Anda di halaman 1dari 7

TEORI KONSUMSI ISLAMI

Mikro Ekonomi Islam


Dosen Pengampu: Choiril Anam, M.EI.
Disusun Oleh:
Kelompok 3
1. Syafrin Aulia Annis (934208519)
2. Eka Ariyanti Cahyaningrum (934211319)
3. Heni Yuliana (934218119)
4. Arifatul Zubaidah (934221919)
PERBANKAN SYARIAH E

A. PENDAHULUAN
Teori Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih
di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang
dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari
pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Bentham yang mengatakan bahwa
secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali
orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu
lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk melakukannya.
Oleh pengikutnya, John Stuart Mill dalam buku On Liberty yang terbit pada 1859, paham ini
dipertajam dengan mengungkapkan konsep “freedom of action” sebagai pernyataan dari
kebebasan-kebebasan dasar manusia. Menurut Mill, campur tangan negara di dalam masyarakat
manapun harus diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan
manusia merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan karena itu
harus dihentikan.
Lebih jauh Mill berpendapat bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus bebas untuk
mengejar kepentingannya dengan cara yang dipilihnya sendiri, namun kebebasan seseorang untuk
bertindak itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, artinya kebebasan untuk bertindak itu tidak boleh
mendatangkan kerugian bagi orang lain. Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan
syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini
menyagkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik
pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Maka dari itu, untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikro Ekonomi Islam dengan tema
Teori Konsumsi Islami, kami kelompok 3 akan mengupas apa saja yang bersangkutan dengan
Teori Konsumsi Islami berikut ini.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Konsumsi dan Teori Konsumsi Dalam Islam
Kata konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consume / consumption yang berarti
menghabiskan, konsumsi, pemakaian. Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua perilaku seseorang dalam
penggunaan dan memanfaatkan barang dan jasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi tidak termasuk konsumsi,
karena barang dan jasa itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Barang
dan jasa dalam proses produksi ini digunakan untuk memproduksi barang lain.1
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa yang secara
langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Untuk dapat mengkonsumsi, seseorang harus
mempunyai pendapatan, besar kecilnya pendapatan seseorang sangat menentukan tingkat
konsumsinya. Dalam ekonomi Islam, konsumsi tidak hanya sekedar menghabiskan nilai guna
dari suatu barang, namun ada suatu nilai yang menjadi hal yang cukup penting dalam
konsumsinya.2
Dalam kamus bahasa Indonesia lengkap, konsumsi adalah pemakaian barang-barang
produksi, bahan makanan, dan lain sebagainya. Contoh kegiatan konsumsi seperti makan di
warung, cukur rambut di tukang pangkas rambut, dan berobat ke dokter. Konsumsi yang

1
Todaro, Ekonomi dalam Pandangan Modern, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), 213.
2
Ibid.
dilakukan masyarakat biasanya menghadirkan banyak pilihan dalam mengkonsumsi barang
dan atau jasa. Pada kenyataannya di lapangan, masyarakat dihadapkan pada permasalahan
umum dalam mengkonsumsi barang dan jasa yaitu kelangkaan. Kelangkaan akan barang dan
jasa timbul apabila keinginan masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya barang dan
jasa tersebut. Jadi, kelangkaan ini muncul apabila barang tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan masyarakat tersebut.3
Atas dasar kebutuhan tersebut, individu akan mempunyai permintaan terhadap barang
dan atau jasa, semakin banyak penduduk di suatu negara maka semakin banyak pula barang
atau jasa yang dikonsumsi dan semakin besar juga permintaan masyarakat akan suatu jenis
barang atau jasa. Permintaan barang atau jasa sangat berkaitan dengan harga. Sehingga
permintaan baru akan memiliki arti jika didukung dengan daya beli permintaan barang. Daya
beli seorang konsumen tergantung pada dua unsur pokok yaitu pendapatan yang dapat
dibelanjakan dan harga barang yang dikehendaki.
Berbeda dengan tujuan konvensional, dalam islam kegiatan konsumsi bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mencapai kepuasan. Tujuan konsumsi dalam islam
adalah untuk mencapai mashlahah duniawi dan ukhrawi. Mashlahah duniawi tercapai dengan
terpenuhinya kebutuhan kita seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan
hiburan. Sedangkan kebutuhan ukhrawi terpenuhi jika barang yang kita konsumsi didapatkan
dengan cara yang halal dan barang tersebut juga dihalalkan dalam islam. Contohnya seseorang
yang membeli mobil kemudian menggunakannya untuk berpergian, akan alat transportasi, tapi
ternyata orang tersebut membeli mobil tersebut dengan uang hasil korupsi maka mashlahah
ukhrawi tidak diperoleh oleh orang tersebut.
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT
kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik mungkin bagi kesejahteraan bersama. Dalam
satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada khalifah adalah kegiatan ekonomi dan lebih
sempit lagi kegiatan konsumsi. Islam merupakan agama yang ajarannya mengatur segenap
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah
konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi
yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam
mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi
yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya
mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan)
dapat diartikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau
mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang nyata dalam kehidupan
konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat diartikan sebagai semua barang dan jasa yang
diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak
memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen. 4
Chapra mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki proporsi
barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda, dan tercapai tidaknya pemenuhan
suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada
masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan untuk
konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah, semakin sedikit sumber daya yang tersedia
untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian, meski terjadi penigkatan pada
konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik
dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin, jika semua peningkatan
yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan
barang-barang mewah.5
Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi
individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah dan bersama dengan jaring
pengaman sosial, zakat, serta pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya
yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar. Produsen
kemudian mungkin akan merespon permintaan sehingga volume investasi yang lebih besar
dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait kebutuhan dasar. Ada tiga nilai dasar
yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim : 6
a) Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk

3
Fahmi Medias, Ekonomi Mikro Islam, (Magelang: UNIMMA PRESS, 2018), 19
4
Eko Suprayitno, Ekonomi islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), 95
5
Imahda Khoiri Furqon, Teori Konsumsi Dalam Islam, Adzkiya : Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol 6, No 1, Mei 2018,
hal. 9
6
Ibid., 10-11
ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akhirat),
sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
b) Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan
bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi
pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah
merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku
yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
c) Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya
bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.

2. Utilitas (Utility)
a. Fungsi dan Peningkatan Utility
Utility (utilitas) adalah rasa kesenangan atau kepuasan yang muncul dari
konsumsi, ini merupakan kemampuan memuaskan keinginan atas barang, jasa dari
suatu aktivitas. Berdasarkan utulitasnya, konsumen memiliki berbagai cara dalam
memutuskan berapa jumlah barang dan jasa yang akan dibeli dalam berbagai situasi.
Ada 2 pendekatan yang dilakukan konsumen, yaitu pendekatan cardinal dan
pendekatam ordinal. Tujuan konsumen adalah memaksimalkan utilitas dengan batasan
berupa pendapatan dan harga yang bersangkutan. Tingkat kepuasan biasanya
digambarkan oleh kurva inndeferen yang biasanya digambarkan dalam fungsi utility
antara dua barang atau jasa yang keduanya disukai oleh konsumen.7
Penerapan ilmu ekonomi, tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh
kurva indiferen (indifference curve). Dalam fungsi utilitas yang biasa digambarkan
adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang diminati oleh konsumen.
Dalam membangun teori utility function, digunakan tiga aksioma pilihan rasional:
a. Completeness (Lengkap)
Dalam aksioma ini dijelaskan bahwa setiap individu akan menentukan sebuah
keadaan yang lebih diminatinya diantar dua keadaan. Apabila A dan B adalah dua
keadaan yang berbeda, maka individu akan menentukan secara tepat satu diantara
tiga kemungkinan ini:
a) A lebih disukai daripada B
b) B lebih disukai daripada A
c) A dan B sama menariknya
b. Transivity (Konsisten)
Pada aksioma ini mengatakan bahwa apabila seorang individu mengatakan “A
lebih diminati daripada B,” dan “B lebih diminati daripada C,” maka ia pasti akan
mengatakan bahwa “A lebih diminati daripada C.” Sebenarnya aksioma ini hanya
memastikan konsisten internal seorang individu dalam mengambil keputusan.
c. Continuity (Keberlanjutan)
Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih
diminati daripada B,” maka keadaan yang mendekati A pasti juga lebih diminati
daripada B.8
Berdasarkan ketiga aksioma diatas, penjelasan tersebut berkaitan dengan kurva
indiferen. Ketiga asumsi ini dapat kita terjemahkan ke dalam bentuk geometris yang
selanjutnya lebih sering kita kenal dengan kurva indiferen (IC). IC adalah sebuah kurva
yang melambangkan tingkat kepuasan konstan, atau sebagai tempat kedudukan masing-
masing titik yang melambangkan kombinasi dua macam komoditas (atau berbagai
macam komoditas) yang memberikan tingkat kepuasan yang sama. Kurva indifferen
adalah kurva yang menggambarkan gabungan dari dua barang yang akan memberikan
kepuasan sama besar.

7
Agus Tomi, Hukum Utilitas dalam Ekonomi Islam, AT TAAJIR: Vol. 1, No.1, 2019, Hal. 14
8
Adiwarman A. Karim ,Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 64-65.
Dari kurva indiferen di atas kombinasi titik memiliki tingkat kepuasan yang
sama. Titik A,B,C memiliki tingkat kepuasan yang sama sedangkan titik D dan E
memiliki tingkat kepuasan yang sama yang lebih tinggi dari titik A,B, dan C. Semakin
tinggi kurva indiferen maka semakin banyak barang yang dikonsumsi, sehingga
semakin tinggi kepuasan konsumen. Utilitas dikatakan tinggi apabila utility function
berada di sebelah kanan atas. Semakin ke kanan atas utility function semakin baik.
Misalnya, kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi dua atau tiga tusuk sate lebih
tinggi rasa kepuasannya dari pada mengkonsumsi setusuk sate.
Dalam Islam cara pikir ini juga ditemukan Rasulullah Saw. Bersabda, “Orang
beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari pada orang beriman yang lemah”.
Dalam hadis lain bermakna, “Iri hati itu dilarang kecuali terhadap dua jenis orang: yaitu
orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, dan orang yang kaya yang
membelanjakan hartanya dijalan Allah.” Nilai guna maksimum adalah bersumber dari
harga-harga suatu barang. Di mana harga tiap barang tersebut akan mencapai tingkat
yang memaksimumkan apabila nilai guna marjinal dari setiap barang tersebut sama.
Pada kenyataan yang sebenarnya harga berbagai jenis barang adalah berbeda
dikarenakan pada perbedaan harga tersebut nilai guna pemaksimuman tidak akan
tercapai jika digunakan syarat pemaksimuman kepuasan.9 Syarat yang harus dipenuhi
dalam pemaksimuman nilai guna adalah setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membeli
unit tambahan berbagai jenis barang yang akan memberikan nilai guna marjinal sama
besar.10
Kepuasan maksimum seseorang akan terpenuhi ketika seseorang tersebut
memenuhi kepuasannya secara penuh dengan pendapatan yang dimilikinya, dimana
nilai utilitas marginal dapat terpenuhi ketika suatu barang tertentu di konsumsi sama
dengan nilai marginal utilitas barang lain. Dalam mengukur kepuasan komsumsi
seorang konsumen, pendekatan utilitas memiliki suatu kelemahan, maka Nicholson
(1991) menawarkan pendekatan indifference. Kelemahan pada pendekatan utilitas
adalah “tidak adanya alat yang bisa digunakan untuk mengukur utilitas tersebut dan
adanya kesulitas menerapkan asumsi ceteris paribus dalam analisis”. Untuk itu,
kepuasan dapat diukur dengan menggunakan skala preferensi. Berdasarkan pendekatan
ini, Samuelson (1995) menawarkan ukuran kepuasan dengan kurva indifference. Kurva
indifference adalah kurva yang menunjukkan konsumsi atau pembelian barang-barang
yang menghasilkan tingkat kepuasan yang sama pada setiap titiknya.
Hal ini menunjukkan bahwasanya seseorang tidak puas dalam mengkonsumsi
hanya pada satu barang, melainkan dia akan merasa puas jika mengkonsumsi barang
yang jumlahnya lebih dari satu meskipun barang tersebut tidak berkualitas. Pendekatan
kurva tersebut menggunakan asumsi-asumsi yang kedua asumsinya sama dengan
asumsi utilitas, dan kedua asumsi lainnya adalah konsumen memiliki preferensi dan
Marginal Rate of Substitution (MRS) menurun untuk tingkat utilitas tertentu.11
b. Fungsi Kesejahteraan dan Utilitas Menurut Imam Al-Ghazali
Imam Al-ghazali, konsep maslahat, atau kesejahteraan sosial atau utilitas
“kebaikan bersama” merupakan konsep yang mencakup semua urusan manusia, baik
urusan ekonomi maupun urusan lainnya, dan yang membuat kaitan yang erat antara
individu dengan masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, Imam Al-
9
DPbS dan P3EI-UII, Text Book Ekonomi Islam, (Jakarta: Universitas Islam, 2007), hal. 19-22.
10
Sadono Sukirno, Mikroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga, (Jakarta: Rajawali Pers,2009), hal. 157.
11
Rokhmat Subagiyo, Teori Konsumsi Islami, Tulungagung, 2016 diakses dari website
http://repo.iaintulungagung.ac.id/6407/3/bab3_teori_konsumsi_islam_rokhmatok_3ok_book_antiq.pdf. tanggal 15 Maret 2021
pukul 19.00
Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasi semua maslah baik yang berupa
masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan
kesejahteraan sosial.
Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung
kepada pencarian dan pemeliharaan lim atujuan dasar, yaitu agama (ad-dien), hidup
atau jiwa (nafs), keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (maal), dan intelek
atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntutan wahyu, “kebaikan dunia ini
dan akhirat (maslahat ad-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya. Al-Ghazali
mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka
sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartit, meliputi kebutuhan (daruriat),
kesenangan atau kenyamanan (hajaat), dan kemewahan (tahsinaat), sebuah klasifikasi
peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal (kebutuhan
dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal, dan terhadap barang-barang psikis).
Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin bila
pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi
seseorang. Bahkan pencarian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tetapi
merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan.12

3. Optimal solution
Konsumsi seorang muslim akan selalu bertindak rasional karena sesuai dengan asumsi
rasionalitas yang berlaku. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dari seorang konsumen
senantiasa didasarkan pada perbandingan antar berbagai preferensi, peluang, dan manfaat serta
madharat yang ada. Konsumen yang rasional berarti konsumen yang memilih satu kombinasi
komoditas yang akan memberikan tingkat utilitas paling besar. Kombinasi konsumsi yang
dapat memberikan kepuasan konsumen secara maksimal merupakan optimalitas atau titik
optimal bagi konsumen. Untuk mencapai tingkat optimalisasi konsumen, seorang konsumen
dibatasi oleh garis anggaran dari pendapatannya atau berbagai komoditas yang dapat
dibelinya.13 Secara matematis optimalisasi konsumen dapat diformulasikan sebagai berikut :

Kepuasan maksimum seorang konsumen terjadi pada titik dimana terjadi


persinggungan antara kurva indiferen dengan budget line. Konsumen akan memaksimalkan
pilihannya dengan dua cara yaitu :
1) Memaksimalkan utility function pada budget line tertentu

Kombinasi Jumlah barang X yang Jumlah barang Y yang Pengeluaran total


Barang dikonsumsi dikonsumsi
A 10 30 $50
B 20 20 $60
C 30 40 $70

Berdasarkan tabel di atas pengeluaran total yaitu $70, maka kombinasi barang C lebih
baik dari pada kombinasi A dan B. Kombinasi A lebih baik daripada B karena A
mengkonsumsi barang Y yang lebih banyak dari B.

12
Agus Tomi, Hukum Utilitas dalam Ekonomi Islam, AT TAAJIR: Vol. 1, No.1, 2019, Hal. 14
13
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Mikro Islam Edisi Ketiga, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal.99.
2) Meminimalkan budget line pada utility function tertentu

Kombinasi barang Jumlah barang X Jumlah barang Y yang Pengeluaran total


yang dikonsumsi dikonsumsi
P 50 20 $70
Q 50 20 $60

Untuk mengkonsumsi 50X dan 20Y dibutuhkan uang $60. Oleh karena itu, kombinasi Q
lebih baik daripada kombinasi P karena untuk memperoleh P ia harus membayar lebih mahal
pada jumlah yang sama.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa yang secara
langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Untuk dapat mengkonsumsi, seseorang harus
mempunyai pendapatan, besar kecilnya pendapatan seseorang sangat menentukan tingkat
konsumsinya. Dalam ekonomi Islam, konsumsi tidak hanya sekedar menghabiskan nilai guna
dari suatu barang, namun ada suatu nilai yang menjadi hal yang cukup penting dalam
konsumsinya.
Berbeda dengan tujuan konvensional, dalam islam kegiatan konsumsi bukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan mencapai kepuasan. Tujuan konsumsi dalam islam adalah
untuk mencapai mashlahah duniawi dan ukhrawi. Mashlahah duniawi tercapai dengan
terpenuhinya kebutuhan kita seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan
hiburan. Sedangkan kebutuhan ukhrawi terpenuhi jika barang yang kita konsumsi didapatkan
dengan cara yang halal dan barang tersebut juga dihalalkan dalam islam.
Konsumsi seorang muslim akan selalu bertindak rasional karena sesuai dengan asumsi
rasionalitas yang berlaku. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dari seorang konsumen
senantiasa didasarkan pada perbandingan antar berbagai preferensi, peluang, dan manfaat serta
madharat yang ada.
2. Daftar Referensi
Zuliana, 2015, Prinsip Konsumsi Dalam Islam Berbasis Nilai Material Dan Spiritual (Analisis
Konsep M. Abdul Mannan dan Aktualisasinya dengan Prinsip Konsumsi di Indonesia),
Semarang: Skripsi UIN Walisongo
Yuliadi,Imamudin, 2009, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI
Todaro, 2002, Ekonomi dalam Pandangan Modern, Jakarta: Bina Aksara
Medias, Fahmi, 2018, Ekonomi Mikro Islam, Magelang: UNIMMA PRESS
Suprayitno, Eko, 2005, Ekonomi Islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan
Konvensional), Yogyakarta: Graha Ilmu
Furqon, Imahda Khoiri, 2018, Teori Konsumsi Dalam Islam, Adzkiya : Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah, Vol. 6, No. 1
Tomi, Agus, 2019, Hukum Utilitas dalam Ekonomi Islam, AT TAAJIR: Vol. 1, No.1
Adiwarman, A. Karim, 2007, Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
DPbS dan P3EI-UII, 2007, Text Book Ekonomi Islam, Jakarta: Universitas Islam
Sukirno, Sadono, 2009, Mikroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers
Subagiyo, Rokhmat, 2016, Teori Konsumsi Islami, Tulungagung, diakses dari website
http://repo.iaintulungagung.ac.id/6407/3/bab3_teori_konsumsi_islam_rokhmatok_3ok_
book_antiq.pdf.

Anda mungkin juga menyukai