yang terbawa oleh
zaman akan banyak memunculkan pemikiran-pemikiran yang kontemporer dan kekinian.
BAB 11

PEMBAHASAN

1. Apakah perbedaan kebutuhan dan keinginan dalam perspektif islam

Makhluk hidup di dunia ini mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri, baik itu hewan,
tumbuhan, dan manusia pasti mempunyai kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Dan
dalam makalah ini yang menjadi objek pembahasannya adalah kebutuhan dari seorang
manusia.
Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku
konsumen dari kerangka Maqasid Syariah. Tujuan Syariah harus dapat menentukan tujuan
perilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syariah Islam adalah tercapainya kesejahteraan
umat manusia. Oleh karena itu semua barang dan jasa yang memiliki maslahah akan dikatan
kebutuhan manusia.
Dan pembahasan berikut ini akan menguraikan kebutuhan secara lebih mendalam, mulai dari
pengertian baik secara umum dan menurut Islam, jenis-jenis baik secara garis besar dan
menurut Islam, faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan itu sendiri, dan perbedaan
Maslahah dengan utilitas.

Maslahah adalah kepemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen-elemen


dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini dan perolehan pahala untuk kehidupan
akhirat.
Kebutuhan menurut max weber :
1. Sekunder
2. Primer
3. Display

Kebutuhan menurut prof. A. mannan :

1. Keperluan : sesuatu yang harus dipenuhi.


2. Kesenangan : menambah efisiensi.

Kebutuhan menurut Karomah :

1. Primer
2. Sekunder
3. Display

Kebutuhan menurut Abraham mosleow :

1. Fisiologi
2. Rasa aman
3. Rasa sosial
4. Penghargaan
5. Aktualisasi diri

Kebutuhan adalah senilai dengan keinginan. Di mana keinginan ditentukan oleh konsep
kepuasan. Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep kepuasan. Dalam
perspektif Islam kebutuhan di tentukan oleh konsep maslahah. Pembahasan konsep
kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka
maqasid syari’ah (tujuan syari’ah). Tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku
konsumen dalan Islam. Tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya lesejahteraan umat manusia
(maslahat-al-‘ibad). Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang dimiliki maslahah akkan
dikatakan menjadi kebutuhan manusia.

Teori ekonomi konvensional menjabarkan kepuasan (utility) seperti memiliki barang/jasa


untuk memuaskan keinginan manusia. Kepuasan (satisfaction) ditentukan secara subyektif.
Tiap-tiap orang memiliki atau mencapai kepuasannya menurut ukuran atau kriterianya
sendiri. Suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan sesuatu adalah didorong karena adanya
kegunaan dalam sesuatu itu. Jika sesuatu itu dapat memenuhi kebutuhan, maka manusia akan
melakukan usaha untuk mengkonsumsi sesuatu itu.
Dalam konteks ini, konsep maslahah sangat tepat untuk diterapkan. Menurut Syatibi,
maslahah adalah pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen-elemen
dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini (dan perolehan pahala untuk
kehidupan akhirat = pen). Syatibi membedakan maslahah menjadi tiga, yaitu: kebutuhan
(daruriyah), pelengkap (hajiyah), dan perbaikan (tahsiniyah).

Khallaf memberikan penjelasan mengenai maslahah sebagai berikut, bahwa tujuan umum
syar’i dalam mensyari’atkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam
kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Karena kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat daruriyah, hajiyah, dan
tahsiniyah telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka. Seorang ahli hokum
yang muslim, tentunya mensyari’atkan hokum dalam berbagai sektor kegiatan manusia untuk
merealisasikan pokok-pokok daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah bagi perorangan dan
masyarakat.

Lebih jauh khallaf mengatakan, “yang terpenting dari tiga tujuan pokok itu adalah darury dan
wajib dipelihara. Hajiyi boleh ditinggalkan apabila memeliharanya merusak hukum darury,
dan tahsiny boleh ditinggalkan apabila dalam menjaganya merusak hukum darury dan
tahsiny.

Jadi semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi elemen pokok (darury)
telah dapat dikatakan memiliki maslahah bagi umat manusia. Semua kebutuhan adalah tidak
sama penting. Kebutuhan ini meliputi tiga tingkatan, yaitu:
• Tingkat di mana lima elemen pokok di atas dilindungi secara baik.
• Tingkat di mana perlindungan lima elemen pokok di atas dilengkapi untuk
memperkuat perlindungannya.
• Tingkat di mana lima elemen pokok di atas secara sederhana di peroleh secara lebih
baik.

Semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan, atau kualitas untuk melindungi, menjaga dan
memperbaiki, atau salah satu daripadanya terhadap lima elemen pokok, maka barang dan jasa
tersebut memiliki maslahah. Seorang muslim secara agamis didorong untuk mencari dan
memproduksi barang dan jasa yang memiliki maslahah, tergantung pada tingkat di mana
barang/jasa mampu mengenai elemen pokok tersebut. Barang/jasa yang melindungi elemen
ini akan lebih maslahah jika diikuti oleh barang/jasa untuk melindungi/menjaga barang/jasa
itu dari kemungkinan memperbaiki elemen pokok tersebut.
Kebutuhan dan Keinginan Menurut Al-GhazaliKebutuhan adalah senilai dengan keinginan.
Dimana keingi nan ditentukan oleh konsep kepuasan (satisfaction). Tidak demikian dalam
perspektif Al-Ghazali, kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah (di dalamnya
mengandung manfaat dan barkah), sesuai dengan tuntunan maqasid al-Shari’ah. Asumsi ini
berangkat dari realitas bahwa pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat
dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka maqasid al-shari’ah. Semua
manusia mempunyai kebutuhan, yang merupakan akar permasalahan ekonomi. Kebutuhan
manusia berkembang seiring dengan perkembangan peradaban. Al-Ghazali telah
memberikan obor penerang bagi para ekonom muslim yang sedang mengembangkan
disiplin ilmu ekonomi Islam (Islamic Economics). Karya-karya Al-Ghazali dalam mengupas
karakter homo Islamicus dapat ditemukan pada sejumlah karyanya antara lain Ihya‘ ‘Ulum
al-Din pada bab al-Kasbi wa-al Ma’ashi, kitab al-Mustasfa, al-Tibru al-Masbu’ ala Nasiha
al-Mulk, al-Arbain fi Usul al-Din dan Mizan al-Amal yang dapat dijadikan bahan referensi
penulis untuk mengetahui konsep kebutuhandan keinginan.Menurut Al-Ghazali kebutuhan
(hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidupnya seperti kebutuhan makanan untuk menolak
kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan
dingin, sebagaimana ungkapan-nya.
Senada dengan pernyataan di atas, Al-Ghazali dalam kitab al- Arbain fi Usul al-Din
pada bab fi Talab al-halal2 menyatakan ketiga kebutuhan yaitu makanan (pangan), tempat
(papan), dan pakian (sandang) dengan berbagai manfaat dan sarana yang harus dilalui.
Makanan untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian
untuk menolak panas dan dingin, serta tempat, pakaian untuk menolak panas, dingin, dan
kerusakan.Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (shahwat) dan
kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo
Islamicus. Namun, individu harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu
ingin makan misalnya, (shahwah al-ta’am) adalah untuk menggerakkannya mencari makan
dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu
menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah untuk beribadah kepada-Nya.
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami
dan konvensional. Al-Ghazali selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan
tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka
esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja,
sebagaimana ungkapan Al-Ghazali berikut ini:
Argumentasi Al-Ghazali jelas telah membedakan antara keinginan dan kebutuhan
(hajah), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar
dalam ilmu ekonomi. Karena dari pembedaan antara keinginan (wants) dan kebutuhan
(needs), akan terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan konvensional. Munculnya
ilmu ekonomi konvensional itu sendiri diyakini oleh para penggagasnya karena terjadi
kesenjangan antara sumber-sumber daya yang terbatas (limited resources) dihadapkan pada
keinginan manusia yang tidak terbatas (unlimited wants). Kebutuhan dalam Ilmu ekonomi
konvensional, selalu didefinisikan sebagai keinginan untuk memperoleh suatu sarana
tertentu,baik berupa jasa maupun barang,7 beserta alat pemuasnya.8 Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa; kebutuhan (al-hajah) manusia diterjemahkan sama dengan
keinginan (raghbat) manusia
2. Bagaimana cara manusia memenuhi kebutuhan dalam islam
Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi masyarakat
atau negara. Hal ini karena manusia mengkondisikan pemenuhan kebutuhan hidupnya
berdasarkan tempat ia hidup. Manusia satu sama lain tidak bisa memaksakan cara
pemenuhan hidupnya ataupun sebaliknya.
Kebutuhanlah yang membentuk pola konsumsi. Muslim dalam mengkonsumsi dibatasi atas
sebab-sebab fisik yang merefleksikan pola, bukan dikarenakan pengaruh preferensi semata.
Pola konsumsi yang berbasis kebutuhan akan menghindarkan kita dari pengaruh-pengaruh
pola konsumsi yang tidak perlu.
Manusia adalah bagian dari masyarakat. Seorang muslim harus menyadari bahwa dirinya
adalah salah satu bagian yang membentuk masyarakat. Maka dalam konsumsi kita dituntut
untuk menghormati keberadaan sesama. Hal ini akan menghindarkan dari kesenjangan
sosial.
Seorang muslim dalam usahanya untuk mencapai tingkat kepuasan mempertimbangkan
beberapa hal berikut:

1. Barang yang dikonsumsi tidak haram


2. Dalam memperolehnya tidak berspekulasi
3. Tidak menimbun barang dan melakukan kegiatan pasar gelap
4. Tidak mengandung riba
5. Memperhitungkan zakat dan infaq

Kepuasan seorang muslim tidak didasarkan pasar banyak sedikitnya barang yang bisa
dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa nilai ibadah yang didapatkan dari apa yang
dilakukannya.
Menurut Islam, tujuan konsumsi adalah untuk maslahah terbesar, sehingga ia dapat
mencapai kemenangan di duina dan akhirat. Dengan demikian pendekatan nilai guna/utilitas
yang berlaku dalam ekonomi konvensioanal perlu ditinjau ulang dalam kerangka Islam.
Kaidah dalam konsumsi menurt Al-Quran dan Hadits:
QS. Al-Baqarah (2) ayat 68
“Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan
kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara
itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
QS. Al-Baqarah (2) ayat 172
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.”
QS. Al-Baqarah (2) ayat 173
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
QS. Al-Maidah (5) ayat 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
QS. Al-Isra’ (17) ayat 27
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
QS. Al-A’raf (7) ayat 31
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”
QS. Thaha (20) ayat 81
“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah
melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. dan Barangsiapa
ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia.”
QS. Al-Furqan (25) ayat 67
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Hadits Nabi:
“Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa kecongkakan dan berlebih-
lebihan, karena sesungguhnya Allah suka melihat nikmat-Nya atas hamba-Nya” (HR
Nasa’i, Ibnu Majah, Al-Hakim dan dihasankan dalam Shahih Al-Jami’ al-Shaghir).
“Tidaklah anak Adam memenuhi satu kantungpun lebih buruk daripada lambungnya
(perutnya). Cukuplah baginya beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang
punggungnya, jika memang demikian maka sepertiga (perutnya untuk makanan, sepertiga
untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya” (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-
hakim).
“Jauhilah olehmu berfoya-foya karena hamba Allah (yang taat) itu bukanlah orang yang
berfoya-foya.”(HR Ahmad dan Bihaqi).
“Orang-orang yang paling buruk dari umatku adalah yang dijejali kenikmatan, mereka yang
makan dengan bermacam-macam makanan, berpakaian bermacam-macam busana dan
banyak bicara omong kosong.(HR. Ibnu Abid Dunya, Al-Baihaqi, At-Tabrani, Tamam dari
abu Umamah).
‘Seorangm muslim makan dari satu usus sedangakn orang kafir dalam tujuh usus” ( H.R.
Muttafaq alaih dari Abu Hurairah).
Kepuasan dalam Islam meliputi kepuasan konsumtif dan kepuasan kreatif, kepuasan
konsumtif akan menghasilkan kepuasan siap kreasi, sebab komsumsi yang dilakukan
seorang muslim akan memberikan kekuatan fisiknya, sehingga ia dapat menjadi lebih
kreatif. Kepuasan siap kreasi dapat diketahui dari perintah Nabi SAW yaitu ” berhenti makan
sebelum kenyang.” Hal ini sebabakan kerena pada saat itu kondisi kreatif dapat diperoleh.
Untuk mengukur kepuasan dari seorang muslim kita dapat menggunakan konsep
konvensional utilitas. Utililtas dibedakan menjadi dua yaitu utilitas total dan utilitas
marginal.
Utilitas total adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam mengkonsumsi sejumlah
barang tertentu, sedangkan utilitas marginal adalah pertambahan atau pengurangan kepuasan
sebagai akibat dari pertambahan atau pengurangan satu unit barang.
Kepuasan bukan berdasar atas banyaknya barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas
kemampuan fisik manusia dalam menggunakan barang yang dikonsumsinya dalam
melangsungkan hidupnya.
Pada saat keadaan berada di dU/dQ=0 yaitu pada saat dimana pertambahan kepuasan yang
diperoleh atas pertambahan jumlah barang yang dikonsumsi sama dengan harta barang.
Berlaku ajaran nabi “ berhentilah makan sebelum kenyang”, pada saat inilah seseorang telah
mencapai kepuasan optimum. Pada saat seseorang telah mencapai kepuasan maksimum
maka ia harus berhenti makan. Hal ini sesuai ajaran Al-Quran: “Seseorang tidak boleh
berlebihan atau melewati batas kemampuan/ukuran.” Dan ajaran Nabi: “ sepertiga perutnya
untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk nafasnya.”
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW
bersabda:
“ Jika manusia telah memiliki dua lembah gunung yang berisi harta dan bendanya, pasti
akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan pada perut manusia
kecuali tanah ( mati) dan Allah SWT akan menerima tobat dari setiap orang yang bertaubat
kepada-Nya.”
Jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi seseorang berbeda satu dengan yang lainnya.
Tetapi tidak terletak pada kuantitas maksimal. Hal ini sesuai dengan ajaran Rasululah,
penyebabnya adalah:
Mengurangi konsumsi sebelum mencapai kepuasan maksimal sebagai upaya untuk menjaga
konsistensi kepuasan yang diterima seseorang muslim dari mengkonsumsi suatu barang,
karena tambahan utilitas yang akan diperoleh akan semakin sedikit bila ia terus menrus
menambah konsumsinya.
Pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimal maka hal tersebut dapat menurunkan
kreativitsnya karena kekenyangan yang mendatangkan rasa kantuk dan malas.
Hukum ini dikenal dengan hukum utilitas marginal yang semakin menurun ( the law of
diminishing return). Pertambahan yang terus-menerus dalam berkonsumsi suatu barang tidak
akan menambah kepuasan dalam berkonsumsi, tetapi lama-kelamaan tingkat kepuasan akan
menurun.
3. Bagaimana implementasi standar kebutuhan hidup di Indonesia dalam perspektif
islam

Islam menempatkan aspek ekonomi dan tanggung jawab sosial dalam


kedudukan yang setara, kedua aspek tersebut harus diatur agar masing-masing dari
mendapatkan bagiannya secara benar. Islam mempunyai prinsip
pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya
yang terintegrasi pada semua bidang kehidupan antara lain agama, ekonomi, dan
sosial-politik-budaya. Konsep kesimbangan ini juga terkait antara jiwa dan raga,
antara individu dan keluarga, antara individu dan sosial dan suatu masyarakat
dengan masyarakat.

Islam menempatkan aspek ekonomi dan tanggung jawab sosial dalam kedudukan yang setara,
kedua aspek tersebut harus diatur agar masing-masing dari mendapatkan bagiannya secara
benar. Islam mempunyai prinsip pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk
dan ruang lingkupnya yang terintegrasi pada semua bidang kehidupan antara lain agama,
ekonomi, dan sosial-politik-budaya. Konsep kesimbangan ini juga terkait antara jiwa dan
raga, antara individu dan keluarga, antara individu dan sosial dan suatu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. CSR dalam perspektif Islam merupakan konsep yang menawarkan
keseimbangan kepentingan antara shareholders dan stakeholders, keseimbangan antara aspek
ekonomi dan sosial ini dapat dilihat dalam prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip dasar dalam
etika bisnis Islam yang dapat dijadikan sebagai konsep, yaitu tauhid (unity/kesatuan),
keseimbangan atau kesejajaran (equilibrium), kehendak bebas (free will), dan tanggung jawab
(responsibility). Prinsip-prinsip ini sejalan dengan konsep CSR, karena pada dasarnya segala
aktifitas bisnis dilihat sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT. CSR di Indonesia
merupakan hal yang baru, kedudukan mengenai CSR ini semakin menguat terutama setelah
dinyatakan dengan tegas dalam UU PT yang terdapat pada Pasal 1 angka (3) dan Pasal 74
yang belum diatur UU PT yang terdahulu. Melihat perkembangan CSR yang telah diadopsi
ke dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat ditelusuri lebih lanjut bagaimana
prinsip-prinsip yang terdapat dalam ajaran Islam ini diterapkan dalam pengaturan CSR di
Indonesia. Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan penerapan prinsip prinsip Islam
dalam peraturan perundang-undangan dan sifat-sifat keharusan dalam bisnis. Jika ciri-ciri dan
sifat-sifat di atas tidak ada, maka bisnis yang dilakukan tidak akan mendapat keuntungan dan
manfaat. Prinsip tauhid ini terkait dengan prinsip-prinsip nubuah (sifat Rasulullah)yang
terdiri dari shiddiq, fathanah, amanah dan tabligh. Sifat nubuah lebih menngambarkan etika
bisnis dalam Islam, karena telah diajarkan Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk dalam menjalankan kegiatan bisnis. Shiddiq berarti mempunyai kejujuran dan
selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai kebenaran yang
diajarkan Islam. Dalam bisnis Islam, kunci utama yang harus dikedepankan adalah kejujuran.
Kejujuran ditunjukan dengan setiap perkataan yang dibuktikan dengan perilaku, berpijak
pada kebenaran dan sesuai fakta yang ada. Konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan,
meski menghadapi tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan,
kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti
mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan
kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai
macam inovasi yang bermanfaat. Fathanah juga berarti cerdas, yaitu mampu berpikir secara
jernih dan rasional serta mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Dalam dunia bisnis
sifat fathanah ini digunakan untuk memberi batasan untuk pelaku bisnis dengan cara
mengidentifikasi dan menetapkan hal-hal dan atau kegiatan yang diperbolehkan atau tidak.
Fathanah juga dapat diartikan sebagai kemampuan kreatif dan konseptual pelaku bisnis yang
berfungsi membentuk, mengubah dan mengembangkan semua potensi kehidupan alam
semesta menjadi sesuatu yang konkret dan bermanfaat.Amanah, tanggung jawab dalam
melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan,
kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Pelaku usaha
harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang
Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan
kewajiban-kewajibannya. Amanah berarti dapat dipercaya, yaitu menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh Allah dan orang lain. Dalam berbisnis, pemberian kepercayaan ini diwujudkan
dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas atas kegiatan-kegiatan bisnis.
Tabligh, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sifat tabligh dapat
disampaikan pelaku usaha dengan bijak, sabar, argumentatif, dan persuasif yang dapat
menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang kuat. Para pelaku usaha dituntut mempunyai
kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus
dimiliki. Tabligh mempunyai arti kebenaran, menurut konteks bisnis kebenaran dimaksudkan
sebagai niat, sikap dan perilaku benar dalam upaya untuk meraih keuntungan. Berpegang
pada prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif
terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak dalam melakukan transaksi,
kerjasama atau perjanjian bisnis. Penyampaian kebenaran dalam dunia bisnis diwujudkan
dalam bentuk sosialisasi praktik-praktik bisnis yang baik dan bersih, kesediaan pelaku bisnis
untuk bertanggungjawab. Kemudian etika sifat-sifat nubuah ini diturunkan menjadi aksioma
etika bisnis Islam, dimana prinsip-prinsip Islam ini kemudian diadopsi ke dalam Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur tentang CSR di Indonesia.
a. Keseimbangan (equilibrium)
Seorang Muslim juga harus memenuhi keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial dan
individual dalam masyarakat, kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama
dipandang dari sudut sosial. Prinsip ini telah diterapkan ke dalam aturan CSR di Indonesia
yaitu UU PT Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 74 ayat 2:
a) Pasal 1 angka (3)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baikbagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya.
b) Pasal 74 Ayat 2
Tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
UU PT mewajibkan setiap perusahan untuk melaksanakan CSR, baiksecara langsung
atau tidak secara langsung menggunakan sumber daya alam dalam kegiatan usaha
perusahaan. Dengan berlakunya pasal ini maka CSR yang semula adalah kewajiban moral
yang bersifat sukarela, berubah menjadikewajiban hukum yang bersifat mengikat. Prinsip
keseimbangan juga dapat dilihat dalam UU BUMN Pasal 2 Ayat (1) huruf e dan Pasal 88
Ayat 1 yang menyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga
memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan
masyarakat dengan cara menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan
usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar Badan Usaha Milik Negara. Prinsip
keadilan dan keseimbangan antara aspek ekonomi dan sosial juga dapat dilihat dalam Pasal
16 UU PM yang berbunyi bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga
kelestarian lingkungan hidup dan menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kesejahteraan pekerja.

BAB III
PENUTUPAN
C. Pembahasan

Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian
perilaku konsumen dari kerangka Maqasid Syariah. Tujuan Syariah harus dapat menentukan
tujuan perilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syariah Islam adalah tercapainya kesejahteraan
umat manusia. Oleh karena itu semua barang dan jasa yang memiliki maslahah akan dikatan
kebutuhan manusia.
Dan pembahasan berikut ini akan menguraikan kebutuhan secara lebih mendalam, mulai dari
pengertian baik secara umum dan menurut Islam, jenis-jenis baik secara garis besar dan
menurut Islam, faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan itu sendiri, dan perbedaan
Maslahah dengan utilitas

D. Kesimpulan

Setelah kita mengetahui perbedaan pengertian antara kebutuhan secara umum dan
menurut perspektif Islam, dan juga macam-macamnya kita bisa membedakan mana kebutuhan
yang benar-benar di penuhi terlebih dahulu dan mana pula kebutuhan yang tidak terlalu
penting. Karena sumber daya alam di dunia ini diciptakan tidak terbatas bagi manusia dan
kebutuhan manusia pun juga tidak terbatas, akan tetapi dalam islam kebutuhan manusialah
yang harus di batasi, karena nafsu seorang manusia tidak ada habisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta:BPFE, 2005.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: EKONISIA, 2003
Ridha, Akram. Kiat Bebas dari Utang: Mengatur Keungan Keluarga. Jakarta: AMZAH,2005.
Efendi, Muhammad Rizka Maulana, 2010, Corporate Social Responsibility
Dalam Perspektif Islam

http://lisensiuinjkt.files.wordpress.com/2010/05/corporate-social
responsibility-4-presentasi-kajian-lisensi.pdf

Wahyudi, Ade Ilham, 2010, Pandangan Islam Tentang Kebutuhan

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer,

Anda mungkin juga menyukai