Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “teori komsumsi dalam islam” ini. Salawat
dan salam penulis sanjungkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw.
beserta keluarga dan para sahabat beliau yang telah membawa umat manusia dari
alam jahiliah ke alam islamiah.
Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah ekonomi mikro
islam.Penulis telah berupaya semaksimal mungkin supaya penulisan Makalah ini
sempurna. Namun, atas keterbatasan wawasan dan pengetahuan yang penulis
miliki, penulis masih sangat memerlukan perbaikan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan Makalah ini. Akhirulkalam, semoga Makalah
ini bermanfaat bagi pembaca.

1
DAFTAR ISI
KATA

PENGANTAR..............................................................................................................1

DAFTAR

ISI..........................................................................................................................2

BAB I,PENDAHULUAN

1.latar belakang...................................................................................................................3

2.rumusan masalah.............................................................................................................3

BAB II.PEMBAHASAN

a. Konsep Mashlahah Sebagai Fungsi Kesejahteraan Menurut.................................4

b. Prilaku Konsumen........................................................................................................6

c. Mashlahah dalam Konsumsi......................................................................................8

d. Kebutuhan dan Keinginan..................................................................................11

e. Keinginan Manusia dan Pemenuhannya..................................................................12

f. Keseimbangan Dalam Konsumsi


Islam.....................................................................14

BAB III,PENUTUP

a.kesimpulan.....................................................................................................................16

b.kritik dan saran...............................................................................................................17

2
DAFTAR

PUSTAKA.............................................................................................................18

BAB I
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Di dalam siklus ekonomi yang bermula dengan memperoleh kekayaan,
konsumsi barangkali merupakan tahap yang terakhir dan paling penting. Di
dalam ilmu ekonomi konsumsi bermakna membelanjakan kekayaan untuk
memenuhi keinginan manusia seperti makanan, pakaian, perumahan, barang-
barang dan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, kebutuhan pribadi
maupun yang lainnya, dan sebagainya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada
batas bagi keinginan manusia yang tak dapat di kenyangkan itu. Mengingat hal
itu, amat perlulah orang berhati-hati dalam mengonsumsi kekayaan.
Sebuah mekanisme yang terkadang tanpa pernah kita sadari, lebih dari
berjuta-juta komoditi atau jasa tersebut. Ketika membuat pilihan kita membuat
penilaian tertentu tentang nilai relatife segala komoditas yang berjuta-juta jenis
tersebut. Sekitar 500 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW, Imam Al-Ghazali,
telah mampu menuliskan bagaimana fungsi kesejahteraan, Utilitas atau
Kepuasan yang merupakan penentu apakah sebuah barang lebih disukai atau
tidak dibandingkan dengan barang yang lain. Dengan demikian, teori konsumsi
sangatlah dipengaruhi oleh fungsi utilitas.

2.RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana Konsep Mashlahah Sebagai Fungsi Kesejahteraan Menurut Islam?
b. Bagaimana Prilaku Konsumen dalam ekonomi islam?
c.bagaimana Mashlahah dalam Konsumsi?
d. bagaimana Kebutuhan dan Keinginan manusia terpenuhi?

3
e. apa apa saja Keinginan Manusia dan Pemenuhannya?
f. bagaimana Keseimbangan Dalam Konsumsi Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A.Konsep Mashlahah Sebagai Fungsi Kesejahteraan Menurut Islam

Secara umum konsumsi didefinisikan sebagai penggunaan barang dan


jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga
memiliki pengertian yang hampir sama, tapi ada perbedaan yang melingkupinya.
Perbedaan yang mendasar adalah tujuan pencapaian dari konsumsi dan cara
pencapaiannya yang harus memenuhi Kaidah Syariah Islam.
Tujuan utama konsumsi bagi seorang muslim adalah sebagai sarana
penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya konsumsi selalu didasari
niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah,
sehingga menjadikan konsumsi juga bernilai ibadah. Sebab hal-hal yang mubah
bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah,
dalam hal ini dimaksudkan untuk menambah potensi mengabdi kepada-Nya.
Dalam ekonomi Islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang tidak bisa
diabaikan oleh seorang muslim untuk merealisasikan tujuan dalam penciptaan
manusia, yaitu mengabdi sepenuhnya hanya kepada Allah untuk mencapai falah.
Falah adalah kehidupan yang mulia dan sejahtera di dunia dan akhirat.
Falah dapat terwujud apabila kebutuhan-kebutuhan hidup manusia terpenuhi
secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan masyarakat akan memberikan
dampak yang disebut mashlahah. Mashlahah adalah segela bentuk keadaan, baik
material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang paling mulia.

4
Kandungan mashlahah terdiri atas manfaat dan berkah. Dalam
konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah
yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen akan merasakan adanya
manfaat dalam konsumsi ketika kebutuhannya terpenuhi. Berkah akan diperoleh
ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat islam.
Mashlahah yang diterima oleh seorang konsumen ketika mengkonsumsi
barang dapat berbentuk salah satu diantara hal-hal sebagai berikut :
a. Manfaat material, yaitu diperolehnya tambahan harta bagi
konsumen berupa harga yang murah, diskon, kecilnya biaya, dsb.
b. Manfaat fisik dan psikis, yaitu terpenuhinya kebutuhan baik fisik
maupun psikis terpenuhinya kebutuhan akal manusia
c. Manfaat intelektual, yaitu terpenuhinya kebutuhan informasi,
pengetahuan, ketrampilan, dll .
d. Manfaat lingkungan, yaitu manfaat yang bisa dirasakan selain
pembeli misalnya, mobil mini bus akan dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak
orang jika dibandingkan dengan mobil sedan.
e. Manfaat jangka panjang, yaitu terpeliharanya manfaat untuk
generasi yang akan datang, misalnya hutan tidak dirusak habis untuk
kepentingan generasi penerus.
Disamping itu kegiatan konsumsi akan membawa berkah bagi
konsumen jika :
a. Barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram
b. Barang yang dikonsumsi tidak secara berlebihan
c. Barang yang dikonsumsi didasari oleh niat untuk mendapatkan
ridho Allah1
Konsep maslahah, memiliki makna yang lebih luas dari
sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi
konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.

1 Karim A. Adiwarman,” Ekonomi Mikro Islam “, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:61.

5
Menurut Imam Ghazali, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa
yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di
muka bumi ini. Ada lima elemen dasar maslahah, yakni: kehidupan atau jiwa (al-
nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan(al-din), intelektual (al-aql),
dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung
tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap
individu, itulah yang disebut maslahah.
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi
hakim dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan maslahah atau
bukan bagi dirinya. Berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah
ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya,
bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan
usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka
penilaian individu tersebut menjadi gugur. Maslahah orang per orang akan
konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan
konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat
meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
B. Prilaku Konsumen

Prilaku konsumen berdasarkan tuntutan Al-Qur’an dan hadist. Prilaku


konsumen (consumen behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih
diantara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya
(resources) yang dimilikinya teori prilaku konsumen dibangun berdasarkan
syari’at islam, memiliki perbedaaan yang mendasar dengan teori konvensional.
Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi dasar fondasi, teori, motif,
dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk
berkonsumsi.

6
Ada tiga nilai dasar yang menjadi nilai fondasi bagi prilaku konsumsi masyarakat
muslim;

a. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akahirat, prinsip ini
mengarahkan konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat dari pada
dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah dari pada konsumsi duniawi.
Konsumsi untuk ibadah merupakan Future Consuption ( karena mendapat
balasan surge diakhirat), sedangkan konsumsi duniawi adalah Present
Consuption.

b. Konsep sukses di dalam islam diukur dengan moral agama Islam, dan bukan
dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas seseorang
muslim maka semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapainya. Kebajikan,
kebenaran, dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas seorang
muslim. Kebjikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan
bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.

c. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang


dengan sendirinya bersifat buruk ( sehingga harus dijauhi secara berlebihan).
Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan
dimanfaatkan dengan benar.2

Ada beberapa aturan yang dijadikan sebagi pegangan untuk mewujudkan


rasionalitas dalam berkonsumsi.

1. Tidak boleh hidup bermewah-mewahan.

2. Pelarangan israf (kikir), tabdzir (boros), dan safih (menuruti hawa nafsu).

3. Keseimbangan dalam berkosumsi.

4. Larangan berkosumsi atas barang dan jasa yang membahayakan/ haram.

2 Qardhawi yusuf,Peran Nilai Moral Dalam Prekonomian Islam, Jakarta;Rabbani Press, hlm.48

7
Ada beberapa prinsip-prinsip berkosumsi di dalam ekonomi islam, diantaranya:

1. Prinsip Halal: seorang muslim diperintahkan oleh musllim untuk


mengesumsi makan-makanan yng halal ( sah menurut hukum dan diizinkan) dan
tidak mengambil makanan yang haram (tidak sah menurut hukum dan terlarang).

2. Prinsip Kebersihan dan menyehatkan: seabagaiman firman Allah di dalam


Al-Qur’an yang artinya: “Hai sekalian umat manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di Bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah stan; karena sesungguhnya setan itu ialah musuh yang nyata
bagimu.”(QS. Al-Baqarah [2]: 168). Demikianlah Al-Qur’an mengingatkan
manusia untuk makan-makanan yang telah Allah anugerahkan kepada mereka.

3. Prinsip kesederhanaan: prinsip ini mengandung arti dalam melakukan


konsumsi tidak boleh berlebih-lebihan sebagaimana Firman Allah dalam Al-
qur’an yang artinya “makan dan minumlah dan jangan engkau berlebih-lebihan
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melukai batas”
selanjutnya Firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah melampaui batas….” (QS.Al-Maidah: 87) arti penting
dari ayat ini adalah menjaga keseimbangan dan kesederhanaan (hidup sesuai
dengan kemampuan) dalam konsumsi.

4. Prinsip kemurahan hati: dalam hal ini islam memerintahkan agar senantiasa
memerhatikan saudara dan tetangga kita dengan senantiasa berbagi rasa
kebersamaan.

5. Prinsip moralitas: selain hal teknis diatas islam juga memperhatikan


pembangunan moralitas spiritual bagi manusia hal tersebut dapat digambarkan
dengan perintah agama yang mengajarkan senantiasa menyebut nama Allah
bersyukur atas karunianya, maka hal tersebut secara tidak langsung akan

8
membawa dampak psikologis bagi pelakunya seperti anti makanan haram baik
zatnya maupun cara mendapatkannya maupun ketenangan jiwa.

C. Mashlahah dalam Konsumsi

Dalam menjelaskan konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen


cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah
maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas ekonomi selalu ingin
meningkatkan maslahah yang diperolehnya.Keyakinan bahwa ada kehidupan dan
pembalasan yang adil di akhirat serta informasi yang berasal dari Allah adalah
sempurna akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan konsumsi.

a. Fungsi Kesejahteraan, Maximizer dan Utilitas oleh Imam Al-Ghazali

Dalam meningkatkan kesejahteraan social, Imam Al-Ghazali mengelompokkan


dan mengidentifikasikan semua masalah yang berupa masalih (utilitas, manfaat)
maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan
social. Selanjutnya ia mendefinisikan fungsi social dalam kerangka hierarki
kebutuhan individu dan social.

Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung


kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar:

1) agama (al-dien),

2) hidup atau jiwa (nafs)

3) keluarga atau keturunan (nasl);

4) harta atau kekayaaan (maal);

5) intelek atau akal (aql)

Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntunan wahyu “kebaikan dunia ini dan
akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya.”

9
Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam
kerangka hierarki utilitas individu dan social yang triparti meliputi kebutuhan
(daruriat); kesenangan atau kenyaman (hajaat); dan kemewahan (tahsinaat)
sebuah tradisi peninggalan aritotelian, yang disebut oleh seorang sarjana sebagai
“kebutuhan ordinal” (kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang
“eksternal” dan terahadap barang-barang psikis).[ Kunci pemeliharaan dari
kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan tingkat peratama, yaitu
kebutuhan seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Namun demikian Ghazali
menyadari bahwan kebutuhan-kebutuhan dasar demikian cenderung fleksibel
mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup dan bahkan kebutuhan-
kebutuhan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua “terdiri dari semua
kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi
dibutuhkan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup.”
Kelompok ketiga “mencakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari
sekedar kenyamanan saja; meliputi hal-hal yang melengkapi, menerangi atau
menghiasi hidup.”

Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin


bila pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban
duniawi seseorang. Bahkan pencarian seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-
kegiatan ekonomi bukan saja dinginkan tetapi merupakan keharusan bila ingin
mencapai keselamatan. Ia menitikberatkan “jalan tengah” dan “kebenaran” niat
seseorang dalam tindakan. Bila niatnya sesuai dengan atauran ilahi, maka aktivits
ekonomi serupa dengan ibadah - bagian dari panggilan seseorang.

Jelaslah kalau Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia mengumpulkan


kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Namun
demikian, ia memperingatkan bahwa jika semnagat “selalu ingin lebih” ini
menjurus kepada keserakahan dan pengajaran nafsu pribadi, maka hal itu

10
dikutuk. Dalam pengertian inilah ia memandang kekayaan sebagai “ujian
terbesar”.3

Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen islam karena memiliki alokasi


untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengonsumsi barang lebih sedikit
di bandingkan nonmusllim. Hal yang membatasinya inilah disebut dengan konsep
mashlahah seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Ghazali. Dalam membandingkan
konsep kepuasan dan konsep ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung
didalamnya mashlahah), kita sangat perlu membandingkan antara tingkatan-
tingkatan tujuan hukum syara’yakni antara lain sebagai berikut.:

1. Daruriyyah : Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan


mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup
terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama,
akal/intelektual, keturunan dan keluarga, serta harta benda. Jika tujuan ini di
abaikan maka tidak aka nada kedamaian, yang timbul hanyalah kerusakan (fasad)
di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.

2. Hajiyyah : Syari’ah yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan dan


menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan
untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan
berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.

3. Tahsiniyyah : Syari’ah yang menghendaki kehidupan yang indah dan


nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi di dalam syari’ah yang di
maksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik.keindahan dan
simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkanya memakai baju
yang nyaman dan indah.

D. Kebutuhan dan Keinginan

3 P3EI, “Ekonomi Islam”, Jakarta: Rajawali Pers, Hal:129

11
Bila masyarakat menghendaki lebih banyak akan suatu barang atau
jasa, maka hal ini akan tercermin pada kenaikan permintaan akan barang dan
jasa tersebut. Kehendak seseorang untuk membeli atau memiliki sesuatu barang
dan jasa bisa muncul di karenakan adanya factor kebutuhan ataupun faktor
keinginan. Kebutuhan terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar
suatu barang atau jasa berfungsi secara sempurna.Keinginan adalah terakait
dengan hasrat atau harapan seseorang yang juga dipenuhi belum tentu akan
meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun barang.
Secara umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan
tambahan manfaat fisik, spiritual intelektual ataupun material sedangkan
pemenuhan keinginan akan menambahkan kepuasan atau manfaat psikis di
samping manfaat lainnya. Jika sesuatu kebutuhan diinginkan seseorang, maka
pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan maslahah sekaligus kepuasan,
namun jika pemenuhan kebutahan tidak dilandasi oleh keinginan, maka hanya
akan memberikan manfaat semata. Dalam kasus, jika yang dinginkan bukan
merupakan suatu kebutuhan, maka pemenuhan keinginan tersebut hanya akan
memberikan kepuasan saja.Secara umum dapat dibedakan kebutuhan dan
keinginan sebagaimana dalam tabel berikut.

Karakteristik Keinginan Kebutuhan


Sumber Hasrat (nafsu) manusia Fitrah manusia
Hasil Kepuasan Manfaat dan berkah
Ukuran Preferensi atau selera Fungsi
Sifat Subjektif Objektif
Tuntunan Islam Dibatasi/dikendalikan Dipenuhi

E. Keinginan Manusia dan Pemenuhannya

Maksud kata “keinginan” adalah kebutuhan manusia yang dapat di


puaskan. Dalam kenyataannya, semua keinginan itu tidaklah terbatas. Jika dana
yang ada cukup untuk memuasi satu keinginan, maka keinginan yang lain akan

12
muncul dan jika terakhir itu telah terpuaskan juga maka akan muncul yang
lainnya lagi, dan dengan demikian hidup akan dipenuhi dengan perjuangan
memenuhi rantai keinginan yang taka da akhirnya itu. Dmikianlah keinginan dan
pemenuhannya lalu menjadi pasak dalam perjuangan ekonomi manusia.

Secara umum keinginan manusia di golongkan menjadi tiga yakni: penting,


nyaman, dan mewah.

1. Penting (necesseries)

Penting adalah keinginannya yang pemuasannya mutlak harus dilakukan, karena


jika tidak, maka manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Misalnya: makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya, adalah hal-hal yang penting dalam
hidup karena jika tidak dipenuhi maka keberadaan manusia menjadi tidak
mungkin. Nabi Muhammad SAW. Menyimpulkan kebutuhan yang p[aling pokok
tersebut dalam sabda berikut ini: “ Cukuplah bagimu dari dunia ini jika telah
terkenyangkan laparmu, tertutupi tubuhmu dan engkau punya tempat tinggal
untuk kau tinggali…” menurut sebuah hadist yang dilaporkan oleh Tirmidzi, Nabi
Muhammad SAW menyatakan bahwa kebutuhan dasar hidup itu meliputi rumah
tempat tinggal, pakaian hingga orang tidak telanjang, seta roti dan air untuk
menghilangkan lapar dan haus. Islam tidak saja hak seseorang untuk memuaskan
kebutuhan dasar hidupnya melainkan juga mendorong orang untuk berjuang
guna mendapatkan semua itu.jika dia tidak mampu untuk memperolehnya
karena satu dan lain hal, maka islam menjadikannya tanggung jawab kaum
muslimin dan Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar orang tersebut.

2. Nyaman (Comforts)

Sebagai istilah ekonomi, menunjukkan keinginan yang memberikan rasa nyaman


dan kemudahan kepada manusia dan yang gunanya secara umum lebih besar
daripada biayanya.

13
Nyaman berada diatas penting bagi kehidupan, dan pemenuhanya menjadikan
hidup lebih mudah dan menyenangkan.makanan, pakaian, dan tempat tinggal
orang yang biasa itu adalah kebutuhan dasar baik bagi kelangsungan hidupnya,
tetapi makanan yang baik, pakaian yang baik dan rumah yang baik adalah
kenyamanan baginya. Menikmati kenyamanan ini di perbolehkan didalam Islam.

3. Mewah (luxuries)

Pembelanjaan yang besar untuk memenuhi keinginan yang tak perlu berlebihan,
disebut kemewahan; misalnya pakaian yang amat mahal, minuman keras,
pemakaian perkakas emas dan perak, pembelanjaan yang mewah untuk
pernikahan maupun acara pesta yang lain, dan diatas semua itu, penghamburan
harta dalam perjudian, pelacuran serta penyayi dan penari, dan sebagainya.
Pengahamburan harta untuk membiayai kemewahan oleh mereka yang memiliki
harta banyak karena distribusi yang tidak adil, mengarahkan kepada perampasan
hak manyoritas dari kebutuhan dasar mereka, sehingga dapat menyebabkan
perpecaha dan pertikaian dan perselisihan di dalm masyarakat. Terhadap
kenyataan ini Al-Qur’an meminta perhatian bagi seluruh pemeluknya:
“sesunggunya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran meminum khamara dan brjudi....” (QS-
Almaaidah [5]:91).

Nabi kaum Muslim juga melarang penggunaan sutera dan emas yang dipandang
sebagai barang mewah pada waktu itu. Hadist beliau mengenai hal itu sebagai
berikut.

Menurut Ummi Salamah, Nabi suci bersabda: “Barang siapa minum dari bejana
emas menuangkan api keperutnya” (Al-Muwaththa”.

F. Keseimbangan Dalam Konsumsi Islam

14
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada keadilan
distribusi. Keadilan konsumsi adalah di mana seorang konsumen membelanjakan
penghasilannya untuk kebutuhan materi dan kebutuhan sosial. Kebutuhan
materi dipergunakan untuk kehidupan duniawi individu dan keluarga. Konsumsi
sosial dipergunakan untuk kepentingan akhirat nanti yang berupa zakat, infaq,
dan shadaqah.Dengan kata lain konsumen muslim akan membelanjakan
pendapatannya untuk duniawi dan ukhrawi. Di sinilah keunikan konsumen
muslim yang mengalokasikan pendapatannya yang halal untuk zakat sebesar 2,5
% , kemudian baru mengalokasikan dana lainnya pada tempat konsumsi yang
lainnya. Baik berupa konsumsi individu maupun konsumsi sosial yang lainnya.Hal
tersebut terjadi karena keseimbangan konsumsi dalam Islam maka di antara
pendapatan konsumen merupakan hak-hak Allah SWT, terhadap para hamba-
Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, diikuti
sedekah dan infak. Semua konsumsi itu dapat membersihkan harta dari
segala noda syubhat dan dapat mensucikan hati dari berbagai penyakit yang
menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois. Perlu kita
ketahui bahwa harta kita tidak akan berkurang karena sedekah. Harta tidak akan
hilang karena membayar zakat baik di darat maupun lautan. Sebaliknya, setiap
kali satu kaum menolak membayar zakat, pasti hujan akan bertahan dari langit.
Kalau bukan karena binatang, hujan pasti tidak akan turun. Semua itu dapat di
lihat dalam Al- Qur’an surat Al-Ma’arij ayat 24-25 yang artinya : “Dan orang-
orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa yang tidak mau meminta”.

Dengan adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat,


yaitu munculnya ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala
rasa dengki akibat ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari
masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga mengalir deras ke dalam jiwa
orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat seluruhnya
mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu

15
membahu sehingga muncul kesejahteraan social yang dininginkan.Di sinilah,
ekonomi Islam menaruh perhatian padamaslahah sebagai tahapan dalam
mencapai tujuan ekonominya, yaitufalah (kemenangan).Konsumen muslim selalu
menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator apakah
barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan berkah atau tidak.Dengan
kata lain konsumen akan jenuh apabila mengkonsumsi suatu barang atau jasa
apabila tidak terdapat berkah di dalamnya. Konsumen merasakan maslahah dan
menyukainya dan tetap rela melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat
kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada

BAB III

PENUTUP

1.kesimpulan

Secara umum konsumsi didefinisikan sebagai penggunaan barang dan


jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga
memiliki pengertian yang hampir sama, tapi ada perbedaan yang melingkupinya.
Perbedaan yang mendasar adalah tujuan pencapaian dari konsumsi dan cara
pencapaiannya yang harus memenuhi Kaidah Syariah Islam. Maslahah bersifat
subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim dalam menentukan
apakah suatu perbuatan merupakan maslahah atau bukan bagi dirinya. Berbeda
dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan
sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya,
namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian
individu tersebut menjadi gugur. Maslahah orang per orang akan konsisten
dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan
konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat
meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan

16
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain. Dalam menjelaskan
konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih
barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan
rasionalitas ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang
diperolehnya.Keyakinan bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang adil di
akhirat serta informasi yang berasal dari Allah adalah sempurna akan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan konsumsi

2.kritik dan saran

Dengan dibuatnya makalah ini kami penulis memohon maaf yang sebesar
besarnya jika terdapat kesalahan dalam peulisan makalah ini karena manusia
tidak luput dari yang namanya berbuat salah.dan mohon kiranya memberikan
masukan atau kritikan dari pemmbuatan makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

(P3EI) Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, “Ekonomi Islam”


(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).

Suprayitno, “Ekonomi Mikro Perspektif Islam”, (yoyakarta:SUKSES Offset, 2008).

Karim A. Adiwarman, “Ekonomi Mikro Islam Edisi Keempat”, (Jakarta:Rajawali


Pers, 2012).

18

Anda mungkin juga menyukai