Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perilaku masyarakat selalu berubah-ubah seiring dengan kemajuan budaya,


teknologi dan peradaban. Perilaku konsumen termasuk diantara deretan perilaku yang
sangat cepat berubah, karena ia berkaitan dengan keseharian masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya. Mengenali prilaku konsumen tidaklah mudah, karena
banyak faktor yang mempengaruhi dan melatar belakangi seseorang untuk melakukan
konsumsi.

Dalam ekonomi konvensional, kajian tentang perilaku konsumsi telah


berkembang pesat. Perkembangannya dapat dilihat mulai dari munculnya teori
konsumsi yang disampaikan oleh John Maynard Keynes dengan General Theorynya
yang dikenal dengan teori Absolute Income Hyphothesis pada tahun 1936 .11 Menurut
Keynes besar kecilnya konsumsi seseorang ditentukan oleh besarnya jumlah
pendapatan yang dimiliki. Semakin besar jumlah pendapatan seseorang maka semakin
banyak juga jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, sebaliknya semakin
sedikit jumlah pendapatan maka akan sedikit pula jumlah barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi oleh konsumen tersebut.

Dengan demikian konsumsi tergantung pada pendapatan. Semakin besar


pendapatan sekarang akan semakin besar juga konsumsinya, dan semakin tinggi
tingkat kesejahteraannya. Teori ekonomi secara umum mengakui keberadaan teori ini
menjadi legitimasi masyarakat bahwa tolak ukur kesejahteraan adalah tingkat
pendapatan. Jadi, konsumsi mempengaruhi sikap individualis. Masyarakat akan
berpikir bahwa tanpa menambah pendapatan, konsumsi tidak akan meningkat. Oleh
karena itu setiap individu akan selalu berusaha dengan berbagai cara untuk
meningkatkan pendapatannya. Faktanya kemudian, revolusi industri dan kemajuan

11 N Gregory Mankiw, Makro Ekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2007), h.447

1
ilmu ekonomi konvensional yang terjadi sejak abad ke-18 telah membuat
pertumbuhan ekonomi dunia sangat spektakuler, tetapi belum pernah ada negara yang
merasa kemajuan ekonominya memadai.2

Semakin tinggi peradaban manusia, semakin dikalahkan oleh kebutuhan


fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Dalam suatu masyarakat primitif,
kebutuhan konsumsi sangat sederhana, tetapi peradaban modern telah menghancurkan
kesederhanaan akan kebutuhan.3

Selama beberapa dekade negara-negara muslim telah mengikuti suatu pola


konsumsi yang dijiplak dari budaya konsumen barat yang mengukur nilai seorang
berdasarkan kemewahan hidup dan frekuensi belanjanya. Dengan begitu, gaya hidup
mahal yang bahkan beberapa negara industri yang kaya pun hampir tidak
menjangkaunya, telah menjadi simbol prestise (gaya hidup) di negaranegara muslim
yang miskin. Ini semua bersamaan dengan sejumlah kebiasaan, berlangsung sejak
lahir sampai mati, telah mengarah pada pola konsumsi yang tidak realistis dan tidak
berdasar dipandang dari sudut pandang nilai-nilai islami dan sumber dayanya.4

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu teori nilai guna dan apa hubungannya dengan teori maslahah?
2. Apa perbedaan kebutuhan (need) dan keinginan (want)?
3. apa saja norma dan etika dalam konsumsi?

C. TUJUAN
1. Menjelaskan teori nilai guna dan hubungannya dengan teori maslahah
2. Menjelaskan perbedaan kebutuhan (need) dan keinginan (want)
3. Memaparkan apa saja norma dan etika dalam konsumsi

2 Haroni Doli H. Ritonga, “Pola Konsumsi Dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonom, Vol.
13, No. 3 Juli 2010
3 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1995), h. 44

4 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 302

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Nilai Guna dan Hubungannya dengan Teori Maslahah

Konsumsi adalah suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam kehidupan.
Setiap makhluk hidup pasti melakukan aktivitas konsumsi termasuk manusia.5
Manusia yang sering disebut sebagai makhluk sosial yang memang tidak dapat
dipungkiri selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Selain itu, manusia
juga disebut sebagai makhluk materi yang membutuhkan hal-hal diluar tubuhnya
untuk menunjang kehidupannya. Oleh karena itu manusia melakukan kegiatan-
kegiatan untuk menghabiskan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan hidup.
Kegiatan tersebut biasa disebut sebagai kegiatan konsumsi.

Pengertian konsumsi dalam ilmu ekonomi tidak sama dengan istilah konsumsi
dalam kehidupan sehari-hari yang diartikan dengan perilaku makan minum. Dalam
ilmu ekonomi, konsumsi adalah setiap perilaku seseorang untuk menggunakan dan
memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, perilaku
konsumsi tidak hanya menyangkut perilaku makan dan minum saja, tetapi juga
perilaku ekonomi lainnya seperti membeli dan memakai baju, membeli dan memakai
kendaraan, membeli dan memakai sepatu dan sebagainya.6

Muhammad Abdul Manan dalam bukunya “Islamic Economics: Theory and


Practic” mendefinisikan konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah
penyediaan. 7 Kedua hal tersebut saling berhubungan. Bila ada permintaan maka harus
ada penyediaan, begitu juga sebaliknya. Menurut mannan, semakin tinggi kita
menaiki jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologis karena
faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer,
semua faktor-faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan

5 Zuliana, “Prinsip Konsumsi Dalam Islam Berbasis Nilai Material Dan Spiritual (Analisis Konsep M.
Abdul Mannan dan Aktualisasinya dengan Prinsip Konsumsi di Indonesia)” (skripsi, UIN Walisongo,
Semarang, 2015), 1
6 Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta: LPPI, 2009), 178.
7 Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: PT
Dana Bakti Wakaf, 1995), 44.
3
bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan fisiologis kita. Dalam suatu masyarakat
primitif, konsumsi sangat sederhana, karena kebutuhannya juga sangat sederhana.8

Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu


barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan
terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula niali gunanya.
Kepuasan dalam terminologi konvensional dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan fisik.

Dalam ekonomi islam, kepuasan dikenal dengan maslahah dengan pengertian


terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik maupun spritual. Islam sangat mementingkan
keseimbangan kebutuhan fisik dan nonfisik yang didasarkan atas nilai-nilai syariah.
Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan
beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsinya adalah halal, baik secara zatnya
maupun memperolehnya, tidak bersikap israf (royal) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena
itu, kepuasan seorang muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yang
dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari
yang dikonsumsinya.

Untuk mengetahui kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat


diilustrasikan dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility (nilai
guna tambahan). Total utility adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam
mengonsumsi sejumlah barang tertentu. Sementara itu, marginal utility adalah
penambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari penambahan dan
pengurangan penggunaan satu unit barang.9

Agar lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

8 Ibid.
9 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) edisi ke
3, hlm. 152.
4
Tabel 1.1 Total Utility dan Marginal Utility

Jml Apel yang Total utility Marginal utility


dimakan

0 0 0

1 30 30

2 50 20

3 65 15

4 69 4

5 68 -1

6 64 -4

7 57 -7

Tabel ini menunjukkan ketika makan apel yang keempat, total nilai gunanya
meningkat dan nilai guna marginalnya adalah positif. Ini berarti kepuasan seseorang
memakan apel mencapai tingkat kepuasan yang maksimal pada apel yang keempat.
Namun, ketika memakan apel yang kelima total utilitynya menurun dan marginal
utilitynya adalah negatif. Bila ia makan apel lagi, akan mengurangi tingkat kepuasan.
Dari contoh di atas, ditunjukkan apabila konsumen memakan lima, enam, dan tujuh
apel kepuasan yang didapat dari mengonsumsi apel tersebut lebih rendah daripada
kepuasan yang didapat dari memakan delapan apel. Ini berarti lebih baik memakan
delapan apel dari pada sembilan apel, karena kepuasan yang diperoleh dari memakan
delapan apel adalah lebih lebih besar.

Teori nilai guna (utility) apabila dianalisis dari teori mashlahah, kepuasan
bukan didasarkan atas banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi didasarkan atas baik
atau buruknya sesuatu itu terhadap diri dan lingkungannya. Jika mengonsumsi sesuatu

5
mendatangkan kemafsadatan pada diri atau lingkungan maka tindakan itu harus
ditinggalkan sesuai dengan kaidah:

‫علمناف جلب من أولى المفاسد درء‬10

Menolak segala bentuk kemudaratan lebih diutamakan daripada menarik manfaat.

Bila dalam mengonsumsi sesuatu kemungkinan mengandung mudarat atau


maslahat maka menghindari kemudaratan harus lebih diutamakan, karena akibat dari
kemudaratan yang ditimbulkan mempunyai ekses yang lebih besar daripada
mengambil sedikit manfaat. Jadi, perilaku konsumsi seorang muslim harus senantiasa
mengacu pada tujuan syariat, yaitu memelihara maslahat dan menghindari mudarat.
Dalam ekonomi konvensional, konsumsi diasumsikan selalu bertujuan untuk
memperoleh kepuasan (utility). Konsumsi dalam islam tidak hanya bertujuan untuk
mencari kepuasan fisik, tetapi lebih mempertimbangkan aspek mashlahah yang
menjadi tujuan dari syariat islam (maqashid syariah). Teori mashlahah cakupannya
lebih luas dari teori utility.
Mashlahah dalam ekonomi islam, diterapkan sesuai dengan prinsip
rasionalitas muslim, bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan
mashlahah yang diperolehnya. Seorang konsumen muslim mempunyai keyakinan,
bahwasannya kehidupan tidak hanya didunia tetapi akan ada kehidupan diakhirat
kelak.
Imam Asy-Syathibi mengatakan, bahwa kemaslahatan manusia dapat
terealisasi apabila 5 unsur pokok dapat diwujudkan dan dipeliahara yaitu: agama (ad-
din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl) dan harta (al-mal).11 semua
pemenuhan kebutuhan barang dan jasa adalah untuk mendukung terpeliharanya
kelima unsur pokok tersebut. Tujuannya bukan hanya kepuasan dunia, tetapi juga
kesejahteraan di akhirat. Dalam pemenuhan kebituhan kelima unsur pokok tersebut
tentu harus sesuai dengan tuntunan syariat islam.
Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal
adalah prinsip konsumsi yang diajarkan Rasulullah, seperti makan sebelum lapar dan
10 Ali Haidar, Durar al-Hukkam syarah majalah al-Ahkam, (Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th) jilid
1-3, pasal 37. Hlm. 40
11 Abu Isak as-syatibi, al-muwafaqat fi Uhsul as- Syariah, (Beirut: Dar al-Mar’rifah, t.t), Jilid II, hlm.
8.
6
berhenti sebelum kenyang. Karena tambahan nilai guna akan menjadi negatif apabila
konsumsi terhadap barang tersebut terus ditambah. Hukum nilai guna marginal yang
semakin menurun (law of diminishing marginal utility) menjelaskan bahwa
penambahan terus menerus dalam mengonsumsi suatu barang, tidak akan menambah
kepuasan dalam konsumsi karena tingkat kepuasan terhadap barang tersebut akan
semakin menurun. Misalnya, seorang yang kehausan diberi segelas air minum akan
mendapat kepuasan yang maksimal. Kemudian diberi air satu atau dua gelas lagi
maka kepuasannya akan bertambah. Akan tetapi jika diberi lagi satu gelas air lagi, ia
akan menolak karena dahaganya sudah lepas atau sudah merasa puas. Ini berarti, nilai
guna total dari meminum empat gelas adalah lebih rendah dari nilai guna yang
diperoleh dari meminum tiga gelas. Karena itulah, islam menekankan sikap sederhana
dalam konsumsi. Sebaliknya sikap israf (berlebih-lebihan) dan tabzir (sia-sia) dalam
konsumsi dilarang.
Dalam teori ekonomi, setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan
dari barang-barang yang dikonsumsinya. Menurut teori nilai guna, untuk mewujudkan
prinsip pemaksimuman kepuasan konsumen yang mempunyai pendapatan terbatas,
dilakukan dengan pendekatan melalui kurva kepuasan sama (indifference curve/ IC)
dan garis anggaran pengeluaran (budget line).

1. Kurva Indeferen (Indifference Curve)


Indifference Curve (IC) adalah suatu kurva yang menggambarkan gabungan
dari dua barang yang akan memberikan kepuasan yang sama besar. Untuk
menjelaskan kurva ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: seseorang mengonssumsi
makanan dan pakaian. Digambarkan dengan enam kombinasi makanan dan pakaian
yang akan memberikan kepuasan yang sama besarnya kepada seorang muslim.
Apabila ia memilih kombinasi A, ia mendapatkan 14 makanan dan 2 pakaian.
Kepuasan yang diperoleh tidak berbeda dengan jika ia mengonsumsi kombinasi B,
yakni 8 makanan dan 3 pakaian, dan seterusnya sampai kombinasinya sebaliknya
yang digambarkan pada kombinasi F. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:

Tabel 1.2 kombinasi konsumsi antara makanan dan minuman

7
Gabungan barang Makanan Pakaian
A 14 2
B 8 3
C 6 4
D 4 6
E 3 8
F 2 14

IC akan memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai keinginan


seorang konsumen untuk mengonsumsi dua barang dan memberikan kepuasan yang
maksimum.

Jika seorang muslim menukar kombinasi barang yang dikonsumsi dari


kombinasi A menjadi B, perubahan ini akan mempengaruhi kenaikan konsumsi
pakaian dari 2 menjadi 3 unit. Keadaan ini menggambarkan besarnya pengorbanan
suatu barang untuk meningkatkan konsumsi barang yang lain dalam waktu yang
bersamaan. Pengorbanan ini dinamakan dengan marginal rate of substitution (MRS).
Misalnya, seorang muslim sudah mempunyai makanan yang banyak namun,
pakaiannya masih sedikit. Agar mendapatkan kepuasan yang sama diperlukan
pengurangan konsumsi makanan sehingga, memperoleh satu tambahan unit pakaian.

2. Budget Line

Dalam kenyataannya, konsumen tidak dapat memperoleh semua barang yang


diinginkannya, sebab ia dibatasi oleh anggaran yang dimiliki. Persoalan yang dihadapi
konsumen adalah bagaimana ia harus membelanjakan pendapatan yang ada sehingga
dengan pendapatannya itu ia dapat menciptakan kepuasan yang maksimum. Untuk itu,
perlu ada analisis budget line yang menunjukkan berbagai gabungan barang-barang
yang dapat dibeli berdasarkan anggaran yang ditetapkan. Misalnya, seseorang
mengeluarkan uang Rp90.000.00,-, untuk membeli pakaian dan makanan. Misalnya,
harga makanan Rp6.000.00,-, dan pakaian Rp9.000.00,- setiap unit. Kalau konsumen
membeli 15 unit makanan ia harus membayar Rp90.000.00,- sehingga ia tidak bisa
membeli satupun pakaian (0 unit pakaian). Untuk menentukan kombinasi mana yang
8
paling baik, ia harus menghitung berapa banyak yang diperoleh dari kombinasi untuk
memakimalkan manfaat pengeluaran total. Untuk lebih jelasnya, bagaimana
kombinasi pilihan antara makanan dan pakaian yang dapat dibeli berdasarkan
anggaran yang dimiliki dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1.3 Gabungan makanan dan pakaian yang dapat dibeli konsumen

Kombinasi Makanan Pakaian

A 15 0

B 12 2

C 9 4

D 6 6

E 3 8

F 0 10

Kombinasi antara makanan dan pakaian dengan anggaran Rp90.000.00,-.


Untuk kombinasi A, dengan membeli makanan 15 unit, menghasilkan 0 unit pakaian.
Namun, bila pembelian makanan dikurangi jumlahnya menjadi 12, maka seseorang
dengan anggaran yang sama dapat membeli 2 unit pakaian. Begitu seterusnya.

Teori budget line ini bila dihubungkan dengan teori konsumsi islami
menunjukkan, bahwa seseorang dalam melakukan kegiatan konsumsi tidak hanya
memperhitungkan besarnya jumlah barang yang diperoleh dari anggaran yang
dimiliki, tapi juga memperhitungkan skala prioritas dan sisi kemaslahatan dari
berbagai barang yang akan dibelinya. Skala prioritas yang ditekankan dalam
konsumsi ini haru mengacu kepada tingkatan kemaslahatan hidup manusia meliputi:
pertama, kemaslahatan dharuri (kebutuhan pokok) yakni ad-din (agama), an-nafs
(jiwa), al-aql (akal), an-nasl (keturunan), al-mal (harta), kedua, kemaslahatan hajjii
(kebutuhan sekunder), ketiga kemaslahatan tahsini (kebutuhan tersier). Dalam

9
pemenuhan ketiga kebutuhan hidup ini, aspek dharuri harus lebih didahulukan dari
aspek hajji dan tahsini.

Disamping itu, dalam perilaku konsumsi islami seorang muslim dituntut


untuk bersikap sederhana tidak berlebih-lebihan dan tidak boros. Menyesuaikan
kebutuhan dan keinginan dengan anggaran yang ada. Seperti yang dinasehatkan
dalam pepatah Minang, ukur bayang-bayang sama tinggi dengan badan. Dalam QS
Al-A’raaf [7]: 31 Allah menegaskan:

ࣖ ‫ْالمُسْ ِرفِي َْن ُيحِبُّ اَل ِا َّن ٗه ُتسْ ِرفُ ْو ۚا َواَل َوا ْش َرب ُْوا وَّ ُك ُل‬

Makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah


tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

B. Kebutuhan (Need) dan Keinginan (Want)

Salah satu perbedaan mendasar antara sistem ekonomi konvensional dengan


islam adalah menyoroti masalah need (kebutuhan) dengan want (keinginan). Secara
umum dapat dibedakan anatara kebutuhan dan keinginan, yakni kebutuhan berasal
dari fitrah manusia, bersifat objektif, serta mendatangkan manfaat dan kemaslahatan
disamping kepuasan. Pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan manfaat, baik
secara fisik, spiritual, intelektual maupun material. Sementara itu, keinginan berasal
dari hasrat manusia yang bersifat subjektif. Bila keinginan itu terpenuhi, hasil yang
diperoleh adalah dalam bentuk kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat
lainnya.

Kebutuhan (need) manusia meliputi kebutuhan fisik dasar akan makanan,


pakaian, keamanan, kebutuhan sosial, serta kebutuhan individu akan pengetahuan,
dan suatu keinginan untuk mengekspresikan diri. Dari sifatnya, dalam pandangan
ekonomi, kebutuhan (need) manusia itu terdiri dari kebutuhan-kebutuhan primer
seperti pangan, sandang, dan papan, kebutuhan sekunder (pelengkap), dan kebutuhan
tersier.

10
Pada dasarnya, aktivitas ekonomi berasal dari kebutuhan fisik manusia agar
tetap survuve dalam hidupnya. Adanya kebutuhan untuk mempertahan hidup
memunculkan interaksi antara manusia dengan sesamanya. Dalam interaksi ini
kehendak seseorang untuk membeli atau memiliki sesuatu bisa muncul karena faktor
kebutuhan (need) ataupun keinginan (want).

Dalam perspektif ekonomi islam, semua barang dan jasa yang membawa
pengaruh pada kemaslahatan disebut dengan kebutuhan manusia. 12
Misalnya, makan
makanan halal dan bergizi merupakan kebutuhan manusia agar tetap hidup sehat.

Keinginan (want) adalah sesuatu yang terikat dengan hasrat atau harapan
seseorang, jika dipenuhi belum tentu meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia
ataupun sesuatu. Ia terkait dengan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap suatu
barang. Keinginan itu biasanya lebih bersifat subjektif, tidak bisa dibandingkan
antarsatu orang dengan yang lainnya.13 Misalnya, cat, interior ataupun desain yang
baik adalah keinginan manusia dalam membangun rumah. Semua keinginan ini belum
tentu menambah fungsi bangunan rumah, tetapi hanya memberikan kepuasan
pemiliknya.

Dalam islam, pemenuhan kebutuhan hidup manusia sama dengan teori


Maslow yang diawali dari kebutuhan pokok atau dasar. Menurut teori yang menganut
pola ekonomi individualistik-materialistik ini, keperluan hidup itu berawal dari
pemenuhan keperluan hidup yang bersifat dasar (basic need). Kemudian, pemenuhan
keperluan hidup berupa keamanan, kenyamanan, dan aktualisasi.14

Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun


keinginannya. Selama hal itu mendatangkan maslahah dan tidak mendatangkan
mafsadah. Konsep keperluan dasar dalam islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan
dasar bagi pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada
pada masyarakat.

12 M. Fahim Khan, Essay In Islamic Economic, (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1995),
hlm. 34
13 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2008), hlm.130
14 Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, (Jakarta:
Aqsa Publishing, 2007), hlm. 112.
11
C. Norma dan Etika dalam Konsumsi
Nilai-nilai islam yang harus diaplikasikan dalam konsumsi adalah:

1. Seimbang dalam Konsumsi

Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartanya


untuk kepentingan diri, keluarga, dan fii sabilillah. Islam mengharapakan sikap kikir.
Disisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta. 15 Inilah
bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Qur’an yang mencerminkan sikap
keadailan dalam konsumsi. Seperti yang diisyaratkan dalam QS Al-Isra’ [17]: 29.

َ ‫ك ا ِٰلى َم ْغلُ ْو َل ًة َي َد‬


‫ك َتجْ َع ْل َواَل‬ ْ ‫مَّحْ س ُْورً َملُ ْومًا َف َت ْقعُدَ ْال َبسْ طِ ُك َّل َت ْبس‬
َ ِ‫ُط َها َواَل ُع ُنق‬

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada pundakmu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu akan menjadikan kamu tercela dan
menyesal.

2. Membelanjakan Harta pada Bentuk yang Dihalalkan dan dengan Cara yang
Baik

Islam mendorong dan memberi kebebasan kepada individu agar


membelanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baik dan halal dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuan tidak
melanggar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan
dan kesejahteraan masyarakat dan negara. 16
Senada dengan hal ini Abu al-A’la al-
maududi menjelaskan, islam menutup semua jalan bagi manusia untuk
membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak ditengah masyarakat,
seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu.
15 Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami, (kairo, maktabah wahbah,
t.t), hlm. 217.
16 Afzalur Rahman, economic doktrines of islam terj., Soeroyo dan Nastangin, doktrin economic islam,
(Yogyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1985). Jilid. II, hlm. 18-20 Bandingkan dengan Abu al A’la al Maududi,
op.cit. hlm.199.
12
Dalam QS Al-Maidah [5] : 88 ditegaskan:

‫ َط ِّيبًا َح ٰلاًل هّٰللا ُ َر َز َق ُك ُم ِممَّا َاو ُكلُ ْو‬ ‫ۖوَّ ا َّتقُوا‬  َ ‫هّٰللا‬ ‫ِي‬


ْٓ ‫مُْؤ ِم ُن ْو َن ِبهٖ اَ ْن ُت ْم الَّذ‬

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.

3. Larangan Bersikap Israf (Royal), dan Tabzir (sia-sia)

Adapun nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konumsi adalah


pelarangan terhadap sikap hidup mewah.17 Gaya hidup mewah adalah perusak
individu dan masyarakat, karena menyibukkan manusia dengan hawa nafsu,
melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Disamping itu,
membunuh semangat jihad. Ali Abd ar-Rasul juga menilai dalam masalah ini bahwa
gaya hidup mewah (israf) merupakan faktor yang memicu terjadinya dekadensi moral
masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut. 18 Bagi Afzalur
Rahman, kemewahan (israf) merupakan berlebih-lebihan dalam kepuasan pribadi atau
membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak perlu. Dalam QS Al-A’raaf [7]: 31,
Allah telah memperingatkan akan sikap ini:

ُّ‫ٰي َبن ِْٓي ٰادَ َم ُخ ُذ ْوا ِز ْي َن َت ُك ْم عِ ْندَ ُك ِّل َمسْ ِج ٍد وَّ ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َواَل ُتسْ ِرفُ ْو ۚا ِا َّن ٗه اَل ُيحِب‬

ࣖ ‫ْالمُسْ ِرفِي َْن‬

Hai anak adam, pakailah pakaian yang indah disetiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.

17 Yusuf Al-Qardhawi, Daur, op.cit, hlm. 227. Afzalur Rahman, op.cit,. hlm 49.
18 Ali Abd ar-Rasul, op.ct., hlm 187.
13
Sikap hidup mewah biasanya diiringi oleh sikap hidup berlebih-lebihan
(melampaui batas atau israf). 19
Israf atau royal menurut Afzalur Rahman ada tiga
pengertian yaitu, menghambur-hamburkan kekayaan pada hal-hal yang diharamkan
seperti mabuk-mabukkan, pengeluaran yang berlebih-lebihan pada hal-hal yang
dihalalkan tanpa peduli apakah itu sesuai dengan kemampuan atau tidak, dan
pengeluaran dengan alasan kedermawanan hanya sekedar pamer belaka. Sebagaimana
Al-Qur’an mengecam kemewahan, ia juga mengecam sikap berlebihan dan tabzir
(pemborosan) dengan menggolongkan kepada saudara setan (QS Al-Israa’ [17]: 26-
27). Sebaliknya, Al-Qur’an memuji dan menyanjung sikap orang-orang yang berbuat
ekonomis dan hemat dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, Al-Qur’an
menginginkan sikap ekonomis menjadi moral agama yang fundamental dan moral
pribadi kaum muslim.

BAB III
PENUTUP

19 Afzalur Rahman, op.ct., hlm. 58.


14
A. KESIMPULAN

Jadi, bisa disimpulkan bahwa Konsumsi adalah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh manusia dengan menggunakan serta mengurangi daya guna dari suatu barang
maupun jasa yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta kepunahan
manusia baik secara perlahan ataupun sekaligus. Contohnya kita makan nasi itu
merupakan suatu contoh kegiatan perilaku konsumsi karena menghabiskan nilai guna
nasi. Nah dalam perspektif ekonomi islam,perilaku atau etika dalam mengonsumsi
ada tiga yaitu kita harus seimbang dalam mengonsumsi atau menggunakan
barang/jasa tersebut, membelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan dan dengan
cara yang baik, serta tidak adanya sikap hidup yang berlebih-lebihan
(israf/boros/royal) dan tabzir (sia-sia/mubazir) karena itu adalah sifat setan. 

B. SARAN

Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan makalah yang bermanfaat bagi banyak orang.

15

Anda mungkin juga menyukai