Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Konsep Utility dalamTeori Konsumsi”


Dosen pengampu: Dr. Muhammad Kamal Zubair, M.Ag

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi mikro Islam

Oleh:
Kelompok 3

Sumi
(2220203860102008)

EKONOMI SYARIAH
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, taufik,
serta inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Konsep
Utility dalam Teori Konsumsi”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang membimbing kita menuju jalan yang
diridhoi oleh-Nya.
Terima kasih kepada Bapak Dr. Muhammad Kamal Zubair, M.Ag
selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Mikro Islam yang telah
memberikan ilmunya kepada saya selama proses perkuliahan. Dalam pembuatan
makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita, dan penulis mengharapkan
masukan, kritik dan saran dari para pembaca. Karena penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Enrekang, 12 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Teori Konsumsi dalam Ekonomi Islam....................................................................3
B. Prinsip-prinsip Konsumsi Islam...............................................................................6
C. Teori Nilai Guna (Utility).........................................................................................9
BAB III PENUTUP........................................................................................................14
A. Kesimpulan...........................................................................................................14
B. Saran....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsumsi merupakan kajian penting dalam perekonomian nasional karena
merupakan komponen pokok pengeluaran agregat dan apa yang tidak dikonsumsi
atau apa yang ditabung digunakan untuk investasi. Perilaku konsumsi dan
investasi adalah kunci untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dan siklus usaha.
Kegiatan konsumsi adalah pekerjaan atau kegiatan memakai atau
menggunakan suatu produk barang atau jasa yang diproduksi atau dibuat oleh
produsen. Dalam kamus Bahasa Indonesia lengkap konsumsi adalah pemakaian
barang-barang produksi, bahan makanan dan sebagainya. Contoh kegiatan
konsumsi adalah seperti makan di warung, cukur rambut di tukang pangkas
rambut dan berobat ke dokter. Konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat
biasanya menghadirkan banyak pilihan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
Pada kenyataannya dilapangan, masyarakat dihadapkan pada permasalahan umum
dalam mengkonsumsi barang dan jasa yaitu kelangkaan.
Atas dasar kebutuhan tersebut individu akan mempunyai permintaan
terhadap barang atau jasa, semakin banyak penduduk di suatu negara itu berarti
semakin banyak barang atau jasa yang dikonsumsi dan semakin besar juga
permintaan masyarakat akan suatu jenis barang atau jasa.
Teori utilitas mendasarkan keyakinannya pada preferensi individu. Teori
utilitas adalah teori positif yang berusaha menjelaskan perilaku yang diamati
individu dan pilihan. Teori Ini berbeda dengan teori normatif, yang menyatakan
bahwa orang harus berperilaku di cara yang ditentukan olehnya. Jadi, di bawah
asumsi teori utilitas, kita dapat berasumsi bahwa orang berperilaku seolah-olah
mereka memiliki fungsi utilitas dan bertindak sesuai dengannya. Berdasarkan
uraian di atas maka penulis akan membahas terkait dengan konsep utility dalam
teori konsumsi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori konsumsi dalam ekonomi Islam?
2. Apa saja prinsip-prinsip dalam konsumsi Islam?

1
3. Bagaimana teori nilai guna (utility)?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui teori konsumsi dalam ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui prinsip konsumsi Islam.
3. Untuk mengetahui teori nilai guna.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Teori Konsumsi menurut pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi
Islam adalah pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang memberikan
maslahat/kebaikan dunia dan akhirat bagi konsumen itu sendiri. Secara umum
pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spiritual,
intelektual, ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah
kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan
diinginkan oleh seseorang maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan
maslahah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak dilandasi
oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata, artinya jika yang
diinginkan bukan kebutuhan maka pemenuhan keinginan tersebut hanya akan
memberikan kepuasan saja.1
Dalam teori konsumsi ekonomi Islam, terdapat dasar teori konsumsi yang
harus dijadikan sebagai dasar dalam aktivitas konsumsi masyarakat Muslim :
1) Terdapat dalam al-Qur’an yang mana Allah SWT berfirman “Makan
minumlah dan janganlah kamu berlebih-lebihan”. Maksud dari firman
tersebut ialah ketika kita mengkonsumsi barang dan jasa bisa di anjurkan
untuk mengkonsumsinya tetapi tidak boleh (isrof)/ berlebih-lebihan. Hal ini
lah yang menjadi solusi dalam mengatasi keterbatasan atau kelangkaan
faktor-faktor produksi dalam hal memenuhi kebutuhan manusia.
2) Dasar teorinya adalah hadis Rasulullah Saw mengatakan bahwa makanlah di
saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang, artinya bahwa kita di suruh
mengkonsumsi barang dan jasa juga tidak berlebih-lebihan pada saat kita
butuh baru mengkonsumsinya dan ketika memenuhi hajat kita itu di hentikan.
3) Dasar ketiga teori konsumsi dalam ekonomi Islam ialah adanya pembatasan
tingkat konsumsi masyarakat seperti adanya konsep halalan toiban (halal dan
baik). Tidak semua barang dan jasa bisa di konsumsi oleh masyarakat
Muslim, namun harus memenuhi kretiria yang namanya halal dan baik. Ada

1 Anggie Zabrina Arief, Teori Konsumsi, Makalah, Prodi Perbankan Syariah, Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar, 2021.

3
kemudian barang yang baik tapi kemudian tidak boleh di konsumsi ini juga
akan membatasi konsumsi masyarakat sehingga pemenuhan terhadap
kebutuhan masyarakat itu bisa lebih maksimal dan juga sebaliknya, ada juga
halal tetapi tidak baik ini tidak boleh juga di konsumsi oleh masyarakat
zatnya halal tapi tidak baik karena merugikan masyarakat, misalnya ayam, itu
halal tetapi ketika ia mati berbentuk bangkai maka itu tidak boleh di makan
karena sudah tidak baik makanya harus di potong terlebih dahulu supaya
termasuk kriteria halalan toib.
Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat
kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam
ilmu ekonomi konvensional seperti utilitas dan kepuasan marginal,
melainkan lebih menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku
konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu
sendiri. Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Shiddiqi mengatakan, konsumen
harus puas akan perilaku konsumsinya dengan mengikuti norma-norma Islam.
Secara bijaksana al-Qur'an telah memberitahukan suatu larangan berdimensi
sosial untuk kesejahteraan manusia. Larangan dalam konsumsi melingkupi tiga
macam, antara lain:
1) Larangan Mengonsumsi Barang dan jasa yang tidak halal
Al-Qur’an karim memberikan kepada kita petunjuk-petunjuk yang sangat
jelas dalam hal konsumsi, ia mendorong pengguna barang-barang yang halal lagi
baik, dan bermanfaat, juga melarang orang Muslim untuk makan dan berpakaian
kecuali hanya yang baik. Pada dasarnya Al-Qur’an tidak menyebutkan satu-
persatu barang yang boleh dikonsumsi, tetapi hanya diberi batasan bahwa yang
dikonsumsi haruslah barang-barang yang halal, hal tersebut bertujuan untuk
memberikan keleluasaan dalam melakukan konsumsi. Sebagaimana Abu al-A’la
al- Maududi menjelaskan, Islam menutup semua jalan bagi manusia untuk
membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlak di tengah
masyarakat, seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu2.
2) Larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta.

2 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta:
Rajawali Pers , 2016, h.108.

4
Kesadaran untuk membantu penderitaan yang dialami orang-orang yang
kekurangan sangat mendapatkan porsi yang besar di dalam Islam. Keseimbangan
yang diciptakan Allah dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan
universal yaitu al-Qur'an dalam konteks hubungan sosial, apabila
diimplementasikan dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan
orang-orang beriman masa lalu (As salaf sholeh) membawa dampak terhadap
distribusi pemerataan tingkat kesejahteraan.
Sikap kikir sebagai salah satu sifat buruk manusia harus dikikis dengan
menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah Allah swt yang harus
dibelanjakan sebahagian dari harta tersebut kepada orang-orang yang berhak
mendapatkannya. sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-Ma’arij:21)
ّ‫ِاَذ ا َم َّسُه اْلَخ ْيُر َم ُنْو ًعا‬
yang artinya “Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir,”.
Larangan kikir terhadap harta membuktikan dalam sifat ini menunjukkan
kurangnya nilai kepekaan sosial.
3) Larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan.
Nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah pelarangan
terhadap sikap mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan
masyarakat, karena menyibukkan manusia dengan hawa nafsu, melalaikannya dari
hal-hal yang mulia dan akhlak yang luhur. Bagi Afzalur Rahman, kemewahan
(israf) merupakan berlebih-lebihan dalam kepuasan pribadi atau membelanjakan
harta untuk hal-hal yang tidak perlu. Sikap hidup mewah biasanya diiringi oleh
sikap berlebih-lebihan (melampaui batas atau israf).
Sebagaimana al-Qur’an mengecam kemewahan, ia juga mengecam sikap
berlebihan dan tabzir (pemborosan) dengan menggolongkan kepada saudara setan.
Sebaliknya, Al-Qur’an memuji dan menyanjung sikap orang-orang yang berbuat
ekonomis dan hemat dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, Al-Qur’an
menginginkan sikap ekonomis menjadi moral agama yang fundamental dan moral
pribadi kaum Muslim.3

3 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta:
Rajawali Pers , 2016, h.110.

5
Hidup sederhana adalah tradisi Islam yang mulia, baik dalam hal konsumsi
(membeli makanan, minuman, pakaian, rumah dan segala apapun) atau lainnya,
bahkan Rasulullah melarang boros berwudhu dengan air walaupun berada di
sungai yang mengalir (HR. Ibnu Majah). Seorang Muslim yang rasional yaitu
yang beriman semestinya anggaran konsumsi ibadahnya harus lebih banyak
dibandingkan anggaran konsumsi duniawinya.

B. Prinsip-prinsip Konsumsi Islam


Islam merupakan agama ajarannya mengatur segenap perilaku manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam hal konsumsi, Islam
mengatur sebagimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang
membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam
mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Jika
manusia dapat melakukan aktvitas konsumsi sesuai dengan ketentuan al-qur’an
dan as-sunnah, maka ia akan menjalankan konsumsi yang jauh dari pemborosan
dan tidak bermanfaat. Perilaku yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah ini
akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya4.
Adapun beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang Muslim yang
membedakan dengan perilaku konsumsi non Muslim (konvensional), karena pada
dasarnya prinsip berkonsumsi seorang Muslim ialah berdasarkan kebutuhan dan
manfaat bagi dirinya ataupun orang lain, berbeda dengan prinsip non Muslim
(konvensional) yang dalam berkonsumsi ingin memaksimalkan kepuasannya
tanpa memikirkan maslahahnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Memperhatikan Tujuan Konsumsi
Perilaku konsumsi Muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai kepuasan
dari konsumsi barang, melainkan berfungsi “ibadah” dalam rangka mendapatkan
ridha Allah swt. Berbeda dengan konsumsi konvensional hanya kepuasan yang
dicari tanpa memikirkan ada nilai ibadahnya dalam berkonsumsi.
b. Memperhatikan Kaidah Ilmiah
Dalam berkonsumsi seorang Muslim harus memperhatikan prinsip
kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti barang yang dikonsumsi harus

4 Anwar Liling, konsep utility dalam teori ekonomi Muslim, Jurnal Balanca,
Pascasarjana IAIN: Pare-pare, 2019.

6
bebas dari kotoran maupun penyakit, demikian harus menyehatkan, bernilai gizi,
dan memiliki manfaat tidak mempunyai kemudharatan. Karna itu, tidak semua
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua
yang diperbolehkn makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat. Sedangkan
dalam berkonsumsi konvensional selagi ada anggaran apapun boleh di konsumsi
tidak ada pembeda barang halal maupun haram, semuanya boleh dikonsumsi
selama anggaran masih ada.
c. Memperhatikan Bentuk Konsumsi
Dalam konsep ini, fungsi konsumsi Muslim berbeda dengan prinsip
konvensional yang bertujuan kepuasan maksimum (maximum utility), terlepas dari
keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakekatnya teori konsumsi konvensional
tidak mengenal tuhan. Dari bentuk konsumsi seseorang harus memperhatikan
apapun yang dikonsumsinya. Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan-
batasan orang Muslim dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Seorang
Muslim dilarang misalnya mengkonsumsi daging babi, bangkai, darah, minuman
keras (khamr), narkotika, dan berjudi. Berbeda dengan konvensional yang tidak
mengenal batasan. Berapa pun yang dikonsumsi selagi anggaran terjangkau tidak
menjadi masalah (teori konsumsi dalam teori konvensional), bahwa kendala
konsumsi adalah anggaran. Dari segi jenis pemuas konsumsi pun tidak ada
batasannya. Apakah sesuai agama apakah tidak, yang terpenting memuaskan
nafsu konsumsinya maka terjadi konsumsi yang sah.
d. Sederhana, Tidak Bermewah-mewah
Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang terpuji dalam kondisi yang wajar
adalah sederhana. Maksudnya, berada diantara boros dan pelit. Seperti yang
disebutkan dalam firman Allah swt sebagai berikut:

‫وَو اَّلِذ ْيَن ِاَذ ٓا َاْنَفُقْو ا َلْم ُيْس ِر ُفْو ا َو َلْم َيْقُتُرْو ا َو َك اَن َبْيَن ٰذ ِلَك َقَو اًم ا‬
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang
yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, di antara keduanya secara wajar”. (Q.S.Al-Furqan: 67).
Prinsip kesederhanaan, maksudnya dalam berkonsumsi hendaknya
menghindari sikap berlebihan (israf) karena sifat ini sangat dibenci oleh Allah

7
swt, demikian pula menjauhi sifat mubazir. Sedangkan dalam berkonsumsi
konvensional apapun boleh dikonsumsi semakin besar anggarannya semakin besar
pula keinginannya dalam mengkonsumsi sesuatu tanpa batas.
e. Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi
Kesesuaian antara pemasukan dengan konsumsi adalah hal yang sesuai
dengan fitrah manusia dan realita. Karena itu, salah satu aksiomatik ekonomi
adalah pemasukan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi permintaan
konsumen individu. Dimana permintaan menjadi bertambah jika pemasukan
bertambah, dan permintaan menjadi berkurang jika pemasukan menurun.
f. Urutan konsumsi alokasi harta menurut syariat Islam antara lain:
1) Nafkah diri, manusia diwajibkan memenuhi kebutuhan diri dan
mendahulukannya atas pemenuhan kebutuhan orang lain.
2) Nafkah istri, nafkah harus dipenuhi oleh suaminya karena ikatan dirinya
kepada suaminya.
3) Nafkah Kerabat, sebab wajibnya nafkah tersebut adalah adanya
keharaman untuk memutuskan silaturahmi.
4) Nafkah bagi pihak yang membantu istri. Dalam mengerjakan pekerjaan
rumah, ketika ada orang yang membantu istri maka nafkahnya menjadi
tanggung jawab suami dari istri tersebut. Besarnya nafkah tergantung
situasi dan kondisi kesepakatan, karena merupakan upah/gaji.
5) Nafkah untuk Budak, pada masa perbudakan, pemilik budak diharuskan
untuk memberikan nafkah kepada para budak yang dimilikinya.
6) Pemenuhan kebutuhan kepada binatang peliharaannya.
7) Untuk memperjuangkan agama Allah SWT. Diantara karunia Allah yang
diberikan kepada hambanya adalah karunia berupa harta dan adanya
semangat untuk membelanjakan harta dijalan yang dibenarkan
syariatnya, yaitu membelanjakan harta dijalan Allah swt.
g. Prinsip Moralitas
Perilaku konsumsi seorang Muslim dalam berkonsumsi juga memperhatikan
nilai prinsip moralitas, dimana mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap
suatu barang, maka dalam rangka martabat manusia yang mulia, berada dalam
makhluk lainnya. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika

8
(tertib) yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw. Dalam hal berkonsumsi
sebagai seorang Muslim harus memperhatikan prinsip moralitas seperti: tidak
boleh makan atau minum secara berlebihan, sambil jalan, tidak memperdulikan
lingkungan sekitar, membuang sampah sembarang, dan lain-lain.

C. Teori Nilai Guna (Utility)


Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu
barang dinamakan utility atau nilai guna. Jika kepuasan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila
kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai
gunanya. Kepuasan dalam terminologi konvensional dimaknai dengan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik.
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal dengan maslahah dengan pengertian
terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik maupun spritual. Islam sangat
mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan nonfisik yang didasarkan atas
nilai-nilai syariah. Seorang Muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal,
baik secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersikap israf (royal) dan
tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang Muslim tidak didasarkan
banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar
nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya.
Untuk mengetahui kepuasan seorang konsumen dalam teori ekonomi, dapat
diilustrasikan dalam bentuk total utility (nilai guna total) dan marginal utility
(nilai guna tambahan). Total utility adalah jumlah seluruh kepuasan yang
diperoleh dalam mengonsumsi sejumlah barang tertentu. Sementar itu, marginal
utility adalah penambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari
penambahan dan pengurangan penggunaan satu unit barang.5
Konsep utility atau kepuasan sangat berbeda dengan konsep maslahah atau
kemanfaatan yag menjadi tujuan dalam konsumsi yang Islam. Konsep utility
bersifat sangat subjek karena bertolak dari pemenuhan kebutuhan yang memang

5 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta:
Rajawali Pers,2016, h.98.

9
bersifat subjek. Utility adalah suatu ukuran kepuasan/kebahagiaan yang diperoleh
konsumen dari sekelompok barang.
Utilitas bukan tujuan konsumsi dalam ekonomi Islam, karena konsumsi dan
mempertegas bahwa tujuan hidup bersifat duniawi semata. Konsumsi terhadap
barang di klasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu konsumsi barang primer
(keperluan dasar), konsumsi barang skunder (kenyamanan), dan konsumsi barang
tersier (kemewahan). Sedangkan dalam bahasa ekonomi Islam tingkatan konsumsi
terhadap barang-barang ini biasanya di istilahkan dengan barang-barang yang
bersifat daruriyat, tahsiniyat, dan hajiyat.
Konsumsi barang daruriyat merujuk kepada barang-barang yang
kelangkaannya akan menyebabkan seseorang mendapat kesulitan bahkan bisa
menghilangkan keselamatan jiwa, agama, akal, keturunan dan harta. Konsumsi
barang tahsiniyat adalah barang yang penggunaannya bukan untuk kenyaman
melainkan untuk bermewah-mewah. Konsumsi barang hajiyat adalah
barangbarang yang ketersediaannya akan menyebabkan hidup seseorang menjadi
lebih nyaman dan sempurna.6 Agar lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

6 Ridwan, Imsar, Rita Handayani, Aqwa Naser Daulay, Muhammad Syahbudi, Tri Inda
Fadhila Rahma, Ekonomi Mikro Islam, Buku Diktat, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,
2017, h.73

10
Tabel 2.1. Total Utility dan Marginal Utility
Jumlah Apel yang
Total Utility Marginal Utility
Dimakan
0 0 0
1 30 30
2 50 20
3 65 15
4 69 4
5 68 -1
6 64 -4
7 57 -7

Tabel ini menunjukkan ketika makan apel yang keempat, total nilai gunanya
meningkat dan nilai guna marginalnya adalah positif. Ini berarti kepuasan
seseorang memakan apel mencapai tingkat kepuasan yang maksimal pada apel
yang keempat. Namun, ketika memakan apel yang kelima total utilitynya
menurun dan marginal utilitynya adalah negatif. Bila ia makan apel lagi, akan
mengurangi tingkat kepuasan. Dari contoh di atas, ditunjukkan apabila konsumen
memakan lima, enam, dan tujuh apel kepuasan yang di dapat dari mengonsumsi
apel tersebut lebih rendah daripada kepuasan yang didapat dari memakan delapan
apel. Ini berarti lebih baik memakan delapan apel daripada sembilan apel, karena
kepuasan yang diperoleh dari memakan delapan apel adalah lebih lebih besar.
Keadaan ini dapat digambarkan pada kurva 2.1 di bawah ini:

Kurva Total Utility dan Marginal Utility


80
60 Jumlah Apel yang di
makan
40 Total Utility
20 Marginal utility

0
1 2 3 4 5 6 7
-20

Kurva 2.1 Kurva Total Utility dan Marginal Utility

11
Kurva total utility bermula dari titik nol, yang berarti tidak ada konsumsi,
total utility adalah nol. Pada mulanya kurva total utility adalah menaik, yang
berarti kalau jumlah konsumsi apel bertambah, total utility bertambah. Kurva total
utility mulai menurun pada waktu konsumsi apel melebihi empat buah. Kurva
marginal utitlity turun dari kiri ke kanan bawah. Gambar ini menunjukkan hukum
nilai guna marginal yang semakin menurun. Penurunan nilai guna dikenal dengan
hukum nilai guna marginal yang semakin menurun (the law of diminishing
marginal utility). Kurva nilai guna marginal memotong sumbu dasar sesudah apel
kedua. Berarti sesudah berpotongan tersebut marginal utility adalah negatif.
Dalam keadaan seperti ini, berdasarkan etika konsumsi dalam Islam, seorang
konsumen harus menghentikan konsumsi terhadap barang tersebut. Karena hal itu
menimbulkan disutility yang dalam istilah fiqh dikenal dengan mafsadah
(kerusakan).
Teori nilai guna (utility) apabila dianalisis dari teori maslahah, kepuasan
bukan didasarkan atas banyaknya barang yang dikonsumsi tetapi didasarkan atas
baik atau buruknya sesuatu itu terhadap diri dan lingkungannya. Jika
mengonsumsi sesuatu mendatangkan kemafsadatan pada diri atau lingkungan
maka tindakan itu harus ditinggalkan sesuai dengan kaidah:” menolak segala
bentuk kemudaratan lebih diutamakan daripada menarik manfaat”.7
Bila dalam mengonsumsi sesuatu kemungkinan mengandung mudarat atau
maslahat maka menghindari kemudaratan harus lebih diutamakan, karena akibat
dari kemudaratan yang ditimbulkan mempunyai akses yang lebih besar daripada
mengambil sedikit manfaat. Jadi, perilaku konsumsi seorang Muslim harus
senantiasa mengacu pada tujuan syariat, yaitu memelihara maslahat dan
menghindari mudarat. Dalam ekonomi konvensional, konsumsi diasumsikan
selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (atility). Konsumsi dalam Islam
tidak hanya bertujuan untuk mencari kepuasan fisik, tetapi lebih
mempertimbangka aspek maslahah yang menjadi tujuan dari syariat Islam
(maqashid syariah).

7 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta:
Rajawali Pers,2016, h.99.

12
Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal
adalah prinsip konsumsi yang diajarkan Rasulullah, seperti makan sebelum lapar
dan berhenti sebelum kenyang. Karena tambahan nilai guna yang akan diperoleh
akan semakin menurun apabila seseorang terus mengonsumsinya. Pada akhirnya,
tambahan nilai guna akan menjadi negatif apabila konsumsi terhadap barang
tersebut terus ditambah. Hukum nilai guna marginal yang semakin menurun (law
of diminishing marginal utility) menjelaskan bahwa penambahan terus-menerus
dalam mengonsumsi suatu barang, tidak akan menambah kepuasan dalam
konsumsi karena tingkat kepuasan terhadap barang tersebut akan semakin
menurun.
Misalnya, seorang yang kehausan diberi segelas air minum akan mendapat
kepuasan yang maksimal. Kemudian diberi air satu atau dua gelas lagi maka
kepuasanya akan bertambah. Akan tetapi jika diberi lagi satu gelas air lagi, ia akan
menolak karena dahaganya sudah lepas atau sudah merasa puas. Ini berarti, nilai
guna total dari meminum empat gelas adalah lebih rendah dari nilai guna yang
diperoleh dari meminum tiga gelas. Karena itulah, Islam menekankan sikap
sederhana dalam konsumsi. Sebaliknya sikap israf (berlebih-lebihan) dan tabzir
(sia-sia) dalam konsumsi dilarang.8

8 Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta:
Rajawali Pers,2016, h.101.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori Konsumsi menurut pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi
Islam adalah pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang memberikan
maslahat/kebaikan dunia dan akhirat bagi konsumen itu sendiri. Secara umum
pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spiritual,
intelektual, ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah
kepuasan atau manfaat psikis disamping manfaat lainnya.
Adapun beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang Muslim antara
lain: memperhatikan tujuan konsumsi, memperhatikan kaidah ilmiah,
memperhatikan bentuk konsumsi sederhana, tidak bermewah-mewah, kesesuaian
antara pemasukan dengan konsumsi, urutan konsumsi alokasi harta menurut
syariat Islam.
Di dalam teori ekonomi, kepuasan seseorang dalam mengonsumsi suatu
barang dinamakan utility atau nilai guna. Jika kepuasan terhadap suatu benda
semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila
kepuasan terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai
gunanya. Kepuasan dalam terminologi konvensional dimaknai dengan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik.

B. Saran
Diharapkan kepada masyarakat agar mengonsumsi makanan yang bebas
dari kotoran maupun penyakit, demikian harus menyehatkan, bernilai gizi, dan
memiliki manfaat tidak mempunyai kemudharatan sesuai dengan syariat Islam.

14
DAFTAR PUSTAKA
Anggie Zabrina Arief, 2021, Teori Konsumsi, Makalah, Prodi Perbankan Syariah,
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Liling Anwar,2019 konsep utility dalam teori ekonomi Muslim, Jurnal Balanca,
Pascasarjana IAIN: Pare-pare.

Rozalinda, 2016, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi,
Jakarta: Rajawali Pers.

Ridwan, Imsar, Rita Handayani, Aqwa Naser Daulay, Muhammad Syahbudi, Tri
Inda Fadhila Rahma, 2017, Ekonomi Mikro Islam, Buku Diktat, Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara.

15

Anda mungkin juga menyukai