Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, konsumen adalah pihak yang memakai barang dan jasa
hasil produksi. Konsumen merupakan salah satu pelaku dalam kegiatan ekonomi.
Manusia, selaku konsumen selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
berupa pemenuhan material dan spiritual guna memuaskan dirinya sendiri.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan elemen kehidupan manusia.. Jika
menggunakan teori konvensional, konsumen diasumsikan selalu menginginkan
tingkat kepuasan yang tertinggi. Faktanya, dalam pemenuhan kebutuhan material
terkadang muncul tindakan ekstrim dalam mengakses kebutuhan.
Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan material harus dilandasi
dengan nilai-nilai spiritualisme dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan
harta kekayaan. Ketentuan dalam ekonomi Islam yang berlandaskan nilai-nilai
spiritualisme, menafikan karakteristik perilaku konsumen yang berlebihan dan
materialistik. Makalah ini sendiri akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana
perilaku konsumen menurut pandangan Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsumsi dan konsumen ?
2. Apa saja unsur penentu perilaku konsumen ?
3. Bagaimanakah aturan perilaku konsumen dalam Islam ?
4. Apa saja prinsip konsumsi muslim ?

C. Tujuan
1. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai perilaku
konsumen dalam ekonomi Islam.
2. Membantu pelajar mengerti dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan
perilaku konsumen dalam ekonomi Islam.
3. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsumsi dan Konsumen


Salah satu pembahasan sentral dalam ekonomi adalah mengenai konsumsi.
Konsumsi dalam pandangan Islam adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah untuk mendapatkan
kebahagian dunia dan akhirat. Dengan demikian, aktivitas konsumsi merupakan
salah satu aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah
dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan,
kedamaian dan kesejahteraan akhirat, baik dengan membelanjakan uang atau
pendapatannya untuk keperluan dirinya sendiri maupun untuk amal shaleh dan
berbagi sesamanya.
Konsumen adalah pemakai barang-barang hasil produksi. Perilaku
konsumen adalah tingkah laku konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan
pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu
produk dan jasa mereka. Fokus dari perilaku konsumen adalah bagaimana
individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah
tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.1

B. Unsur Penentu Perilaku Konsumen


Menurut Ismail (1998) perilaku manusia merupakan perbuatan-perbuatan
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan fisiknya.
Perilaku ini berjalan secara pasti sesaui dengan kecenderungan-kecenderungan
yang ada pada diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 2 Preferensi
konsumen terhadap komoditi atau barang jasa akan mempengaruhi perilakunya
dalam berkonsumsi, meskipun tidak bersifat mutlak. Dalam perkembangannya,
1

Abdul Rokhim, Ekonomi Islam Perspektif Muhammad SAW. (Jember: STAIN Jember
Press, 2013) hal. 94
2

Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 24

2
preferensi atau selera seseorang terhadap sebuah komoditas sangat beragam
dimana sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap
kehidupan. Terdapat tiga unsur yang dapat mempengaruhi perilaku seorang
konsumen dalam berkonsumsi, yaitu sebagai berikut:3

1. Rasionalitas
Dalam membahas teori perilaku konsumen dalam berkonsumsi,
diasumsikan bahwa seorang konsumen merupakan sosok yang cerdas. Dalam
artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income dan kebutuhan
yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karakteristik, dan
keistimewaan komiditas yang ada. Dengan harapan, komoditas tersebut dapat
mendatangkan tingkat utility yang memuaskan. Dalam konsep ekonomi Islam,
kecerdasan yang dimiliki oleh konsumen merupakan pemberian Allah yang paling
agung berupa kenikmatan akal dan nalar. Sehingga dapat digunakan untuk
membedakan kemaslahatan dan kemudharatan. Dengan akal tersebut, konsumen
dapat lebih cerdas dalam menentukan pilihannya.
Konsep rasionalitas yang terdapat dalam ekonomi kontemporer
(konvensional) berbeda dengan konsep rasionalitas ekonomi Islam. Rasionalitas
konsumen hanya dipandang dari sisi bagaimana ia memaksimalkan nilai guna
dengan usaha yang paling minimal. Hal ini tentu saja menjadikan seluruh mesin
produksi diarahkan untuk memenuhi tujuan ini dengan mengabaikan apakah
pemenuhan keinginan ini pada hakikatnya akan meningkatkan kesejahteraan
manusia secara hakiki atau bukan.4
Konsep rasionalitas dalam ekonomi Islam berdasarkan atas nilai-nilai
syariah dan berusaha untuk mengakomodasikan kebutuhan materi dan spiritual
demi tegaknya sebuah kemaslahatan. Selama konsumen dapat berpegang teguh

Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Global (Jakarta: Zikrul Hakim,
2007) hal. 74
4

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006)
hal. 61

3
pada aturan dan kaidah syariah dalam berkonsumsi, maka konsumen tersebut
dikatakan mempunyai rasionalitas (kecerdasan).

2. Kebebasan Berekonomi
Dalam konsep ekonomi Islam, seorang konsumen diberi kebebasan untuk
melakukan tawar menawar dan menentukan kesepakatan dalam sebuah transaksi.
Kebebasan dalam sistem ekonomi Islam merupakan kebebasan yang diwarnai
oleh nilai-nilai agama yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan individu
dan masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran atas batasan syariah, maka transaksi
yang dilakukan batal, karena hal itu dianggap menimbulkan kemudharatan dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme,
dimana manusia merupakan pemilik hakiki atas harta kekayaan yang dimiliki
sehingga ia mempunyai kebebasan untuk melakukan transaksi atas harta tersebut
sesuai kehendaknya.

3. Maksimalisasi nilai guna (maximize utillity)


Dalam syariah, tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ekonomi
selama bertujuan untuk sebuah kemaslahatan dan kehidupan yang layak. Namun,
segala upaya yang dilakukan untuk meraih tujuan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan pemahaman dan nilai-nilai syariah. Dalam berkonsumsi,
seorang Muslim tidak hanya menginginkan kemanfaatan berupa material, tetapi
hal itu harus dibarengi dengan kemanfaatan spiritualisnya. Hal ini berbeda dengan
kapitalisme dimana seorang konsumen merupakan perwujudan materi dengan
segala perilaku konsumen yang ada harus bersandarkan atas nilai-nilai materi.
Dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan
mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan
konsumsinya. Berkah atau “al-barokah” adalah nilai kebajikan yang bersifat ilahi
yang melekat pada objek tertentu. Yang diharapkan terjauhkan dari bahaya dan
mala petaka. Berkah adalah satu karunia yang tidak bisa dipantau (invisible
blessing). Ada dan tidak adanya keberkahan amat tergantung kepada benar
tidaknya suatu perilaku dan tindakan seseorang. Untuk mendapatkan berkah sudah

4
barang tentu orang akan selalu mengontrol perilakunya dalam kehidupan.
Terkadang kita melihat orang mungkin berlimbah ruah dalam harta, namun tidak
ada berkah maka hartanya akan menjadi sumber malapetaka. Oleh karena itu
Umar bin Khattab selalu berupaya memeriksa harta kekayaan pejabatnya yang
tidak halal, yang mendapatkan harta dengan cara tidak benar atau korupsi.5
Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia
mendapat pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Di sisi lain,
berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang atau jasa yang
dihalalkan oleh syariah Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan
kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang
kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang atau jasa yang telah dikonsumsi.
Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang atau jasa yang haram
karena tidak mendatangkan berkah dan hanya menimbulkan dosa yang akhirnya
akan berujung pada siksa Allah SWT.6

C. Perilaku Konsumen dalam Islam


Ada beberapa aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk
mewujudkan konsumsi menurut Islam, antara lain:
a. Pelarangan tarf
Tarf adalah sebuah sikap berlebihan dan bermewah-mewahan dalam
menikmati keindahan dan kenikmatan dunia. Seorang mu’min hendaklah
berhemat dalam menikmati kesenangan dunia dan membatasi diri dari yang
haram. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal (ketika ditugaskan ke Yaman),
Rasulullah SAW. Bersabda, “Jauhkanlah hidup bermewah-mewahan,
sesungguhnya tidak termasuk hamba Allah orang hidup bermewah-
mewahan.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi). Hadits ini disinyalir berasal dari
hadits lain dari Fatimah Az-Zahra ra. dari Rasulullah SAW.:

Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu (Jakarta: Erlangga, 2010) hal. 115-116
6

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi


Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2008) hal. 129

5
ِ ‫ وي ْلبس و َن أَلْ وا َن الثِّي‬٬‫ اَلَّ ِذيْن ي أْ ُكلُو َن أَلْ وا َن الطَّع ِام‬٬‫ِش رار أ َُّميِت الَّ ِذيْن ُغ دُّوا بِ النَّعِْي ِم‬
٬‫اب‬ َ َ ْ ُ َ ََ َ َ ْ ََ ْ َ َ َُ
.‫َو َيتَ َش َّد ُق ْو َن ىِف الْكَاَل ِم‬
“Orang-orang yang paling buruk dari umatku adalah orang-orang yang
dijejali kenikmatan, mereka yang makan bermacam-macam makanan,
berpakaian dengan bermacam-macam busana dan banyak bicara omong
kosong.” (HR. Ahmad)7
Dampak negatif dari hidup bermewah-mewahan adalah adanya stagnasi
dalam peredaran sumber daya ekonomi serta terjadinya distorsi dalam
pendistribusian. Selain itu, dana investasi akan terkuras demi memenuhi
kebutuhan konsumsi, hingga akhirnya terjadi kerusakan dalam setiap sendi
perekonomian.
b. Pelarangan israf dan tabdzir
ِ ِ ِ
َ َ‫م ُكلُ ْوا َوت‬.‫ب َع ْن أَبِْي ه َع ْن َج دِّه قَ َال قَ َال َر ُس ْو ُل اللَّه ص‬
‫ص َّد ُق ْوا‬ ٍ ‫َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي‬

ٍ ‫والْبسوا يِف َغ ِ اِسر‬


)‫اف َواَل خَمِ ْيلَةُ (رواه النسائ‬ َ ْ ‫َ َ ُ ْ ْ رْي‬
Artinya: Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata, Nabi
SAW. Bersabda: “makan dan minumlah, bersedekahlah serta berpakaianlah
dengan tidak berlebihan dan tidak sombong.” (HR. Nasa’i)8

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫عن‬
ُ ‫ مَس ْع‬:‫ قَ َال‬٬ ‫ َع ْن َج دَّه الْم ْق َد ِام‬٬ ‫ َع ْن أَبِْي ه‬٬ ‫ب‬
‫ت‬ َ ‫ص ال ِح بْ ِن الْم ْق َدام بْ ِن َم ْع د َك ِر‬
َ َْ
ِ ‫ حِب َس‬٬ ‫آد ِم ٌّي ِو َع اء َش ًّرا ِم ْن بَطْنِ ِه‬
‫ب‬ ِ
َ َ ‫ َم ا َمأَل‬:‫ َي ُق ْو ُل‬٬ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
ِ
َ ‫َر ُس ْو َل اللَّه‬
ْ ً
‫ث‬
ٌ ُ‫ َوثُل‬٬ ‫اب‬
ٌ ‫ث َش َر‬ ٌ ُ‫ فَ اِ ْن َك ا َن اَل بُ َّد َفُثل‬٬ ُ‫ص ْلبَه‬
ٌ ُ‫ َوثُل‬٬ ‫ث طَ َع ٌام‬ ِ ٍ
َ ‫ابْ ِن‬
ُ ‫آد َم للُ َقْي َم ات يُق ْم َن‬
)‫س (رواه البيهاقى‬
ٌ ‫َن َف‬
7
Yusuf Qardhawi, Peran dan Nilai Moral dalam Perekonomian Islam (Jakarta: Robbani Press,
1997) hal. 263
8
Abdul Rokhim, Ekonomi Islam Perspektif Muhammad SAW. (Jember: STAIN Jember Press,
2013) hal. 95

6
Artinya: Dari Shalih bin Yahya bin al-Miqdam bin Ma’di Kariba dari
ayahnya dari kakeknya Miqdam berkata: saya mendengar Rasul SAW
bersabda: “Anak Adam tidak mengisi penuh suatu wadah yang lebih jelek
dari perut, cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat
menegakkan punggungnya, apabila kuat keinginannya maka jadilah
sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau
udara.” (HR. Al-Baihaqi)
Mufradat:

ً‫ = ِو َعاء‬wadah
‫ = َشًّرا‬lebih jelek

‫ = بَطْنِ ِه – الْبَطْ ُن‬perut - perutnya


ٍ ‫ = لَُقيم‬beberapa suap makan
‫ات‬ َْ
ِ
ُ‫ص ْلبَه‬
ُ ‫ = يُق ْم َن‬menegakkan punggungnya
‫ = طَ َع ٌام‬makanan

‫اب‬
ٌ ‫=شَر‬
َ minum

‫س‬
ٌ ‫ = َن َف‬udara
Israf adalah melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam
berkonsumsi (pemborosan). Israf merupakan perilaku di bawah tarf. Tabdzir
adalah melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proporsional.
Tabdzir juga berarti membuang-buang harta dan menghamburkan-
hamburkannya tanpa faedah dan tanpa guna. Dalam hal ini, Rasulullah SAW
telah bersabda seperti dalam hadits di atas bahwa sikap menghambur-
hamburkan harta atau melakukan pemborosan bukanlah cerminan sebagai
orang Islam yang beriman.

7
c. Keseimbangan dalam berkonsumsi
Aturan dan kaidah berkonsumsi dalam sistem ekonomi Islam menganut
paham keseimbangan dalam berbagai aspek. Konsumsi yang dijalankan oleh
seorang Muslim tidak boleh mengorbankan kemaslahatan individu dan
masyarakat. Larang atas sikap tarf dan israf bukan berarti mengajak seorang
Muslim untuk bersikap kikir. Akan tetapi, mengajak konsumen kepada
konsep keseimbangan. Seperti dalam firman Allah surat Al-Furqan ayat 67
ِ ِ َّ
َ ‫ين إِ َذا أَن َف ُقوا مَلْ يُ ْس ِرفُوا َومَلْ َي ْقُت ُروا َو َكا َن َبنْي َ َذل‬
-٦٧- ً‫ك َق َواما‬ َ ‫َوالذ‬
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.”
Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan
memberikan cara pandanga dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian
manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap
terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan sangat
mempengaruhi ssifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk
kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut sebagai bentuk upaya
meningkatkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi.
Keimanan memberikan saringan moral dlaam membelanjakan harta dan
sekaligus memotivasi pemanfaatan sumber daya (pendapatan) untuk hal-hal
yang efektif. Saringan moral bertujuan untuk menjaga kepentingan diri agar
tetap berada dalam batas-batas kepentingan sosial.9
d. Larangan berkonsumsi atas barang dan jasa yang membahayakan

‫ت الن ُّْع َم ا َن بْ َن بَ ِش رْيٍ َي ُق ْو ُل َعلَى الْ ِمْنبَ ا ِر‬ ِ َّ ‫َع ْن َز َك ِريَّا بْ ِن أَىِب َزائِ َد َة َع ِن‬
ُ ‫الش ْعيِب ِّ قَ َال مَس ْع‬
ِ َ ‫وأَه وى بِاِص بعي ِه اِىَل أُذَُني ِه مَسِ عت رس‬
ٌ ‫ احْلَاَل ُل َبنِّي ٌ َواحْلَ َر ُام َبنَّي‬:‫م – َي ُق ْو ُل‬.‫ول اللَّه ص‬ َُ ُ ْ ْ َْ َ ْ َْ َ
‫اس َتَرأَ لِ ِديْنِ ِه َو ِع ْر ِض ِه‬ ِ ِ ‫ات اَل َي ْعلَ ُم َها َكثِْيٌر ِم َن الن‬
َّ ‫َّاس فَ َم ِن‬
ْ ‫الت َقى الشُُّب َهات‬ ٌ ‫َو َبْيَن ُه َما ُم ْشتَبِ َه‬

9
Ibid., hal. 99

8
‫ك أَ ْن َي ْرتَ َع فِْي ِه أَاَل‬
ُ ‫اعى َح ْو َل احْلِ َمى يُ ْو ِش‬
ِ ‫الر‬ ِ ‫الش به‬
َّ ‫ات َوقَ َع ىِف احْلَ َر ِام َك‬ َ ُ ُّ ‫َو َم ْن َوقَ َع ىِف‬
ِ ِ ‫ِ مِح‬ ‫واِ َّن لِ ُك ل ملِ ٍ مِح‬
‫ت‬
ْ ‫ص لُ َح‬ ْ ‫ك ًى أَاَل َوا َّن َى اللَّ ِه حَمَا ِر ُم هُ أَاَل َوا َّن ىِف اجْلَ َس ِد ُم‬
َ ‫ض غَةً اذَا‬ َ ِّ َ
ِ ِ
ُ ‫ت فَ َس َد اجْلَ َس ُد ُكلُّهُ أَاَل َوهى الْ َق ْل‬
)‫ب (رواه ابن ماجه‬ ْ ‫صلُ َح اجْلَ َس ُد ُكلُّهُ َوا َذا فَ َس َد‬
َ
Artinya: Dari Zakaria bin Abi Zaidah dari al-Sya’bi berkata: “Saya
mendengar Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar dan ia mengarahkan
jarinya pada telinganya, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Halal
itu jelas, haram juga jelas, di antara keduanya itu subhat. Kebanyakan
manusia tidak mengetahui, maka barang siapa menjaga diri dari barang
subhat, maka ia telah bebas untuk agama dan kehormatannya. Barang siapa
yang terjerumus dalam subhat maka ia seperti penggembala di sekitar tanah
yang dilarang yang dikhawatirkan terjerumus. Ingatlah, sesungguhnya bagi
setiap pemimpin daerah larangan. Larangan Allah adalah hal yang
diharamkan oleh Allah, ingatlah bahawa sesungguhnya dalam jasad terdapat
segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah
seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati.” (HR. Ibnu Majah)10
Mufradat:
ِ ‫ = الشُّبه‬subhat (keragu-raguan, َ‫ = اسَترأ‬bebas
‫ات‬ َُ َْ
kebimbangan, meragukan)
ِ ‫الر‬
‫اعى‬ َّ ‫ = َك‬penggembala
ٌ ‫ = َبنِّي‬jelas, terang
‫ = احْلِ َمى‬larangan
‫ = ِع ْر ِض ِه‬kehormatannya
‫ك مِح ًى‬
ٍ ِ‫ = مل‬pemimpin daerah larangan
َ
‫الت َقى‬
َّ = menjaga diri
ً‫ضغَة‬
ْ ‫ = ُم‬segumpal darah
‫صلُ َح‬
َ -‫ت‬
ْ ‫صلُ َح‬
َ = baik
‫فَ َس َد‬-‫ت‬
ْ ‫ = فَ َس َد‬jelek, rusak
‫ = احْلَاَل ُل‬halal
10
Ibid., hal. 102

9
‫ = اَل َي ْعلَ ُم َها‬tidak mengetahuinya ‫ = احْلََر ُام‬haram

‫ = َوقَ َع‬jatuh, gugur, terjerumus ‫ب‬


ُ ‫ = الْ َق ْل‬hati

Syariah mengharamkan konsumsi atas barang dan jasa yang berdampak


negatif terhadap kehidupan sosial dan ekonomi yang didalamnya sarat dengan
kemudharatan bagi individu dan masyarakat. Seperti halnya narkoba,
minuman keras, judi dan penyakit sosial lainnya yang dapat menimbulkan
tindakan kriminal yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Komoditas
dan jasa yang dikonsumsi seorang Muslim harus sesuai menurut syariah.
Dalam artian barang dan jasa tersebut masuk dalam kategori halal dan
thayyibah (baik lagi bermanfaat).

D. Prinsip Konsumsi Muslim


Ada beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang
membedakannya dengan perilaku konsumsi nonmuslim (konvensional).
Prinsip tersebut didasarkan dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW. dan perilaku sahabat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Memperhatikan tujuan konsumsi
Perilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai
kepuasan dari konsumsi barang, melainkan berfungsi “ibadah” dalam rangka
mendapat ridha Allah SWT. Perilaku konsumsi muslim berfungsi sebagai
ibadah sebagai merupakan amal shaleh, karena setiap perbuatan adalah
perintah dari Allah, maka mengandung ibadah. Sehingga dapat tercapainya
falah sebagai tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri.
b. Memperhatikan kaidah ilmiah
Dalam berkonsumsi, seorang muslim harus memperhatikan prinsip
kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti barang yang dikonsumsi
harus bebas dari kotoran maupun penyakit, demikian juga harus
menyehatkan, bergizi dan memiliki manfaat tidak mempunyai kemudharatan.

10
Islam menjunjung tinggi kebersihan, bahkan berdasarkan hadits kebersihan
merupakan sebaggian dari iman.
Kaidah ilmiah juga memperhatikan prinsip keadilan yang mengandung
arti bahwa dalam berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kezaliman yakni
berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi
kepantasan atau kebaikan (halalan thoyiban). Islam memiliki berbagai
ketentuan barang ekonomi yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh
dikonsumsi (dilarang). Pada prinsipnya ketentuan larangan ini berkaitan
dengan sesuatu yang dapat membahayakan fisik maupun spiritualitas
manusia. Sehingga ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim.
c. Memperhatikan bentuk konsumsi
Dari konsep ini, fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip
konvensional yang bertujuan mendapatkan kepuasan maksimum (maximum
utility), terlepas ada keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakekatnya teori
konvensional tidak mengenal Tuhan. Dari segi bentuk konsumsi, seorang
muslim harus memperhatikan apapun yang dikonsumsinya. Hal ini tentu
berhubungan dengan adanya batasan orang muslim dalam mengonsumsi
suatu barang dan jasa. Seorang muslim dilarang misalnya mengonsumsi
daging babi, bangkai, darah, minuman keras (khamr), candu/narkotik, dan
berjudi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 173.

َ‫اغ َوال‬ ْ ‫َّم َوحَلْ َم اخْلِن ِزي ِر َو َما أ ُِه َّل بِِه لِغَرْيِ اللّ ِه فَ َم ِن‬
ٍ َ‫اضطَُّر َغْيَر ب‬ َ ‫إِمَّنَا َحَّر َم َعلَْي ُك ُم الْ َمْيتَةَ َوالد‬
-١٧٣- ‫يم‬ ِ ‫ع ٍاد فَال إِمْث علَي ِه إِ َّن اللّه َغ ُف‬
ٌ ‫ور َّرح‬
ٌ َ َْ َ َ
Artinya:
“Sesungguhnya Dia hanya Mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging
babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

11
Berbeda dengan bentuk konsumsi konvensional yang tidak mengenal
batasan. Berapa pun yang dikonsumsi selagi anggaran terjangkau tidak
menjadi masalah (ingat teori preferensi konsumsi dalam teori konvensional,
bahwa kendala konsumsi adalah pada anggaran). Dari segi jenis pemuas
kebutuhan pun tidak ada batasannya, apakah sesuai agama atau tidak, yang
penting memuaskan nafsu konsumsinya maka terjadilah konsumsi yang sah.
Secara lebih tegas, Abdul Mannan menjelaskan bahwa perintah Islam
mengenai konsumsi setidaknya dikendalikan oleh lima prinsip, yakni:
1. Prinsip keadilan
Prinsip keadilan di sini mengandung arti bahwa rezeki yang didapatkan
dengan rezeki yang dikonsumsi maksimal seimbang bahkan harus bisa rezeki
yang dikonsumsi untuk duniawi lebih rendah daripada konsumsi akhirat.
2. Prinsip kebersihan
Prinsip kebersihan di sini harus mengandung arti bahwa obyek konsumsi
haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat, yakni sesuatu yang baik, tidak
kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang
cocok untuk dikonsumsi manusia. Ini dapat juga berarti bersih dari cara
mendapatkan pendapatan untuk konsumsi dari hal-hal yang bersifat riba dan
suap. Seperti dalam hadits berikut ini:
ِ ‫م َن َهى َع ْن مَثَ ِن الْ َك ْل‬.‫ اِ َّن النَّيِب َّ ص‬: ‫ أَنَّهُ قَ َال‬٬ ‫ َع ْن أَبِْي ِه‬٬ َ‫َع ْن َعو ِن بْ ِن أَيِب ُج َحْي َف ة‬
‫و‬٬‫ب‬ ْ
‫مِش‬ ‫ و مِش‬٬ ‫ وموكِلَ ه‬٬ ‫ ولَعن اكِ ل الرب ا‬٬ ‫ب البغِي‬
ِ ِ
٬‫ت‬ َ َ ُ ْ ُ َ َ ِّ َ َ َ َ َ ِّ َ ‫ َو َك ْس‬٬ ‫مَثَ ِن ال دَّم‬
َ َ ‫ َوالْ ُم ْسَت ْو‬٬ َ‫الوا َة‬
)‫ص ِّو َر (رواه البخاري‬
َ ‫َوالْ ُم‬
Artinya: Dari Aun bin Juhaifah dari ayahnya bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang hasil usaha dari anjing, darah, pentato
dan yang ditato, pemakan dan yang menerima riba, dan melaknat pembuat
gambar.” (H.R. Bukhari)

12
‫الر ِاش َي َوالْ ُم ْرتَ ِش َي ىِف احْلُ ْك ِم (رواه‬
َّ ُ‫م لَ َع َن اللَّه‬.‫َع ْن أَىِب َهَر ْي َر َة قَ َال قَ َال َر ُس ْو ُل اللَّ ِه ص‬

)‫امحد‬
Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullullah SAW bersabda:
“Allah SWT melaknat penyuap dan yang disuap.” (H.R. Imam Ahmad)
3. Prinsip kesederhanaan
Prinsip kesederhaan dalam berkonsumsi haruslah dilakukan secara wajar,
proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu
berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap
konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk meningkatkan produksi dan
pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak
barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan
terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna
memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya, yakni
menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional agar
keadilan dan kesetaraan untuk semua bisa tercapai. Umar bin Khattab pernah
berkata, “Heandaklah kamu sederhana dalam makanan kamu, karena
kesederhanaan lebih dekat kepada kebaikan, lebih jauh dari pemborosan,
dan lebih menguatkan dalam beribadah kepada Allah.”11
4. Prinsip kemurahan hati
Prinsip kemurahan hati di sini dapat dipahami bahwa makanan,
minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Allah SWT.
merupakan bukti kemurahan-Nya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam
rangka kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan
perintah Allah SWT. Karena sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi
dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang
kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan
yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat
membutuhkannya dan tidak mengabaikannya. Karena hal itu dibenci oleh

11
Amiur Nuruddin, Dari Mana Sumber Hartamu (Jakarta: Erlangga, 2010) hal. 314

13
Rasulullah. Seperti dalam sabda beliau, “Tidak termasuk golonganku orang
yang tidur nyenyak sedangkan ia mengetahui tetangganya dalam keadaan
kelaparan.”12
5. Prinsip moralitas
Prinsip moralitas di sini dapat dipahami bahwa kegiatan konsumsi
haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual.
Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah SWT sebelum
makan, dan menyatakan terima kasih setelah makan dengan membaca
alhamdulillah adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat
memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam
menghendaki perpaduan antara nilai-nilai hidup material dan spiritual secara
bersamaan dan berbahagia.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjabaran di atas, kita dapat mengetahui jika perilaku konsumen
adalah tingkah laku konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian
untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan
jasa mereka. Pendorong dari kegiatan konsumsi itu sendiri adalah kebutuhan dan
keinginan serta pencapaian kepuasan dalam diri setiap konsumen. Namun, tujuan
yang ingin dicapai oleh kosumen Islam bukan hanya memenuhi dan memuaskan
kebutuhan duniawi saja, tetapi juga akhirat atau kebutuhan spiritualitasnya. Dalam
berkonsumsi, seorang muslim sangat memperhatikan bentuk konsumsi,
substansinya dan juga keberkahan yang nantinya akan didapat dari konsumsinya
tersebut.

12
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 88

14
Aturan mengenai perilaku konsumen yang seharusnya dilakukan sebagai
seorang muslim juga harus sangat diperhatikan. Antara lain pelarang bermewah-
mewahan, berlebih-lebihan sehingga menimbulkan kemubadziran dalam
berkonsumsi, keseimbangan dalam berkonsumsi dan juga mengkonsumsi barang
atau jasa yang halalan thoyyiban. Dalam berkonsumsi, seorang muslim setidaknya
dikendalikan oleh beberapa prinsip yakni prinsip keadilan, kebersihan,
kesederhanaan, kemurahan hati, dan moralitas. Prinsip-prinsip dan aturan-aturan
tersebut nantinya kan membawa para konsumen muslim pada pemanfaatan dan
pengeluaran harta kepada tujuan ekonomi Islam, yakni falah.

15
Daftar Pustaka

Marthon, Said Sa’ad. Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Global. 2007. Jakarta:
Zikrul Hakim
Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. 2006. Jakarta:
Kencana
Nuruddin, Amiur. Dari Mana Sumber Hartamu. 2010. Jakarta: Erlangga
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta.
Ekonomi Islam. 2008. Jakarta: RajaGrafindo
Qardhawi, Yusuf. Peran dan Nilai Moral dalam Perekonomian Islam. 1997.
Jakarta: Robbani Press
Rokhim, Abdul. Ekonomi Islam Perspektif Muhammad SAW. 2013. Jember:
STAIN Jember Press
Sholahuddin. Asas-asas Ekonomi Islam. 2007. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai