1. Megawati 18513004
2. Tiara Putri 191514022
3. Wulan sari 191514010
4. Desti Carolin 20151502
5. Supendri 201222101
Dosen Pengasuh:
Kartini, S.Ag.,ME.Sy
Pada
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Islam adalah agama yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang
mengatur segala tingkah laku manusia. Sebagai khalifah bagi dirinya sendiri manusia
mempiunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan untuk mengarungi
kehidupan didunia. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana
manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi
kemashlahatan hidupnya.
Konsumsi yang Islami selalu berpedoman pada ajaran Islam, yang aturannya terdapat dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antara ajaran yang penting berkaitan dengan konsumsi adalah
tujuan konsumsi itu sendiri, dimana seorang muslim akan lebih mempertimbangkan
mashlahah daripada utilitas. Preferensi seorang konsumen dibangun atas kebutuhan akan
mashlahah, baik mashlahah yang diterima di dunia maupun di akhirat. Perilaku konsumsi
yang seperti ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas
dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Maka dari itu
semua, seorang muslim yang baik haruslah mengerti tentang teori-teori konsumsi menurut
Islam demi kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi pokok masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Secara etimologi, mashlahah berasal dari kata sholaha ( ) صلحyang memiliki arti faedah,
kepentingan, manfaat dan kemaslahatan.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-
nafs), properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga
atau keturunan (al-nasl).
Misalnya, ketika seseorang diminta memilih antara mengonsumsi sepiring cimol di pinggir
jalan atau ketika menyantap seporsi Hamburger di restoran terkenal manakah yang kira-kira
kebanyakan orang pilih?. Bagi orang yang menyukai Hamburger dan memiliki uang lebih
cenderung memilih pilihan kedua, akan tetapi bagi mereka yang dompetnya kosong akan
lebih condong ke pilihan pertama, walaupun ia tidak menyukai cimol. Dalam ilustrasi
tersebut tergambar pertimbangan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang yang antara
lain biaya dan selera. Padahal, menurut pandangan Islam apabila kita hendak memilih sesuatu
yang akan dikonsumsi bukan hanya selera atau biaya. Kita juga harus memperhatikan faktor
manfaat seta halal/tidaknya barang tersebut. Nah, faktor manfaat dan berkah inilah yang
merupakan bagian utama dari maslahah.
Mashlahah berkonsep maqashid as-syariah. Maslahah memiliki dua kandugan yaitu manfaat
dan berkah. Manfaat berarti dapat memenuhi kebutuhan konsumen, berkah berarti barokah,
sesuai konsep Islam. Bagi seorang muslim yang takwa dia akan mempertimbangkan
maslahah dari barang tersebut. Jika dihubungkan ke pertanyaan awal, maka ia akan lebih
memilih Cimol dipinggir jalan karena Hamburger termasuk barang haram (Ham=daging
babi), meskipun ia tidak menyukai cimol tersbut setelah membandingkan berkah dari kedua
makanan tersebut. Contoh lainnya, seorang siswa SMA karena prestasinya disekolah dan
orang tuanya kaya raya akan dibelikan hadiah antara sepeda roda dua atau Motor gede
250cc. Karena mempertimbangkan sekolahnya yang tidak terlalu jauh, serta tidak suka polusi
maka ia akan lebih memilih sepeda, karena mempertimbangkan manfaatnya meskipun harga
sepeda tersebut jauh lebih murah. Selain itu konsumsi yang maslahah termasuk konsumsi
yang tidak berlebihan (israf), mubazdir, dan tidak menimbulkan kemudharatan.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan apabila kita hendak mengkonsumsi suatu barang, hendaklah
kita memikirkan manfaat, berkah, dan kauntitas yang diperlukan. Dengan melakukannya
Insya Allah maslahah dapat tercapai.
Kebutuhan terkait denagn segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang berfungsi
secara sempurna. Sebagai misal genting dan pintu jendela merupakan kebutuhan suatu rumah
tinggal. Di sisi lain, keinginan adalah terkait dengan hasrat atau harapan seseorang yang jika
dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia atau suatu barang.
Secara umum pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik,
spiritual, intelektual atau material, sedang keinginan akan menambah kepuasan disamping
manfaat lainnya.
Wants dalam teori ekonomi konvensional muncul dari keinginan naluriah manusia, yang
muncul dari konsep bebas nilai (value-free concept). Ilmu ekonomi konvensional tidak
membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memberikan efek yang sama
bila tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan. Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah
keinginan, demikian pula sebaliknya. Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya
sumber-sumber daya alam secara membabi-buta dan merusak keseimbangan ekologi.
Pada sisi yang lain, Ekonomi Islam justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala
keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan (maximization of satisfaction) bukanlah
spirit dalam perilaku konsumsi Ekonomi Islam, karena hal tersebut adalah norma-norma yang
disokong oleh peradaban yang materialistik. Sebagai gantinya Ekonomi Islam
memerintahkan individu untuk memenuhi kebutuhannya/needs sebagaimana yang
dikehendaki oleh syari’ah. Needs memang muncul dari keinginan naluriah, namun dalam
framework Islam tidak semua keinginan naluriah itu bisa menjadi kebutuhan.
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility
atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum
syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini
(Khan dan Ghifari, 1992).
Menurut al-Ghazali dalam pemikirannya maslahah didasarkan kepada 5 (lima) tujuan dasar
(maqashid al-syar’iyyah) yaitu: agama (al-din), hidup atau jiwa (al-nafs), keluarga atau
keturunan (al-nasl ), harta ataukekayaan (al-mal ), danintelektual atau akal (al-’aql ), beliau
menitikberatkan (mahallusyahid ) pada tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat
manusia adalah untuk mencapaikebahagian di dunia dan akhirat (maslahat al-din wa al-
dunya)
Kepuasan merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan mashlahah
merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah. Meskipun demikian
terpenuhinya suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan terutama jika kebutuhan
tersebut disadari dan diinginkan.
Berbeda dengan kepuasan yang bersifat individualis mashlahah tidak hanya bisa dirasakan
oleh individu. Mashlahah bisa jadi dirasakan oleh selain konsumen, yaitu dirasakan oleh
sekelompok masyarakat. Sebagai contoh ketika seseorang membelikan makanan untuk
tetangga miskin, maka mashlahah fisik/psikis akan dinikmati pula oleh tetangga yang
dibelikan, sementara itu si pembeli akan mendapatkan berkah.
Perekonomian islam akan terwujud jika prinsip dan nilai-nilai Islam diterapkan secara
bersama-sama. Pengabaian terhadap salah stunya akan membuat perekonomian pincang.
Penerapan prinsip ekonomi yang tanpa diikuti oleh pelaksanaan nilai-nilai Islam hanya akan
memberikan manfaat (mashlahah duniawi), sedangkan pelaksanaan sekaligus prinsip dan
nilai akan melahirkan manfaat dan berkah atau mashlahah dunia akhirat. Keberkahan akan
muncul jika dalam kegiatan ekonomi-konsumsi misalnya disertai dengan niat dan perbuatan
yang baik seperti menolong orang lain, bertindak adil dan semacamnya.
B.Utilitas dan Mashlahah
Dalam ilmu ekonomi konvensional dikenal adanya hukum mengenai penurunan utilitas
marginal (law of diminishing marginal utility) yang mengatakan bahwa jika seseorang
mengonsumsi suatu barang dengan frekuensi yang diulang-ulang, maka nilai tambahan
kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin menurun.
Hukum mengenai penurunan utilitas marginal tidak selamanya berlaku pada mashlahah.
Maslahah dalam konsumsi tidak seluruhnya secara langsung dapat dirasakan, terutama
mashlahah akhirat atau berkah. Adapun maslahah dunia manfaatnya sudah dapat dirasakan
setelah konsumsi. Dalam hal berkah, dengan meningkatkanya frekuensi kegiatan, maka tidak
akan ada penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas ibadah mahdhah tidak pernah
menurun.