Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI


PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Guru:
Agus Nursasih S.Pd.I

Disusun oleh:
1. Chaesa Bening Septriana (07)
2. Fashada Rara Nur Hara (11)
3. Kartika Galuh Wiratyh (15)
4. Salwa Syafa Kaila (29)

SMK NEGERI 1 BOJONG GEDE


Jl. Perum Pura Bojonggede
Telp 0251-8551934 Email smk@smkn1bojonggede.sch.id

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pernikahan Dalam
Islam” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan. Selain itu, Makalah ini dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak guru pada pelajaran Pendidikan Agama Islam
dan Budi Pekerti juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Agus Nursasih S.PdI selaku guru
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang Saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Bojong Gede, 07 Agustus 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Pengertian Pernikahan Dalam Islam ............................................................................... 3
B. Hukum Nikah .................................................................................................................. 4
C. Tujuan Nikah .................................................................................................................. 4
D. Rukun Nikah ................................................................................................................... 6
E. Syarat-Syarat Pernikahan ................................................................................................ 6
F. Mahram ........................................................................................................................... 7
G. Wali Nikah ...................................................................................................................... 8
H. Kewajiban dan Hak Suami Istri ...................................................................................... 9
I. Hikmah Pernikahan ....................................................................................................... 11
J. Talak ............................................................................................................................. 11
K. Iddah ............................................................................................................................. 14
L. Rujuk ............................................................................................................................. 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................................. 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan atau Nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain
juga dapat berarti Ijab Qobul (Akad Nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke
pernikahan sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam.
Dalam ilmu pengetahuan, perkawinan memiliki multi dimensi, diantaranya dimensi
sosiologis dan psikologis. Secara sosiologi, perkawinan merupakan cara untuk
melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya
regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Sedangkan secara psikologis
dengan adanya perkawinan, kedua insan suami dan isteri yang semula merupakan orang
lain kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling
membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga
terwujud keluarga yang harmonis.
Pernikahan menurut syariat Islam, mempunyai beberapa aspek, diantaranya aspek
ibadah, hukum dan sosial. Dari aspek ibadah, melaksanakan pernikahan berarti
melaksanakan sebagian dari ibadah, yang berarti pula menyempurnakan sebagian dari
agama. Dari aspek hukum, pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam merupakan
suatu perjanjian yang kuat, yang di dalamnya mengandung suatu komitmen bersama
dan menuntut adanya penunaian hak dan kewajiban bagi keduanya. Sementara dari
aspek sosial, pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta
dan rasa kasih sayang antarsesama anggota keluarga, yang pada gilirannya terwujud
sebuah komunitas masyarakat yang marhamah, di bawah naungan Allah Swt yang
baldatun tayyibatun warabbun ghafur (Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, 2001).
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari Pernikahan Dalam Islam meliputi :
- Apa Pengertian dari Pernikahan Dalam Islam?
- Apa Hukumnya Menikah?
- Apa Saja Tujuan dilakukannya Menikah?
- Apa Rukun dan Syarat-Syarat Pernikahan?

1
- Sebutkan Wali dalam Pernikahan?
- Apa Kewajiban dan Hak Suami Istri?
- Apa Hikmah dalam Pernikahan?
- Bagaimana Hukum Rujuk?

C. Tujuan

Tujuan dari Pernikahan dalam Islam adalah:


- Untuk mengetahui Pengertian Pernikahan dalam Islam secara detail.
- Untuk mengetahui Hukum Pernikahan dalam Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan Dalam Islam


Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti (al-jam’u) atau ”bertemu, berkumpul”.
Menurut istilah, nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut
hukum syariat Islam.
Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan,
yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan
melaksanakannya merupakan ritual ibadah. Sementara itu, menurut Undang-undang No.1
Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia. Hal itu berarti sifat pembawaan
manusia sebagai makhluk Allah Swt. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat
jasmani rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis. Teman hidup
yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat
mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah Saw. bersabda :

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud RA Rasulullah Saw berkata kepada kami. Hai para
pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah.
Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan

3
barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu menjadi
perisai (dapat melemahkan sahwat)”. (HR. Bukhari Muslim).

B. Hukum Nikah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah dalam artian boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunah,
makruh, dan haram.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Jaiz atau Mubah
Jaiz atau Mubah artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2. Wajib
Wajib yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah. Bila tidak menikah,
khawatir ia akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3. Sunah
Sunah yaitu orang yang sudah mampu menikah, tetapi masih sanggup
mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4. Makruh
Makruh yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan
atau hasrat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah
tanggungannya.
5. Haram
Haram yaitu orang yang akan melakukan pernikahan, tetapi ia mempunyai niat yang
buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

C. Tujuan Nikah
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia
(pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang
bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan pernikahan
dalam Islam dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan
kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya
hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah Swt. Berfirman :

4
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya. (Q.S Ar-Rum 30/21)
2. Untuk membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan Salah satu cara untuk
membina kasih sayang antara suami, istri, dan anak.

Artinya: “Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (Q.S Ar-Rum 30/21)
3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang sah dan di ridhai Allah SWT
4. Untuk melaksanakan perintah Allah Swt. Menikah merupakan pelaksanaan perintah
Allah Swt. Oleh karena itu menikah akan dicatat sebagai ibadah Allah Swt berfirman:

Artinya: “Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai.”(Q.S Nisa 4:3)


5. Mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW mencela orang yang hidupnya membujang dan beliau menganjurkan
umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam hadistnya sebagai berikut:

Artinya: “Nikah itu adalah sunahku. Barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka
bukan golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim)
6. Untuk memperoleh keturunan yang sah. Allah SWT berfirman :

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Q.S Al-Kahfi
18:46)

5
D. Rukun Pernikahan
1. Terdapat calon mempelai pria dan mempelai perempuan yang tidak terhalang secara
syar’i. Penghalang disini adalah kedua mempelai tidak masih ada hubungan mahram.
2. Terdapat wali dari calon mempelai perempuan.
3. Terdapat dua orang saksi laki-laki yang menyaksikan sah tidaknya akad.
4. Diucapkan ijab dari pihak wali calon mempelai perempuan atau yamg mewakilinya.
5. Diucapkan Kabul dari pengantin laki-laki atau yang mewakilinya.

E. Syarat-Syarat Pernikahan
Selain harus memenuhi rukun nikah yang sudah dijelaskan di atas, ada syarat
Pernikahan dalam Islam yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai. Berikut
ini syarat pernikahan dalam Islam meliputi :
1. Beragama Islam
Syarat pertama yang harus dipenuhi dalam pernikahan menurut Islam adalah
calon suami maupun calon istri adalah beragama Islam disertai dengan nama dan
orangnya. Tidaklah sah jika seorang muslim menikahi seorang non-muslim
dengan tata cara Islam (Ijab Kabul).
2. Bukan Mahram
Syarat kedua yang harus dipenuhi dalam pernikahan Islam adalah kedua
mempelai bukanlah mahram. Hal ini menandakan tidak terdapat unsur
penghalang perkawinan. Oleh karena itu, sebelum menikah perlu menelusuri
nasab pasangan yang akan dinikahi. Misalnya, jika di masa kecil keduanya
dibesarkan dan disusui oleh satu orang yang sama, maka keduanya dilarang untuk
menikah. Karena keduanya terikat secara mahram yakni satu sepersusuan.
Saudara satu persusuan haram untuk dinikahi.
3. Adanya wali bagi calon pengantin perempuan
Sebuah pernikahan secara Islam dikatakan sah apabila terdapat atau dihadiri
oleh wali nikah bagi calon pengantin perempuan. Syarat ini seperti yang
dikatakan Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya sebagai berikut: “Dari Abu
Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah : ‘Perempuan tidak boleh menikahkan
(menjadi wali)terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya.” (HR.
ad-Daruqutni dan Ibnu Majah).
Jika mempelai perempuan masih memiliki ayah kandung, maka dialah pihak
paling utama untuk menjadi wali nikah. Namun, jika ayah perempuan sudah
6
meninggal atau memiliki uzur tertentu bisa diwakilkan. Wali nikah biasanya bisa
diwakilkan oleh saudara kandung laki-laki (kakak atau adik mempelai) yang ada
di keluarga, atau juga laki-laki tertua yang ada di keluarga yang masih ada
misalnya kakek, paman dan seterusnya berdasarkan nasab. Jika wali nikah dari
nasab keluarga tidak ada, bisa dicarikan alternatifnya yakni wali hakim dengan
syarat dan ketentuannya.
4. Dihadiri 2 orang saksi
Selain dihadiri oleh wali nikah untuk calon mempelai perempuan, nikah juga
harus dihadiri oleh 2 orang saksi. Kedua orang saksi ini satu berasal dari pihak
calon mempelai laki-laki, dan satu dari calon mempelai perempuan. Seorang
saksi pernikahan disyaratkan harus beragama Islam, baligh, dan mengerti
maksud akad.
5. Kedua mempelai sedang tidak berihram atau haji
Para jumhur ulama melarang nikah saat haji atau umrah (saat ihram). Syarat
ini pernah ditegaskan oleh seorang ulama dari mazhab Syafi’i yang menulis
dalam kitab “Fathul Qarib al-Mujib” yang menyebut salah satu larangan dalam
haji adalah melakukan akad nikah maupun menjadi wali dalam pernikahan:
“Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram) yaitu
akad nikah. Akad nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya
maupun bagi orang lain (menjadi wali).”
6. Tidak ada paksaan
Syarat nikah yang tidak kalah penting adalah tidak adanya paksaan dari salah
satu pihak kepada pihak lain. Kedua belah pihak saling ridha, saling menyukai
dan mencintai dan sepakat untuk menikah. Hal ini sesuai dengan hadis
Rasulullah ‫ ﷺ‬dari Abu Hurairah ra sebagai berikut: “Tidak boleh seorang janda
dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau dimintai pendapat, dan tidak
boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR Al Bukhari:
5136, Muslim: 3458).
F. Mahram
Menurut pengertian bahasa mahram berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam
ilmu fikih, mahram adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab perempuan yang haram
dinikahi ada empat macam yaitu :
1. Perempuan yang haram dinikahi karena keturunan
a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah)
7
b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya)
c. Saudara perempuan sekandung, sebapak, atau seibu
d. Saudara perempuan dari bapak
e. Saudara perempuan dari ibu
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah
g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah
2. Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan :
a. Ibu yang menyusui.
b. Saudara perempuan sesusuan
3. Perempuan yang haram dinikahi karena perkawainan :
a. Ibu dari istri (mertua)
b. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain) apabila suami sudah kumpul dengan
ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum.
d. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
e. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri

G. Wali Nikah
Wali Nikah Secara Umum diartikan sebagai Orang yang berhak menikahkan anak
perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali Nikah dalam satu
pernikahan dibagi menjadi dua meliputi :
1. Wali Nasab
Wali Nasab merupakan Wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita
yang akan dinikahkan. Adapun susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a. Ayah kandung, (ayah tiri tidak sah jadi wali)
b. Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah

8
2. Wali Hakim
Wali Hakim merupakan Seorang kepala negara yang beragama Islam. Di Indonesia,
wewenang Presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada pembantunya, yaitu
menteri agama. Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya untuk bertindak
sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap
kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai
berikut :
a. Wali nasab benar-benar tidak ada.
b. Wali yang lebih dekat (aqrab) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh
(ab’ad) tidak ada.
c. Wali aqrab bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan
berikutnya untuk berindak sebagai wali nikah.
d. Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh.
e. Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah.
f. Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat berintak sebagai wali
nikah.
g. Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h. Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda
Rasulullah Saw. yang artinya :”Dari Aisah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda :
Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika
wali-wali itu menolak jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagai
wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”. (H.R. Darulquthni).
H. Kewajiban dan Hak Suami Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban
hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah
Swt. semata. Allah Swt. Berfirman :

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. An-Nisa/4:34).

9
1. Kewajiban Suami
a. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai
dengan kemampuan yang diusahakan,
b. Menggauli istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut misalnya
dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
c. Memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota
keluarga dengan penuh tanggung jawab.
d. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik
anak-anaknya agar menjadi anak yang saleh.
2. Kewajiban Istri
a. Patuh dan taat pada suami dalam batas yang sesuai dengan ajaran Islam. perintah
suami yang bertentangan dengan ajaran islam tidak wajib ditaati oleh seorang istri.
b. Memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.
c. Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsi ibu sebagai kepala rumah
tangga
d. Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama.
e. Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.
3. Hak Suami atas Istri
a. Ditaati dalam seluruh perkara kecuali maksiat. Sabda Rasulullah Saw: “Hanyalah
ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Dimintai izin oleh istri yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah
kecuali seizin suami.
c. Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya. Rasulullah Saw.
bersabda: “Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di
tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
d. Mendapatkan pelayanan dari istrinya.
e. Disyukuri kebaikan yang diberikannya. Istri harus mensyukuri atas setiap
pemberian suaminya.
4. Hak Istri atas Suami
a. Mendapatkan mahar dari suaminya.
b. Mendapatkan perlakuan yang patut dari suaminya. Rasulullah Saw. pun telah
bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi).
10
c. Mendapatkan nafkah , pakaian, dan tempat tinggal dari suaminya.
d. Mendapatkan perlakuan adil, jika suami memiliki lebih dari satu istri. “Siapa yang
memiliki dua istri lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah
satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi
tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
e. Mendapatkan bimbingan dari suaminya agar selalu taat kepada Allah Swt.

I. Hikmah Pernikahan
1. Pernikahan merupakan Jalan keluar yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan
seksual.
2. Pernikahan merupakan Jalan terbaik untuk memuliakan anak, memperbanyak
keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasab.
3. Pernikahan menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan yang menumbuhkan pula
perasaan cinta dan kasih sayang.
4. Pernikahan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam bekerja karena
adanya rasa tanggung jawab terhadap keluarganya.
5. Pernikahan akan mempererat tali kekeluargaan yang dilandasi rasa saling menyayangi
sebagai modal kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera.
J. Talak
1. Pengertian Talak
Menurut Bahasa Talak berarti Melepaskan Ikatan. Menurut Istilah Talak ialah lepasnya
Ikatan Pernikahan. Talak atau dalam Bahasa Arab Thalaq adalah Memutuskan
hubungan antara suami istri dari ikatan pernikahan yang sah menurut syariat islam.
Nabi Muhammad Saw, bersabda :

Artinya: “Perbuatan halal, tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (H.R. Abu
Daud)
2. Hukum Talak
Dalam Islam yang berhak menjatuhkan talak adalah seorang suami. Meski demikian,
para ulama sepakat jika suami tidak bertanggung jawab atas keadaan rumah tangganya,

11
maka istri boleh meminta cerai melalui khuluk. Hukum Talak dibagi menjadi 5
meliputi:
a. Hukum Talak menjadi Wajib
Hukum wajib dikenakan apabila terjadi prahara antara suami-istri yang tidak dapat
diselesaikan dan jalan satu-satunya hanya dengan talak.
b. Talak yang diharamkan
Hukum ini berlaku jika suami misalkan menceraikan istri yang sedang haid, atau
menceraikannya dalam masa suci dan telah menjalankan kewajibannya dengan
baik.
c. Talak yang dianjurkan (Mustahab)
Hukum ini akan berlaku jika seorang istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah
SWT, seperti sholat. Contoh lainnya seperti saat istri tidak dapat menerima kondisi
ekonomi dengan suami, maka talak dianjurkan dalam kasus seperti ini.
d. Talak menjadi boleh (Mubah)
Hukum ini berlaku apabila seorang istri memiliki akhlak yang tidak terpuji,
memperlakukan suami semena-mena, atau keberadaannya justru membahayakan.
Serta keinginan atau cita-citanya dalam sebuah perkawinan tidak tercapai.
e. Talak menjadi Makruh
Apabila tidak ada alasan jelas, padahal kehidupan rumah tangga baik-baik saja
kemudian suami menjatuhkan talak, maka hukumnya menjadi makruh.
3. Lafal dan Bilangan Talak
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas atau dengan kata-
kata sindiran. Adapun bilangan talak maksimal tiga kali talak satu dan talak dua masih
boleh rujuk (kembali) sebelum habis masa Iddahnya dan apabila masa Iddahnya telah
habis harus dilakukan akad nikah lagi. (Q.S Al-Baqarah/2:229). Pada talak tiga suami
tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum istrinya itu menikah dengan laki-
laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu.
4. Macam-Macam Talak
a. Talak Raj’i, yaitu talak ketika suami boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah
lagi. Talak raj’i ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau
kedua kalinya dan suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selama
masih dalam masa Iddah.
b. Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi dua macam yaitu talak bain sughra dan talak
bain kubra.
12
1) Talak Bain Sughra yaitu Talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum
dicampuri dan talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk
dengan cara akad nikah lagi, baik masih dalam masa Iddah maupun sudah habis
masa Iddahnya.
2) Talak Bain Kubra, yaitu Talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak
tiga) dalam waktu yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk atau
menikah dengan bekas istri kecuali dengan syarat :
a) Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b) Bekas istri telah dicampuri oleh suami yang baru.
c) Bekas istri telah dicerai oleh suami yang baru.
d) Bekas istri telah selesai masa Iddahnya setelah dicerai suami yang baru.
5. Alasan Jatuhnya Talak
a. Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’
merupakan adat Arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah empat bulan. Jika sebelum
empat bulan sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila
sampai empat bulan/lebih hakim berhak memutuskan untuk memilih membayar
sumpah atau mentalaknya.
b. Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu
diucapkan empat kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : ”Laknat Allah
Swt. atas diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah
empat kali dan yang kelima dengan kata-kata: ”Murka Allah Swt. atas diriku bila
tuduhan itu benar”.
c. Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan
ibunya seperti: ”Engkau seperti punggung ibuku”. Ucapan ini mengandung
pengertian ketidaktertarikan lagi dari suami kepada istri. Adapun jika suami
memanggil istrinya dengan sebutan ”Mama atau Ibu” dengan niat suami
mengutarakan rasa sayang kepada istri bukanlah disebut Dzihar. Dzihar merupakan
adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan istri.
d. Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri
membayar kepada suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak
antara lain :
1) Istri sangat benci kepada suami;
2) Suami tidak dapat memberi nafkah;
3) Suami tidak dapat membahagiakan istri.
13
e. Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
Karena rusaknya akad nikah seperti :
1) Diketahui bahwa istri adalah mahram suami
2) Salah seorang suami / istri keluar dari agama Islam
3) Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.
Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
1) Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat
2) Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah
tangga
3) Suami dinyatakan hilang.
4) Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.
f. Hadhanah berarti mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri
bercerai yang berhak mengasuh anaknya adalah :
1) Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
2) Jika si ibu telah menikah lagi hak mengasuh anak adalah ayahnya.
6. Rukun Talak
a. Yang menjatuhkan talak adalah suami. Syaratnya baligh, berakal, dan kehendak
sendiri.
b. Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c. Ada dua macam cara menjatuhkan talak, yaitu dengan cara sharih (tegas) maupun
dengan cara kinayah (sindiran). Cara sharih, misalnya “Saya talak engkau!” atau
“Saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi
kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, jatuhlah talaknya walupun tidak
berniat mentalaknya. Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang
tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi
kepadamu!”, Ucapan talak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya
dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat mentalaknya, talaknya tidak
jatuh.

K. Iddah
Secara bahasa Iddah berarti ketentuan bilangan. Menurut istilah, Iddah ialah masa
menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan
laki-laki lain. Masa Iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas
suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
14
1. Lamanya Masa Iddah.
a. Wanita yang sedang hamil masa iddahnya sampai melahirkan anaknya. (QS. At-
Talaq/65 :4)
b. Wanita yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa iddahnya 4
bulan 10 hari. (Q.S. Al-Baqarah/2 ; 234)
c. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa iddahnya
3 kali quru’ (tiga kali suci). (Q.S. Al-Baqarah/2 : 228)
d. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa iddahnya selama tiga bulan. (Q.S At-
Talaq/65:4 )
e. Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
Iddah. (QS. Al-Ahzab/33 : 49)
2. Hak perempuan dalam masa Iddah
a. Perempuan yang taat dalam Iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat
pemberian dari suami yang mentalaknya berupa tempat tinggal, pakaian, uang
belanja. Sementara itu wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b. Wanita dalam Iddah bain (Iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat
tinggal saja. (Q.S. At-Talaq/65: 6)
c. Wanita dalam Iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi ia dan anaknya
berhak mendapat harta waris suaminya.
L. Rujuk
Rujuk artinya kembali. Yang dimaksud dengan rujuk adalah kembalinya suami istri
pada ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj’i dan masih dalam masa Iddah. Dasar
hukum rujuk adalah Q.S. AlBaqarah/2: 229, yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki rujuk.”
1. Hukum Rujuk
a. Asal hukum rujuk adalah mubah
b. Haram apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibandingkan dengan sebelum
rujuk.
c. Makruh bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat.
d. Sunat bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibandingkan meneruskan perceraian.

15
e. Wajib khusus bagi laki-laki, jika ditakutkan tidak dapat menahan hawa nafsunya,
sedangkan dia masih memiliki hak rujuk dalam masa Iddah istri

2. Rukun Rujuk
a. Istri, dengan syarat pernah digauli, talaknya talak raj’i dan masih dalam masa Iddah.
b. Suami, dengan syarat Islam, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
c. Sighat (lafal rujuk).
d. Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sangat
penting bagi manusia untuk berkembang biak, memiliki keturunan, mempertahankan
keberadaannya dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan oleh Agama Islam
sehingga kita bisa berkembang biak dengan baik dan benar menurut Islam.
Tanpa Pernikahan dan aturan-aturan Islam, maka manusia kemungkinan akan
berzina, berganti-ganti pasangan, melakukan seks bebas sehingga mereka akan mirip
seperti binatang yang selalu berganti-ganti pasangan

B. Saran
Untuk memelihara kelayakan dalam pernikahan yang bersangkutan mesti
memperhatikan dan menaati peraturan agama dan negara dalam hal ini fikih dan aturan
undang-undang. Dalam mencatatkan pernikahan mengandung manfaat, kelayakan,
kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan
tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan
digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan
pribadi dan merugikan pihak lain.

17

Anda mungkin juga menyukai