Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA”

DISUSUN OLEH :

MENTARI AZALIYYAH

UTUSAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM(HMI) CABANG PALOPO
KOMISARIAT FKIP UNCP
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur
kepada Nabi dan Rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni
Nabi Besar Muhammad SAW. Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang
selanjutnya penulis syukuri, karena dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya
pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini sebagai salah syarat
untuk mengikuti Latihan Khusus Kohati (LKK) Tingkat Nasional Yang
dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palopo. Adapun
judul makalah ini adalah: Pernikahan dalam perspektif budaya. Makalah ini
merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai manusia yang
tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Jadi penulis memohon
kritik dan saran yang sifatnya membangun yang penulis harapkan dari kawan-
kawan sekalian, tapi perlu juga di ketahui bahwa kritikan dan saran dari kawan-
kawan sekali kami akan pertimbangkan.
Akhirnya, kepada Allah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan
memanjatkan do’a dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal
dan mendapat ridha dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Billahittaufiq Wal Hidayah
Palopo,18 Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................

Daftar Isi ..................................................................................................


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................
B. Rumusan Masalah .............................................................................
C. Tujuan Penulisan ...............................................................................
D. Manfaat penulisan..............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian pernikahan ......................................................................
B. Tujuan pernikahan ........................................................................ ...
C. pernikahan dalam perspektif
barat..........................................................................................................
D. pernikahan dalam perspektif timur ....................................................
E. Relasi pernikahan antara agama dan budaya........................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA…...........................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis,berbagai


budaya dan suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum
yang berbeda pula.Nah,pluralisme demikian yang menyebab kan negara indonesia
ini kemudian mengadosi berbagai produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa
sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang majemuk
yaitu hukum adat,islam,barat. Mungkin dari ketiga hukum yang diberlakukan
diindonesia saat ini ,itu adalah representative dalam menjawab berbagai
permasalahan yang kompleks dan dapat menegakkan keadilan untuk konteks
sekarang dan pada masa yang akan datang.

Salah satu permasalahan yang sedang saya angkat adalah masalah pernikahan
dalam budaya masing-masing. Pernikahan tidak sekedar peristiwa religius-yuridis
semata, lebih dari itu pernikahan bermakna bertemunya dua orang dan
keluarganya yang berbeda latar belakang. Pernikahan antar pasangan dengan latar
belakang suku bangsa yang berbeda telah menjadi sesuatu yang biasa dalam
kondisi Indonesia yang multikultural. Fenomena pernikahan antar suku bangsa ini
juga terjadi dan terus mengalami peningkatan dan perluasan. Saat terjadi
pernikahan dengan pasangan yang berbeda suku bangsa, maka akan terjadi
perjumpaan budaya suku bangsa baik sebelum, pada saat, dan setelah proses
pernikahan. Perjumpaan budaya dalam perkawinan tak jarang menimbulkan
problem, terutama dalam proses penyesuaian diri pasangan dan keluarga masing-
masing. Atwater (1983, p. 198) mengatakan orang yang menikah dengan
pasangan yang berbeda latar belakang, baik kelas sosial, agama, ras, dan lainnya,
akan menghadapi resiko besar dalam perkawinannya.

(Journal of Multicultural Studies in Guidance and Counseling)


Selain dari pada itu,bukan di indonesia saja masalah pernikahan antar suku
yang terjadi tetapi budaya barat yang mengakar ke indonesia sehingga mampu
mempengaruhi .Nah, masyarakat barat meski menganggap persetubuhan diluar
nikah dianggap melanggar moral,namun kebudayaan merangsang dan
memberikan kesempatan untuk itu .Gejalanya di indonesia saat ini muncul dan
semakin mengakar karena kaum lelaki saat ini dipersulit oleh mahalnya mahar dan
lain sebagainya yang telah membudaya pada masing-masing suku dan
menerapkan pada suku masing-masing . Nah, hal ini memicu kaum lelaki
mengambil budaya barat dengan pemuasan hasrat seksual diluar nikah.

Dari masalah yang mengakar diIndonesia saat ini dimulai dengan penyesuaian
budaya saat menikah , pemuasaan seksual diluar pernikahan ,sah atau
tidaknya,halal atau haramnya,jelas bahwa pemuasan hasrat seksul bukan fungsi
utama pernikahan dan penyesuaian budaya bukanlah hal yang perlu ditakuti. Hal
ini ditunjukkan kuatnya tuntunan bagi pasangan agar bisa hidup
bersama,diakui ,dan disetujui umum dan dapat menjalin hubungan kerja sama
yang baik untuk membina rumah tangga.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yanng telah saya paparkan diatas ,dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Apa itu pernikahan ?


2. Bagaimana agama memandang tujuan dari pernikahan ?:
3. Bagaimana pernikahan dalam perspektif budaya ?
4. Bagaimana relasi pernikahan antara budaya dan agama ?
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa itu pernikahan?


2. Untuk mengetahui tujuan pernikahan
3. Untuk mengetahui pernikahan dalam perspektif budaya
4. Untuk mengetahui relasi pernkahan antara budaya dan agama
5. Sebagai syarat mengikuti LKK cabang palopo

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari dari penulisan makalah ini adalah :

1. Agar kader dapat mengetahui apa itu pernikahan


2. Agar kader dapat mengetahui tujuan pernikahan
3. Agar kader dapat mengetahui pernikahan dalam perspektif budaya
4. Agar kader mengetahui relasi pernkahan antara budaya dan agama
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan

Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang
berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang
menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri. Dalam
buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau perkawinan adalah Sunnatullah pada
hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka
mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan
manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:
‫َو ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َج ْي ِن ل ََعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُر ْو َن‬

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu


mengingat akan kebersamaan Allah.”
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia
berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada
pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang,
sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan
bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia
sebenarnya tak pernah terlepasdari didikan Allah.
Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah
atau ziwaj atau semakna keduanya. Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu
segi saja ialah kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Perkawinan
mengandung aspek akibat hukum melangsungkan perkawinan ialah saling
mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan
yang dilandasi tolong-menolong.
Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung
adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah
suatu aqad atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang
meliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah
SWT.
(Fiqih Munakahat)

B. Tujuan Pernikahan
a. Pandangan agama islam

Tentang tujuan pernikahan, Islam memandang bahwa pembentukan keluarga itu


sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang
meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan mempunyai pengaruh besar
dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi ummat Islam. Berikut
beberapa tujuan pernikahan menurut pandangan islam :

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi


Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan
dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang
ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, dan lain sebagainya yang telah
menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq untuk Menundukkan Pandangan.


Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah
untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji.

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami


Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq
(perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah.Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza
wa Jalla. (Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah).
b. Pandangan agama nasrani

Tujuan Pernikahan Kristen dalam Kejadian pasal 2, tujuan pernikahan tidak hanya
sekedar mendapatkan keturunan, namun memiliki tujuan yang lebih penting yakni
pertumbuhan. Saat kedua belah pihak semakin bertumbuh, maka akan didapat
kebahagiaan. Masing-masing individu harus dapat mengampuni satu sama lain
dan juga mampu beradaptasi sehingga tidak akan memaksakan atau menuntut
pasangan namun lebih kepada memahami.

1. Menjadi Manusia Seutuhnya

Dengan pernikahan maka manusia bisa mengembangkan pola jiwa dalam


memahami kasih Allah yang tanpa syarat. Sebagai contoh, anak-anak keluarga
Kristen hanya bisa merasakan kasih dari orangtua saat mereka bertingkah laku
baik dan saat bertingkah menyusahkan, maka kasih orangtua akan sekejap hilang
dan diganti dengan marah, hukuman, kebencian dan penolakan.Pola jiwa penuh
kasih yang bergantung pada suasana ini akan selalu terbawa sepanjang hidup
mereka dan akhirnya mereka memahami jika kasih Allah merupakan kasih yang
bergantung pada situasi.

2. Sebagai Pengembangan Jiwa Untuk Percaya Dengan Sesama

Jiwa manusia adalah saling percaya di kehidupan sosial dan tanpa jiwa
mempercayai ini maka manusia akan sulit dalam pergaulan dan bekerja sama
dengan sesama dan manusia yang anti sosial ini akan hidup dalam dunia mereka
sendiri.Pembentukan dan pengembangan jiwa mempercayai ini merupakan salah
satu tujuan dari pernikahan sehingga setiap individu akan saling belajar untuk
percaya dengan pasangan dan mempraktekan cinta kasih secara konsisten.
3. Menciptakan Masyarakat Baru Allah

Pandangan Iman Kristen Terhadap Gaya Hidup Modern membuat pernikahan


dibentuk oleh Allah dengan tujuan agar tercipta masyarakat baru kepunyaan Allah
dan wadah yang digunakan Allah sebagai sarana membuat sejahtera manusia yang
sudah ditebus-Nya adalah dengan melalui keluarga.Allah menghendaki tujuan
pernikahan untuk melahirkan keturunan anak-anak tebusan Kristus. Tujuan
pernikahan tersebut adalah untuk mendidik anak-anak kelak sehingga bisa
menjadi anak Tuhan yang tidak hanya patuh pada orangtua secara daging, namun
yang terpenting patuh pada Bapa di surga.

4. Pernikahan Merupakan Sebuah Persahabatan

Pernikahan tidak hanya sebatas hubungan suami istri dalam urusan seksual saja,
namun lebih kepada persahabatan. Pernikahan merupakan kesatuan sosial dan
juga spiritual. Dengan membangun sebuah pernikahan yang dilandasi dengan
persahabatan ini maka akan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan pernikahan
yang dilakukan hanya untuk tujuan seksual semata.

c. Pandangan hindu

tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:

1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan


Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti
melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat
dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan
melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan
lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa
kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru
(Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-
kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan
berlandaskan Dharma.

(Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga)

C. Pernikahan dalam perspektif budaya barat

Dari penjelasan diatas mengenai pernikahan bahwa telah jelas pernikahan


bukan saja tentang pemuasan hasrat seksual tapi tentang bagaimana membina
rumah tangga,menjalin kerja sama yang baik ,bagaimana membesarkan dan
membina generasi dari pasangan selanjurnya serta menyemurnakan agama
nya .Nah, beda halnya dalam budaya barat, konsep pemikiran tentang pernikahan
itu sangat jauh beda denagan budaya timur ,pada makalah ini saya akan
menjelaskan tentang fakta-fakta tentang pernikahan pada budaya barat yang bisa
saja saya katakan itu sedang mengakar dan berkmbang di indonesia saat ini.

Dari berbagai literatur bahkan film-film yang ditampilkan karya orang


barat atau biasa disebut Hollywood,saya perhatikan bahwa konsep pernikahan
budaya barat sangat berbeda dengan budaya timur. Pernikahan budaya barat
memfokuskan pada hubungan suami dan istri bukan fokus pada mempunyai
anak ,itulah mengapa dibudaya barat anak kerap kali dipandang bukanlah elemen
yang penting. Apalagi di dunia barat ,anak usia 18 tahun, anak rata-rata sudah
diperbolehkan untuk mandiri dan bebas keluar rumah. Orang tua hanya bertugas
mendidik dan membesarkan mereka hingga usia tersebut. Setelah itu, orang tua
hanya akan tinggal berduaan saja. Nah, jika hubungan antara suami dan istri
kurang harmonis, atau hanya berfokus pada anak, saat si anak pergi, tentu saja
rumah tangga bisa terancam berantakan. Selain dari pandangan saya dibudaya
barat tentang diatas itu saya juga pernah bertanya-tanya mengapa orang luar
negeri khususnya Negara Amerika dan Eropa tidak menikah namun tinggal dalam
satu atap?
Kebanyakan menjawabnya dengan alasan karena Negara tersebut adalah Negara
bebas, tidak salah namun ada hal lebih mendetail mengapa diluar sana kumpul
kebo atau hidup tanpa ikatan pernikahan dalam satu atap seperti dilegalkan oleh
pemerintah.Tidak jauh saya ambil contoh beberapa artis Hollywood pun banyak
yang tinggal satu atap tanpa status pernikahan, bahkan telah dikaruniai anak dari
hubungan mereka. Anak muda hamil diluar nikahpun bukan hal tabu lagi bagi
mereka.

Faktor-faktor yang terjadi dibarat saat ini itu dipengaruhi oleh faktor
financial dan karir, umumnya orang barat menganggap menikah dan mempunyai
anak akan menghambat karir dan pengeluaran yang dikeluarkan untuk menikah
dan membiayai keluarga sangat banyak. Lagi pula dalam berhubungan kedekatan
berdua sebagai lawan jenis jauh lebih penting ketimbang memikirkan mempunyai
keturunan, dari situ orang tua hanya membiayai dan mengurus anak sepenuhnya
hingga 18 tahun selebihnya si anak diharuskan untuk mandiri. Pemikiran itulah
yang pada akhirnya menurun ke anaknya bahkan terus berlanjut.

Religius yang minim, di barat banyak orang menyatakan dirinya sebagai


atheis atau tak memeluk agama apapun, walau beragama namun religiusitas
mereka minim, tak melekat kuat dihati bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh
Yang Maha Kuasa. Bila orang minim kepercayaan dan minim pengetahuan
tentang agama tak menutup kemungkinan bahwa kebebasan adalah hal yang
selama ini membuat mereka bahagia termasuk bebas dalam berhubungan dengan
siapapun tanpa status pengikatan janji yang sah atas nama Tuhan dan Negara.
Banyak pengakuan orang-orang barat yang menyatakan bahwa pernikahan di
barat sangat ribet, birokrasinya tak mendukung memudahkan orang untuk
menikah, mungkin ada benarnya karena banyak pasangan kumpul satu atap tanpa
status sah namun pemerintah seakan cuek dalam melihat hal tersebut.
Trauma, faktor ini tak menutup kemungkinan bahwa ke traumaan terhadap
perceraian menjadikan alasan bahwa mereka lebih memilih untuk hidup satu atap
namun tanpa status pernikahan. Bagi orang yang telah menikah, menikah lagi
adalah hal yang terlalu menyakitkan apabila kelak berakhir pada perceraian,
mending jalani hidup bersama dulu walau telah jalan 5 tahun tanpa ikatan pun
mereka sanggup, itu semua karena mereka masih ragu apakah pasangan saat ini
adalah pasangan yang tepat untuk menemaninya hingga akhir hayat, kenapa harus
tetap satu atap dan bertahun-tahun bila ragu? Karena ukuran keserasian tidak
dilihat dari seringnya hidup bersama, namun pernyataan hati masing-masing yang
telah berbicara tulus untukl memantabkan menikah, dan berharap tidak bercerai,
begitupun untuk yang lajang, belajar dari kisah perceraian saudara, kerabat atau
oranr tua mereka, maka memutuskan untuk menjalani hidup bersama tanpa ikatan
adalah cara terbaik menjajaki arti berpasangan dalam hidup.

Terakhir pemerintah yang seolah mendukung hal tersebut untuk


mengurangi resiko perceraian di negaranya, coba mari kita tilik setiap pekerja di
Barat bila menerima gaji pasti dipotong oleh pemerintah dan itu pun tidak sedikit
untuk apa? Untuk dana social, baik dibagikan ke panti jompo secara Cuma-Cuma
dan panti asuhan, dari situlah mereka menganggap untuk apa mengharap anak
yang menghidupi kita di hari tua, toh pemerintah telah menyediakan sarana panti
jompo yang memadai untuk menghabiskan masa tua, begitulah pola pikirnya.

D. Pernikahan dalam perspektif budaya timur

Berbeda dengan budaya barat,konsep pemikiran dibarat itu kebalikan dari


budaya timur yang menjadi permasalahn pada budaya timur yaitu peraturan
pernikahan masing-masing budaya di timur itu berbeda-beda, tergantung dari
adat/suku yang dimilikinya. Pernikahan di indonesia itu sangatlah penting,
penting untuk diakui bahkan batas usia untuk menikah pun telah ditentukan.
Yang menjadi masalah pada budaya timur itu karna adanya keanekaragaman suku
yang masing-masing memiliki peraturan pernikahan berdasarkan adatnya .
Saya ambil salah satu contoh dari adat bugis ,dimana pernikahan dititikberatkan
pada kekuatan uang pannai,dapat diterima jika syarat uang yang dinaikkan saat
menikah itu telah memenuhi syarat,ada juga adat yang harus menikah dengan
sesama adatnya ,pada adat jawa juga mempunyai kebiasaan keluarga yang adat
Jawanya sangat melekat atau mendarah daging, akan menentukan hari pernikahan
sangat memperhatikan weton (hari kelahiran) dari kedua calon mempelai, apakah
pada hari itu sebelumnya ada salah satu keluarganya yang meninggal dunia.
Seandainya ada maka dicari hari lain, karena menurut kepercayaan mereka jika
acara resepsi tetap dilaksanakan pada hari tersebut akan menyebabkan hidup
mereka sengsara (pati sandang, pati pangan dan pati papan) dan masih banyak lagi
peraturan dari masing-masing adat .hal inilah yang memicu pernikahan di budaya
timur itu sangat dipersulit .

E. Relasi pernikahan antara agama dan budaya

Kita tau bahwa antara agama dan budaya itu selalu tidak sejalan,selalu berbeda
sudut pandang. Kajian agama dalam hal ini islam secara budaya menarik minat
banyak akademisi karena dalam realitas budaya tersebut terjadi pengejawantahan
ajaran agama kultur setempat yang khas. Hal itu memungkinkan munculnya
variasi di kalangan masyarakat akibat proses dialektika antara nilai normatif
dengan budaya masyarakat. Keanekaragaman budaya itulah yang menciptakan
perbedaan perwujudan agama di kalangan masyarakat di dunia.

Penelitian agama sebagai fenomena budaya dan dengan pendekatan ilmu


budaya bukan berarti memandang agama sebagai produk manusia atau produk
budaya.Atho Mudzhar memberikan catatan bahwa meletakkan agama sebagai
sasaran penelitian budaya tidak berarti memandang agama yang diteliti itu sebagai
kreasi budaya manusia, sebab agama tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan.
Pendekatan yang digunakan tersebut adalah pendekatan penelitian yang lazim
digunakan dalam penelitian budaya (Mudzhar, 2002: 38).
Pendekatan kebudayaan dalam studi agama yang dilakukan para
antropolog, dalam ilmu pengetahuan dinamakan sebagai pendekatan kualitatif.
Inti dari pendekatan kualitatif adalah pada upaya memahami (verstehen) dari
sasaran kajian atau penelitiannya. Ciri mendasar pendekatannya tersebut adalah
sifat holistis dan sistemis (Suparlan, 2001: 186). Konsep memahami tersebut
memiliki dua aspek telaah, yaitu “gejala” dan “makna” yang terkandung dalam
kebudayaan. Ketika agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, yang
terlihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat
manusia, bukan agama yang terwujud sebagai petunjuk, larangan, dan perintah
Tuhan yang ada di dalam kitab sucui. Agama yang tertuang di dalam kitab suci
tersebut bersifat sakral dan universal, sedangkan keyakinan keagamaan yang
hidup di masyarakat itu bersifat lokal, yaitu sesuai dengan kondisi, sejarah
lingkungan hidup, dan kebudayaan masyarakatnya (Suparlan, 2001: 185). Namun
demikian, pemahaman hubungan antara budaya dengan agama tetap tidak bisa
dipisahkan dari pemahaman normatif agama itu sendiri, yaitu agama dalam bentuk
larangan dan perintah. Pemahaman normatif menjadi titik tolak untuk memahami
bagaimana budaya memperkaya nilai normatif dan bagaimana nilai normatif
dipraktikkan oleh masyarakat budaya.

Terkait dari 2 sudut pandang yang saya angkat itu kemudian harus Ada
kalanya persentuhan budaya itu melahirkan penolakan, akulturasi, atau assimilasi.
Gambarannya adalah Penolakan terjadi ketika tradisi kecil melakukan perlawanan
atau resistensi terhadap pengaruh tradisi besar. Proses perlawanan tersebut
membuat tradisi besar tidak diterima atau diserap oleh tradisi kecil. Sebagai
gantinya, tradisi kecil mencari aternatif lain untuk menegaskan identitas dan
keberadaannya.Proses asimilasi adalah proses penundukan atau penyerapan satu
budaya oleh budaya lain. Dalam asimilasi, budaya yang kuat mendominasi budaya
yang lebih lemah. Asimilasi adalah proses untuk menghilangkan konflik budaya
dengan melarutkan berbagai kelompok yang berbeda ke dalam kelompok-
kelompok yang lebih besar dan secara budaya homogen.
Dari relasi pernikahan antara agama dan kebudayaan itu kita harus
kembali kepada apa yang telah saya jelaskan diatas berdasrakan tujuan dari
pernikahan berdasarkan sudut pandang masing-masing agama, Agama tidak hanya
dimaknai sebagai penghayatan pribadi terhadap Tuhan, melainkan sebuah ritus
bersama untuk mencapai keselarasan. Durkheim menyebut bahwa “yang sacral”
dalam masyarakat adalah yang menyangkut eksistensi komunal. Semua
masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri dan tidak bisa dinilai apakah
kebudayaan itu tinggi atau rendah. Kebudayaan merupakan produk atau hasil
aktivitas nalar manusia di mana dia memiliki kesejajaran dengan bahasa yang juga
merupakan produk aktivitas nalar tersebut. Kesejajaran ini terletak pada bahasa
yang merupakan kondisi dari kebudayaan karena materi keduanya bersumber dari
sumber yang sama, yaitu relasi, oposisi, korelasi, dan lainnya. Sumber relasi ini
tidak lain adalah nalar manusia atau human mind (Ahimsa-Putra, 2001: 23-25). Di
samping adanya sistem relasi dalam kehidupan manusia dan kebudayaan, juga
terdapat relasi antara manusia dengan tradisinya. Dengan demikian, di dalam
kehidupan ini, tradisi bukan bagian dari kebudayaan, melainkan relasi yang
mengandung kesejajaran-kesejajaran yang bukan relasi sebab akibat. Artinya
budaya bukan yang menyebabkan tradisi tetapi sebaliknya karena kebudayaan dan
tradisi mempunyai sumber yang sama, yaitu pikiran manusia (human mind).
Dengan demikian, maka yang menjadi bidikan dari tradisi adalah model atau pola,
bukan pengulangan-pengulangan. Untuk memahami pola atau model bukan pada
pengulangan perilaku, melainkan pada tingkat struktur di mana struktur itu
adalalah model yang dibuat oleh para ahli antropologi untuk memahami atau
menjelaskan gejala kebudayaan yang dikajinya atau juga disebut sebagi sistem of
relations atau sistem relasi yang saling mempengaruhi atau berhubungan (Arwan,
Artha, dan Putra, 2004: 61)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas,dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Adanya pandangan antara budaya barat dan budaya timur itu kemudian sedang
berkembang diindonesia,nah bagaimana peran perempuan dalam menanggapi
permasalahn tersebut yaitu dengan merubah pola pikir masyarakat sekitar melalui
kajian,penelitian bahkan budayakan membaca. Pernyataan diatas mengenai
tujuan pernikahan pada sudut pandang masing-masing agama bahkan pengertian
pernikahan itu sendiri cukup jelas membuktikan bahwa salah satu dari pointnya
yaitu untuk menyempurnakan agama,merawat generasi bahkan menciptakan
kelurga yang bahagia dunia akhirat,sekira tujuan itu dapat diambil acuan tanpa
melihat sisi dari budaya yang terlalu menekankan pada aturan yang dapat
bertentangan dengan agama.

B. Saran

Perempuan hari ini harus bisa memahami konsep pernikahan dengan


matang,jangan sampai perempuan hari ini mengikuti peraturan budaya sedangkan
agama yang dimilikinya kurang sehingga ketika menikah yang terjadi hanyalah
konflik dan tidak tau cara menyelesaikannya. Ingat pernikahan bukan hanya
sebagai pemuasan hasat seksual tapi bagaimana ketika menikah kita dapat
mendekatkan diri dari sang pencipta,menjauhkan diri dari
laranganNYA,menciptakan generasi yang berkualitas didunia bahkan diakhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Bingkisan istimewa menuju keluarga


sakinah.Bogor - Jawa Barat,pusataka At-taqwa .2006

Fiqih munakahat

Jurnal Hukum Islam (JHI) Volume 12, Nomor 1, Juni 2014

Muhammad iqbal,psikologi pernikahan

Journal of Multicultural Studies in Guidance and Counseling

Anda mungkin juga menyukai