Disusun Oleh :
Nonong Efriza
Ariska
Rosanti
Dosen Pembimbing :
Rulia Hanifah, S.Psi., Psikolog
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................... 1
ii
BAB I
PENDAHULUAN
C. Rumusan Masalah
1. Untuk dapat mengetahui pengertian pernikahan
2. Untuk dapat mengetahui tujuan dari pernikahan
3. Untuk dapat mengetahui dalil pernikahan
4. Untuk dapat mengetahui perbedaan pernikahan dan perkawinan
5. Untuk dapat mengetahui syarat-syarat pernikahan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang
berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang
menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri.1 Dalam
buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau perkawinan adalah Sunnatullah pada
hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka
mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan
manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:
1
____________
Munarki, Abu. Membangun Rumah Tangga dalam Islam, (Pekanbaru : PT. Berlian
Putih,2006) hal. 187
2
menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan
mengharamkan zina.
Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan untuk membangun rumah
tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang sebagai jalan
untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali
silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi bahasa Indonesia pernikahan
berasal dari kata nikah, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran
“an”.
Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Pernikahan
dalam islam juga berkaitan dengan pengertian mahram (baca muhrim dalam
islam) dan wanita yang haram dinikahi.
B. Tujuan Pernikahan
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang
pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti
cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur,
berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan
diharamkan oleh Islam
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan
Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di
antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan
kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia
yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga
sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari
kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.2
2
____________
Nurcahya. Pernikahan secara Umum. (Bandung: Husaini Bandung,1999) hal. 220
3
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya
thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat
berikut:
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa
keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya
tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang zhalim.” [QS. Al-Baqarah : 229]
4
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh
keturunan yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani
Adam, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla, yang artinya :
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari
pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [QS. An-
Nahl : 72]
C. Dalil Pernikahan
Pernikahan dalam Islam banyak diatur dalam teks al-Quran dan al-Hadiṡ,
baik secara prinsip-prinsip umum, ataupun secara detail teknis pelaksanaannya.
Para fuqaha mażhab yang mencoba mensistematiskan aturan-aturan pernikahan
dan dituangkan dalam lembaran-lembaran kitab fiqih. Sifat fiqih yang merupakan
pemahaman para ahli fiqih dengan mendialektikakan antara teks suci dan realitas
yang dihadapi, maka menjadi wajar ketika terjadi banyak perbedaan pendapat
antara para imam mażhab.
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, secara umum ulama sepakat bahwa
tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah
dan rahmah. Demi terealisasinya tujuan agung tersebut akhirnya para fuqaha
merumuskan persyaratan dan rukun pernikahan sesuai dengan mażhabnya
masing-masing. Akan tetapi, dalam fiqih klasik belum ada kesepakatan dan
kejelasan tentang batas minimal umur pernikahan. Kalaupun ada, sebatas
memberikan persyaratan bahwa syarat kedua pasangan yang akan menikah adalah
baligh.3
Para fuqaha mengambil pemahaman secara kontekstual terhadap ayat al-
Quran surat An-Nūr (24): ayat 32:
3
____________
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2008), Jilid I Cet. III, 394
5
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang- orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
Kata ( )الصالحينdipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin”
yakni laki-laki dan perempuan yang mampu untuk menikah dan mampu
melaksanakan hak-hak suami-isteri baik secara psikis, materi, ataupun yang
lainnya.3 Begitu pula dengan hadiṡ Rasulullah Saw., yang menganjurkan kepada
para pemuda untuk melangsungkan perkawinan dengan syarat adanya
kemampuan.
“Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafs bin Ghiyats,
menceritakan kepada kami al-`Amasy, dia berkata: “Telah menceritakan
kepadaku dari Umarah dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata : “Aku
masuk bersamaAlqamah dan al Aswad ke (rumah) Abdullah, dia berkata :
“Ketika aku bersama Nabi Saw. dan para pemuda dan kami tidak menemukan
yang lain, Rasulullah Saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barang
siapa di antara kamu telah mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena
kawin dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Da n
barangsiapa belum mampu, maka hendaklah berpuasa, maka sesungguhnya yang
demikian itu dapat mengendalikan hawa nafsu.” (HR. Bukhari).4
Hukum Islam sudah semestinya mengatur perbuatan manusia berdasarkan
pertimbangan dampak positif maupun negatif di dalamnya. Pernikahan juga tidak
lepas dari batasan ini. Pernikahan dalam al-Quran merupakan tindakan yang
dianjurkan.4 Namun dalam konteks tertentu anjuran ini bisa berubah menjadi
4
____________
Lihat surat An-Nisa(4):3 dan surat An-Nur (24):32.
6
sebuah kewajiban, atau dalam situasi yang berbeda dapat berubah menjadi sebuah
larangan. Dinamika semacam ini telah menjadi model bagi para ulama mażhab
dalam menetapkan hukum Islam bahwa eksistensi hukum tergantung pada „illah.
Illah berarti hikmah dan kemaṣlahatan yang menjadi pijakan adanya perintah, dan
mafsadat menjadi pertimbangan adanya sebuah larangan.
Ukuran kedewasaan yang diukur dengan kriteria balig ini tidak bersifat
kaku (relatif).5 Artinya, jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua
calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd al-
zarī‟ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya muḍarat yang lebih besar,
maka perkawinan bisa dilaksanakan.
Perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (mīṡāqan
galīẓan) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi
hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian,
keselarasan dan keseimbangan.6
7
perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Definisi itu memperjelas
pengertian bahwa perkawinan adalah perjanjian. Sebagai perjanjian, ia
mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling
berjanji, berdasarkan prinsip suka sama suka. Jadi, ia jauh sekali dari segala yang
dapat diartikan sebagai mengandung suatu paksaan. .7
Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang mengikat
janji dalam perkawinan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah
mereka bersedia atau tidak. Perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk ijab dan qabul
yang harus diucapkan dalam satu majelis, baik langsung oleh mereka yang
bersangkutan, yakni calon suami dan calon istri, jika kedua-duanya sepenuhnya
berhak atas dirinya menurut hukum atau oleh mereka yang dikuasakan untuk itu.
Kalau tidak demikian, misanya dalam keadaan tidak waras atau masih berada di
bawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang sah.8
Secara etimologis, perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau
ikatan. Jika dikatakan, bahwa sesuatu dinikahkan dengan sesuatu yang lain maka
berarti keduanya saling dikaitkan. Allah SWT berfirman (QS. AdDhukhan: 54).
Yang artinya: (Demikianlah dan kami kawinkan mereka dengan bidadari).
Kata „kawin‟ juga sering digunakan untuk mengungkapkan arti
perkawinan. Bahkan Al Quranul Karim lebih banyak menggunakan kata tersebut
daripada kata zawaj. Allah SWT berfirman (QS. Al-Baqarah: 235). Yang artinya:
(Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis
idahnya. Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu maka takutlah kepadanya dan ketahuilah bahwa Allah Maha pengampun
lagi Maha Penyantun).
Nikah secara etimologis digunakan untuk mengungkapkan arti
persetubuhan, akad, dan pelukan. Contoh penggunaannya pada persetubuhan
7
____________
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap), Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2014) hal. 7.
8
____________ Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1,(Bandung: Pustaka Setia,
2009). hal. 18.
8
adalah pada sabda Rasulullah Saw., aku dilahirkan dari hasil pernikahan, bukan
dari hasil pelacuran, yakni dari persetubuhan yang halal, bukan yang haram.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernukahan itu bukan saja merupakan
satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan
antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk
menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya
pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan
antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan
suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua
keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala
urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah
segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari
kebinasaan hawa nafsunya.9
9
3. Mengetahui Wali akad nikah
Penentuan wali juga penting untuk dilakukan sebelum menikah. Bagi
seorang laki-laki, mengetahui asal usul seorang perempuan juga
diperlukan. Apabila ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa
diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam, terdapat wali hakim yang
bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan.
4. Tidak sedang melaksanakan Haji
Ibadah haji merupakan ibadah yang segala sesuatunya dilipat gandakan.
Akan tetapi saat seseorang melakukan ibadah haji tidak diperkenankan
untuk melakukan pernikahan.
5. Tidak Karena paksaan
Saat pernikahan terjadi, tidak ada paksaan dari pihak manapun. Oleh
karena itu pernikahan harus didasarkan pada inisiatif dan keikhlasan kedua
mempelai untuk hidup bersama. Jika dahulu pernikahan terjadi karena
dorongan pihak perempuan, sekarang pernikahan merupakan pilihan dari
kedua mempelai untuk memulai hidup bersama.10
10
____________
Abdullah, Samsul. Tatacara Pernikahan, (Jakarta: PT. Gramedia,2011) hal. 153
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang
berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang
menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri.
Adapun Tujuan Pernikahan, yaitu :
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan
Pandangan.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Syarat-syarat pernikahan :
1. Beragama Islam bagi mempelai Laki-laki dan Perempuan
2. Bukan Laki-laki mahram bagi calon Istri
3. Mengetahui Wali akad nikah
4. Tidak sedang melaksanakan Haji
5. Tidak Karena paksaan
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, sehingga mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun agar penulis mendapatkan membelajaran baru.
Dan semoga makalah ini dapat menjadi tempat mendapatkan ilmu pengetahuan
baru.
11
DAFTAR PUSTAKA
Tihami dan Sohari Sahrani, 2014 Fikih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap),
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
12