Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“Perkawinan Antara Umat Islam Dengan Non Muslim Menurut Fikih Klasik Dan
Perundang-Undagan”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah Fikih


Kontemporer

Dosen Pengampu:
Zulkifli, S.AG, MHI

Disusun Oleh :
Suci Futri Nabilla 2130403105

PROGRAM STUDI AKUNTASI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS
BATUSANGKAR
2024 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT.
Karena rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penyusun telah dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Kontemporer dengan judul
“Perkawinan Antara Umat Islam Dengan Non Muslim Menurut Fikih Klasik Dan
Perundang-Undagan”
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, dan seluruh orang yang senantiasa mengikuti sunnah beliau.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Zulkifli, S.AG, MHI selaku
dosen pengampu mata kuliah Fikih Kontemporer. Juga kami sampaikan kepada pihak-
pihak yang telah banyak membantu di dalam penyusunan materi kuliah ini kami
ucapkan terimakasih.
Akhir kata, sebagai makalah Kewirausahaan yang baik tentunya memerlukan
sebuah celah untuk menyempurnakan materi kedepannya, untuk itu kami dengan segala
kerendahan hati menerima masukan kritikan dan saran demi peningkatan dan
penyempurnaan dalam makalah dan pembelajaran ini.
Batusangkar, 10 Maret
2024

Suci Futri Nabilla

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama...............................................................................3
B. Pandangan Pemikiran Mazhab Tentang Nikah Beda Agama.........................5
C. Hukum Kawin Lintas Agama Dalam Fiqh.....................................................8
D. Perkawinan Beda Agama Di Mata Hukum RI...............................................11
E. Menilai Pandangan/Tinjauan Fiqih Klasik.....................................................17
F. Analisis Fiqh Kontemporer Dan Tatanan Hukum Nasional Terhadap Nikah Beda
Agama............................................................................................................18

BAB III PENUTUPAN


A. Kesimpulan....................................................................................................20
B. Saran...............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan antara umat Islam dengan non-Muslim menggunakan fikih
klasik dan perundang-undangan sebagai dasar analisis. Perkawinan adalah satu dari
berbagai aspek kehidupan yang mempengaruhi hubungan antara individu dan
masyarakat. Perkawinan antara umat Islam dengan non-Muslim adalah suatu topik
yang sering dihadapi, terutama dalam negara-negara dengan populasi yang beragam.

Fikih klasik adalah sumber pendidikan dan pengamatan yang telah


diterbitkan oleh ulama-ulama Islam selama berabad-abad. Fikih klasik membantu
menciptakan dasar-dasar keagamaan, keadilan, dan keadilan yang dapat digunakan
dalam pengambilan keputusan hukum dan kehidupan. Sekarang, fikih klasik masih
digunakan sebagai referensi dalam pengembangan perundang-undangan dan
pengambilan keputusan hukum.Perundang-undangan adalah satu dari berbagai alat
yang digunakan untuk membantu mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat.

Perundang-undangan membantu menjamin hak-hak individu dan


masyarakat, mengatur hubungan antara individu dan masyarakat, dan mengatur
sistem hukum. Perundang-undangan juga membantu mengatur hubungan antara
umat Islam dan umat non-Muslim.

Perkawinan antara umat Islam dengan non-Muslim menjadi salah satu isu
yang menarik untuk diteliti karena memiliki implikasi yang kompleks, terutama
dalam konteks hukum Islam klasik dan perundang-undangan modern. Dalam
masyarakat yang semakin multikultural dan global seperti saat ini, pertemuan
berbagai agama dan budaya seringkali menghasilkan situasi di mana individu dari
berbagai latar belakang agama ingin menjalin hubungan perkawinan.

Islam, sebagai agama yang memiliki landasan hukum yang kuat,


memberikan pedoman tentang perkawinan antara umat Muslim dengan non-Muslim.

1
Hukum-hukum ini, yang terkadang berasal dari sumber-sumber klasik seperti Al-
Quran dan Hadis, menjadi landasan bagi pemahaman dan praktik umat Islam dalam
menghadapi situasi semacam ini.

Namun, dengan berkembangnya masyarakat modern dan sistem hukum yang


kompleks, pertanyaan tentang bagaimana hukum Islam klasik tersebut berinteraksi
dengan perundang-undangan modern muncul sebagai tantangan yang menarik. Di
banyak negara dengan populasi beragam, termasuk Indonesia, India, dan negara-
negara Barat, aturan hukum perkawinan antara umat Islam dengan non-Muslim
menjadi titik fokus debat dan perdebatan yang serius.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian Perkawinan Beda Agama ?
2. Bagaimana Pandangan Pemikiran Mazhab Tentang Nikah Beda Agama?
3. Bagaimana Hukum Kawin Lintas Agama Dalam Fiqh?
4. Bagaimana Perkawinan Beda Agama Di Mata Hukum Ri?
5. Bagaimana Menilai Pandangan/Tinjauan Fiqih Klasik?
6. Bagaimana Analisis Fiqh Kontemporer Dan Tatanan Hukum Nasional Terhadap
Nikah Beda Agama?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah makalah di atas, maka dapat diperoleh tujuan
pembahasan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Perkawinan Beda Agama
2. Untuk Mengetahui Pandangan Pemikiran Mazhab Tentang Nikah Beda
Agama
3. Untuk Mengetahui Hukum Kawin Lintas Agama Dalam Fiqh
4. Untuk Mengetahui Perkawinan Beda Agama Di Mata Hukum Ri
5. Untuk Mengetahui Menilai Pandangan/Tinjauan Fiqih Klasik
6. Untuk Mengetahui Analisis Fiqh Kontemporer Dan Tatanan Hukum
Nasional Terhadap Nikah Beda Agama

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkawinan Beda Agama.


Perkawinan beda Agama adalah pernikahan antar pemeluk agama yang
berbeda. Namun mereka tetap memeluk agama masing-masing5 Karena di
Indonesia adalah masyarakat yang pluralistic dalam beragama. Yang terdiri dari
agama Samawi maupun agama ardhi. Dengan kondisi seperti ini bisa terjadi
pernikahan antara Islam dengan Katolik, Islam dengan Hindu, Katolik dengan
Protestan, Hindu dengan Budha dan sebagainya.Namun yang akan menjadi topik
utama dalam pembahasan kita adalah pernikahan beda agama yang dilakukan oleh
pria atau wanita muslim dengan pria atau wanita non muslim.
Tentang hukum pernikahan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, ulama
Islam di Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Ulama Indonesia mengikuti
faham Syafi’i dan Syi’ah Imamiyah. Hasan Basri Mantan Ketua MUI Pusat
mengatakan bahwa Islam melarang perkawinan antar agama.
Senada dengan pendapat tersebut adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Melalui fatwanya, MUI melarang perkawinan antara orang muslim dan non
muslim (baik ahl al-kitab maupun bukan ahl al-kitab), baik laki-lakinya yang
muslim maupun perempuannya yang muslimah. Pertimbangan atau alasan
dikeluarkannya fatwa MUI tersebut adalah untuk menghindari timbulnya
keburukan/kerugian (mafsadat) yang lebih besar disamping kebaikan/keuntungan
(maslahat) yang ditimbulkan. Pertimbangan seperti ini dikenal dalam teori hukum
Islam dengan kaidah: ِ

َ‫مَ صِالحْ ِ ب الْ َ ىَ جل َلمفاِ سْد مقدمَ علْ دْ رُ ء ا‬


“Menolak/menghindari kerugian/kerusakan (mafsadat) lebih utama daripada
mengambil kebaikan (maslahat).”
Adapun jika calon isteri itu wanita ahl al-Kitab yang tergolong kelompok ahl
al-kitab yang memerangi pemerintahan Islam (harbiyah), maka menurut ulama
mazhab Hanafi makruh tahrim (haram) bagi laki-laki muslim untuk menikahinya

3
Karena dapat membawa kepada mafsadat dan menimbulkan fitnah. Sedangkan
menikahi wanita ahl al-kitab yang tunduk dengan undang-undang Islam
(dzimmiyah) hukumnya makruh tanzih.
Di kalangan Ulama Malikiyah ada dua pendapat; pertama, nikah dengan
wanita kitabiyah bagi pria muslim adalah makruh mutlak, baik dzimmiyah maupun
harbiyah. Demikian pula menurut Imam ‘Atha’ bahwa perkawinan tersebut
hukumnya makruh. Khusus dengan harbiyah kadar makruhnya lebih besar; kedua,
tidak makruh secara mutlak, karena ada ayat yang membolehkan secara mutlak.
Karena mazhab Maliki dibina atas dasar sad al-zari`ah (menutup jalan
kemafsadatan), maka jika nikah dengan wanita ahl al-kitab khawatir memunculkan
mafsadat, haram hukumnya nikah dengan kitabiyah.
Menurut Ulama mazhab Syafi`i, makruh hukumnya menikah dengan wanita
Ahl al-Kitab yang dzimmi (tunduk pada aturan pemerintahan Islam). Sedangkan Ahl
al-Kitab yang harbiyah (memusuhi Islam) maka kadar makruhnya lebih besar
( ‫ (الكراهة تشتد‬.
Kemudian mereka juga mengemukakan bahwa hukum makruh tersebut
memiliki syarat-syarat: pertama, tidak mengharapkan wanita Ahl al-Kitab untuk
memeluk Islam; kedua, masih ada wanita muslimah yang dapat mendatangkan
kebaikan baginya; ketiga, jika tidak menikah dengan wanita Ahl alKitab
dikhawatirkan akan melakukan zina. Tetapi jika pria muslim mengharapkan agar
wanita Ahl al-Kitab tersebut mau memeluk Islam, tidak ada wanita muslimah yang
dapat mendatangkan kebaikannya, dan jika tidak menikahi wanita Ahl alKitab
terjerumus kepada perbuatan zina, maka hukum menikahi wanita tersebut adalah
sunnah, karena menghindari perbuatan keji tersebut. (Nurcahaya, 2018)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena
berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang mengenai syarat-
syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Amri, 2020)

4
B. Pandangan Pemikiran Mazhab Tentang Nikah Beda Agama
Dalam beberapa pendapat mazhab maka perlu menjadi pandangan bagi kita
untuk membahas tentang makalah perkawinan beda agama terutama melakukan
pernikahan dengan perempuan yang dari kalangan lain (ahlul kitab), sebagai berikut:
1. Menurut Pendangan Mazhab Hanafi

Dalam mazhab ini dikemukakan bahwa seorang laki-laki yang menikah


dengan perempuan Ahli kitab yang disedang berperang melawan kaum muslimin
(Dar al-Harb) perbuatan tersebut terlarang. Selain dari kerugian dan bahaya
tentunya anak dari hasil perkawinan tersebut cenderung ikut ke agaama ibu .

2. Menurut Pandangan Mazhab Maliki Mazhab


Maliki mengajukan 2 pandangan, pertama perbuatan tersebut
mengandung sifat makruh, baik wanita tersebut dari kafir zimmi maupun
penduduk dar al harb. Kedua, pernyataan dari Al-quran lebih kearah
mendiamkan terhadap masalah ahli kitab ini. Disini dapat disimpulkan bahwa
sifat mendiamkan tersebut dianggappersetujuan, sehingga status perkawinan
dengan ahli kitab boleh-boleh saja tanpa mempertimbangkan dari orang tua juga
ahli kitab.
3. Menurut Pandangan Mazhab Syafi’i dan Hambali
Sebagaimana dari Firman Allah surat al-Maidah ayat 5 : Pada hari ini
dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu
halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu
menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara
perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila
kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir
setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk
orang-orang yang rugi.
Menurut mazhab syafi’i sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Ahli
kitab terdiri dari :

5
a. Makna Ahlul kitab adalah merekan yang masuk golongan keyakinan Yahudi
dan keyakinan Nasrani,
b. Orang majusi tidak dimasukkan ke kategori ahli ktab.
c. orang arab yang masuk kedalam Yahudi dan Nasrani tidak dikategorikan
dengan ahli kita dikarenakan asal kepercayaan mereka menyembah berhala
dan kepindahannya bukan karena beriman pada taurat dan injil.
Pendapat berikutnya yang dikemukakan oleh Ibn Hazm dalam alMahalla
memposisikan ahli kitab dikategorikan dengan golongan Yahudi, nasrani dan
Majuzi. Demikian pula dikemukakan dalam Tafsir al-Quran ‘Azim dalam kitab
tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Abu Sur Ibrahim dan Ibn Khalid al-Kalbi (W.
860 ) merupakan pengikut Imam Syafi’i dan demikian pulan Ahmad bin Hanbal
mengatakan bahwa menikmati sembelihan orang majusi dan mengawini wanita
mereka diperbolehkan.
Berbeda dalam kelompok yang mengharamkan tentang nikah dengan
wanita Ahlul kitab bahwa hal tersebut terdapat dalam Firman Allah SWT surat
Al-Baqarah ayat 105, Allah menyatakan

‫َم ا َيَو ُّد اَّلِذ ْيَن َك َفُرْو ا ِم ْن َاْه ِل اْلِكٰت ِب َو اَل اْلُم ْش ِر ِكْيَن َاْن ُّيَنَّز َل َع َلْيُك ْم ِّم ْن َخ ْيٍر ِّم ْن َّرِّبُك ْۗم‬

‫َوُهّٰللا َيْخ َتُّص ِبَر ْح َم ِتٖه َم ْن َّيَش ۤا ُۗء َو ُهّٰللا ُذ و اْلَفْض ِل اْلَعِظ ْيِم‬
Artinya: Orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik
tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu.
Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia
kehendaki. Dan Allah pemilik karunia yang besar.
Pemaknaan pada ayat diatas lebih menekahnkan pada wajah dilalah nya
yang Allah memberikan isyarat bahwa keduanya (ahli kitab dan musyrik)
termasuk sama. Artinya sama-sama tidak menyukai Al-Quran diturunkan kepada
umat islam. Oleh karena hal tersebut, maka status hukumnya adalah haram
sebagaimana yang dijelaskan pada surat al-Baqarah ayat 221. Dalam ayat lain
Allah berfirman dalam Surat Al-Bayyinah ayat 1: ُ
‫ُۙة‬
)١( ‫َلْم َيُك ِن اَّلِذ ْيَن َك َفُرْو ا ِم ْن َاْه ِل اْلِكٰت ِب َو اْلُم ْش ِر ِكْيَن ُم ْنَفِّك ْيَن َح ّٰت ى َتْأِتَيُهُم اْلَبِّيَن‬

6
Artinya: “Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada
mereka bukti yang nyata,”
Pada penjelasan ayat diatas menerangkan bahwa tidak adanya perbedaan
antara golongan kafir dari mereka yang ahlul kitab dan golongan yang musyrik.
Kedua kelompok ini tidak akan menjauhkan kelompok mereka jika mereka
mendapatkan kebenaran lain yang lebih nyata. (Ilham, 2020)
4. fatwa dalam hukum Islam mengenai perkawinan beda agama
Di indonesia terdapat beberapa fatwa dalam hukum Islam mengenai perkawinan
beda agama yang dapat dijadikan acuan, yaitu:
a. Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mengeluarkan fatwa tentang
perkawinan beda agama, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1980 yang kemudian
sebagai penguat dai fatwa tersebut pada tanggal 28 juli 2005 fatwa tersebut
oleh MUI dikeluarkan kembali dengan kata lain MUI telah mengeluarkan
dua fatwa dalam satu permasalahan yang sama yang isinya adalah sama.
Adapun isi dari fatwa MUI tersebut berisi:
1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2) Perkawinan laki-laki muslim dengan waita ahlul kitab, menurut qoul
mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
b. Nahdatul Ulama (NU). Nahdatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa
yang terkait dengan nikah beda agama. Fatwa tersebut ditetapkan dalam
Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dan
fatwanya menegaskan bahwa pernikahan antara dua orang yang berbeda
agama di indonesia hukumnya adalah tidak sah.
c. Ulama Muhammadiyah. Muhammadiyah telah menerangkan tentang hukum
nikah beda agama dan menjadi keputusan muktamar tarjih ke-22 tahun 1989
di Malang Jawa Timur. Para Ulama Muhammadiyah sepakat bahwa seorang
wanita muslimah haram menikah dengan selainlaki-laki muslim. Ulama
Muhammadiyah juga sepakat bahwa lakilaki muslim haram menikah dengan
wanita musyrikah. Ulama muhammadiyah juga berlandaskan pada QS. Al-
Baqarah/2:221 yang Artinya: Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik

7
hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman
lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu.
Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang
beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang
beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia agar mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah ayat : 221)
Ulama Muhammadiyah mentarjijkan pendapat yang mengatakan tidak
boleh dengan alasan bahwa ahlu kitab yang ada sekarang tidak sama dengan
ahlu kitab yang ada pada zaman nabi muhammad SAW. Semua ahlu kitab zaman
sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan allah dengan mengatakan
bahwa uzair itu anak allah (menurut yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut
Nasrani). (Indra Utama Tanjung, 2022)

C. Hukum Kawin Lintas Agama dalam Fiqh

Bagi para ahli hukum Islam (fuqaha), QS. al-Baqarah [2]: 221 dipandang
memberikan sebuah muatan hukum tersendiri dalam bidang perkawinan. Ayat-ayat
hukum (âyât al-ahkâm) Al-Qur'an biasanya diderivasikan secara rinci-aplikatif
menjadi bentuk- bentuk ketetapan fiqh. Pada kasus ini, QS. al-Baqarah [2]: 221
dijadikan dasar utama dalam mengkonstruksiketentuan larangan kawil lintas agama.
Di bawah ini akan dikaji fenomena kawin lintas agama dalam per- spektif fiqh.
Kajian ini membatasi pada tiga kitab fiqh. Kitâb Al-Fiqh 'alâ al-Madzâhib al-
Arba'ah karya Abdurrahman al-Jazîrî untuk melihat pendapat para fuqaha' (Islamic
Jurists yang berafiliasi kepada empat madzhab besar Sunni; kitab Bidayah al-
Mujtahîd karya Ibnu Rusyd (w. 595 H.), seorang ilmuan yang dalam beberapa hal
dianggap rasional; dan kitab Fiqh asSunnah karya as-Sayyid Sabiq 26 untuk melihat
pen- dapat seorang ulama modern.Secara umum, pada dasarnya ketiga kitab fiqh
tersebut mengharamkan perkawinan muslim dengan nonmuslim. Hanya ada
beberapa pengecualiaan, ter- utama akibat ketentuan khusus dari QS. al-Maidah ayat
5, menjadikan pergeseran dari tingkat hukum haram menjadi makrûh, mubah, atau

8
lainnya pada kasus laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab. Berikut ini
penjelasan yang lebih rinci.

1. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Nonmuslim

Semua ulama sepakat bahwa perempuan mus- limah tidak diperbolehkan


(haram) kawin dengan laki- laki nonmuslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik.
Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. al- Baqarah ayat 221 juga
didasarkan pada Q.S. al-Mum- tahanah ayat 10.

Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan


mukmin datang berhijrah kepada kalian, maka hendaknya kamu uji (keiman- an)
mereka. Allah sungguh mengetahui keimanan mereka; jika kamu mengetahui
bahwa mereka (benar- benar) beriman maka janganlah kalian mengembali- kan
mereka kepada orang-orang kafir. Mereka (pe- rempuan mukmin) tidaklah halal
bagi mereka (laki- laki kafir), dan mereka (laki-laki kafir) juga tidak halal bagi
mereka (perempuan mukmin) ...
As-Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen tentang sebab
diharamkannya perempuan muslim kawin dengan laki-laki nonmuslim sebagai
berikut:
a. Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. an-Nisa [4]:
141: dan Allah takkan memberi jalan orangkafir itu mengalahkan orang
mukmin.
b. Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau me- ngerti agama istrinya
yang muslimah, malah se- baliknya mendustakan kitab dan mengingkari
ajaran nabinya. Sedangkan apabila laki-laki muslim kawin dengan
perempuan Ahli Kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani
kitab, dan nabi dari istrinya sebagai bagian dari keimanannya karena tidak
akan sempurna keimanan seseorang tanpa mengimani kiatb dan nabi-nabi
terdahulu.
c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami- istri tidak mungkin tinggal
dan hidup [bersama] karena perbedaan yang jauh.
2. Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

9
Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan
perempuan penyembah ber- hala (musyrik). Perempuan musyrik di sini men-
cakup perempuan penyembah berhala (al-watsa- niyyah), zindiqiyyah (ateis),
perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-
ibâhah), seperti paham wujudiyyah. Satu hal yang membedakan antara
perempuan musyrik dengan perempuan Ahli Kitab, menurut As- Sayyid Sâbiq
adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang melarang
berkhianat, mewajib- kan berbuat amânah, memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan per- gaulannya dipengaruhi
ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan
dan bayangan yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia
mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.
Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki- laki mukmin tidak
terdapat distansi yang jauh. Perem- puan Ahli Kitab mengimani Allah dan
menyembah- Nya, beriman kepada para nabi, hari akhirat (eskato- logis) beserta
pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan
mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial hanyalah me- ngenai
keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman kepada
kenabian univer- sal tidak akan mempunyai halangan mengimani nabi penutup
(khâtam al-anbiya), yakni Muhammad, ke- cuali karena kebodohannya.
Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan suami yang meng- anut
agama dan syari'at yang baik maka sangat terbuka peluang baginya untuk
mengikuti agama suaminya. Dan, apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-
ayat. Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab.
Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini
perempuan Ahli Kitab berdasar pengkhususan QS. al-Maidah ayat 5. Pengertian
Ahli Kitab di sini mengacu pada dua agama besar rumpun semitik sebelum
Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat
akan kehalalan mengawini perempuan Ahli Kitab dengan syarat ia merdeka
(bukan budak), sedangkan menge- nai perempuan Ahli Kitab budak dan

10
perempuan Ahli Kitab yang dalam status tawanan (bi al-milk) para ulama
berbeda pendapat.
Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-
laki musim mengawini perempuan Ahli Kitab). Qurthubî dan Nu`âs mengata-
kan: Di antara sahabat yangmenghalalkan antara lain: Utsman, Talhah, Ibnu
Abbas Jabîr, dan Hudzaifah. Selangkan dari glongin tabi'în yangmenghalalkan:
Sa'îd bin Mutsayyab, Sa`îd bin Jabîr, al-Hasan, Mujahid, Thâwûş Ikrimah,
Sya'bí, Zhahâk, dan lain- lain. As-Sayyid Sabiq mencatat hanya ada satu sahabat
yang mengharamkan, yakni Ibnu Umar. Di antara sahabat ada yang mempunyai
pengalaman mengawiniperempuan Ahli Kitab. Utsman r.a. kawin dengan Nailah
binti Qarâqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun kemudian masuk
Islam, Hudzaifah mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir
dan Sa'ad bin Abû Waqâs pernah kawin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani
pada masa Penakluk- an kota Makah (Fathul Makah). (Suhali, 2006)

D. Perkawinan Beda Agama Di Mata Hukum RI


Perkawinan di negara ini dpat ditemui di Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. berisikan 14 bab dan 67 pasal, disertai implementasinya yaitu Permen Nomor
9 Tahun 1975 mengenai aturan perwujudan yang telah dilaksanakan dengan ampuh
mulai tanggal 1 Oktober tahun 1975. Beberapa pasal dalam UUP juga menjadi
rujukan soal pernikahan beda keyakinan. Pasal 1 Undnag-undang Nomor 1 Tahun
1974, yaitu:
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Ikatan lahir bermakna bahwa
perkawinan adalah ikatan yang dapat dilihat. Sedangkan ikatan batin dapat dimaknai
suatu ikatan yang tidak dapat dilihat namun harus ada karena tanpa adanya ikatan
batin dalam perkawinan maka ikatan lahir akan rapuh.
Di dalam Pasal ini telah di tegaskan mengenai perkawinan, ditulis di
dalamnya bahwa sebuah perkawinan hanya bisa digolongkan menjadi sebuah
perbuatan hukum yang diakui jika dikerjakan sesuai dengan ketentuan dan

11
kepercayaan agama setiap individu yang akan melakukan perkawinan, hal ini sesuai
dengan Undang-undang Perkawinan yaitu pada Pasal 2 yang mana tidak boleh ada
perkawinan di luar ketentuan tersebut. Seluruhnya serasi dengan Undang-undang
Dasar tahun 1945 tepatnya Pasal 29: Pertama, membicarakan bahwa Negara ini
berdasarkan Ketuhanan YME. Kedua, Negara juga menjamin kebebasan dalam
beragama.
1. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Dimulai sejak 1974, masyarakat Indonesia telah memiliki aturan soal
perkawinan dan peraturan itu berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Peraturan itu tidak lain adalah UU No. 1 Tahun 1997, yang kemudian peraturan
itu diumumkan tepat saat tahun 1974 tanggal 2bulan Januari dan mulai
diberlakukan secara bersama-sama bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP yang berhasil
berjalan tepat pada tahun 1975 tanggal 1 bulan Oktober. Yang mana di dalamnya
diatur juga soal perkawinan berbeda agama. Adapun makna perkawinan dalam
UU ini ialah;
"ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. "
Sedangkan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2,
dituliskan sebagai berikut;
"perkawinan sah jika dilaksanakan sesuai dengan aturan setiap agama
dan keyakinan."
Hal ini dijelaskan juga pada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, pasal
8 huruf (f).
Berdasarkan aturan itu setiap orang yang akan menikah wajib memegang
teguh agama yang serupa, tapi apabila ternyata berbeda perwinan tidak dapat
dilakukan, kecuali apabila salah satunya mengikuti agama pihak lainnya itu.
Perlu diingat bahwa dalam setiap undang-undang pasti mempunyai
prinsip atau asas yang tercantum di dalamnya yang digunakan sebagai pedoman

12
pembentukan perturan dalam undangundang tersebut. Di dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat beberapa asas yaitu:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
b. Dalam undang-undang perkawinan dinyatakan, bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiaptiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturanperundangundangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan
tersebut sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut asas
monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
mengizinkannya, seoranng suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri
meskipun hal tersebut dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan,
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip, bahwa calon suami istri
harus telah masak jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan agar
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhirn pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena, di
dalam undang-undang perkawinan ditentukan batasan umur bagi kedua calon
mempelai, yaitu 19 (sembilan belas tahun) bagi mempelai laki-laki dan 16
(enam belas tahun) bagi mempelai perempuan.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera, maka undang-undang perkawinan menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian

13
harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang
pengadilan.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Butir b dituliskan dikatakan sahnya perkawinan jika dilakukan sesuai
agama mereka masing-masing, ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Mr.
Hazairin yaitu mengenai sah atau tidaknya sebuah perkawinan dikembalikan ke
hukum tiap-tiap agama.
Tidak diaturnya perkawinan beda agama secara eksplisit dalam UU No. 1
Tahun 1974 menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi
pasangan yang melakukan perkawinan beda agama sedangkan perkawinan beda
agama di Indonesia tidak dapat dihindarkan sebagai akibat keadaan masyarakat
yang heterogen. Dalam hal ini Penulis berpendapat dengan adanya Pasal 2 ayat
(1) jo. Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya tidak menghendaki
terjadinya perkawinan beda agama, karena di dalam Pasal 8 huruf (f) disebutkan
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Di sana
dengan jelas disebutkan "dilarang antara dua orang yang dilarang oleh
agamanya", maka dengan jelas perkawinan antara orang yang beragama Islam
dengan seorang musyrik tidak diperbolehkan baik menurut hukum agama Islam
maupun Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,
Namun, berbeda dengan hal tersebut jika dibandingkan dengan pendapat
dari Prof. Wahyono Darmabrata perkawinan yaitu perkawinan semacam itu titap
bisa dilakukan dan dicatatkan. Ada 4 cara yang dapat dipilih oleh parapihak
yang mau kawin namun memiliki agama yang berbeda, yaitu;
a. Mengajukan ketetapan pengadilan. Undang-undang Perkawinan nomor 1
tahun 1974, Pasal 21 ayat 1-4 menerangkan bahwa apabila pegawai pencatat

14
nikah melakukan perkawinan, kemudian setiap pihak yang perkawinannya
tidak diterima bisa membuat pengajuan permohonan di pengadilan dengan
membawa surat beserta alasan penolakan sebelumnya, selanjutnya hakimlah
yang akan memutuskan perkawinan jadi atau tidaknya sesuai dengan alasan
penolakannya.
b. Sebuah perkawinan dilakukan sebanyak dua kali sesuai setiap agamanya.
Hal ini dilakukan supaya pencatat perkawinan berpendapt aturan dalam pasal
2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan bisa dipenuhi Prof. Wahyono berkata
perkawinan yang mana berlaku untuk mereka, perkawinan yang baru
membatalkan perkawinan sebelumnya
c. Memeluk suatu agama sementara, adalah sebuah penyelundupan hukum.
Contoh seorang menganti agamanya di KTP untuk menikah kemudian usia
menikah ia kembali lagi pada agamanya semula.
d. Jika dilakukan di luar negeri. Sejatinya perkawinan itu dilakukan juga
menurut aturan dari Negara yang di diaminya dan jika mereka kembali ke
Indonesia mereka harus tetap melaporkan perkawinan mereka. Hal ini bisa
saja dilakukan tapi lebih baik unutk dilakukan.
Dengan begitu UUP tidak mengatur ataupun menjelaskan dengan jelas
aturan tentang perkawinan beda agama. Jika melihat setiap aturan yang ada pada
pasal 1 UUP perkawinan bisa dilakukan jika kedua calon memeluk agama yang
sama. Pada rumusan dalam pasal 2 juga dijelaskan tidak terdapat perkawinan
dengan aturan selain hukum agama tiap-tiap calon. Apabila tetap ingin menikah
maka salah satu pihak harus masuk ke agama salah satu pihak lainnya, agar
hukum perkawinan keduanya juga sama. Karena jelas jika ditinjau dari tiap-tiap
agama, maka setiap agama itu pasti memiliki aturan yang berbeda, untuk
menciptakan hubungan perkawinan sesuai dengan tujuannya maka hal pertama
yang dilakukan yaitu disamakan hukum agamanya terlebih dahulu.
2. Perkawinan Beda Agama pada KHI
Hukum peradilan agama sudah dikodifikasi pada UUP yang kemudian
dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang mana
disana mengandung unsur materil dalam hal perkawinan. Tapi, ternyata semua

15
hal yang ada di sana ternyata baru intinya saja, belum menyeluruh terurai seperti
dalam hukum Islam. Karena itu hakim sering kali mengacu pada kitab fikih
sesuai mazhabnya dan otomatis membuat berbagai macam pemahaman satu
hakim dengan hakim lainnya. Hal ini menyebabkan keputusan yang berbeda-
beda dalam sebuah perkara dilapangan, namun dengan adanya kompilasi hukum
Islam atau yang selanjutnya disebut sebagai KHI maka pemahaman hakim tadi
akhirnya digabungkan, yang mana hal itu ternyata membuat lebih terwujudnya
suatu kepastian hukum yang sama. Setelah adanya kompilasi hukum Islam
(kitab hukum pertama) sebuah kitab yang mempunyai otoritas dan keabsahan
ditetapkanlah seluruh pegangan dan rujukan para hakim harus sama, yaitu KHI.
KHI sendiri memiliki 3 buku pertama membahas soal hukum
perkawinan, kedua membahas soal hukum kewarisan dan ketiga soal wakaf.
Seperti urutan bukunya maka perihal perkawinan berbeda agama ini ditetapkan
buku pertama pada pasal 40 (c) dan pasal 44. Keduanya tidak mengizinkan
terjadinya perkawinan beda agama, apakah itu dari pihak wanita atau pria.
Dilihat secara umum, seluruh aturan mengenai perkawinan di KHI
adalah penegasan ulang mengenai apa saja yang sudah diatur dalam UUP,
dengan adanya penjelasan lebih lanjut mengenai UUP. Hal ini dilakukan untuk
membawa ketentuan di dalam UUP pada wilayah syariat Islam. Tidak sama
seperti KHI yang memang ditujukan pada umat Islam, UUP cenderung ditujukan
pada seluruh rakyat. Karena itulah KHI banyak merevisi dengan tidak
menghilangkan ketetapan UUP itu sendiri, dalam hal ini ketentuan pokoknya
saja yang difokuskan pada umat Islam.
Sebagaimana uraian di atas maka tertutuplah kemungkinan untuk
perkawinan beda agama. Diperbolehkannya ini tidak mudah untuk dilakukan
dikarenakan hal ini bersifat kondisional artinya meski tidak boleh masih ada
beberapa alasan yang dapat memungkinkan hal tersebut, begitu juga sebaliknya
ada beberapa alasan tidak diperbolehkannya hal tersebut. diperbolehkannya dan
atau dilarangnya hal ini bertujuan pada tujuan penetapan hukum Islam itu
sendiri. Karena esensinya semua ajaran Islam memiliki tujuan mendatangkan
kemaslahatan untuk hambanya yaitu menghadirkan manfaat bukan keburukan.

16
Tentu ini sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan pada
sebuah hadist, yaitu;
"Dari ubaidah bin as-syamiti bahwa Rasullah berkata: tidak boleh
memodharatkan dan tidak boleh (pula) dimodharatkan (orng lain) dalam
islam."
Imam Al-Ghazali berkata bahwa kemaslahatan itu prinsi pnya untuk
melindungi agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Intinya seorang bisa
mendapatkan kemaslahatan apabila ia punya kemampuan menjaga lima prinsip
ini dan sebaliknyapun begitu seorang akan memperoleh kemudharatan apabila
dia tidak mampu menjaga lima prinsip ini.
Menurut segi pandang syara' ketika menghadapi soal perkawinan beda
agama, lima prinsip itu wajib menjadi bahan pertimbangan, beberapa
pertimbangan yang dapat ditetapkan perkawinan agama itu sama dengan
berbedanya keyakinan jadi sangat ditakutkan bahwa perkawinan tersebut akan
membuat terganggunya eksistensi agama seorang muslim. Tidak ada jaminan
bahwa dalam rumah tangga nanti sang wanita tidak menganggu keimanan sang
suami yang seorang muslim. Keimanan anak juga dapat terganggu, inilah yang
dimaksud contoh dengan menjaga keturunan. (Cahyani, 2020)

E. Menilai Pandangan/Tinjauan Fiqih Klasik


Perkawinan dalam pandangan hukum agama adalah perbuatan suci yang
merupakan perikatan antara dua pihak untuk menjalankan perintah Tuhan dan
harapan agar kehidupan berkeluarga dapat berjalan sesuai ajaran agama. Ahli kitab
merujuk pada orang Yahudi dan Nasrani. Menurut M. Quraish Shihab, ahli kitab
terdiri dari orang Yahudi dan Nasrani tanpa terkecuali, sedangkan Hamka
menyebutkan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani tanpa memberikan
kriteria tertentu. Namun, menurut Imam al-Syafi'i, ahli kitab hanya merujuk pada
orang Yahudi dan Nasrani keturunan Bani Israil.

Para ulama mengemukakan pandangan bahwa seorang muslim boleh


mengawini perempuan ahli kitab asalkan ia kuat dalam agamanya. Jika diminta,
sang suami juga diharapkan mengantarkan istrinya ke gereja dan tidak menghalangi

17
pelaksanaan agama mereka di rumah. Namun, agama asli dari ahli kitab yang
dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani.

Dalam al-Qur'an, perkawinan dengan keyakinan yang berbeda masih


diperdebatkan, namun terdapat pengecualian untuk Ahli Kitab. Ayat dalam al-Qur'an
menjelaskan bahwa orang musyrik dan kafir tidak boleh dinikahi oleh orang
Muslim. Ahl Kitab pada zaman sekarang juga dianggap tidak boleh dinikahi karena
dianggap melenceng dari ayat tersebut. Mereka dianggap kafir karena meyakini
Nabi Isa dan Uzair sebagai anak Allah. Maka, Ahl Kitab tidak diperkenankan
menikah dengan wanita mukmin, begitu pula sebaliknya untuk pria mukmin.
(zainal, 2020)

F. Analisis Fiqh Kontemporer dan Tatanan Hukum Nasional terhadap Nikah


Beda Agama

Pernikahan beda agama adalah topik yang memerlukan pemahaman dan


penelitian mendalam. Ada beberapa konsekuensi hukum yang harus diperhatikan
saat melakukan perbuatan ini. Pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang
Ahli Kitab memiliki dasar dalam surat Al-Maidah ayat 5. Ahli Kitab merujuk
kepada orang Yahudi dan Kristen yang memiliki keturunan keturunan Bani Israil.
Namun, pendapat lain menyatakan bahwa siapa pun yang percaya pada nabi atau
kitab yang diturunkan oleh Allah termasuk dalam Ahli Kitab, termasuk Majusi dan
keyakinan lainnya.

Berdasarkan banyaknya perbedaan ini, ada beberapa pendapat berbeda.


Beberapa ulama menyatakan bahwa Ahli Kitab hanya merujuk kepada penganut
Yudaisme dan Kristen, sementara yang lain menyatakan bahwa ini mencakup
penganut agama lain seperti Majusi. Mahkamah Agung juga memperbolehkan
pernikahan beda agama dalam beberapa kasus. Namun, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melarang pernikahan semacam ini untuk mempertahankan keharmonisan
hubungan rumah tangga.

18
Kompilasi Hukum Islam juga membatasi pernikahan Muslim dengan orang
non-Muslim. Dalam hal ini, KHI menyatakan bahwa pernikahan antara seorang
Muslim dengan seorang non-Muslim tidak diperbolehkan. Masalah ini juga
mempengaruhi masalah perwalian, karena para ulama setuju bahwa wali harus
beragama Islam.

Selain itu, pernikahan beda agama juga dapat mempengaruhi warisan. Dalam
konteks Indonesia, pernikahan beda agama tetap menjadi kontroversi karena
masalah kultur dan agama. Pernikahan dianggap sakral dan suci, dan pelaksanaan
serta syaratnya harus sesuai dengan ketentuan agama.

Dalam kesimpulannya, pernikahan beda agama adalah topik yang rumit dan
dapat menimbulkan gesekan sosial. Pemahaman dan penelitian yang mendalam
diperlukan untuk memahami konsekuensi hukum dan moralnya. Di Indonesia,
pernikahan beda agama sangat dipengaruhi oleh kultur dan agama, dan ini dapat
menjadi polemik di masyarakat. (gulo, 2020)

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan beda agama terjadi ketika dua orang dengan agama yang
berbeda menikah. Di Indonesia, yang merupakan masyarakat pluralistik, pernikahan
semacam ini antara Islam dengan agama lain seperti Katolik, Hindu, Protestan, dan
lain-lain dapat terjadi. Namun, topik utama yang dibahas adalah pernikahan beda
agama antara pria atau wanita muslim dengan pria atau wanita non-muslim.
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa pandangan mazhab tentang
pernikahan beda agama. Mazhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa
pernikahan dengan wanita ahl al-kitab yang tunduk pada aturan Islam adalah
makruh, sedangkan jika wanita ahl al-kitab tersebut memusuhi Islam, maka hal itu
lebih makruh. Namun, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi untuk
menghalalkan pernikahan semacam itu. Jika pria muslim berharap agar wanita ahl
al-kitab memeluk Islam, tidak ada wanita muslimah yang cocok, dan jika tidak
menikahi wanita ahl al-kitab tersebut dapat menyebabkan perbuatan zina
Dalam pandangan fiqih klasik, perkawinan dalam hukum agama adalah
perbuatan suci yang merupakan perikatan antara dua pihak untuk menjalankan
perintah Tuhan. Meskipun terdapat pandangan yang memperbolehkan perkawinan
dengan Ahli Kitab, terdapat ketidakpastian hukum yang sering terjadi dalam kasus
perkawinan beda agama di Indonesia. Seluruh peraturan dan rujukan para hakim
harus sama dalam KHI, menjadikannya menjadi landasan hukum yang lebih pasti
dalam menentukan kasus perkawinan beda agama.
Dalam pandangan syari'ah, perkawinan beda agama perlu diperhitungkan
dengan adanya prinsip-prinsip yang bertujuan untuk melindungi agama, jiwa, akal,

20
harta, dan keturunan. Tujuan dari prinsip-prinsip ini adalah untuk menciptakan
kemaslahatan bagi hamba, yang sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, meskipun terdapat pandangan berbeda mengenai
perkawinan beda agama, perhatian terhadap prinsip-prinsip syariah dan
kemaslahatan bagi hamba menjadi landasan dalam menilai pandangan fiqih klasik
mengenai perkawinan beda agama.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini, pemakalah berharap makalah ini bisa


bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan pembaca secara umumnya. Pemakalah
menyadari bahwa sebagai manusia biasa pasti tidak luput dari segala kesalahan dan
kekeliruan. Maka apabila didalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan.
Pemakalah mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk
kesempurnaan dan perbaikan makalah ini.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Amri, A. (2020). Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam.
Media Syari’ah, Vol. 22, No. 1.
Cahyani, T. D. (2020). Hukum Perkawinan. Malang: Universitas Muhammadia Malang.
Gulo. (2020). Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Ilham, M. (2020). Nikah Beda Agama Dalam Kajian Hukum Islam Dan Tatanan Hukum
Nasional. Taqnin : Jurnal Syariah Dan Hukum Vol. 2, No. 1.
Indra Utama Tanjung, D. T. (2022). Undang-Undang Perkawinan Dan Nikah Beda
Agama Hukum Islam Dan Hukum Positif. Jurnal Kewarganegaraan.
Nurcahaya, M. D. (2018). Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam.
Hukum Islam, Vol Xviii No. 2.
Suhali. (2006). Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: Lkis.
Zainal, A. (2020). Perkawinan Beda Agama. Lentera.

Anda mungkin juga menyukai