Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Apabila seseorang meninggal dunia kemudian ia meninggalkan keluarganya


terutama istrinya, bahkan istrinya dalam keadaan hamil, maka ada yang berpendapat
bahwasannya bayi yang di dalam kandungan itu mendapatkan warisan dan sebagian ada
yang tidak, namun bagaimana menurut perspektif hukum islam. Dan bagaimana cara
pembagiannya? Apakah istri yang menjadi janda juga mendapatkan warisan tersebut?
Apakah harta yang ditinggalkan itu dapat dibagi oleh ahli waris yang berhak atau
dibiarkan menunggu sampai bayi itu lahir?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kewarisan bagi bayi dalam kandungan,
sebagai pembelajaran bersama dalam mata kuliah MM. fii fiqh mawaris.
B. Rumusan masalah
1. Defenisi hamil
2. Pengertian janin
3. Syarat hak waris janin dalam kandungan
4. Keadaan janin
5. Pendapat berbagai mazhab
6. Beberapa keadaan anak yang menjadi ahli waris ketika dalam kandungan
C. Tujuan

Untuk memenuhi tugas makalah Muqaranatul mazahib fii Fiqh Mawaris, dan juga
sebagai bahan pembelajaran.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hamil

Al-haml (hamil) dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata hamalat.
Dikatakan “al-mar’ah haamil ma haamilatun izaa kanat hubla” (wanita itu hamil
apabila ia sedang mengandung janin.”

Allah SWT. Berfirman

ُ ‫َو َو َّص ْينَا ا ن ْ َس َان ب َِوادِل َ يْ ِه ْح َسااًن ۖ مَح َ لَ ْت ُه ُأ ُّم ُه ُك ْرهًا َو َوضَ َع ْت ُه ُك ْرهًا ۖ َومَح ْ هُل ُ َو ِف َصاهُل‬
ُ‫ون َشِإْله ًْرا ۚ َحىَّت ٰ َذا ب َِإلَ َغ َأ ُش َّد ُه َوبَلَ َغ َأ ْرب َ ِع َني َسنَ ًة قَا َل َر ِ ّب َأ ْو ِز ْعيِن َأ ْن َأ ْشك َر‬ َ ُ‫ثَاَل ث‬
‫ِإ‬
‫ِن ْع َم َت َك الَّيِت َأن َع ْم َت عَيَل َّ َوعَىَل ٰ َوادِل َ َّي َوَأ ْن َأمْع َ َل َصا ِل ًحا تَ ْرضَ ا ُه َوَأ ْص ِل ْح يِل يِف‬
‫ُذ ّ ِريَّيِت ۖ يِّن تُبْ ُت ل َ ْي َك َو يِّن ِم َن الْ ُم ْس ِل ِم َني‬
‫ِإ ِإ‬ ‫ِإ‬
“Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya,
Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah
payah. Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan sehingga
apabila ia (anak itu) telah dewasa dan umurnya sampai 40 tahun dan dia berdoa “ya
Tuhanku berikanlah aku petunjuk agar aku mendapat mensyukuri nikmatMu yang telah
Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat
berbuat kebajikan yang engkau ridhoi, berilah kau kebaikan yang kan mengalir sampai
kepada anak cucuku. Sungguh aku bertauat kepada engkau dan sungguh aku termasuk
orang muslim” (Q.S Ahqaf : 15).1

Menurut istilah fuqaha yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya baik laki-laki
maupun perempuan janin itu tentu saja telah hidup, untuk membuktikan kehidupannya
ada dua cara yaitu :

1. Dengan melakukan tes USG di rumah sakit


2. Menyaksikannya ketika dilahirkan
1
Al-Qur’an Qs. Al Ahkafayat 15

2
Dan keduanya berlaku hak waris kecuali bayi yang hidup dalam rahim kemudian
meninggal dunia ketika dilahirkan, maka hak warisnya gugur karena bagi yang mati
tidak ada hak waris lagi. Dengan demikian bagi janin yang masih di dalam kandungan
ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang dapat diterimanya, karena belum dapat
diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau tidak,
laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelahbayiitulahirkedunia,
dapatdinyatakanbahwaahliwarisdalamkeadaanhidupsaatpewariswafat.

Demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, dapat dinyatakan bahwa ahli waris
tidak ada ketika pewaris wafat. Secara ringkas, dapat dikatakan, selama janin yang
dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, mustahil bagi kita untuk
menentukan jumlah bagian warisnya yang harus diterimanya.

Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu sampai bayi itu
lahir. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh ahli waris keberadaannya (hidup)
ketika pewaris wafat.

B. Pengertian Janin

Janin menurut istilah fuqaha adalah janin yang dikandug dalam perut ibunya, baik
laki-laki maupun perempuan. Salah satu syarat bahwa seorang ahli waris dapat mewarisi
hartanya adalah keberadaannya masih hidup ketika pewaris telah tiada.

Dengan demikian, bagi janin yang masih berada dalam kandungan ibunya belu
diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir dengan selamat atau
tidak, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan berjumlah satu atau kembar.

Seandainya bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka dinyatakan bahwa ahli
waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat.

Begitu juga bila ia lahir dalam keadaan mati, maka dinyatakan bahwa ahli waris
tidak ada pada saat pewaris wafat.

Secara ringkas dapat dikatakan selama janin yang dikandung belum dapat diketahui
denagn pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian
waris yang harus diterimanya.

3
Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu sampai bayi itu
lahir. Namun, bisa saja kita membagi-bagikan dahulu sebagian harta warisan kepada
seluruh ahli waris, dengan catata jumlah waris yang dibagikan tersebut tidak
seluruhnya, yakni ada yang kita bekukan sebagainya agar ketika bayi itu lahir dia
m,endapatkan hak waris secara sempurna begitu juga dengan ahli warisnya.

Jika bayi tersebut telah lahir, maka berubahlah kita bagikan kepada masing-masinh
ahli waris secara lengkap setelah bayi itu lahir.

Berkaitan dengan hal ini, para ulama faraid menjelaskan hukum-hukum khusus
secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan dengan menjaga kemaslahatan
ahli waris yang ada.2

C. Syarat hak waris janin dalam kandungan

Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi 2 persyaratan :

1. Diketahui pasti keberadaannya

Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya


ketika pewaris wafat. Bayi tersebut dilahrkan maksimal 4 tahun setelah kematian
pewaris dan ibu yang mengandung tersebut tidak berhubungan intim drngan laki-
laki lainketika pewaris wafat, hingga bayi tersebut lahir.

Aisyah radiallahuanha berpendapat bahwa janin akan menetap dalam rahim


ibunya melebihi dari 2 tahun sekalipun berada dalam falkah mighzat, sedangkan
imamahmad berpendapat maksimal 4 tahun.

Namun menurut pendapat lain, jika setelah kematian pewaris tidak ada seorang
laki-lakipun berhubungan intim dengan wanita tersebut, kemudian setelah 4 tahun ia
melahirkan bayinya, maka bayi tersebut adalah anak dari pewaris.

2. Lahir dalam keadaan hidup

Bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan hidu ketika keluar dari perut ibunya,
sehingga dapat dipastikan sebagai anak yag berhak mendapat harta waris. Tanda-

2
Ahmad sarwat LC, seri fiqh kehidupan, (Jakarta : DU Publishing, 2011) hlm. 222

4
tanda bahwa bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup diantaranya adalah bayi
tersebut menangis, bersin, mau menyusu ke ibunya, atau yang semacamnya.

Hal ini berdasarkan sabda nabi SAW., “apabila seorang bayi sudah menangis,
maka ia berhak mendapatkan warisan”. (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu
majah). 3

Bahkan, menurut madzhab hanafi hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja
dari bayi tersebut. Adapun menurut madzhab syafi’i dan hanbali, bayi yang baru
keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama
sehingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak,
seperti gerakan hewan yang dipotong, maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang
hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mendapatkan warisan. Namun apabila bayi
yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati atau ketika keluar separoh
badannya hidup tapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tapi
tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan wariis dan ia dianggap tidak ada.

Hal ini berdasarkan sabda Rasul SAW. “apabila bayi yang keluar dari rahim
ibunya menyangka menangis (kemudian mati) maka hendaklah disholati dan berhak
mendapatkan warisan” (HR. An-nasa’i dan Tarmidzi).

D. Keadaan janin

Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi, kelima
keadaan tersebut adalah :

1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apapun

Jika janin tersebut bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apapun, baik janin
tersebut berkelamin laki-laki maupun perempuan maka seluruh harta warisan yang
ada dibagikan kepada ahli waris lainnya secara langsung, tanpa harus menunggu
kelahiran janin yang ada di dalam kandungan. Disebabkan karena janin tersebut
tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.4

3
Ibid, hlm. 223
4
Fatchur Rahman, IlmuWaris, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1994),hlm. 204

5
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan istri, ayah dan ibu yang sedang hamil
dari ayah tiri pewaris, berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu
pewaris. Maka dalam keadaan demikian, janin tersebut menghakangi hak warisnya
oleh adanya ayah pewaris. Dengan demikian, harta waris yang ada hanya
dibagikankepada istri sebesar ¼, ibu 1/3 dari sisa setelah diambilhak janin, yakni ¼,
dan sisanya 2/4, menjadi bagian ayah sebagai ashabah.

2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin

Jika janin tersebut dapat mewarisi dalam keadaan memiliki kelamin tertentu
(laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin
khuntas, maka sebagaian tertentu harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris
yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari
ahli waris, namun untuk sementara bagian tertentu dari harta waris dibekukan
hingga kelahirannya.

Contoh : seorang wafat dan meninggalkan istri, paman sekandung, dan istri
saudara laki-laki sekandung yang sedang hamil maka bagiannya adalah sebagi
berikut :

Istri mendapat ¼ dan sisanya ¾ dibekukan hingga janin yang ada dalam
kandungan itu lahir.

3. Sebagai ahli waris dalam segala keadaan baik sebagai laki-laki maupun
perempuan

Keadaan ketiga apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris
dalam segala keadaannya, sehingga saja hak waris yang ada di milikinya bisa
berbeda-beda nilainya (hal tersebut tergantung dalam jenis kelaminnya), maka
dalam keadaan demikian hendaknya kita memberikan 2 ilustrasi dan kita bekukan
untuk janin dari bagian yang maksimal. Jadi jika bayi itu masuk katagori laki-laki
dari numlah maksiml 2 bagiannya dan hendaknya kita lakuakan pembagiannya
dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada paling sedikit dari
bagian-bagian masing-masing.

6
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu dan ayah.
Dalam keadaan dmeikian jika janin dikatagorikan sebagai anak laki-laki berarti
kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris. Dan pembagiannya sebagai berikut.

Ibu 1/6 ayah 1/6 istri 1/8 dan sisanya adalah bagian anak laki-laki yang sebagai
ashabah, namun jika janin dikatagorikan sebagai anak perempuan berarti
kedudukannya sebagai nak perempuan pewaris. Pembagian sebagai berikut :

Ibu 1/6 ayah 1/6 istri 1/8 anak perempuan ½ dan sisanya 1/24 merupakan bagian
ayah sebagai ashabah. Maka dari dua ilustrasi tersebut dapat ita lihat sebagian untuk
ibu, ayah, dan istri tidak pernah berubah baik janin tersebut laki-laki maupun
perempuan.5

4. Sebagai ahli waris yang tidak berada hak warisnya

Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagi laki-laki maupun
perempuan, mka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli
waris yang ada secara sempurna.

Contoh : seorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara


perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah yang lain (ayah tiri pewaris).
Apabila janin tersebut telah keluar dari rahim ibunya maka bagian warisnya tetap
1/6, bayi laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-
laki seibu atau perempuan seibu dari dengn pewaris.

5. Ahli waris tunggal

Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang yang di dalam kandungan, atau
ada ahli waris lain akan tetapi terhalang haknya karena adanya janin, maka dalam
keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya sehingga tiba masa
kelahiran janin tersebut.

Bila janin itu lahir dalam keadaan hidup, maka dialah yang akan mengambil seluruh
harta waris, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka arta waris yang ada akan
dibagikan kepada seluruh ahli waris lainnya yang berhak untuk menerimanya.
5
Ibid, hlm 225

7
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan, menantu perempuan yang sedang hamil
(istri dari anak laki-lakinya), dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam
jkandungan merupakan calon ahli waris, baik ia sebagai laki-laki maupun perempuan.
Karena itu janin tersebut kelak, jika lahir akan menggugurkan hak waris dari saudara
laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berari
kedudukuannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia
akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai ashabah.

Dan bila janin tersebut lahir sebagai perempuan maka ia sebagai cuc perempuan dari
keturunan anak laki-laki dan akan mendapatkan ½ harta waris yang ada dan sisanya
dibagi kepadanya sebagai tambahan Ar-Radd sebab disana tidak ada ashabah lainnya. 6

Contoh lainnya :

Apabila seorang istri meninggal dengan meninggalkan suami, dua saudara


perempuan sekandung, dua saudara lelaki seibu, seorang istri ayah yang sedang
mengandung, dan ia meninggalkan harta sebanyak 180 hektar tanah, maka dalam
masalah ini janin dalam kandungan tidak mendapatkan apa-apa, karena kalau dalam
kandungan itu ditakdirkan laki-laki, maka saudara lelaki seayah tidak mendapat pusaka
karena furudh telah menghabiskan harta peninggalan, tidak ada lagi yang dapat diambil
oleh saudara ayah dengan jalan ta’shib, bahkan masalah ini yang asalnya enam di-aul
kan kepada kesembilan.

Andai kata dia perempuan tidak juga mendapat pusaka, karena saudara perempuan
seayah dihalang oleh dua saudara perempuan sekandung yang mengambil 2/3.

Suami mendapat seperempat, dua saudara perempuan sekandung mendapat dua per
tiga, dua saudara lelaki seibu mendapat sepertiga. Asal masalah 6, di-‘aul-kan kepada 9.
Buat suami 3 saham, buat dua saudara perempuan 4 saham, buat saudara laki-laki seibu
2 saham. Maka suami mendapatkan 60 hektar, dua saudara perempuan sekandung
mendapat 80 hektar, dan saudara laki-laki seibu mendapatkan 40 hektar. Seratus delapan
puluh dibagi sembilan, maka masing-masing saam mendapat dua puluh.7

6
Ibid, hlm. 226
7
Tengku M hasbi Ash-shidiqi, fiqh mawaris, (Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm, 239.

8
Menurut Ash-Shabuni (1995 : 226-227) adalah sebagai berikut :

1. Anak telah ada dalam rahim ibunya sebelum ibunya meninggal dunia
2. Anak benar-benar hidup ketika dilahirkan

Apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia pada saat istrinya sedang hamil,
kalau memungkinkan diperoleh kejelasan tentang bayi yang berada dalam kandungan
itu bagian warisnya diberikan untuk bayi dalam kandungan itu sesuai dengan hasil
pembuktian yang dilakukan.8

Ulama madzhab berbeda berpendapat tentang berapa besarnya bagian yang


dipisahkan untuknya. Hanafih mengatakan “disisakan untuknya satu bagian sebesar
bagian seorang anak laki-laki sebab lazimnya adalah seorang anaklah yang dilahirkan
sedangkan lebih dari serorangan masih merupakan praduga.”

Imam malik dan imam syafi’i mengatakan “disisakanlah untuk bayi yang ada dalam
kandungan itu sebesar bagian 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan.”

Imamiyah mengatakan “disisakanlah untuk bayi dalam kandungan itu bagian 2


orang anak laki-laki semata-mata untuk berhati-hati saja, lalu kepada setiap ahli waris
yang menerima bagian furu’ seperti suami atau istri bagian minimalnya dari 2
kemungkinan ¼ untuk suami dan 1/8 untuk istri. Selanjutnya anak dalam kandungan itu
dapat menerima waris dengan syarat bila ia dilahirkan dalam keadaan hidup.

Para ulama madzhab berbeda berpendapat tentang apa yang disebut dengan hidup,
apakah kelahiran yang sempurna, gerakan, tangisan bayi (jeritan), ataukah menyusui?

Hal ini yang penting adalah adanya kehidupan pada bayi itu. Kalau ia terbukti
gumpalan, namun sudah terdapat kehidupan di dalamnya, tanpa diragukan lagi, bayi
tersebut dapat menerima waris. Kemungkinan bayi dalam kandungan menerima waris,
menurut ash-shabuni (1995 : 228) ada lima hal, yaitu :

1. Kehidupan bayi bukan perkiraan, tetapi keyakinan.


2. Jenis kelaminnya diyakini sebenar-benarnya, laki-laki atau perempuan.

8
Beni Ahmad saebani, FiqhMawaris, (Jakarta : CV. PUSTAKA SETIA, 2009), hlm. 339

9
3. Saling Mewarisi antara pewaris dengan anak yang dimaksudkan dengan
meyakinkan.
4. Tidak berbeda jumlah bagiannya dari salah satu perkiraannya, baik laki-laki
maupun perempuan.
5. Tidak bersama dengan ahli waris yang pokok atau dengan ahli waris yang
menghijabnya.9
E. Pendapat berbagai mazhab

1. Pendapat Pertama

Ulama dari mazhab Syafi’i, Imam Malik, dan Qaffal, berpendapat bahwa pembagian

harta waris dalam kasus ini sebaiknya ditunda sampai janin yang dikandung oleh

seorang perempuan lahir dan situasinya menjadi jelas. Qaffal berkata, “Terkadang, anak

yang ditunggu kelahirannya meninggal. olleh karenanya, pembagian harta waris dibagi

kembali dan seorang hakim tidak berhak memutuskan sesuatu untuk si janin.

2. Pendapat Kedua

Abu Hanifah berpendapat bahwa pembagian harta waris ditangguhkan untuk anak

yang ada dalam kandungan sejumlah bagian untuk 4 orang anak laki-laki atau 4 orang

anak perempuan, sedangkan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang lain.

3. Pendapat Ketiga

Imam syafi’i berpendapat bahwa, harta waris hanya diberikan kepada ahli waris

yang memiliki hak mendapatkan bagian tetap, yang tidak berubah, dan pembagian

sisanya ditangguhkan sampai janin yang dikandung seorang perempuan lahir. setiap ahli

waris yang mempunyai hak mendapatkan bagia tetap, yang tidak berubah, akan

diberikan secara sempurna bagiannya., setiap ahli waris yang mempunyai hak

mendapatkan harta waris, namun bagiannya berubah-ubah., akan diberikan sebagian

9
Ibid, hlm. 340-342

10
kecil dari haknya, jika pada bagiannya itu ada muqaddar-nya.akan tetapi, jika pada

bagiannya itu tiadak ada muqaddarnya, bagian ahli waris yang bersangkutan tidak akan

diberikan terlebih dahulu.10

Dalam Mazhab Syafi’i, tidak ada batasan jumlah harta waris yang harus

ditangguhkan pembagiannya sampai janin dilahirkan dan tidak ada batasan jumlah anak

dalam kandungan. diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata,”aku pernah melihat satu

orang tua yang sangat berwibawa di sebuah kampung. saat itu, aku tertarik untuk

menemuinya dan belajar darinya. ketika aku bertemu dengannya, tiba-tiba datang lima

orang tua lainnya dan lansung mencium kepalanya, lalu mereka masuk kedalam tenda.

kemudian, datang lagi lima orang pemuda dan mereka juga melakukan apa yang yang

dilakukan oleh lima orang tua tadi. tak lama kemudian, datang lagi lima orang anak-

anak. aku bertanya kepadanya tentang mereka. orang tua itu menjawab, mereka semua

adalah anak-anak ku. setiap lima orang dari mereka lahir dalam satu kandungan. ibu

mereka sama, mereka datang mengunjungiku setiap hari dan memberi hormat kepadaku.

4. Pendapat Keempat

Para ulama hanabilah berpendapat bahwa jumlah harta waris yang ditangguhkan

adalah sebesar bagian 2 anak laki-laki atau 2 anak perempuan,karena bayi yang lahir

kembar biasanya dua,sedangkan yang kembar lebih dari itu jarang terjadi. Jumlah itu

ditetapkan karena hukum didasari atas kebiasaan yang terjadi,yaitu kembar dua.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Laits bin Sa’ad dan Abu Yusuf dalam

riwayat al-kashshaf. Laist bin Sa’ad dan Abu yusuf berpendapat bahwa bagian yang

ditangguhkan adalah bagian satu orang,laki-laki atau perempuan,karena yang sering

terjadi,janin ya ng dikandung hanya satu. Inilah yang difatwakan oleh mazhab hanafiah.
10
Komite Fakultas Syariah Universitas Al- Azhar, Mesir, hukum waris, (Jakarta selatan, CV kuwais media kreasindo) hlm. 358

11
Kemudian,untuk mengantisipasi kandungan yang berisi lebih dari satu janin,para ahli

waris yang bagiannya berubah-ubah harus mengembalikan kelebihan kelebihan harta

waris yang didapatnya.11

F. Beberapa keadaan anak yang menjadi ahli waris ketika dalam kandungan

Anak atau bayi dalam kandungan, dalam masalah waris akan dihadapkan pada

keadaaan-keadaaan berikut :

1. Keadaan pertama

Anak dalam kandungan, baik laki-laki maupun perempuan, diperkirakan tidak dapat

mewarisi. Misalnya, seorang wafat, meninggalkan cucu perempuan dari anak laki-laki,

ibu yang hamil dari suaminya yang lain, yang bukan bapak simayit, nenek dari bapak,

saudara sebapak, dan anak saudara kandung. Simayit meninggalkan warisan 60 hektare

tanah. Berapa bagian setiap ahli waris dan berapa jumlah warisan yang ditangguhkan?

Penyelesaiannya : dalam masalah ini , jika anak dalam kandungan itu laki-laki, ia

menjadi saudara laki-laki ibu. Namun jika perempuan, ia menjadi saudara perempuan

ibu. Saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu tidak berhak mendapatkan

warisan apapun, karena ada furu’ (keturunan) perempuan yang mewarisi. Oleh karena

itu tidak ada warisan yang ditangguhkan untuk sibayi yang ada didalam kandungan.

Dengan demikian, pembagian warisannya sebagai berikut :12

Ahli Cucu Saudara Nenek Anak


waris Ibu perempuan sebapak dari bapak saudara
dan anak kandung
lelaki
Dasar Sisa/ Terhalang Terhalang

11
Ibid, hlm. 358
12
Ibid, hlm. 362

12
pembagian 1/6 ½ ’ashabah oleh ibu
Asal masalah : 6
Bagian
ahli waris
1 3 2 X X
Kadar satuan bagian : 60 : 6 = 10
Warisan yang
didapat 10 30 hektare 20 X X
hektar hektare
e

2. Keadaan kedua

Anak dalam kandungan tidak dapat mewarisi, kecuali hanya satu bayi yang

diperkirakan lahir, laki-laki atau perempuan. Pemberian warisan ini pun bisa terjadi jika

anak dalam kandungan itu dari anak-anak ibu. Masalah ini dapat diselesaikan dengan

satu cara, dan bagian anak dalam kandungan ditangguhkan serta diserahkan dibawah

tanggung jawab orang yang terpercaya.

Misalnya, seorang wafat, meninggalakn ahli waris : saudara perempuan kandung,

saudara perempuan sebapak, dan ibu yang sedang hamil bukan dari bapak simayit.

Simayat. Simayit meninggalkan uang 60.000 pound ( RP 853.200.000,00)

Penyelesaian :13

Saudara Saudara
Ahli waris perempuan perempuan Ibu Janin
kandung sebapak
1/6 baik
menjadi saudara
Dasar ½ 1/6 1/6 laki-laki atau
pembagian saudara
perempuan
13
Ibid, hlm. 363

13
seibu
Asal masalah : 6 kadar satuan bagian :60000 : 6 = 10.000 pound
Bagian ahli 3 1 1 1

waris
Warisan 30.000 pound 10.000 pound 10.000 pound 10.000 pound
yang
(Rp (Rp (Rp (Rp
didapat
426.600.000,00) 142.200.000,00) 142.200.000,00) 142.200.000,00)

3. Keadaan ketiga

Anak dalam kandungan dapat mewarisi dengan salah satu perkiraan dan tidak dapat

mewarisi dengan perkiraan lainnya. Dalam keadaan ini, penyelesaian permasalahannya

dilakukan dua kali, yang satu dengan perkiraan bayi laki-laki dan yang satunya lagi

dengan perkiraan bayi perempuan. Bagian anak dalam kandungan ini disimpan oleh

orang yang terpercaya.

Contoh pertama, seorang wafat meninggalkan ahli waris : istri, ibu , anak saudara

kandung ,dan istri saudara kandung yang sedang hamil. Ia meninggalkan uang senilai

2.400 pound, Rp 34.128.000,00

Penyelesaiannya :

Anak lelaki
Anak lelaki saudara
Ahli waris Istri ibu saudara kandung (anak
kandung dalam
kandungan)

Dasar ¼ 1/3 Sisa/’ashabah Sisa/’ashabah


pembagian
Asal masalah : 12

14
Bagian ahli 3 4 5

waris
Karena sisa tidak dapat dibagi dengan hasil pembagian yang genap, asal masalahnya di
tash-hih menjadi 24 (asal masalah semula 12 dikali 2)
Bagian setelah

di tash-hih 6 8 10 masing-masing mendapat 5


Kadar satu bagian : 2.400 : 24 = 100
Warisan yang 600 pound 800 pound 1.000 pound, anak saudara
didapat (Rp (Rp kandung mendapatkan 500m
8.532.000,00) 11.376.000,00) pound, dan 500 pound lagi
ditangguhkan untuk janin.
Contoh kedua, jika anak yang dikandung diperkirakan perempuan.

Penyelesaiannya :

Anak
Anak lelaki perempuansaudara
Ahli waris Istri ibu saudara kandung (anak
kandung dalam kandungan)
Tidak dapat
Dasar mewarisi karena
pembagian ¼ 1/3 Sisa/’ashabah dia dzawil arham
Asal masalah : 12
Bagian ahli 5 X

waris 3 4
Kadar satu bagian : 2.400 : 24 = 100
Warisan yang 600 pound 800 pound 1.000 pound
didapat (Rp (Rp (Rp 14.220.000,00 X
8.532.000,00) 11.376.000,00)

4. Keadaan keempat

Anak dalam kandungan dapat mewarisi, meskipun ia diperkirakan akan lahir

sebagai anak laki-laki atau perempuan. Namun, bagian untuk keduanya berbeda.

15
Permasalahannya diselesaikan dengan dua cara, yakni pertama, jika anak yang

dikandung diperkirakan laki-laki, dan kedua, jika anak yang dikandung diperkirakan

perempuan. Setiap ahli waris mendapat bagian yang terkecil dan sisanya sebagian besar

dari warisan disimpan sampai anak yang dikandung lahir. Ahli waris yang bagiannya

berubah, jika anak yang lahir kembar, harus menjamin pengembalian kelebihan harta

yang didapat.14

Contoh : Seorang wafat meninggalkan bapak, ibu, anak perempuan, dan istri yang

sedang hamil. Ia meninggalkan harta warisan 6.480 pound (Rp 92.145.600,00)

Penyelesaian. Pertama , jika anak yang dikandung diperkirakan perempuan

Ahli waris Bapak Ibu istri Anak


perempuan dan
anak lelaki
Dasar 1/6 1/6 1/8 Sisa/’ashabah
pembagian
Asal masalah : 24
Bagian ahli 4 4 3 13
waris

Karena sisa tidak dapat dibagi dengan hasil pembagian yang genap, asal masalanya di-
tash-hih menjadi 72
Bagian setelah 12 12 9 39, anak laki-
di thas-hih laki 26, dan
anak perempuan
13
Kadar satu bagian : 6.480 : 72 = 90 pound

Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut

-bapak : 12 x 90 = 1.080 pound (Rp 15.357.600,00)

-ibu : 12 x 90 = 1.080 pound (Rp 15.357.600,00)


14
Ibid, hlm. 365

16
-istri : 9 x 90 = 810pound (Rp 15.518.200,00)

-anak perempuan : 13 90 = 1.170 pound (Rp 16.637.400,00)

-anak laki-laki : 26 x 90 = 2.340 pound (Rp 33.274.800,00)

Kedua, jika anak yang dikandung di perkirakan perempuan

Ahli waris Bapak Ibu Istri 2 anak


perempuan
Dasar 1/6 1/6 1/8 2/3
pembagian
Asal masalah : di ‘aul-kan menjadi 27
Bagian ahli 4 4 3 16

waris
Kadar satua bagian : 6.480 : 27 = 240

Harta warisan yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut :

-bapak : 4 x 240 = 960 pound (Rp 13.651.200,00)

-ibu : 4 x 240 = 960 pound (Rp 13.651.200,00)

-istri : 3 x 240 = 720 pound (Rp 10.238.000,00)

2 anak perempuan : 16 x 240 = 3.480 pound ( Rp 54.604.800,00)

5. Keadaan kelima

Anak dalam kandungan dapat menjadi ahli waris dengan dua perkiraan, dan juga

dapat menjadi penghalang terhadap ahli waris yang lain, yang bersama hajb al-hirman.

Dalam masalah ini, harta warisan tidak bisa dibagikan, tetapi ditahan sampai anak yang

ada dalam kandungan lahir.15

Misalnya seorang wafat, meninggalkan saudara kandung, paman dari pihak bapak,

beberapa orang saudara seibu, dan istri anak yang sedang hamil. Anak yang dikandung,

baik laki-laki maupun perempuan, akan menghalangi saudara-saudara seibu, karena

15
Ibid, hlm. 356

17
furu’ yang mewarisi akan menghalangi saudara-saudara seibu secara mutlak. Sedangkan

saudara kandung dan paman dari pihak bapak, terhalang oleh anak dalam kandungan

yang diperkirakan laki-laki, karena cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menghalangi

saudara kandung serta paman, dimana albunuwwah lebih diutamakn dari pada al-

ukhuwwah serta al-‘umumah. Namun, mereka berdua (saudara kandung dan paman)

tidak terhalang, jika bayi yang akan lahir diperkirakan perempuan16

16
Ibid, hlm. 357

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-haml (hamil) dalam bahasa arab adalah bentuk masdar dari kata hamalat.
Dikatakan “al-mar’ah haamil ma haamilatun izaa kanat hubla” (wanita itu hamil apabila
ia sedang mengandung janin.”

Janin menurut istilah fuqaha adalah janin yang dikandug dalam perut ibunya, baik
laki-laki maupun perempuan. Salah satu syarat bahwa seorang ahli waris dapat mewarisi
hartanya adalah keberadaannya masih hidup ketika pewaris telah tiada.

Dengan demikian, bagi janin yang masih berada dalam kandungan ibunya belum
diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir dengan selamat atau
tidak, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan berjumlah satu atau kembar.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Qs. Al Ahkaf ayat 15


Sarwat, Ahmad, seri fiqh kehidupan, (Jakarta : DU Publishing, 2011)
Fatchurrahman, IlmuWaris, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1994)
Ash-shidiqi, Tengku M hasbi, fiqh mawaris, (Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 2010)
Saebani, Beni Ahmad, FiqhMawaris, (Jakarta : CV. PUSTAKA SETIA, 2009)
Komite Fakultas Syariah Universitas Al- Azhar, Mesir, hukum waris, (Jakarta selatan,
CV kuwais media kreasindo)

20

Anda mungkin juga menyukai