Oleh:
Ardiansyah/17020102025
Fakultas Syariah
2019
KATA PENGANTAR
Makalah ini mengambil tema “MUI dan Komisi Fatwa, Serta Metode Istinbath
Hukumnya”, sebagaimana amanat yang diberikan kepada penulis dalam memenuhi
tugas mata kuliah “Fatwa dan Yurisprudensi”. Sebuah penghargaan bagi penulis atas
diberikannya tugas ini, yang sekiranya akan dapat mengkaji mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan “Fatwa dan Yurisprudensi” yang pasti akan bermanfaat dan
menambah keilmuan dan pengetahuan akademis kita serta menjadi modal dalam
bermuamalah yang baik sehingga bernilai ibadah disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Aamiin
Dalam kesempatan ini perkenankan penulis menghaturkan rasa terima kasih tak
terhingga kepada Bapak Dosen pembimbing mata kuliah “Fatwa dan Yurisprudensi”
yang sudah memberikan bimbingan. Pun begitu, penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu sumbang-saran maupun masukan sangat
penulis harapkan dari para pembaca.
Atas segala kekurangan tersebut, penulis mohon dibukakan pintu maaf seluas-
luasnya. semoga segala tujuan baik dengan hadirnya makalah ini dapat tercapai.
Aamiin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 3
A. Latar Belakang............................................................................ 4
B. Rumusan Masalah........................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 6
A. Sejarah MUI................................................................................ 6
A. Kesimpulan.................................................................................. 15
DAFTAR REFERENSI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber pokok hukum Islam adalah Al-Quran dan as-Sunnah Pada masa Rasul,
manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah
maupun kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk
menjelaskannya. Rasul sebagai Muballig, menyampaikan penhyampaian
penjelasan ini kepada umatnya untuk di ikuti. Kendati demikian, penjelasan Al-
Quran tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci (tafsili), melainkan
kebanyakan bersifat garis besar (ijmali), sehingga di butuhkan lebih lanjut dari
Rasul. Sebagai orang yang diberi wewenang menjelaskan di satu sisi dan
menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang harus
menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
Seiring dinamika zaman yang berubah maka sumber diatas membutuhkan analis
(ijtihad) meskipun secara historis sudah ditutup yang kemudian ulama modernis
untuk membukanya kembali dan dilakukan oleh ulama dunia (termasuk
Indonesia) dengan berbagai pendekatan dan metode. Proses ijtihad tidak terbatas
pada persoalan yang baru muncul, tetapi ijtihad mempunyai kepentingan lain yang
berkaitan dengan khazanah hukum islam yaitu dengan melakukan peninjauan
kembali terhadap masalah-masalah yang ada berdasarkan kondisi yang ada pada
zaman sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat
yang terkuat dan relevan, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syariat dan
kemaslahatan manusia.
4
Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan
akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan
yang muncul dalam keadaan sosial dan teretorial yang berbeda, Kenyataan yang
demikian maka Indonesia sebagai negara yang penduduknya yang terdiri dari
beberapa suku dan mayoritas Islam tergugah untuk menjawab tantangan yang ada
demi tercapainya perpaduan budaya, agama, dan tradisi yang majemuk, sembari
memasuki era perkembangan modern, tanpa menyia-nyiakan nilai-nilai
keislamannya. Salah satu penetapan ataupun hasil ijtihad dari permasalahan di
Indonesia adalah fatwa, makalah ini akan mencoba menguraikan, Bagaimana
metode istinbath hukum MUI (Majlis Ulama Indonesia) dalam mengeluarkan
fatwa.
B. Rumusan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah MUI
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan
dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia
pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam
tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah,
Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari
Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI
serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari
musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk
wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim,
yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh
seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama
I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada
pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa
telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli
terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua
puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan
Fatwanya, dipertimbangkan.
Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah
perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping
itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik
pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa
yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih
mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi
cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya
mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan
pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa
yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3
sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
yang berbunyi:
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh
masyarakat luas.
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan
rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF
tersebut.
Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia
Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis
Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan
keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam
Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di
daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-
masalah tersebut bisa menasional.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang
dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang
satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri
sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan
MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu
bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak
membingungkan umat Islam.2
1. Setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat komisi untuk
mengetahui subtansi dan duduk masalahnya.
2. Dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah yang akan di
fatwakan untuk di dengarkan pendapatnya untuk dipertimbangkan.
3. Setelah ahli didengar dan dipertimbangkan ulama melakukan kajian terhadap
pendapat para imam mazhab dengan fuqaha dengan memperhatikan dalil-dalil
yang digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya dan kemaslahatannya bagi
umat. Apabila pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki
pendapat, komisi bisa menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
4. Jika fuqaha memiliki ragam pendapat komisi melakukan pemilihan pendapat
melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.
5. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi bisa melakukan
ijtihad jama’I menggunakan al-Qawaid al-ushuliyyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.
2 http://muhammadriza23.blogspot.com/2013/11/mui-dan-metode-istinbath-hukum-nya.html
dikutip pada tanggal 24 september 2019, pukul 14:53
Teknik berfatwa yang dilakukan oleh MUI adalah rapat komisi dengan
menghadirkan ahli yang diperlukan dalam membahas suatu permasalahan yang
akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan apabila ada pertanyaan atau
permasalahan itu sendiri berasal dari perintah, lembaga sosial kemasyarakatan
maupun dari MUI sendiri.3
Dalam memutuskan suatu fatwa MUI terlebih dahulu menimbang masalah yang
dipertanyakan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah dengan melihat kondisi
yang ada pada masyarakat (relevansi hukum), begitu juga dengan fatwa tentang
hukum merokok, maka MUI terlebih dahulu menimbang adanya manfaat dan
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok. Masyarakat mengakui bahwa industri
rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang cukup besar, industri
rokok juga telah memberikan pendapatan yang cukup besar bagi Negara. Bahkan,
tembakau sebagai bahan baku rokok telah menjadi tumpuan ekonomi bagi
sebagian petani. namun disisi yang lain merokok dapat membahayakan kesehatan
(dlarar) serta potensi terjadinya pemborosan dan merupakan tindakan tabdzir.
Secara ekonomi, penangulangan bahaya merokok juga cukup besar.
Sebelum memutuskan fatwa mengenai hukum merokok ini, MUI terlebih dahulu
memperhatikan makalah “hukum merokok dalam kajian fiqh” yang
dipresentasikan oleh Dr. K.H. Ahmad Munif Suratmaputra, MA. Dan makalah
Adapun dasar istinbath yang digunakan MUI dalam penerapan hukum rokok
adalah:
…..……يأمر هم بالمعرو ف وينهاهم عن المنكرويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبا ئث..
لرضرار ولرضرار
Kaidah fiqhiyyah
الضرر يزا ل
لرضرر ولرضرار
Oleh karena itu, Jika hukum merokok dilihat dari segi manfaat dan
madaratnya, maka dalam menentukan status hukumnya sangat sulit karena
manfaat dan madarat yang ditimbulakan dari aktifitas merokok akan berbeda-beda
antara perokok yang satu dengan perokok yang lain, sehingga status
hukumnyapun tergantung pada kondisi seorang perokok. Jika si perokok akan
mendapatkan madarat dari aktifitas merokok tersebut, maka hukumnya bisa
menjadi haram, namun sebaliknya jika si perokok tidak terkena mandarat bahkan
mungkin mendapat manfaat dari aktifitas merokok yang dilakukannya, bisa jadi
hukumnya mubah. Bisa juga hukumnya makruh apabila si perokok tidak
mendapatkan manfaat dan madarat yang ditimbulkan dari aktifitas merokok itu,
karena hukum makruh ini dianjurkan untuk ditinggalkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
http://muhammadriza23.blogspot.com/2013/11/mui-dan-metode-istinbath-hukum-
nya.html
https://mui.or.id/sejarah-mui/
https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2015/01/25/metode-istinbath-hukum-mui/