Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS HADIS POLIGAMI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadis Tematik

Dosen Pengampu: Bapak Abdul Rozak., Lc, M.Ag

Disusun oleh:

Kelompok 8

Said Arkan Muzzaki (202108001)

Tatum Zakiyatun Niswah (2021080019)

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM (FSH)

UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)

JAWA TENGAN DI WONOSOBO

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
bagi Allah SWT yang dengan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
lancar. Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Nabi
Muhammad SAW. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah memberikan sumbangan baik dari pikiran maupun materi sehingga mampu
menyelesaikan materi yang berjudul “ANALISIS HADIS POLIGAMI”. Penulis menyadari
bahwa didalam penulisan makalah ini tentunya banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bisa menambah
wawasan pengetahuan kita dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Sekian dari penulis.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Wonosobo, 24 Juni 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Pengertian Poligami ........................................................................................................ 3
B. Ayat dan Hadis Poligami ................................................................................................ 4
C. Kritik Sanad .................................................................................................................... 7
D. Kritik Matan .................................................................................................................... 9
E. Pandangan Agama Terhadap Poligami ......................................................................... 11
F. Implikasi dan Aktualisasi Praktek Poligami ................................................................. 16
BAB III .................................................................................................................................... 19
PENUTUP................................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia dalam


rangka untuk membangun rumah tangga sebagai tempat memadu kasih dengan segala
persoalannya yang melingkupi dan juga untuk melangsungkan generasi manusia
dengan lahirnya anak sebagai buah cinta kasih. Perkawinan ini dilakukan dengan cara
yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu karena terkait budaya dan tradisi yang
berlaku di daerah tersebut. Selain itu, perkawinan juga masuk dalam ruang lingkup
keagamaan. Kemudian tujuan lain dari perkawinan adalah mewujudkan mu’asyarah bi
al-ma’ruf (kesantunan dan kesopanan) dan sa’adah (kebahagiaan). Perkawinan ini
(dalam Islam) merupakan ikatan yang kuat antara laki-laki dan perempuan yang
menyatu dalam sebuah wadah yang bernama keluarga. Kemudian dalam perkawinan
juga dikenal istilah poligami.
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kajian mengenai poligami ini selalu
menjadi suatu pembahasan yang menarik dan menimbulkan berbagai kesimpulan
dalam pemahamannya. Sehingga, penulis akan mencoba membahas bagaimana
poligami dalam al-Qur’an untuk kemudian dikaji melalui sudut pandang hadis yang ada
dalam kitab tafsir. Islam adalah agama yang mengatur semua kehidupan umatnya, tak
terkecuali mengenai kehidupan berumah tangga bagi pemeluknya.1 Dalam Islam,
perkawinan tidak hanya merupakan legitimasi hubungan antara laki-laki dan
perempuan semata-mata, melainkan juga sebagai wahana mewujudkan kasih sayang
yang diberikan oleh Allah pda proses penciptaannya yang pertama kali tersebut.2
Islam bukanlah agama yang pertama kali menetapkan aturan poligami, dengan
kata lain sebagai pelopor dalam melakukan poligami. Hal ini diperkuat dengan fakta
sejarah yang menyebutkan bahwa poligami telah dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat jauh sebelum Islam itu datang. Bahkan dikatakan bahwa sejarah poligami
sama tuanya dengan sejarah manusia.3 Akan tetapi Islam tidak memungkiri adanya

1
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam VS Poligami
Monogami Barat. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993). Hal. 6.
2
Arnita, Hadis Riwayat Ibn Abbas tentang Poligami (Studi Sanad Dan Matan Hadis), Skripsi Fakultas
Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005. Hal. 1.
3
Rifat Syauqi Nawawi, Sikap Islam tentang Poligami (Jakarta: Pustaka Firdaus bekerjasama dengan
LSIK, 1999), JILID II, Hal. 104.

1
praktek poligami sebagaimana yang telah dijalani oleh Rasulullah SAW. namun
poligami disini mempunyai aturan-aturan yang harus dijalani. Di dalam al-Qur’an
terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan tentang poligami (an-Nisa’/4: 3, 58, 129) dan
juga hadis-hadis yang berbicara tentang hal ini pun cukup banyak.
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka fokus dalam
penelitian ini adalah mengetahui hadis-hadis tentang poligami dan padangan poligami
dalam kajian Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang rumusan masalah yang dijabarkan diatas maka


penulis merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari poligami?
2. Apa saja ayat dan hadis yang berkaitan tentang poligami?
3. Bagaimana kritik sanad hadis tersebut?
4. Bagaimana kritik matan hadis tersebut?
5. Bagaimana pandangan agama terhadap Poligami?
6. Bagaimana implikasi dan aktualisasi dari praktek poligami?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari
penulis makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui deskripsi dasar dari poligami.
2. Mengetahui ayat dan hadis yang berkaitan tentang poligami.
3. Mengetahui penjabaran kritik sanad dari salah satu hadis poligami.
4. Mengetahui deskripsi kritik matan dari salah satu hadis poligami.
5. Mengetahui tentang pandangan agama terhadap kasus poligami.
6. Mengetahui bagaimana implikasi dan aktualisasi dari praktek poligami.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Sebelum kita mengkaji lebih lanjut tentang permasalahan poligami, terlebih


dahulu penulis kemukakan artipoligami. Poligami adalah salah satu sistem perkawinan
dari berbagai macam sistem perkawinan yang telah dikenal oleh manusia. Kata
“Poligami” berasal dari bahasa Yunani, dari etimologi kata “Poly” atau “Polus” yang
berarti “Banyak”, dan kata “Gamein” atau “Gamos” yang berarti “Kawin atau
Perkawinan”.Apabila pengertian kata-kata dirangkaikan maka poligami akan berarti
“Suatu perkawinan yang banyak”. Dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan
poligami adalah “Perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang lebih dari satu
orang istri dalam waktu yang bersamaan”.4
Dengan demikian seseorang yang dikatakan melakukan poligami berdasarkan
jumlah istri yang dimilikinya pada saat bersamaan, bukan jumlah perkawinan yang
pernah dilakukan. Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, kemudian menikah lagi
maka seperti itu tidak dikatakan poligami, karena dia hanya menikahi satu orang istri
pada waktu bersamaan. Sehingga apabila seseorang itu melakukan pernikahan
sebanyak empat kali atau lebih, tetapi jumlah istri terakhir hanya satu orang maka hal
yang demikan itu juga tidak dapat dikatakan poligami. Dikatakan poligami apabila
seorang suami mempunyai lebih dari seorang istri secara bersamaan.5
Dalam istilah Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ‘madu’ yang digunakan
untuk menunjuk kepada laki-laki yang memperistri perempuan lebih dari satu waktu.
Istilah madu digunakan untuk menunjuk adanya pengumpulan atau pemaduan dua
perempuan atau lebih dalam satu lembaga perkawinan. Atau bisa jadi ada proses
pemerasan, seperti madu tawon, terhadap perempuan untuk memperoleh kekuatan dan
vitalitas bagi laki-laki.6

4
Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami Dalam Islam, (Surabaya : Usaha Nasional, tth). Hal. 12.
5
A.Rodli Maknum, Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponogoro: STAIN Ponogoro Press,
2009), Cet. Pertama. Hal.16.
6
Henten Napel, Kamus Teologi Inggris Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), Cet. ke-2. Hal.
31.

3
B. Ayat dan Hadis Poligami

Dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa ayat yang berbicara tentang
poligami beserta asbabun nuzulnya, dilengkapi dengan hadis-hadis Rasulullah SAW
mengenai topik tersebut. Karena kata poligami merupakan kata asli bahasa Indonesia,
sehingga tidak ada kata poligami yang tercantum begitu saja dalam al-Qur’an, tetapi
dengan pengertian dari poligami tersebut terdapat beberapa ayat yang menjelaskan
tentang hal tersebut. Salah satunya terdapat dalam surat an-Nisa’ yaitu:
1. Surah An-Nisa’ Ayat 3 dan 129
َ َ َٰ َ ُ َ َ َٰ َ ُ َ َٰ َ َ ٓ َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َٰ َ َ ْ ُ ُ ‫ُ َا‬
ِ
ۡ‫كح ۡواۡماۡطابۡلكمۡمِنۡۡٱلنِسا ۡءۡمثَنۡوثلثۡوربعَۖۡفإِن‬ِ ‫مۡ ۡف ۡٱن‬َٰ
ۡ ‫ِۡفۡۡٱۡلت‬
ِ ‫ِإَونۡخِفتمۡأَّلۡتقسِطوا‬
ۡ
ْ ُ َ ‫ُ َ ا َ ُ ْ َ َ َ ً َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ َ َٰ َ َ َ ٰٓ َ ا‬
٣ۡ‫َنۡأَّلۡت ُعولوا‬ ‫خِفتمۡأَّلۡتعدِلواۡفوَٰحِدةۡأوۡماۡملكتۡأيمَٰنك ۚۡمۡذل ِكۡأد‬

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.

Sababun Nuzul ayat ini tentang seseorang yang dilarang untuk menikahi
seorang perempuan yatim karena bertujuan hendak menguasai hartanya semata.
Sikap yang demikian tentu jauh dari sifat adil yang diperintahkan, khususnya yang
berhubungan dengan praktik poligami. Apabila demikian keadaannya, maka Allah
telah memberikan jalan keluar kepada orang yang seperti itu untuk menikahi
perempuan lain, sehingga ia terhindar dari sikap tidak adil.
Ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat
orang saja. Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada
batasannya. Seruan ayat ini berlaku untuk keseluruhan (al khithab li al-jami’). Oleh
karena itu, pengulangan itu harus dilakukan agar terkena kepada setiap orang yang
hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya dengan syarat wanita yang
hendak dinikahinya itu dibatasi tidak lebih empat orang.7
Poligami merupakan masalah yang lazim menurut syariat Islam. Masalah
poligami ini harus bisa diterima semua lapisan kaum Muslimin. Poligami tidak lagi

7
Anonim, Islam dan Wanita dari Rok Mini Hingga Isu Poligami, (Bogor: Pustaka Tharikul Izzah, 2003),
Cet. Pertama. Hal. 84.

4
memerlukan dalil untuk menguatkan persyariatannya. Orang Mukmin yang
sebenarnya adalah yang mau mendengar, taat dan tunduk kepada perintah Allah
dalam segala urusan kehidupannya. Permasalahannya berkait dengan akidah dan
bukan masalah kemaslahatan individu atau tuntutan berahi. SebagaimanaAllah
berfirman di dalam surah An-Nisaa’(4) ayat 129 yang berbunyi :
َ‫ا‬ َ َ َ َ َ ‫َ ٓ َ َ َ َ ُ ََ َ ُ ْ ُا‬ َ َ ْٓ ُ َ َ َ َ
َ َ‫نۡتعدِلُواْۡب‬
ۡ ‫ل ۡف َتذ ُروه‬
ۡ‫اۡك ۡٱل ُم َعلق ِۡة ِۡإَون‬ ِۡ ‫سا ۡءِ ۡولوۡحرصتمَۖۡفَلۡت ِميلواُۡك ۡۡٱلمي‬
ۡ ِ ‫ۡي ۡۡٱلن‬ ‫ن ۡتست ِطيعواۡأ‬
ۡ ‫ول‬

ٗ ‫اۡرح‬
‫ور ا‬ َ َ َ َ‫ُ ْ ََاُ ْ َ ا ا‬
ٗ ‫ۡغ ُف‬ ُ
١٢٩ۡ‫ِيما‬ ‫ّللَۡكن‬
ۡ ‫تصل ِحواۡوتتقواۡفإِنۡۡٱ‬

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Islam datang dan membiarkan aturan poligami yang sudah ada dan mengatur
kembali batasan-batasan yang merusak dan buruk yang biasa dilakukan oleh
manusia sebelumnya, agar hak-hak perempuan tetap terjaga dan kehormatannya
terpelihara, karena gambaran dan aturan poligami sebelum Islam benar-benar tidak
mengenal aturan dan batasannya. Islam membolehkan poligami karena
pertimbangan kemaslahatan hidup manusia. Namun begitu sekiranya suami
khawatir zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram
melakukan poligami.
2. Hadis-Hadis Tentang Poligami
Keadilan suami amat dititik beratkan sesuai dengan hadits dari Nabi SAW.
Berikut ini penulis menemukan beberapa hadis tentang poligami dalam software
Maktabah Syamilah:
،َ‫ ع َْن أَبِي ه َُري َْرة‬، ٍ‫ِير ب ِْن نَ ِهيك‬
ِ ‫ ع َْن بَش‬،‫ ع َْن النَّض ِْر ب ِْن أَنَ ٍس‬،َ‫ ع َْن َقتَا َدة‬،‫ أ َ ْخبَ َرنَا َه َّما ُم ْب ُن يَحْ يَى‬،ُ‫« َح َّدثَنَا يَ ِزيد‬
‫ جَا َء يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة يَ ُج ُّر‬،‫علَى ْاْل ُ ْخ َرى‬ ِ َ ‫ام َرأَت‬
َ ‫ان يَمِ ي ُل ِ ِِل ْحدَاهُ َما‬ ْ ُ‫ َم ْن كَانَتْ لَه‬:َ‫سلَّ َم َقال‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ ‫ع َِن النَّبِي‬
»‫طا أ َ ْو َمائ ًًِل‬
ً ‫سا ِق‬ ِ ‫أ َ َح َد‬
َ ‫ش َّق ْي ِه‬
“Dari Abu Hurairah RA Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Barangsiapa yang
mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan
datang pada Hari Kiamat dengan bahunya miring. (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi,
Nasa’idan Ibnu Hibban).8

8
CD Maktabah Syamilah

5
Begitupula dengan masalah hubungan seksual. Terkadang seorang suami lebih
bergairah untuk melakukan persetubuhan dengan salah seorang istrinya, dan merasa
kurang bergairah ketika berhubungan dengan istri yang lain. Apabila hal itu terjadi
di luar kesedaran dan kemampuan, maka ia tidak berdosa dikarenakan hal itu terjadi
di luar kemampuan. Tidak ada kaitannya dengan tuntutan agar berlaku adil dan
bertanggung jawab.9 Aisyah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW membagi
giliran untuk para istri beliau dengan adil. Beliau bersabda :
‫ ع َْن‬،َ‫سلَ َمة‬
َ ُ‫ أَ ْنبَأَنَا َح َّما ُد ْبن‬:َ‫ َح َّدثَنَا يَ ِزي ُد ْب ُن َها ُرونَ َقال‬:‫ َق َاَل‬،‫ َو ُم َح َّم ُد ْب ُن يَ ْحيَى‬،َ‫ش ْيبَة‬
َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَك ِْر ْب ُن أَبِي‬
ِ ‫سلَّ َم يَ ْق‬
‫س ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ كَانَ َر‬: ْ‫ َقالَت‬،َ‫ ع َْن عَائِشَة‬،َ‫َّللا ب ِْن يَ ِزيد‬ ِ َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫ ع َْن‬،َ‫ ع َْن أَبِي ق ًَِلبَة‬،‫وب‬ َ ُّ‫أَي‬
» ُ‫ َف ًَل تَلُ ْمنِي فِي َما ت َ ْم ِلكُ َو ََل أ َ ْم ِلك‬، ُ‫ «اللَّ ُه َّم َهذَا ِف ْعلِي فِي َما أ َ ْم ِلك‬:ُ‫ ث ُ َّم يَقُول‬،ُ‫سائِ ِه َفيَ ْع ِدل‬
َ ِ‫بَ ْينَ ن‬
“Dari Aisyah dia berkata: Bahwa Rasulullah SAW membagi giliran untuk para
istri-istri beliau, dan berlaku adil terhadap mereka. Dan rasulullah berkata: Ya
Allah ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Maka janganlah engkau mencelaku
atas apa yang engkau miliki sedangkan aku tidak memilikinya.” (Riwayat Abu
Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Hibban).10

Ada juga hadis yang melarang poligami yang ditujukan kepada ‘Ali ibn Abi
Thalib juga tidak boleh dipahami sebagai dalil larangan poligami secara mutlak.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa selain berlaku adil, syarat lain yang harus
menjadi pertimbangan sebelum melakukan poligami ialah kerelaan istri atau
walinya, sebagaimana dalam teks hadis tersebut bahwa Nabi SAW akan merasa
sakit hati jika putrinya merasakan sakit hati karena dipoligami. Berikut teks
hadisnya:
،‫ْث‬ َ ُ‫ ا ْب ُن يُون‬:َ‫ َقال‬،ٍ‫س ْعد‬
ٌ ‫ َح َّدثَنَا لَي‬،‫س‬ ِ ‫ ك ًَِلهُ َما ع َِن اللَّ ْي‬،ٍ‫سعِيد‬
َ ‫ث ْب ِن‬ َ ‫ َوقُت َ ْيبَةُ ْب ُن‬،‫س‬ َ ‫َح َّدثَنَا أ َ ْح َم ُد ْب ُن‬
َ ُ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن يُون‬
‫هللا‬
ِ ‫سو َل‬ ُ ‫ َح َّدثَهُ أَنَّهُ سَمِ َع َر‬،‫س َو َر ْبنَ َم ْخ َر َم َة‬ ُّ ‫هللا ب ِْن أ َ ِبي ُملَ ْيك ََة ا ْلقُ َرش‬
ْ ِ‫ أَنَّ ا ْلم‬،‫ِي التَّيْمِ ُّي‬ ُ ‫هللا ْب ُن‬
ِ ‫ع َب ْي ِد‬ ِ ‫ع ْب ُد‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬
َ ‫ستَأْذَنُونِي أ َ ْن يُ ْن ِك ُحوا ا ْبنَت َ ُه ْم‬
‫ع ِل َّي‬ َ ‫ إِنَّ بَنِي ِهش َِام ب ِْن ا ْل ُمغ‬:ُ‫ َوه َُو يَقُول‬،‫علَى ا ْلمِ ْنبَ ِر‬
ْ ‫ِير ِة ا‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ
‫ق ا ْبنَتِي َويَ ْن ِك َح‬ َ ُ‫ب أَ ْن ي‬
َ ‫ط ِل‬ َ ‫ب ا ْب ُن أَبِي‬
ٍ ‫طا ِل‬ َّ ِ‫ إِ ََّل أَ ْن يُح‬،‫ ث ُ َّم ََل آذَ ُن لَ ُه ْم‬،‫ ث ُ َّم ََل آذَ ُن لَ ُه ْم‬،‫ َف ًَل آذَ ُن لَ ُه ْم‬،‫ب‬
ٍ ‫طا ِل‬َ ‫ْبنَ أَبِي‬
.‫ يَ ِريبُنِي َما َرابَهَا َويُؤْ ذِينِي َما آذَا َها‬،‫ضعَةٌ مِ نِي‬
ْ َ‫ َف ِإنَّ َما ا ْبنَتِي ب‬،‫ا ْبنَت َ ُه ْم‬
“Dari miswar bin makhramah beliau pernah mendengar saat nabi berada
diatas mimbar beliau bersabda : sesungguh bani hisyam bin mughirah meminta
izin mereka untuk menikahi ali dengan putri meraka, lalu rasulullah bersabda: aku
tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali sesungguh aku lebih
mencintai ali bin abi thalib menceraikan putriku, daripada menikahi dengan putri
mereka. Karena putriku adalah darah dagingku aku senang dengan apa yang telah

9
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), Cet. ke-2, jilid 3. Hal. 351.
10
CD Maktabah Syamilah

6
darah dagingku senang dan aku merasa tersakiti dengan apa yang telah darah
dagingku merasa tersakiti dengan hal itu”.11

Dari beberapa ketentuan ini, baik yang terdapat dalam QS. An-Nisaa’ ayat 3 dan
ayat 129 maupun dalam beberapa hadits di atas, dapat diketahui bahwa Islam
membolehkan poligami karena pertimbangan kemaslahatan hidup manusia. Namun
begitu perlulah adil dalam melakukan poligami tersebut. Allah tidak menetapkan
suatu syariat bagi hamba-hambanya melainkan untuk mendatangkan kebahagiaan
di dunia dan di akhirat bagi mereka.

C. Kritik Sanad

1. Matan Hadis
Adapun sanad hadis yang diteliti dalam tulisan ini adalah hadis riwayat Muslim,
dalam Shahih Muslim, No. 2449:
،‫ْث‬ َ ُ‫ ا ْبنُ يُون‬:َ‫ َقال‬،ٍ‫س ْعد‬
ٌ ‫ َح َّدثَنَا لَي‬،‫س‬ َ ‫ َوقُت َ ْيبَةُ ْب ُن‬،‫س‬
ِ ‫ ك ًَِلهُ َما ع َِن اللَّ ْي‬،ٍ‫سعِيد‬
َ ‫ث ب ِْن‬ َ ‫َح َّدثَنَا أ َ ْح َم ُد ْب ُن‬
َ ُ‫ع ْب ِد هللاِ ب ِْن يُون‬
‫هللا‬
ِ ‫سو َل‬ ُ ‫ َح َّدثَهُ أَنَّهُ سَمِ َع َر‬،َ‫س َو َر ْبنَ َم ْخ َر َمة‬ ُّ ‫هللا ب ِْن أ َ ِبي ُملَ ْيكَةَ ا ْلقُ َرش‬
ْ ِ‫ أَنَّ ا ْلم‬،‫ِي التَّيْمِ ُّي‬ ِ ‫عبَ ْي ِد‬ُ ‫هللا ْب ُن‬
ِ ‫ع ْب ُد‬َ ‫َح َّدثَنَا‬
َ ‫ستَأْذَنُونِي أ َ ْن يُ ْن ِك ُحوا ا ْبنَت َ ُه ْم‬
‫ع ِل َّي‬ َ ‫ ِإنَّ َبنِي ِهش َِام ب ِْن ا ْل ُمغ‬:ُ‫ َوه َُو َيقُول‬،‫علَى ا ْلمِ ْن َب ِر‬
ْ ‫ِير ِة ا‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ
َ ُ‫ب أ َ ْن ي‬
‫طلِقَ ا ْبنَتِي َويَ ْن ِك َح‬ َ ‫ب ا ْب ُن أَبِي‬
ٍ ‫طا ِل‬ َّ ِ‫ إِ ََّل أَ ْن يُح‬،‫ ث ُ َّم ََل آذَ ُن لَ ُه ْم‬،‫ ث ُ َّم ََل آذَ ُن لَ ُه ْم‬،‫ َف ًَل آذَ ُن لَ ُه ْم‬،‫ب‬
ٍ ‫طا ِل‬ َ ‫ْبنَ أَبِي‬
.‫ يَ ِريبُنِي َما َرابَهَا َويُؤْ ذِينِي َما آذَا َها‬،‫ضعَةٌ مِ نِي‬ ْ َ‫ َف ِإنَّ َما ا ْبنَتِي ب‬،‫ا ْبنَت َ ُه ْم‬
“Dari miswar bin makhramah beliau pernah mendengar saat nabi berada
diatas mimbar beliau bersabda : sesungguh bani hisyam bin mughirah meminta izin
mereka untuk menikahi ali dengan putri meraka, lalu rasulullah bersabda: aku tidak
mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali sesungguh aku lebih mencintai
ali bin abi thalib menceraikan putriku, daripada menikahi dengan putri mereka.
Karena putriku adalah darah dagingku aku senang dengan apa yang telah darah
dagingku senang dan aku merasa tersakiti dengan apa yang telah darah dagingku
merasa tersakiti dengan hal itu”.

2. Takhrij Sanad
Penelitian terhadap sanad suatu hadis merupakan langkah awal untuk
mengetahui kualitas hadis, apakah hadis tersebut digolongkan kedalam hadis shahih,
hasan, atau dha’if. Masing-masing mempunyai kategori dan kriteria persyaratan
tersendiri. Untuk menjadi shahih, suatu hadis harus memenuhi beberapa syarat:12

11
CD Maktabah Syamilah
12
Ipan Suri, Manzilah Dan Walayah Ali Ibn Abi Thalib (Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis). Skripsi
UIN Sunan Kalijaga Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Yogyakarta, 1998. Hal. 38

7
1). Sanad yang bersambung. 2). Periwayat bersifat adil. 3). Periwayatan bersifat
dlabit. 4). Terhindar dari Syazd dan illat.
Keempat komponen di atas hanya dapat diketahui dengan cara mempelajari dan
meneliti sejarah dan perihidup mereka yang terlibat dalam periwayatan suatu hadis.
Setelah diketahui kepribadian masing-masing perawi hadis dalam suatu rangkaian
sanad hadis dengan ta’dil maupun jarh-nya, maka masing-masing perawi
diperbandingkan.
Berikut ini biografi dari para periwayat hadis ini:13
a. Ahmad bin Abdillah
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdillah bin Yunus bin Qais.
Sedangkan nama masyhur beliau adalah Ahmad yunus At-tamimi. Beliau dari
kalangan Tabi’ul Atba’ kalangan tua. Nama kunyah beliau Abu Abdullah. Wafat
di Kufah tahun 227 H. Adapun komentar ulama mengenai beliau yakni Abu
Nasa’I yang mengatakan tsiqah dan hafidz. Beliau meriwayatkan hadis salah
satunya dari Qutaibah bin Sa’id. Sedangkan muridnya adalah Ahmad bin
Ibrahim, Ahmad bin Abi Syu’aib.
b. Qutaibah bin Sa’id
Nama lengkap beliau Qutaibah bin Sa’id bin Jami’ bin Tharif bin
Abdullah. Beliau dari kalangan Tabi’ul Atba’. Kunyah beliau adalah Abu Raja’.
Wafat di Himsh pada tahun 240 H. diantara guru-gurunya adalah Laits bin
Sa’ad. Muruid-murid beliau Ahmad bin Ibrahim, Ahmad bin Sa’id, Ahmad bin
Abdillah. Komentar ulama yaitu Ibnu Hajar al-Atsqolani yang mengatakan
Tsiqah Tsabat.
c. Laits bin Sa’ad
Nama lengkap beliau adalah Laits bin Sa’ad bin Abdur Rahman. Beliau
dari kalangan Tabi’ut Tabi’in. nama kunyah beliau adalah Abu al-Harits. Wafat
di Manu tahun 175 H. guru-guru beliau diantaranya ibnu Yunus, dan salah satu
muridnya adalah Qutaibah bin Sa’id. Komentar Ahmad bin Hanbal tentang
beliau Tsiqah.
d. Ibnu Yunus
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus bin
Abdullah bin Qais. Beliau dari kalangan tabi’ul Atba’. Kunyah beliau Abu

13
CD Maktabah Syamilah

8
Abdullah. Wafat di Kufah pada tahun 227 H. Salah satu guru beliau adalah
Miswar bin Makhramah. Dan salah satu muridnya adalah Laits bin Sa’ad.
Komentar an-Nasa’I “Tsiqah”.
e. Al Miswar bin Makhramah
Nama lengkap beliau adalah Miswar bin Makhramah bin Naufal. Beliau
dari kalangan Sahabat. Nama kunyah beliau adalah Abu Abdur Rahman. Beliau
hidup di Madinah dan meninggal pada tahun 64 H. salah satu guru beliau adalah
Rasulullah saw. dan muridnya termasuk Ibnu Yunus. Komentar Adz-Dzahabi
adalah “Sahabat”
Dari penelitian sederhana ini, dapat dilihat bahwa perawi-perawi hadis
ini memenuhi syarat-syarat ke shahihan sanad. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa sanad hadis ini shahih.

D. Kritik Matan

Suatu hadis baru dapat dikatakan shahih jika dari segi sanad telah memenuhi
syarat seperti yang telah ditetapkan di atas, dan telah memenuhi syarat shahih dari segi
matan. Berbeda dengan penelitian sanad, yang bertujuan untuk meneliti kridibilitas dan
kualitas seorang periwayat, penelitian matan dilakukan untuk mengetahui kebenaran
informasi sebuah teks hadis.14 Mengingat sering keberadaan suatu matan hadis tidak
sejalan dengan sanad hadis. Yaitu sanad hadis berstatus shahih sedangkan matannya
dla’if. Sehingga dalam hal ini penelitiannya akan lebih fokus terhadap keontentikan
sebuah matan ditinjau dari berbagai sudut pandang, dengan asumsi bahwa matan
tersebut sabda Nabi, sahabat, tabi’in, atau bahkan perkataan orang lain yang sengaja
menyandarkan pada Nabi dengan tujuan tertentu. Langkah-langkah metodologis yang
harus dilakukan adalah:
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
2. Meneliti susunan lafadz berbagai matan yang semakna.
3. Meneliti kandungan matan.15
Ketiga metodologi yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail inilah yang akan
dipakai peneliti untuk menentukan keshahihan hadis. Dalam kenyataannya, sebuah
penelitian yang dilakukan terkadang dari kedua objek itu tidak selamanya saling

14
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hal. 125.
15
Ibid. Hal. 121

9
mendukung dalam menentukan sebuah kualitas hadis, sehingga terdapat kemungkinan:
1). Shahih sanad dan matan. 2). Shahih sanad tetapi matan tidak shahih. 3). Tidak Shahih
sanad tetapi shahih matan. 4). Terkadang ada matan yang tidak memiliki sanad.
Banyak ulama yang memberikan komentar tentang kriteria kemaqbulan suatu
matan hadis. Di antara ulama tersebut yaitu Khatib al-Baghdadi yang memberikan tolak
ukur suatu matan hadis barulah dapat diterima apabila:16 1). Tidak bertentangan dengan
akal sehat. 2). Tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang muhkam. 3). Tidak
bertentangan dengan hadis mutawatir. 4). Tidak bertentangan dengan amalan yang telah
menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf). 5). Tidak bertentangan dengan dalil
yang pasti. 6). Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas shahihnya lebih
kuat. Shalahuddin al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolak ukur penelitian
keshahihan matan ada empat, yaitu: 1). Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.
2). Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat. 3). Tidak bertentangan
dengan akal sehat. 4). Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.17
Gambaran di atas merupakan sebuah tawaran dari sebagian ulama kritikus hadis
tentang kriteria keshahihan matan dan tanda-tanda kepalsuan matan hadis. Aspek-aspek
lain yang juga perlu diperhatikan yaitu sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi
diucapkannya hadis tersebut, karena hadis Nabi ada yang bersifat umum dan ada yang
khusus. Yang dikenal dengan istilah asbabul wurud al-hadis, meskipun dalam
kenyataannya ada yang tanpa sebab. Di samping itu hadis Nabi mengandung ajaran
yang bersifat universal, temporal dan lokal.18
Dalam penelitian tentang hadis poligami ini, tolak ukur yang dipakai dalam
menganalisa keshahihan matan hadis adalah:
1. Kandungan hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Jelas hadis ini tidak bertentangan sedikitpun dengan al-Qur’an. Jika dilihat dari
penjelasan sebelumnya, hadis ini malah menjadi penguat dari penjelasan ayat al-
Qur’an.
2. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Nabi Muhammad selain sebagai seorang nabi dan rasul, beliau juga seorang
ayah. Tidak ada seorang ayah pun di dunia ini yang tidak sedih melihat anaknya

16
Ibid. Hal. 126
17
Salah al-Din al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut: Da al-Afaq al-Jadilah, 1403 H). Hal. 237.
18
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Hal.
35.

10
sedih. Terlebih lagi nabi Muhammad merupakan pribadi yang penuh dengan kasih
sayang. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Beliau juga manusia biasa yang
menginginkan kebahagian bagi putrinya.
3. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang lebih kuat.
Kembali kepada penelitian sanad hadis di atas menunjukkan status sanad shahih.
Selain itu, hadis yang dijadikan objek kajian ini cukup banyak perawi ternama yang
meriwayatkan. Miswar bin Makharamah adalah salah seorang sahabat yang
mendengar langsung dari rasul. Sehingga tidak ada hadis yg lebih kuat yang
bertentangan dengan hadis ini.
4. Susunan bahasanya tidak rancu.
Dalam hadis yang sedang diteliti jelas hadis tersebut berisi suatu periwayatan
dengan maksud dan tujuan yang jelas.
5. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan menunjukan ciri-ciri sabda Nabi.
Dalam hadis ini, nabi mengatakannya di atas mimbar. Yang mana didengar oleh
semua jama’ahnya. Sehingga menunjukkan bahwa sabda ini bukan untuk Ali
semata, akan tetapi untuk semua orang juga. Sebab beliau adalah seorang rasul yang
harus menyampaikan pesan-pesan Allah untuk manusia.

E. Pandangan Agama Terhadap Poligami

1. Sejarah Poligami
Banyak orang yang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu
baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran
tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrIm berpendapat bahwa jika bukan
karena Islam, Poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian
sungguh keliru, yang benar adalah berabad-abad sebelum Islam diwahyukan,
masyrakat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan
poligami.
Bahkan Musthafa al-Shiba’i mengatakan bahwa di kalangan masyarakat bangsa-
bangsa yang hidup di zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia,
Asyria, dan Mesir telah terjadi praktek poligami. Pada saat itu, praktek poligami
tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan orang istri dalam satu
waktu ( tanpa cerai dan tanpa faktor kematian) bagi satu laki-laki (suami). Nabi-nabi
yang namanya disebutkan dalam taurat, juga melakukan praktek poligami. Pada
bangsa Arab sendiri sebagai ruang soasial di mana Nabi Muhammad dilahirkan dan

11
kelak menjadi tempat awal Islam disebarluaskan jauh sebelum Islam
masyarakakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tidak
terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu
memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan
istri.
Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan
masayarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan
dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat
yang memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami pun
berkurang. Jadi perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi
rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat.
Dan setelah Islam datang, praktik poligami yang sudah ada sebelum Islam terus
berlanjut pada masa Islam. Para sahabat Nabi SAW banyak yang mempunyai Istri
lebih dari satu orang . Sayangnya, banyak orang yang di kemudian hari salah paham
tentang praktek poligami ini. Mereka mengira bahwa poligami merupakan praktek
yang baru dikenal setelah hadirnya Islam. Bahkan menganggap bahwa Islamlah
yang mengajarkan dan melegalisasikan praktek poligami, dengan satu dasar Nabi
Muhammad SAW menikahi banyak perempuan dalam satu waktu, dan Nabi SAW
adalah sebagai figur yang memberi teladan baik yang musti di contoh oleh semua
umat Islam. Maka demikian pendukung poligami berargumentasi, “Barang siapa
menentang poligami berarti menentang syariat Islam, dan menentang syariat Islam
berarti menentang Allah SWT”.
Menurut kami pendapat semacam ini tentu saja tidak salah akan tetapi juga tidak
sepenuhnya benar. Praktek poligami memang pernah dilakukan oleh Rasullulah
SAW dan para sahabat bahkan Salafus shaleh juga pernah melakukannya, tetapi
alasan Rasulullah berpoligami sangatlah mendasar, yang nanti akan dijelaskan
dalam praktek poligami Rasulullah SAW , sangat bebanding terbalik dengan alasan
berpoligaminya laki-laki pada masa sekarang.Sebagaimana kata Muhammad Abduh
perkembangan poligami sekarang menjadi praktek pemuasan syahwat yang tidak
terkendali, tanpa rasa keadilan dan kesamaan, sehingga tidak lagi kondusif bagi
kesejahteraan masyarakat.
2. Praktek Poligami Rasulullah
Banyak orang yang keliru memahami praktek poligami Rasulullah SAW,
termasuk kaum muslim sendiri. Ada anggapan Rasulullah SAW melakukan
12
poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, yakni
memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan hasrat seksualnya. Pada
umumya memang poligami dilakukan untuk tujuan-tujaun biologis semata.
Kekeliruan paham ini perlu diluruskan, terutama karena praktek poligami
Rasullulah Saw seringkali dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami
dalam masyarakat muslim.
Rasulullah SAW menikah pertama kali dengan Khadijah Binti Khuwailid ketika
berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah berumur 40 tahun,walaupun demikian
pernikahan Rasullulah Saw dengan khadijah sangat diliputi dengan kebahagiaan dan
ketenangan, karena Rasulullah Saw menggauli Khadijah sangat berbeda dengan
kebanyakan laki-laki dalam menggauli istrinya, Rasulullah tidak pernah
menunjukkan sikap berkuasa mutlak (otoriter) dan paling menentukan (domonan).
Rasulullah tidak memperlakukan khadijah sebagi objek atau bawahan, sebagaimana
sikap kebanyakan suami kepada istrinya, akan tetapi Rasulullah memperlakukan
Khadijah sebagi teman dialog, dan teman yang sangat dicintai sebagi tempat
mencurahkan berbagai masalah,kegalauan, dan keresah hati, terutama ketika beliau
mulai mengemban tugas sebagai Nabi dan Rasul.
Selama menikah dengan Khadijah Rasulullah SAW tidak pernah melakukan
poligami, Musdah Mulia menegaskan hendaknya umat Islam meyadari bahwa
perkawinan Rasulullah yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung
selama 28 tahun, 17 tahun dijalani pada masa sebelum kerasulan (qabla bi’tsah), dan
11 tahun sesudah itu (ba’da bi’tsah). Selama 28 tahun Rasulullah menjalani hidup
monogami, baru lah setelah dua tahun Khadijah wafat dan anak-anak beliau sudah
dewasa dan menikah, barulah Rasulullah menjalankan kehidupan poligami dengan
11 istri pada usia 54 tahun. Pada masa-masa kehidupan Rasullullah penuh dengan
perjuangan dalam rangka menancapkan fondasi masyarakat Islam di Madianah
sekaligus mengembagkan syiar Islan keseluruh Jazirah Arab.
Jika ditelusuri satu per satu motif perkawinan Nabi dengan istri-istrinya yang
berjumlah sebelas itu, yang mengemuka adalah motif dakwah atau kepentingan
penyiaran Islam.Bukan karena dorongan untuk memuaskan nafsu belaka, dari
sebelas wanita yang dinikahi Rasulullah hanya aisyah lah satu-satunya istri beliu
yang masih perawan dan berusia muda, sedangkan yang lain rata-rata telah berumur,
punya anak, dan kebanyakan janda dari para sahabat yang terbunuh dalm
peperangan membela Islam. Dan dari kesebelas istri tersebut Rasulullah tidak lagi
13
dikarunia anak. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa alasan Rasullulah berpoligami
sangat jauh dari tuntutan memenuhi kebutuhan biologis sebagai mana yag selama
ini dituduhkan banyak orang.
Dan yang sangat perlu untuk direnungkan berkaitan dengan praktek poligami
Nabi, bahwa Nabi melakukan poligami sama sekali tidak didasarkan pada
kepentingan biologis atau untuk mendapat keturunan. Lagi pula Nabi melakukan
poligami bukan dalam situasi dan kondisi kehidupan yang normal, melainkan dalam
kondisi dan suasana kehidupan yang penuh aktivitas pengabdian, perjuangan,
perang jihad demi menegakkan syiar Islam menuju terbentuknya masyarakat
Madani yang didambakan.
Dan yag lebih menarik lagi adalah meskipun Nabi melakukan poligami, tetapi
beliu tidak setuju menantunya melakukan hal yang sama. Nabi tidak mengizinkan
menantunya Ali ibn Abi Thalib untuk memadu putrinya, Fatimah az-Zahra dengan
perempuan lain sebagaimana dijelaskan oleh hadis di atas.
Hadis tersebut ditemukan dalam berbagi kitab hadis yaitu Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan timidzi, Musnad Ahmad dan Sunan Ibnu
Majah denagn redaksi yang persis sama. Dari perspektif Ilmu Hadis, itu
menunjukkan bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara lafzhi. Dalam teks terbaca
betapa Nabi Saw mengulangi sampai tiga kali pernyataan ketidak setujuannya
terhadap rencana Ali untuk berpoligami.
Kalau dipikir-pikir pernyataan Rasulullah yang tidak mengizinkan putrinya di
madu sangat logis dan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak
perempuanya di madu? Secara naluriah semua orang tua selalu berharap agar
putrinya merupakan istri satu-satunya dari suaminya, dan tentu tidak ingin ada
perempuan lain dalam kehidupan suami anaknya. Sebab hanya perkawinan
monogami yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan yang hakiki.
Mungkin juga Nabi tidak mengizinkan menantunya berpoligami karena ketika
itu anak-anaknya masih kecil, masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang
besar dari kedua orang tuanya. Poligami selalu menyebabkan perhatian seorang
ayah terhadap anak-anak nya menjadi terbelah. Setelah menikah lagi seorang suami
biasanya akan memfokuskan perhatian dan kasih sayangnya pada istri yang baru.
Dalam hal inilah biasanya laki-laki yang berpoligami terjebak dalm perilaku zalim
dan tidak adil.

14
Hadis Nabi tersebut boleh jadi merupakan refleksi betapa beratnya tanggung
jawab yang harus dipikul oleh suami yang berpoligami dan betapa sulitnya istri
menerima perlakuan poligami. Mungkin hanya seorang Nabi yang mampu
melakukan poligami dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana digariskan syariah.
3. Praktek Poligami Aktivis Muslim Indonesia
Dari beberapa praktek poligami yang dilakukaan oleh sebagian aktivis Muslim,
diantara mereka memang ada yang tampak malu-malu, tidak mau terbuka alias
sembunyi-sembunyi, dan ada pula yang secara terbuka memproklamirkannya.
Puspo Wardoyo dan Fauzan Al-Anshari misalnya, dia lebih terbuka dan bangga
ketika melakukan praktek poligami, ketimbang misalnya Aa Gym yang terkesan di
tutup-tutupi.
Oleh karena itu, bukan lagi bukan lagi dalam konteks wacana hukum (boleh atau
tidak boleh). Perihal poligami ini akan menarik didiskusikan bila dilihat dari konteks
apa latar belakang dan tujuan dipilihnya jalan poligami. Berikut kami sajikan alasan-
alasan yang digunakan oleh sebagian aktivis Islam (dari kalangan yang beragam)
dalam rangka mengabsahkan praktek poligami yang mereka lakukan.
1) Alasan agama. Mereka berpandangn bahwa Islam tidak melarang praktek
poligami. Alasan ini terkait dengan soal interpretasi terhadap teks kitab suci al-
Qur’an (Qs An-Nisa’ [4] : 3) dan sejarah Nabi Muhammad SAW yang
melakukan praktek poligami. Agama menjadi penting ditampilkan di sini karena
ia merupakan salah satu dasar yang paling kokoh dalam praktek poligami.
Alasan semacam ini dengan tegas dikemukakan oleh Fauzan Al- Ansahri.
2) Pembelajaran bagi laki-laki sebagai suami. Alasan ini mempertegas bahwa laki-
laki menempati posisi superior dalam relasi sosial dan rumah tangga, dan pada
sisi yang lain perempuan diletakkan dalam posisi subordinat. Di sini praktek
poligami dipandang sebagai arena pelatihan bagi laki-laki dalam rangka
membangun keluarga baru. Alasan yang dikemukakan oleh Fauzan Al-Anshari
ini tentu memposisikan perempuan (istri) sebagi obyek latihan bagi laki-laki
(suami) yang sebagi subyek untuk mengukur kehebatan keadilan dan
kredibilitasnya sebagai laki-laki dan kepala rumah tangga yang bukan hanya
mampu mengelola satu keluarga.
3) Jihad memperbanyak anak.
4) Alasan libido. Poligami sebagai pintu darurat yang menyelamatkan orang dari
lubang zina. Alasan ini dipakai oleh Aa Gym, KH. Noer Iskandar SQ, Fauzan
15
al-Anshari dan juga Puspo Wardoyo. Dalam konteks alasan ini terlihat bahwa
laki-laki (pelaku poligami) secara implisit mengakui bahwa dirinya tidak mampu
mengelola dan mengendalikan hasrat libidonya dengan baik. Akhirnya
perempuan sebagi pihak yang menanggung akibatnya, sebagai sarana pelepasan
hasrat libido tersebut.
5) Alasan Natural. Poligami dipandang sebagai hal natural dan genetik. Secara
kultural maupun sosial, ketidaksiapan laki-laki menjadi suami dan kesiapan
perempuan menjadi istri, menyebabkan permintaan menjadi istri jauh lebih
tinggi ketimbang penawaran laki-laki menjadi suami. Karena masalah supply
dan deman yang tidak seimbang inilah maka praktek poligami menjadi solusi.
Alasan yang dipakai ini tentu membuat ruang dibangunnya lembaga pernikahan
sebatas sebagai kepentingan alamiah, dan manusia seakan-akan tidak
mempunyai kebutuhan spritual.
Dari alasan-alasan diatas bisa kita ketahui bahwa ternyata dari seluruh alasan
yang dikemukakan selama ini, yang dominan adalah representasi “kepentingan laki-
laki”, dan tidak tampak adanya kepentingan (tepatnya kebutuhan) perempuan, karena
memang perempuan tidak membutuhkan praktek poligami. Dan alasan-alasan yang
dikemukakan oleh beberapa aktivis muslim di atas sangat nampak dengan jelas
perbedaan alasan Nabi berpoligami dengan alasan mereka, Nabi yang berpoligami
dengan “alasan” dakwah dan melindungi para janda, sedangkan mereka kebanyakan
karena alsan libido, lantas inikah yang mereka sebut dengan menghidupkan sunnah
Rasul?.19

F. Implikasi dan Aktualisasi Praktek Poligami

Menurut Musdah Mulia implikasi dan aktualisasi yang terjadi dari praktek
poligami ternyata yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Implikasi
yang menjadikan mereka menderita setidaknya dalam tiga ranah, yaitu Implikasi sosio-
psikologis, implikasi kekerasn terhadap perempuan, dan implikasi sosial terhadap
masyarakat.

19
Erwanda Safitri, Jurnal Pemahaman Hadis Tentang Poligami (Sebuah Kajian Teologis Terhadap
Hadis-hadis Sosial tentang Poligami), Vol. 17, No. 2, Juli 2016. Hal. 198-203

16
1. Implikasi Sosio-Psikologis.
Secara Psikologis semua istri akan merasa terganggu dan sakit hati melihat
suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Terlalu sulit mencari istri yang
mengikhlaskan suaminya menikah kembali dengan orang lain. Muthmainnah
Muhsin, istri pertama Aa Gym, ketika dimadu suaminya dengan jujur mengatakan,
“Reaksi saya waktu Aa mau kawin lagi sama seperti reaksi wanita pada umumnya.
Kaget, sedih. Tapi lama-kelamaan saya mengerti, Aa tidak bermaksud menyakiti
saya.
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata istri begitu mengetahui
suaminya menikah lagi, spontan dia mengalami depresi, stress berkepanjangan,
kecewa dan benci, karena merasa cinta dan kesetiaanya telah dikhianati. Mereka
bukan hanya merasa dikhianati tetapi juga merasa malu dengan saudara, tetangga,
teman dekat, teman sekerja dan bahkan juga malu kepada anak-anaknya. “Ma..,
mengapa ayah menikah lagi?” Suatu pertanyaan yang tidak mudah dijawab seorang
ibu kepada anak-anaknya.
Implikasi selanjutnya, terjadinya konflik internal keluarga, baik antara istri,
antara istri dan anak tiri, atau antara anak-anak yang berlainan ibu. Dan hubungan
antara keluarga besar dari istri yang pertama dengan keluaga besar suami akan
terganggu demikian juga sebaliknya. Ini terjadi karena hakikatnya pernikahan juga
merupakan pertemuan keluarga besar si istri dan si suami. Pada saat suami
melakukan poligami tentu keluarga si istri tidak akan menerimanya.
Perkawinan poligami juga akan berdampak buruk bagi perkembangan jiwa
anak, terutama anak perempauan. Mereka merasa malu melihat ayahnya tukang
kawin, kolektor perempuan, minder dan mengasingkan diri dari pergaulan teman-
temannya. Kondisi Psikologis ini ditambah kurangnya waktu untuk bertemu,
berkumpul dan mendidik bagi seorang ayah kepada anak-anaknya. Karena waktu
telah tersita dengan keluarga baru dan istri barunya. Akibatnya, kemudian, anak-
anak itu mencari pelarian seperti narkoba dan pergaulan bebas.
2. Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan.
Poligami juga berimplikasi pada maraknya kekerasan pada perempuan, dan itu
terjadi di dalam rumah tangga. Kekerasan yang dialami perempuan meliputi
kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikis.
Kekerasan secara psikis sudah disinggung dalam penjelasan sebelumnya,
Sedangkan kekerasan dalam ranah ekonomi biasanya dialami perempuan dalam
17
bentuk berkurangnya nafkah yang diberikan atau bahkan pengabaian kewajiban
suami menafkahi istri dan anak-anaknya, karena suami sibuk dengan istri mudanya,
seringkali mudah mengabaikan kondisi perekonomian kelurga lamanya. Akibatnya,
si istri tua menderita dan tertimpa tanggung jawab suaminya untuk menegakkan
ekonomi keluarga.
3. Implikasi Sosial Terhadap Masyarakat.
Problem sosial yang muncul dari praktek poligami yang sering terjadi adalah
terjadinya nikah di bawah tangan, yaitu pernikahan yang tidak dicatatkan, baik di
kantor pencatat nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat Islam dan
Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang bukan Muslim. Biasanya, laki-laki yang
berpoligami tidak mencatatkan perkawianan kedua, ketiga dan seterusnya, karena
dia malu dan segan berurusan dengan aparat pemerintah.
Dan memang kebanyakan perkawinan poligami dilakukan dengan tertutup,
sembunyi-sembnuyi, bahkan dari istri tuanya sekalipun. Kenyataannya, banyak
peristiwa poligami yang diketahui setelah beberapa bulan akad pernikahan terjadi.
Problemnya kemudian, para istri yang dinikahi tanpa pencatatan pada institusi
Negara (KUA atau KCS) tidak mempunyai akta nikah, maka pernikahannya tidak
sah secara hukum, dan dengan sendirinya dia dan anak-anaknya tidak bisa menuntut
haknya, seperti hak atas nafkah, warisan dan hak perwalian. Kenyaatan inilah yang
kemudian menjadikan perempaun dan anak-anaknya terlantar setelah diceraikan
atau ditinggal wafat oleh suaminya.20

20
Erwanda Safitri, Jurnal Pemahaman Hadis Tentang Poligami.... Hal. 204-205

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poligami pada dasarnya memang ada teks agama yang menyatakannya, tetapi bukan
berati teks itu memerintahkannya dan juga tidak melarang. Poligami memang pernah di
lakukan oleh Rasulullah SAW tapi dengan tujuan syiar Islam bukan karena hasrat seksual,
ataupun menunjukkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Akan tetapi perkembangan
pada masa-masa berikutnya malah menjadi sebaliknya.
Poligami dalam berbagai kasus secara umum melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan
ketidak adilan terhadap perempuan. Bila kenyataannya terjadi sebagaimana diuraikan di
atas, maka kesuksesaan praktek poligami bukan bergantung pada keadilan laki-laki, tetapi
lebih kepada kemampuan laki-laki (suami) untuk menjadikan perempuan (istri) tunduk dan
pasrah atas nama otoritasnya sebagai suami dan kepala rumah tangga. Hal ini sangatlah
berbeda dengan paraktek poligami yang dilakukan Nabi dengan motif dakwah dan
melindungi serta memulikan wanita.

B. Saran

Dalam rangka menyempurnakan makalah ini, penulis ingin memberi saran kepada
peneliti selanjutnya dengan tema serupa, bahwa pembahasan tentang hadis poligami ini
sangatlah luas, sehingga peluang untuk melanjutkan penelitian ini sangatlah besar,
termasuk jika ingin mengkritisi makalah ini.
Sebagai penutup makalah ini, penulis panjatkan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, pertolongan, pemahaman, pengetahuan dan hidayahnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis belum sanggup untuk menutupi
kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, dalam penggunaan dan pemilihan
bahasa yang kurang tepat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Adlabi, Salah al-Din. 1403 Manhaj Naqd al-Matan, Beirut: Da al-Afaq al-Jadilah.

Anonim. 2003. Islam dan Wanita dari Rok Mini Hingga Isu Poligami, Bogor: Pustaka Tharikul
Izzah, Cet. Pertama.

Arnita. 2005. Hadis Riwayat Ibn Abbas tentang Poligami, Studi Sanad Dan Matan Hadis,
Skripsi Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

CD Maktabah Syamilah

Haikal, Abduttawab. 1993. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam VS
Poligami Monogami Barat. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang.

Ismail, M. Syuhudi. 1994. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang.

Maknum, A.Rodli. 2009. Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Ponogoro: STAIN
Ponogoro Press, Cet. Pertama.

Napel, Henten. 1996. Kamus Teologi Inggris Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. ke-
2.

Nawawi, Rifat Syauqi. 1999. Sikap Islam tentang Poligami, Jakarta: Pustaka Firdaus
bekerjasama dengan LSIK, JILID II.

Sabiq, Sayyid. 2011. Fiqhus Sunah, Jakarta: Cakrawala Publishing, Cet. ke-2, jilid 3.

Safitri, Erwanda. 2016. Jurnal Pemahaman Hadis Tentang Poligami, Sebuah Kajian Teologis
Terhadap Hadis-hadis Sosial tentang Poligami, Vol. 17, No. 2, Juli.

Suri, Ipan. 1998. Manzilah Dan Walayah Ali Ibn Abi Thalib, Studi Kritik Sanad dan Matan
Hadis. Skripsi UIN Sunan Kalijaga Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis,
Yogyakarta.

Tatapangarsa, Humaidi. Hakekat Poligami Dalam Islam, Surabaya : Usaha Nasional, tth.

20

Anda mungkin juga menyukai