Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Islam dan Muamalah

Dosen Pengampu: Ahsin, MA.

Disusun Oleh:
AULIYA SALSABILA
NIM: 2161201163

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS AHMAD DAHLAN
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.

Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh.

Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmatnya dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya guna memenuhi tugas Kajian Islam dan Muamalah. Dalam makalah ini
penulis membahas mengenai “Pernikahan dalam Islam”.

Makalah ini disusun untuk sebuah tujuan agar pembaca dapat menambah keingintahuan,
pengetahuan dan memperluas ilmu. Penulis menyadari bahwa penyelesaian penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik materi maupun cara penulisannya serta tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak yang telah membimbing, memotivasi dan memberikan bantuannya baik
secara moril maupun waktu, untuk membimbing dengan sabar guna terselesainya penulisan
makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada Dosen dan pihak-pihak
yang mendukung lainnya, yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis untuk
senantiasa tetap berkarya dan selalu mengembangkan diri.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca, mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kata-
kata yang tidak berkenan, oleh sebab itu penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca.

Wassalamua’laikum warohmatullahi wabarokatuh.

Jakarta, 12 Juni 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ iii
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................................................................... 2
1.4. Manfaat penulisan ............................................................................................................................. 2
BAB II........................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 3
2.1. Pengertian Pernikahan....................................................................................................................... 3
2.2. Dasar Hukum Pernikahan dalan Islam .............................................................................................. 6
2.3. Rukun Nikah ..................................................................................................................................... 8
2.4. Syarat Pernikahan ............................................................................................................................. 8
2.5. Hikmah Pernikahan ........................................................................................................................... 9
2.6. Hukum Pernikahan............................................................................................................................ 9
2.7. Tujuan Pernikahan .......................................................................................................................... 12
2.8. Pernikahan yang Dilarang ............................................................................................................... 13
BAB III ....................................................................................................................................................... 18
PENUTUP .................................................................................................................................................. 18
3.1. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 18
3.2. Saran ............................................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Allah SWT menciptakan makhluknya berpasang- pasangan, serta menjadikan makluknya
yang paling sempurna, yakni manusia laki-laki dan perempuan, menciptakan hewan jantan dan
betina, begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar semua makhluk hidup
berpasang-pasangan, rukun dan damai. Sehingga akan terciptakan kehidupan yang tenteram,
teratur dan sejahtera. Agar makhluk hidup dan kehidupan di dunia ini tetap lestari, maka harus
ada keturunan yang akan melangsungkan dan melanjutkan jalannya roda kehidupan di bumi
ini, untuk itu harus ada pengembangbiakan. Jalinan hubungan manusia dipersatukan oleh suatu
akad yang dikenal dengan pernikahan atau perkawinan. Yaitu dengan mengawinkan pasangan
dari makhluk yang berlainan jenis ini laki-laki dan perempuan. Pernikahan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku bagi manusia dalam kehidupannya di alam semesta ini.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ketergantungan dengan orang lain
dan merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam dirinya. Pernikahan
merupakan salah satu naluri atau keinginan semua orang yang sudah dewasa dari seorang
manusia. Sudah tentu yang diharapkan adalah hubungan yang harmonis, saling percaya, saling
melindungi, dan saling mendukung. Hubungan suami istri harus dibina dalam suatu hubungan
dua arah yang saling menguatkan. Satu pihak menjadi pendukung dari yang lain, dan tidak ada
satu pihak pun yang dirugikan atau hak-haknya terancam. Sesungguhnya Islam telah
memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap
dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah dan
Rasull-Nya ini merupakan akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan (perjanjian yang
amat kokoh) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab
tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi sebuah perbuatan zina. Oleh
karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kita-kiat pernikahan yang sesuai dengan
kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah swt.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pernikahan dalam Islam?
2. Bagaimana Hukum Pernikahan dalam Islam?
3. Apa Tujuan Permikahan dalam Islam?
4. Apa Saja Pernikahan yang Dilarang dalam Islam?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk menjelaskan apa pengertian dan tujuan pernikahan dalam Islam.
2. Untuk menjelaskan bagaimana hukum pernikahan dalam Islam.
3. Untuk menjelaskan macam-macam pernikahan yang dilarang dalam Islam.

1.4. Manfaat penulisan


1. Untuk mengerti dan memahami tentang pernikahan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui tujuan dan hukum pernikahan dalam Islam.
3. Untuk mengeahui macam-macam pernikahan yang dilarang dalam Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pernikahan

Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah atau ziwaj
diartikan dengan perkawinan. Definisi pernikahan dalam hukum perkawinan islam adalah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim untuk menghalalkan hubungan antara dua belah pihak,
dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang.
Sementara itu, kata pernikahan menurut KBBI dapat diartikan sebagai perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami-istri. Pengertian pernikahan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, pernikahan yaitu ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Allah SWT. telah berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang
berpikir." (QS Ar-Rum [30]: 21).

A. Menurut Bahasa
Nikah menurut bahasa yaitu al-wath’u, al-dhamu, al-tadakhul, al-jamu’u atau ibarat
‘an al-wath aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul atau bercampur,
jima’ dan akad.
Secara bahasa, kata an-nikah (‫ )النكاح‬cukup unik, karena punya dua makna:
 Jimak: yaitu hubungan seksual atau hubungan badan dan disebut juga dengan al-
wath'u (‫)الوطء‬.
 Akad: atau al-'aqdu (‫)العقد‬, maksudnya sebuah akad, atau bisa juga bermakna ikatan
atau kesepakatan.

3
Dalam hal ini, para ulama terpecah menjadi tiga pendapat yaitu:
 Pendapat pertama: mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa makna asli dari nikah
itu adalah hubungan seksual (‫)الوطء‬, sedangkan akad adalah makna kiasan.
 Pendapat kedua: mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah berpendapat sebaliknya,
makna asli nikah itu adalah akad (‫)العقد‬, sedangkan kalau dimaknai sebagai hubungan
seksual, itu merupakan makna kiasan saja.
 Pendapat ketiga: ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa nikah itu memang
punya makna asli kedua-duanya, hubungan seksual dan akad itu sendiri.

B. Menurut Istilah
Secara istilah akad berarti perjanjian atau kesepakatan antara kedua belah pihak.
Pengertian pernikahan menurut istilah adalah akad nikah (Ijab Qobul) untuk mengikatkan
diri secara lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya sebagai
suami istri dengan tujuan membina suatu rumah tangga untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup yang diliput rasa kasih sayang dan ketentraman dengan tuntunan atau
cara yang diridhoi Allah SWT. sehingga menimbulkan kewajiban dan hak di antara
keduanya melalui kata-kata secara lisan, sesuai dengan peraturan-peraturan yang
diwajibkan secara Islam.
Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Rasulullah: “Nikah itu Sunnahku, barang siapa membenci pernikahan, maka ia bukanlah
ummatku”. Maka pernikahan dianjurnya kepada ummad Rasulullah, tetapi pernikahan
yang mengikuti aturan yang dianjurkan oleh ajaran agama Islam. Adapun cakupan
pernikahan yang dianjurkan dalam Islam yaitu adanya Rukun Pernikahan, Hukum
Pernikahan, Syarat sebuah Pernikahan.

C. Menurut Para Ahli Fiqih


Para ulama fiqh pengikut empat madzhab (Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali)
pada umumnya mengartikan perkawinan ialah akad yang membawa kebolehan (bagi
seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali
dalam akad) lafadz nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut
(Al-Jaziri, 1986).

4
 Menurut golongan Hanafiah, nikah adalah:

ْ َ‫النِّ َكا ُح بِّإِّنَّهُ َع ْقد ٌ يُ ِّف ْيد ُ ِّم ْلكُ ْال ُمتْعَةُ ق‬
‫صدا‬
Artinya: "Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang
dengan sengaja"
 Menurut golongan Asy-Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:

‫ْح أ َ ْو َم ْعنَ ُهما‬ ْ ‫ض َّم ُن ِّم ْلكُ ْال َو‬


ِّ ‫طء ِّبلَ ْف ِّظ ا ْن َكا َح أ َ ْو ت َ ْز ِّوي‬ َ َ ‫النِّ َكا ُح ِّبأنَّهُ َع ْقد ٌ َيت‬
Artinya: "Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha'
dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya"
 Menurut golongan Malikiyah:

َ ٌ ‫النِّ َكا ُح بِّأَنَّهُ َع ْقد‬


ِّ ‫علَى ُم َج َّر ِّد َمت َ ِّع ِّه التَّلَذُّ ِّذ َغي َْر ُم ْو ِّج‬
‫ب قِّ ْي َمت ُ َها بِّ َبيِّنَة‬
Artinya: "Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk
memperbolehkan watha', bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri
seorang wanita yang dinikahinya"
 Menurut golongan Hanbaliyah, mendefinisikan bahwa:
ْ ِّ ْ ‫علَى َم ْن َفعَ ِّة‬ ِّ ‫ع ْقد ٌ بِّلَ ْف ِّظ ا ْن َكاحِّ أ َ ْو تَ ْز ِّوي‬
َ ‫ُه َو‬
ِّ‫اْلث َماع‬ َ ‫ْج‬
Artinya: "Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna
memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita"

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama masih


memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara laki-laki
dengan perempuan yang semula dilarang berhubungan. Mereka berpendapat bahwa nikah
merupakan akad yang ditetapkan oleh syara' bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan
dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka
tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan
terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat hukum
yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan mengadakan
pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk ke dalam
syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan
Ridha Allah SWT.

5
2.2. Dasar Hukum Pernikahan dalan Islam

Pernikahan dalam islam merupakan ajaran yang berdasar pada dalil-dalil naqli. Terlihat
dalam dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah dan dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan.
Ajaran ini disyariatkan mengingat kecenderungan manusia adalah mencintai lawan jenis dan
memang allah menciptakan makhluknya secara berpasang- pasangan. Adapun dasar-dasar
dalil naqli tersebut adalah sebagai berikut:

A. Al-Qur'an
‫ي ِّب ٰا َية ا ََِّّّل‬ ْ ُ ‫سًل ِّم ْن قَ ْب ِّل َك َو َج َع ْلنَا َل ُه ْم ا َ ْز َواجا َّوذُ ِّريَّة َۗو َما َكانَ ِّل َر‬
ُ ‫س ْلنَا ُر‬ َ ‫َولَقَ ْد ا َ ْر‬
َ ‫س ْول ا َ ْن يَّأ ِّت‬
‫اب‬ ِّ ‫ِّب ِّا ْذ ِّن ه‬
ٌ َ ‫ّٰللا ۗ ِّل ُك ِّل ا َ َجل ِّكت‬
Artinya: "Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Tidak ada hak bagi seorang
rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap
masa ada Kitab (tertentu)". (QS. Ar-Ra'd Ayat 32).
Pensyariatan pernikahan adalah sudah ada sejak ummat sebelum Nabi Muhammad
saw. Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa rasul sebelum Muhammad telah
diutus dan mereka diberi isteri-isteri dan keturunan.
Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang perintah menikahi wanita-wanita
yang baik untuk dijadikan pasangan hidupnya. Allah akan memberikan rizki kepada
mereka yang melaksanakan ajaran ini, dan ini merupakan jaminan Allah bahwa mereka
hidup berdua beserta keturunannya akan di cukupkan oleh Allah. Allah berfirman dalam
surah al-Nur ayat/24 ayat 32:

‫ص ِّل ِّحيْنَ ِّم ْن ِّع َبا ِّد ُك ْم َواِّ َم ۤا ِٕى ُك ۗ ْم ا ِّْن يَّ ُك ْونُ ْوا فُقَ َر ۤا َء يُ ْغ ِّن ِّه ُم ه‬
‫ّٰللاُ ِّم ْن‬ ‫َوا َ ْن ِّك ُحوا ْاَّلَ َيامٰ ى ِّم ْن ُك ْم َوال ه‬
‫ع ِّل ْي ٌم‬ ‫ض ِّل ۗه َو ه‬
َ ‫ّٰللاُ َوا ِّس ٌع‬ ْ َ‫ف‬
Artinya: "Dan kawinkanlah orang- orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia- Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui".
Pernikahan antara wanita dan laki-laki yang menjadi jodohnya akan menimbulkan
rasa saling mencintai dan kasih sayang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.

6
B. Hadist Nabawi
َ ‫ع ِّم ْن ُك ُم ْال َبا َءة‬ َ َ‫ َم ِّن ا ْست‬،‫ب‬
َ ‫طا‬ ِّ ‫ش َبا‬ ُ ‫ّٰللا ب ِّْن َم ْسعُود قَا َل لَنَا َر‬
َّ ‫سو ُل هللاِّ َيا َم ْعش ََر ال‬ َ ‫ع ْن‬
ِّ َّ ‫ع ْب ِّد‬ َ
َّ ‫ص ُن ِّل ْلفَ ْرجِّ َو َم ْن لَ ْم َي ْستَ ِّط ْع فَ َع َلي ِّه ِّبال‬
‫ص ْو ِّمفَإِّنَّهُ لَهُ ِّو َجا ٌء‬ َ ‫َض ِّل ْل َب‬
َ ‫ص ِّر َوأ َ ْح‬ ُ ‫ فَإِّنَّ ُو أَغ‬،‫فَ ْل َيت َزَ َّوج‬
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata: telah berkata kepada kami Rasulullah Saw..: "Hai
sekalian pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kamu kawin, maka hendaklah
ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang
oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup,
hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks hadits di atas menjelaskan betapa pernikahan adalah termasuk suatu
perbuatan religius yang dengannya manusia dapat terpelihara kehormatannya, dan
terhindar dari perbuatan- perbuatan tercela. Demikian Islam menjelaskan mengenai
perkawinan yang dianggap sebagai ikatan yang kuat yang dengan melaksanakannya
adalah termasuk ibadah, namun demikian masih banyak manusia yang menyalah gunakan
perkawinan hanya untuk kepentingan sesaat seperti misalnya perkawinan yang berjangka
waktu.
Di dalam hadits yang lain Rasulullah saw. juga menegaskan bahwa menikah adalah
jalan hidup beliau dan contoh itu sengaja dijadikan sebagai panutan buat umat beliau:

َ ‫سنَّ ِّتي فَلَي‬


‫ْس ِّمنِّي‬ ُ ِّ‫سنَّ ِّتي فَ َم ْن لَ ْم َي ْع َم ْل ب‬
ُ ‫النِّ َكا ُح ِّم ْن‬
Menikah itu bagian dari sunahku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunahku,
bukanlah ia dari golonganku. (HR. Ibnu Majah).
Kalaupun bukan karena motivasi nafsu dan lainnya, menikah dianjurkan karena
semata-mata perintah agama.

C. Ijmak
Seluruh umat Islam telah mencapai kata sepakat bahwa menikah adalah syariat
yang ditetapkan dalam agama Islam.
Bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa syariat pernikahan telah ada sejak
zaman Nabi Adam alaihissalam, dan tetap terus dijalankan oleh umat manusia, meski
mereka banyak yang mengingkari agama.

7
2.3.Rukun Nikah
Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi agar pernikahan menjadi sah.
Pernikahan yang didalamnya terdapat akad, layaknya akad lain yang memerlukan adanya
persetujuan kedua pihak yang mengadakan akad. Rukun nikah dalam islam itu ada 5, yaitu:
 Ada mempelai yang akan menikah, yaitu orang yang tidak terhalang dan terlarang secara
syar'i untuk menikah.
 Ada wali dari pihak calon pengantin perempuan, akad nikah akan dianggap sah apabila
ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya.
 Ada ijab dan kabul dari wali dan mempelai laki-laki, Ijab dalam akad nikah yaitu
pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik
berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya
akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah
pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata- kata, tulisan, atau isyarat yang
mengungkapkan persetujuan ridhanya.
 Pernikahan akan sah apabila ada dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
 Kerelaan kedua belah pihak atau tanpa paksaan.

2.4. Syarat Pernikahan


Syarat syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syaratnya
terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban
sebagai suami istri. Syarat-syarat pernikahan yaitu sebagai berikut:
 Calon suami laki-laki, beragama islam, bukan mahram dari calon istri, tidak mempunyai
istri yang haram dimadu dengan calon istri, telah balig, dan berakal.
 Calon istri perempuan yang halal dinikahi, beragama islam, tidak bersuami atau tidak
dalam iddah, bukan mahram calon suami.
 Lafal ijab dan kabul harus bersifat selamanya.
 Dua orang saksi: Cakap bertindak secara hukum (balig dan berakal), minimal dua orang,
laki-laki, merdeka, adil, muslim, dapat melihat (menurut ulama mazhab Syafii).
 Adanya wali: laki-laki, balig dan berakal sehat, beragama islam, merdeka, memiliki hak
perwalian, tidak ada halangan untuk menjadi wali, adil.

8
2.5. Hikmah Pernikahan
 Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak.
 Mampu menjaga suami istri agar tidak terjurumus dalam perbuatan nista dan mampu
mengekang syahwat serta menjaga pandangan dari yang haram.
 Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa.
 Mampu membuat wanita menjalankan tugasnya sesuai tabiat kewanitaan diciptakan.
 Pernikahan dapat menjaga ketinggian martabat seorang perempuan.
 Dengan pernikahan, agama dapat terpelihara.

2.6. Hukum Pernikahan


Dalam agama islam, pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan situasi atau
kondisi orang yang akan menikah dan faktor penyebabnya. Pada dasarnya hukum asal
pernikahan adalah mubah, tetapi hukum nikah ini dapat berubah menjadi wajib, sunnah,
haram, ataupun makruh bagi seseorang. sesuai dengan keadaan seseorang yang akan menikah.

A. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib bagi orang yang sudah mampu secara finansial dan
apabila orang tersebut memiliki syahwat besar yang dikhawatirkan akan terjadi perzinaan
jika meninggalkan pernikahan. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan menikah untuk
menjaga kemaluannya. Namun jika ia merasa kurang mampu, menjaga diri juga bisa
dilakukan dengan banyak berpuasa.
Hal tersebut telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu
bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Hai para pemuda!
Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah. Karena dia itu dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa yang belum mampu
hendaklah dia berpuasa karena dapat menahan diri." (HR Bukhari dan Muslim)
Diwajibkannya menikah juga apabila seorang perempuan tidak memiliki keluarga
yang mampu memenuhi kebutuhannya atau wanita tersebut tidak memiliki cukup harta
dan tidak ada harta dan tidak ada yang dapat memberinya nafkah kecuali dari laki-laki
yang akan menikahinya. Karena pada idealnya bukan wanita yang mencari nafkah,
melainkan menjadi tanggung jawab suami.

9
B. Sunnah
Pernikahan dijatuhi hukum sunnah apabila ia merasa mampu untuk menjaga
kemaluannya dan masih ragu untuk memiliki keturunan. Usia yang terpaut cukup muda
dan finansial yang kurang mencukupi ataupun lingkungannya yang cukup baik dan
kondusif juga menjadi faktor sunnahnya sebuah hubungan pernikahan.
Orang yang punya kondisi seperti ini tidak sampai wajib menikah tetapi hanya
disunahkan untuk menikah karena masih ada jarak tertentu yang menjadi penghalang
baginya untuk melaksanakan zina yang diharamkan Allah SWT. Bagi seseorang yang
sunnah untuk menikah, alangkah baiknya ia segera menikah Karena ia mendapat sebuah
keutamaan dibanding la tidak mencari seorang wanita untuk dinikahinya. Dengan begitu,
tandanya ia telah melaksanakan sunnah Rasulullah untuk menambah jumlah keturunan
yang nantinya akan menjadi pejuang agama Islam.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Nikahilah wanita yang banyak anak, karena aku berlomba dengan nabi
lain pada hari kiamat." (HR Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).

C. Makruh
Menikah dapat dihukumi makruh apabila seseorang tidak suka dengan pernikahan,
tidak ada keinginan untuk memiliki keturunan, dan berniat untuk memutuskan dari ibadah
yang tidak wajib (menikah). Hal ini disampaikan menurut Syeikh Muhammad Al-Tahami
bin Madani dalam kitab Qurrotul Uyun.
Selain itu, makruhnya sebuah pernikahan apabila calon suami yang secara finansial
tidak mampu untuk menafkahi keluarga atau tidak dapat menyempurnakan diri dalam
berhubungan seksual (lemah syahwat). Namun jika keluarga calon istri menerima
kekurangan tersebut, maka pernikahannya diperbolehkan.
Saat suami tidak dapat mencukupi kehidupan keluarganya, banyak sekali karahah
yang akan terjadi pada keluarganya. Bisa saja sang istri yang mencari nafkah dan
mendapatkan penghasilan lebih daripada suami, hal ini dapat berdampak pada ketaatan
istri terhadap suami. Istri akan merasa lebih mampu ketimbang suami dan dikhawatirkan
istri menjadi durhaka, maka pernikahannya dianggap makruh.

10
D. Mubah
Seseorang yang merasa takut kepada Allah terutama dalam hal perzinahan, tidak
ingin memiliki keturunan tapi tidak ada niatan untuk memutuskan ibadah yang tidak
wajib. Artinya ia belum berniat untuk melaksanakan pernikahan. Orang tersebut berada
pada fase pertengahan, di mana ia tidak terdesak pada keadaan yang mewajibkan ia untuk
menikah dan juga tidak terdesak pada alasan- alasan yang mengharamkan ia untuk
menikah. Tidak ada ketentuan yang memberatkan padanya.
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka
bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjur- kan untuk segera
menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada
kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.

E. Haram
Keharaman suatu pernikahan terjadi apabila seseorang tidak takut akan zina, tidak
mampu untuk memberikan nafkah kepada keluarganya, menikah dengan niat untuk
menyakiti pasangan, tidak dapat melakukan hubungan seksual atau memiliki penyakit
berbahaya yang dapat menular kecuali apabila ia telah berterus terang sebelumnya dan
pasangan menerima kekurangan itu.
Selain hal tersebut, masih ada penyebab diharamkannya menikah yaitu apabila
seorang muslim menikah dengan pasangan yang memeluk agama lain, atheis (tidak
memiliki agama), seorang agnostik (percaya adanya Tuhan namun tidak memilih agama
manapun), atau jika seseorang menikahi pelacur atau pezina. Termasuk haram menikahi
wanita yang mahram dengannya, wanita yang sedang dalam pinangan lelaki lain, wanita
yang sudah mempunyai suami, dan wanita yang belum habis masa iddahnya.
Ada pula pernikahan yang tidak sesuai dengan kriteria di atas namun masih haram,
yaitu pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, juga nikah untuk beberapa
waktu yang telah ditentukan atau yang biasa kita kenal dengan nikah kontrak.

11
2.7. Tujuan Pernikahan
Kompilasi Hukum Islam merumuskan tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Maksudnya rumah tangga
yang tentram, penuh kasih sayang, serta bahagia lahir dan batin.

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S Ar-Ruum (30) ayat 21 yang artinya: “Dan
diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia yang menciptakan untukmu istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis, tetapi lebih
luas lagi meliputi segala aspek kehidupan baik lahiriah maupun batiniah. Sesungguhnya
pernikahan itu ikatan yang mulia dan penuh berkah. Tujuan pernikahan yang terpenting yaitu:

 Mendapatkan keturunan atau anak, dianjurkan untuk pernikahan tujuan pertamanya


adalah untuk mendapatkan keturunan yang sholeh, yang taat kepada Allah, dan
mendoakan pada orang tuanya.
 Menjaga diri dari yang haram, tidak diragukan lagi tujuan terpenting dari pernikahan
adalah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak
semata-maata memenuhi syahwat saja. Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan
perempuan tujuan mulia dari perbuatan bersenang- bersenang yang mereka lakukan itu,
yaitu dengan cara memenuhi syahwat dengan cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi,
dan memelihara diri, dan berpaling dari yang haram.
 Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah! Mendengar

sabda Rasulullah para sahabat keheranan dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, seorang suami
yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istri akan mendapat pahala?’ Nabi salallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain istrinya, bukankahmereka berdosa?’ Jawab para sahabat: ‘Ya,
benar’. Beliau bersabda lagi; ‘Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di
tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!’”

12
2.8. Pernikahan yang Dilarang
Pernikahan dalam Islam dinilai sesuatu yang sakral. Sehingga dengan bergesernya
peradaban dari masa ke masa manusia mengalami perubahan pemikiran yang semakin maju
dan berperadaban. Seiring berjalannya waktu Islam semakin menunjukkan keunggulannya
mulai dari mengangkat harkat dan martabat kaum wanita sampai kepada pengakuan
persamaan hak mereka dengan kaum laki-laki, telah menjadi kebutuhan hidup dan kehidupan
di seluruh alam semesta ini.

Dalam fiqh, nikah atau pernikahan itu ada banyak macamnya. Secara garis besar, macam-
macam pernikahan itu dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yakni pernikahan yang
dibolehkan (halal) dan pernikahan yang dilarang. Pernikahan yang halal adalah pernikahan
yang sesuai dengan aturan dan tuntunan syariat. Pernikahan yang halal selain diatur dalam
hukum syariat, juga diatur dalam hukum positif, yakni undang-undang. Pernikahan semacam
ini disebut nikah resmi/sah.

Beberapa jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam karena tidak sesuai dengan tujuan
pernikahan dalam Islam, yaitu Pernikahan Beda Agama, Nikah Sirri, Nikah Mut’ah, Nikah
Dini, Nikah Muhallil, Nikah Syighar, Nikah Tahlil, Nikah Badal, dan Zawaj Al-Istibda'.

A. Pernikahan Beda Agama


Tentang pernikahan beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga
kelompok. Salah satunya, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Mereka
mendasarkan pandangan mereka pada al-Qur'an (QS. al-Baqarah [2]: 221) yang
mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS.
al-Mumtahanah [60]: 10, yang melarang orang Islam menikah dengan orang kafir.199
Sementara QS. al-Maa'idah [5] ayat 5 yang membolehkan laki-laki muslim
menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok pertama ini, ayat tersebut
sudah dibatalkan oleh dua ayat sebelumnya. Tidak mungkin, bagi mereka, dua ayat yang
mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat yang menghalalkan nikah beda agama.
Bagi mereka, kata "musyrik", "kafir", dan "Ahli Kitab" adalah sinonim (satu makna),
sehingga yang satu bisa membatalkan yang lain.

13
Selain itu, pendapat ulama pertama ini juga mengacu pada tindakan Umar bin
Khathab. Sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir, ketika al- Mumtahanah [60]: 10
turun, Umar bin Khathab langsung menceraikan dua istrinya yang masih kafir, yaitu Binti
Abi Umayyah bin Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin
Jarwal dari Khuza'ah.
Di waktu yang lain, Umar juga pernah hendak mencambuk orang yang menikah
dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang
menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti oleh umat Islam lain,
sehingga perempuan-perempuan Islam tidak menjadi pilihan laki-laki Islam.

B. Nikah Sirri (Tersembunyi)


Pernikahan sirri termasuk pernikahan yang sah dalam Islam, tetapi pernikahan sirri
sendiri terbagi menjadi beberapa jenis dan tidak semua jenis nikah sirri itu halal. Ada
nikah sirri yang dilarang atau diharamkan dalam Islam.
Arti dari nikah sirri adalah pernikahan yang disembunyikan atau dirahasiakan.
Berdasarkan pengertian ini, maka nikah sirri terbagi menjadi tiga, yakni pernikahan yang
dilaksanakan tanpa persetujuan wali (ayah) dari pihak perempuan, pernikahan yang tidak
dicatat di KUA, dan pernikahan yang dirahasiakan dari publik karena alasan tertentu. Dari
ketiga jenis nikah sirri itu, nikah sirri yang haram atau dilarang adalah nikah sirri yang
pertama, yakni pernikahan yang dilaksanakan tanpa persetujuan wali. Sebab, wali nikah
adalah syarat sahnya nikah. Tanpa wali, pernikahan dianggap tidak sah.
Pernikahan semacam ini menurut hukum Islam tidak sah atau dilarang karena tidak
memenuhi rukun dan syarat berdasarkan hukum Islam, sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Pernikahan tanpa wali adalah pernikahan
batil. Pelakunya telah melakukan maksiat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan
sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi
orang-orang yang telibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan
tanpa wali di masukkan ke dalam bab tazir dan keputusan mengenai bentuk dan kadar
sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seoarang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh
menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan
tanpa wali.

14
C. Nikah Mut’ah (Sementara Waktu)
Jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam adalah nikah mut'ah. Secara bahasa,
kata "mut'ah" memiliki arti kenikmatan, kesenangan, dan kelezatan. Dari makna ini, maka
nikah mut'ah adalah pernikahan yang bertujuan untuk kenikmatan atau kesenangan
semata-mata. Dalam praktiknya, nikah mut'ah adalah pernikahan dengan menetapkan
batas waktu tertentu misal sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, atau tergantung
kesepakatan. Setelah batas waktu habis, maka mereka akan bercerai (bukan lagi suami-
istri)." Jadi, nikah mut'ah adalah nikah sementara waktu dengan imbalan tertentu.
Mengenai boleh atau tidaknya nikah mut'ah, para ulama berbeda pendapat. Ada
yang membolehkan dengan syarat tertentu, tapi ada pula yang melarang dengan tegas.
Nikah mut'ah pada hakikatnya adalah haram atau dilarang, dan kelompok yang
membolehkan secara mutlak hanyalah Syi'ah Imamiyah saja.
Nikah Mut'ah (nikah kontak) adalah akad nikah dilakukan dengan
mempersyaratkan waktu tertentu, dengan memberi mahar atau pun tidak. Secara syar'iy
jelas pernikahan seperti ini "haram". Hadits-hadits yang berbicara tentang hal ini menun-
jukkan bahwa nikah mut'ah pernah diizinkan oleh Rasul pada waktu-waktu tertentu.
Seperti pada waktu perang Khaibar, haji dan tahun 'Authas (penaklukan Makkah).
Selanjutnya, diharamkan pada saat haji wada`. Haji wada adalah haji terakhir bagi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu pelarangan tersebut adalah yang
terakhir dan berlaku bagi umatnya sampai hari kiamat.

D. Nikah Dini
Pernikahan dini merupakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang
dilakukan pada saat usia remaja atau muda yang sudah akil baliqh. Islam sendiri
merupakan agama yang sesuai dengan tabiat manusia sehingga sangat jelas jika kesucian
dan juga kebersihan seksual akan mengembalikan kita ke dalam ajaran ajaran
Islam. Menikah muda hukumnya Sunnah atau mandub menurut Islam sendiri tidak
melarang adanya sebuah pernikahan asalkan sudah baligh dan sudah sanggup
memberikan nafkah jasmani serta rohani dengan syarat jika ia telah mampu atau siap
untuk menikah, yaitu memiliki kesiapan ilmu, kesiapan harta atau materi, kesiapan fisik
atau kesehatan.

15
E. Nikah Muhallil
Nikah Muhalli adalah nikah yang dilakukan seorang suami yang telah mentalak
istrinya sampai tiga kali dan sang istri menikah lagi dengan laki-laki lain, dan
menceraikannya tanpa pernah melakukan hubungan suami-istri secara layak. Nikah ini
(muhallil) termasuk dosa besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara
dan diperantarai dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah.
Alasan terlarangnya nikah muhalli yaitu tidak adanya ‘Iddah karena tidak
dilakukannya hubungan suami istri secara laya, dilakukan dengan niat penghalalan
menikahi mantan istri setelah ditalak tiga tanpa ada sebab syar'iy suami yang kedua
menceraikan istrinya tersebut, dilakukan dengan tujuan kesepakatan tertentu sesuai
dengan permintaan suami pertama dengan tanpa melalui masa 'Iddah. Perlakuan seperti
ini merugikan kedua pihak karena hanya menjadi kelinci percobaan. Sehingga
menyebabkan terkesampingkannya mashalahah sebagai tujuan syari'at.

F. Nikah Syighar
Nikah syighar termasuk jenis pernikahan yang diharamkan dalam Islam karena
pernikahan ini tidak dilandasi oleh niat dan tujuan sesuai syariat, melainkan dilandasi oleh
perjanjian tertentu. Arti dari nikah syighar adalah bahwa seorang ayah menikahkan anak
atau saudara perempuannya dengan laki-laki, dengan syarat ia (si ayah atau wali ini)
menikahkan dirinya dengan anak atau saudara perempuannya tanpa membayar mahar.
Nikah syighar tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, tetapi informasi tentang nikah ini
terekam dalam hadits dari Ibnu Umar yang berkata, "Rasulullah Saw. melarang nikah
syighar, Nikah syigar adalah seseorang menikahkan anak atau saudara perempuannya
dengan seorang lelaki dengan syarat ia menikahkan dirinya dengan anak atau saudara
perempuannya tanpa membayar mahar." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Jadi, apabila ada orang yang mengatakan, "Nikahkanlah aku dengan anak atau
saudara perempuanmu, lalu aku akan menikahkanmu dengan anak atau saudara
perempuanku," maka pernikahannya disebut nikah syighar." Ibnu Umar menyampaikan
bahwa sesungguhnya Nabi Saw. bersabda, "Tidak ada nikah syighar dalam Islam." (HR.
Muslim).

16
G. Nikah Tahlil
Ada juga nikah yang disebut nikah tahlil. Maksud dari nikah tahlil adalah
pernikahan yang didasari oleh perjanjian perceraian dalam waktu tertentu. Pernikahan ini
tidak murni dilandasi oleh ketakwaan kepada Allah Swt., melainkan ada tujuan atau motif
tertentu di baliknya. Adapun tujuan dari nikah ini adalah bercerai karena pernikahan ini
dilakukan sebagai syarat agar salah satu pihak (suami atau istri) dapat kembali kepada
suami/istri sebelumnya. Misalnya, seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan
menceraikannya setelah mencampurinya, dengan tujuan agar si wanita bisa menikah
kembali dengan mantan suaminya yang lama. Biasanya, si wanita ini mendapat talak 3
dari mantan suaminya tersebut, sehingga untuk bisa kembali rujuk harus menikah dulu
dengan laki-laki lain. Dalam Islam, laki-laki yang menjadi suami nikah tahlilnya disebut
muhallil, sedangkan mantan suaminya disebut muhallal lahu. Dari segi hukum fiqh,
pernikahan jenis ini dilarang dan haram.

H. Nikah Badal (Tukar-Menukar Istri)


Salah satu jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam adalah nikah badal. Dalam
pernikahan jenis ini, pihak istri tidak diberi hak untuk berpendapat atau mengambil
keputusan. Keputusan tentang pertukaran murni ditentukan oleh suami. Jadi, bila ada dua
suami melakukan kesepakatan untuk bertukar istri tanpa perlu membayar mahar, maka
itu disebut nikah badal.

I. Zawaj Al-Istibda'
Jenis pernikahan yang pernah berlangsung di zaman jahiliah dan dilarang dalam
Islam adalah zawaj al-istibda'. Dalam pernikahan ini, pihak suami diperbolehkan
memaksa istrinya untuk tidur dengan laki-laki lain sampai hamil dan setelah hamil si istri
dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula.
Nikah ini bertujuan semata-mata untuk memperoleh bibit unggul. Tentunya, laki-
laki yang diminta untuk tidur dengan si istri adalah laki-laki yang dianggap istimewa."
Pernikahan jenis ini dilarang dalam Islam, karena merugikan dan menindas perempuan.
Padahal, Islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi perempuan.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pernikahan dalam hukum perkawinan islam adalah melakukan suatu akad atau perjanjian
untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk
menghalalkan hubungan antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan tuntunan atau cara yang diridhoi Allah SWT.
sehingga menimbulkan kewajiban dan hak di antara keduanya melalui kata-kata secara lisan,
sesuai dengan peraturan-peraturan yang diwajibkan secara Islam.
Rukun nikah dalam islam itu ada 5, yaitu ada mempelai yang akan menikah, ada wali dari
pihak calon pengantin perempuan, ada ijab dan kabul, ada dua orang saksi yang menyaksikan
akad nikah tersebut, dan kerelaan kedua belah pihak atau tanpa paksaan. Syarat-syarat
pernikahan yaitu calon mempelai yang beragama islam, bukan mahram, halal dinikahi tidak
mempunyai pasangan, telah balig, dan berakal; lafal ijab dan kabul harus bersifat selamanya;
dua orang saksi yang balig dan berakal, laki-laki, merdeka, adil, muslim, dan dapat melihat;
adanya wali laki-laki, balig dan berakal sehat, beragama islam, merdeka, memiliki hak
perwalian, tidak ada halangan untuk menjadi wali, adil.
Dalam agama islam, pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan situasi atau
kondisi orang yang akan menikah dan faktor penyebabnya. Pada dasarnya hukum asal
pernikahan adalah mubah, tetapi hukum nikah ini dapat berubah menjadi wajib, sunnah,
haram, ataupun makruh bagi seseorang. sesuai dengan keadaan seseorang yang akan menikah.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah. Tujuan pernikahan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
biologis, tetapi lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan baik lahiriah maupun batiniah.
Sesungguhnya pernikahan itu ikatan yang mulia dan penuh berkah.
Beberapa jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam karena tidak sesuai dengan tujuan
pernikahan dalam Islam, yaitu Pernikahan Beda Agama, Nikah Sirri, Nikah Mut’ah, Nikah
Dini, Nikah Muhallil, Nikah Syighar, Nikah Tahlil, Nikah Badal, dan Zawaj Al-Istibda'.

18
3.2. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi
kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan
masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al-Jaziri. (1969). Al-Fiqh 'Ala Madzahib al-Arba'ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat
al-'Arabi. hal. 3-4.

Ahmad Sarwat, LC., M.A. (2019). Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Dr. Nurhadi, S.Pd.I., S.E.Sy., S.H., M.Sy., MH., M.Pd. dan Muammar Gadapi Mtd, M.Sy. (2020).
Hukum Pernikahan Islam (Kajian Fiqih). Bogor: Guepedia.

Dr. Sakban Lubis S.HI., S.Pd.I., MA. Muhammad Yunan Haraphap, M.Pd.I. Dr. Rudtam Ependi,
M.Pd.I. (2023). Fiqih Munakahat (Hukum Pernikahan dalam Islam). Jambi: Sonpedia
Publishing Indonesia.

M. Harwansyah Putra Sinaga, Nellareta Pratiwi, Ika Purnama Sari. (2021). Pernikahan dalam
Islam. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Mardani. (2011). Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.
hal. 4.

Quraish Shihab. (2004). Mistik, Seks, dan Ibadah. Jakarta: Republika. hal 17.

Rizem Aizid. (2018). Fiqh Keluarga Terlengkap. Yogyakarta: Laksana.

Samsurizal, SIQ.S. Thl, MA. (2021). Pernikahan Menurut Islam (Suatu Tinjauan Prinsip).
Indramayu: Adab.

Soemiyati. (1999). Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta:


Liberty. hal. 8.

20

Anda mungkin juga menyukai