Anda di halaman 1dari 8

Sumber:

http://arsipworkmilla.blogspot.com/2014/10/fiqh-siyasah-pendahuluan.html
http://serbamakalah.blogspot.com/2013/02/siyasah-politik-islam.html
https://www.facebook.com/notes/amirul-amin/sistem-politik-dalam-islam-wajibdibaca-kepada-sesiapa-yang-bernama-islam/148508085181383
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Politik1.html
(diunduh pada 15 Maret 2015)

Latar Belakang
Islam sebagai agama telah menyediakan berbagai kerangka normatif dan
implementatif dijadikan sebagai pedoman umat manusia dalam berperilaku di muka
bumi. Di kalangan umat Islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama
yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan.
Hukum Islam merupakan hukum yang sangat menyeluruh, artinya dapat mencakup
berbagai aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, kehidupan sehari-sehari pada
dasarnya tidak terlepas dari hukum ajaran Islam, termasuk dalam bertata negara
(pemerintahan), dalam melakukan birokrasi atau pun sistem politik Allah telah
mengaturnya dalam Al-quran. Maka dari sangat dibutuhkan memahami hukumhukum Islam dalam beretika politik (sistem politik Islam).

Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian politik (siyasah) dalam Islam?
Apa yang dimaksud siyasah dusturiyah?
Bagaimana etika atau hukum berpolitik dalam Islam?

Kerangka Teoritis
Dalam Al-Quran ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara
tentang
hukm
(Arab).
Pengamatan
sepintas, boleh jadi
mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran yang
secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari
Allah yakni ayat yang menyatakan,
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An'am
[6]: 57)
Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebiiaksanaan Khalifah
keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang
bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi
ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata,
Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah
batil.
Memang ada empat ayat Al-Quran yang
tersebut, tetapi ada dua hal yang harus

menggunakan redaksi
digarisbawahi dalam

hubungan ini.
Pertama,
keempat
dikemukakan dalam
berikut:

ayat yang menggunakan redaksi tersebut


konteks tertentu. Perhatikan
ayat-ayat

Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah


apa-apa yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah,
"Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah
(pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat
petunjuk". Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di
atas bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku
untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).
Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta
keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan
wewenang Allah.
Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga
ditemukan Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah
dalam ibadah:
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Sedangkan ayat 67 berbicara
keterlibatan takdir Allah.

tentang kewajiban berusaha dan

Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu


gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang
berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat
melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah.
Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah
Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya
saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.
Ayat keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang
berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62,

sedikit

Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan


kepada (putusan,) A11ah, Penguasa mereka yang
sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari
itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan
yang paling cepat.
Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang ketetapan
hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari
kiamat.
Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan
hukum kepada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi
maupun manusia biasa. Perhatikan firman Allah dalam Surat
Al-Baqarah (2): 213 yang berbicara tentang diutusnya para

nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan


--menurut redaksi Al-Quran:
Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang
perselisihan antar manusia.
Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang
ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:
Dan apabita kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di
antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan
adil (QS Al-Nisa' [4]: 58).
Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan
Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami
terlepas dari konteksnya, maka kekhususan tersebut bersifat
relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran
dengan hashr
idhafi.
Dengan
memperhatikan
keseluruhan
ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat
disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia
untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari
Allah Swt., dan karena itu manusia yang baik adalah yang
memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.

Pembahasan
1. Pengertian Politik (Siyasah)
Politik yang dalam Bahasa Arab disebut Siyasah. Secara harfiyahnya dapat dimaksudkan sebagai
mengurus, mengendali atau memimpin sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam:

.
Adapun Bani Israil dipimpin oleh para nabi mereka.
Secara syari pula politik (siyasah) diertikan sebagai mengelola segala kepentingan rakyat terutamanya
dalam ruang yang melingkupi negara atau masyarakat. Ia dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat
menjamin terealisasinya kemaslahatan umum dan menghindarkan segala macam kerugian dengan jalan
yang tidak melanggar syariat Islamiyah melalui kaedah-kaedah asasinya, sekalipun tidak sejalan dengan
pendapat para tokoh mujtahid.
Siyasah ini menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1.

Siyasah Dusturiyah

2.

Siyasah Maliyah

3.

Siyasah Dauliyah

4.

Siyasah Harbiyah

2. Definisi Siyasah Dusturiyah


Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri
serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah
undang-undang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala
negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat.
Sedangkan menurut seorang tokoh Islam (Pulungan) (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang
mengatur atau kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga
negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini
menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan
kepala negaranya.
Termasuk yang dimasukkan ke bidang politik (siyasah) ialah hukum ahkam (juga perundangan)
pemerintah, pengadilan, selok-belok kementerian, lembaga-lembaga pemerintah, urusan ketenteraan
(termasuk kepolisan) dan sebagainya.
Antara seruan dakwah yang diperjuangkan dalam gerakan Ikhwanul Muslimin ialah berpolitik atau
bersiyasah. Politik adalah antara sasaran dan tujun utama dalam pertubuhan ini. Malangnya kegopohan,
kerakusan dan ditambah dengan kemuflisan tokoh mereka dalam ilmu-ilmu siyasah as-Syariyah dan
asyik mempromosikan jenama politik masing-masing, ianya telah memberikan kesan yang negatif
kepada pertubuhan ini dan kepada semua gerakan-gerakan yang pro Ikhwanul Muslimin di Mesir yang
menjadi kubu gerakan ini dan di negara-negara yang lainnya. Kegiatan politik tokoh-tokoh Ikhwanul
Muslimin pula telah dicemari dengan berbagai-bagai bentuk bidah yang disangka Islami, sama ada
bidah ala Khawarij, neo Muktazilah atau sekular. Akibatnya, selain menimbulkan perpecahan ia juga
memunculkan keganasan diberbagai-bagai negara, sama ada negara Islam atau negara kuffar.
Antara tokoh-tokoh mereka yang mencampur-adukkan antara siyasah as-syariyah (siyasah Islamiyah)
dengan siyasah taghutiyah ialah Yusuf al-Qaradhawi yang meyamakan Islam dengan demokrasi,
Muhammad al-Gahazali yang menganggap siyasah Isytirakiyah (sosialis) itu Islam dan Islam itu adalah
sosialis dan laungan Hasan al-Bana yang menjadikan pemikiran sufisme dan ekonomi kapitalisme
sebagai dasar pentarbiahan siyasah yang diperjuangkannya.
Menurut hukum syara dan kesepakatan ahli limu, bahawa para pemimpin (Ulil Amri) yang mampu
berijtihad untuk melakukan kebajikan politik (siyasah syariah) tidak terikat pada pendapat para imam
terdahulu. Kerana kebajikan politik adalah usaha untuk mengwujudkan kepentingan umum (rakyat)
yang tidak ditetapkan secara khusus oleh agama, sebaliknya hanya diberikan pendoman secara umum.
Contohnya, penulisan al-Quran dalam satu mushaf pada masa Khalifatur Rasyidin. Semua catitan ayatayat al-Quran lainnya dibakar setelah mushaf sempurna ditulis.[4] Perkara ini dilakukan berdasarkan
prinsip kepentingan umum yang tidak melanggar hukum-hukum syara.
Ibnu Nujaim rahimahullah berkata:
Politik (siyasah) secara syari atau akli (akal), disepakati wajib hukumnya,[5]
Ini bermakna semua orang yang beriman terlibat dalam masalah siyasah. Lantaran masalah kehidupan
manusia tidak akan berjalan dengan teratur tanpa adanya siyasah, pemimpin dan kepimpinan, sama

ada pemimpin tersebut adil atau zalim, maka ada kebenarannya apa yang terungkap di dalam sebuah
kata-kata hikmah yang telah menyebutkan:
Sultan (pemimpin/pemerintah) yang zalim lebih baik dari pada kekacauan (huru-hara) yang berterusan
(lantaran ketiadaan pemimpin).
Syeikhul Islam Imam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata:
Seseorang itu sewajarnya mengetahui bahawa mengurus (mengatur) persoalan kehidupan manusia
merupakan kewajiban agama yang tertinggi, malah agama dan dunia tidak akan sempurna tanpa
siyasah.
Sememangnya manusia tidak berdaya mengurus kepentingan mereka dengan baik jika tidak dibantu dan
bersatu di bawah satu daulah, satu siyasah dan seorang pemimpin atau pemerintah. Kewajipan amar
makruf dan nahi mungkar tidak akan terlaksana dengan sempurna tanpa adanya kekuatan, tunjangan
dan kerjasama melalui siyasah dan kepemimpinan (pemerintah).
Tetapi para tokoh Ikhwanul Muslimin mendidik para pengikutnya agar tidak mendampingi pemerintah
dan tidak bekerjasama dengan pemerintah, kecuali ada tujuan-tujuan tertentu atau kerana muslihat.
Sebaliknya mereka menubuhkan hizbi-hizbi untuk menggulingkan pemimpin yang ada dengan alasan
tidak berhukum dengan hukum Allah.
Para ulama sewajarnya bersatu di bawah naungan pemimpin untuk membantu penguasa atau
pemerintah beramar makruf dan nahi mungkar. Ulama dan pemerintah umpama mata wang yang tidak
boleh dipisahkan walaupun sesebuah negara atau pemerintahan tersebut belum melaksanakan undangundang Islam sepenuhnya. Dasar ini berbeza dengan prinsip pemikiran tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin
terutamanya Sayid Qutub. Beliau mengkafirkan pemerintah selagi tidak berhukum dengan hukum Islam.
Pengkafiran Sayid Qutub ternyata hanya beralasan dengan teori Tauhid Hakimiyah yang diwarisi dari
pemikiran Khawarij berbaur dengan falsafah dan pemikiran Muktazilah.
Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa-sallam telah mencontohkan pendidikan (tarbiyah) yang terbaik
untuk umatnya dalam mensikapi pemerintah. Baginda menjelaskan hakikat perkara ini dengan
sabdanya:
.


Sesungguhnya seorang pemerintah itu adalah naungan Allah di bumi, sesiapa menghinanya maka Allah
akan menghina dia dan sesiapa yang memuliakannya, nescaya Allah akan memuliakan dia.[8]


.



Janganlah kamu mencela pemimpin-pemimpin kamu, janganlah kamu dengki kepada mereka dan
janganlah kamu membenci mereka, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya
perkaranya adalah dekat.
Kewajipan setiap orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasulnya untuk menegakkan Islam
di setiap sudutnya, hanyalah mengambil contoh yang datangnya dari apa yang telah ditunjukkan oleh
Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam dan bukannya dari Ikhwanul Muslimin. Sejak ditubuhkan Ikhwanul
Muslimin tidak pernah berjaya dalam apapun perjuangan yang mereka perjuangkan kerana perjuangan

dan dakwah mereka adalah demi menegakkan bendera sufi, siyasah, ekonomi, kesatuan, daulah dan
berbagai-bagai falsafah aklani (bertunjangkan akal). Sebaliknya orang-orang yang beriman dan yang
bermanhaj Salaf as-Soleh memula dan mengutamakan dakwah mereka dengan menegakkan bendera
akidah tauhid, kemudian barulah hal-hal furuiyah. Kerana tidak pernah ada seorangpun nabi atau rasul
yang memulakan dakwah mereka dengan mendahulukan falsafah pemikiran, sufi, pluralisma agama,
ekonomi, merebut daulah atau siyasah sehingga mengabai dan membiarkan berbagai-bagai jenis
kesyirikan terus berleluasa.
Ketahuilah bahawa kesemua para nabi dan rasul memulakan dakwah mereka dengan seruan dakwah
untuk menegakkan akidah tauhid dan memerangi segala bentuk kesyirikan sebagaimana yang dilakukan
oleh para pendakwah yang bermanhaj Salaf as-Soleh dari dahulu sehingga ke hari kiamat, kerana itulah
sebenarnya tujuan utama para nabi dan para rasul diutus kepada umatnya. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah Azza wa-Jalla di dalam al-Quran:

.


Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya
bahawasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.
Semoga Allah Subhanahu wa-Taala sentiasa menganugerahkan para tokoh Ikhwanul Muslimin, para
pengekornya dan kita semua kebahagiaan di dunia dan di akhirat, diberi ilmu yang bermanfaat agar
tidak menjadi golongan muflisin, diselamatkan dari berbagai-bagai bidah dan kesyirikan. Dan mudahmudahan juga kita semua dimatikan dalam keadaan husnul khatimah. Amin!
3. Etika Politik dalam Islam

Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan ummah kepada usaha untuk mendukung dan
melaksanakan syari'at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan.
la bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang
mempunyai syahksiyyah untuk menerajui dan melaksanakan undang undang.
Pengertian ini bertepatan dengan firman Allah yang mafhumnya: "Dan katakanlah: Ya Tuhan ku,
masukkanlah aku dengan cara yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan
berikanlah kepadaku daripada sisi Mu kekuasaan yang menolong." (AI Isra': 80)
Di atas landasan inilah para 'ulama' menyatakan bahawa: "Allah menghapuskan sesuatu perkara
melalui kekuasaan negara apa yang tidak dihapuskan Nya meIaiui al Qur'an"
Asas asas Sistem Politik Islam Asas asas sistem politik Islam ialah:
a) Hakimiyyah Ilahiyyah Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan
hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah.

Firman Allah yang mafhumnya: "Dan tidak ada sekutu bagi Nya dalam kekuasaan
Nya." (Al Furqan: 2)

"Bagi Nya segaIa puji di dunia dan di akhirat dan bagi Nya segata penentuan
(hokum) dan kepada Nya kamu dikembalikan." (A1 Qasas: 70)
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (A1 An'am: 57)
b)

Risalah Jalan kehidupan para rasul diiktiraf oleh Islam sebagai sunan al huda atau jalan
jalan hidayah. Melalui landasan risalah inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi
Allah di dalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Manusia diwajibkan tunduk
kepada perintah perintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil selain daripada Rasulullah
s.a.w untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka. Firman
Allah yang mafhumnya: "Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagi kamu, maka tinggatkanlah." (Al Hasyr: 7)

c) Khalifah Khalifah bererti perwakilan. Dengan pengertian ini, ia bermaksud bahawa


kedudukan manusia di atas muka bumi ialah sebagai wakil Allah. Firman Allah yang
mafhumnya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang khalifah di muka bumi... " (Al Baqarah: 30)

Prinsip prinsip Utama Sistem Politik Islam Prinsip prinsip sistem politik Islam terdiri
daripada beberapa perkara di antaranya:
Musyawarah - Prinsip pertama dalam sistem politik Islam ialah musyawarah. Asas musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara
dan orang orang yang akan menjawat tugas tugas utama dalam pentadbiran ummah.
Asas musyawarah yang kedua pula adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara
perlaksanaan undangundang yang telah dimaktubkan di dalam al gur'an dan al Sunnah.
Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan jalan menentukan
perkara perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad.
2. Ke'adilan Prinsip kedua dalam sistem politik Islam ialah keadilan. Ini adalah menyangkut
dengan ke'adilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam. Di
dalam perlaksanaannya yang luas, prinsip ke'adilan yang terkandung dalam sistem
politik Islam meliputi dan menguasai segala jenis perhubungan yang berlaku di dalam
kehidupan manusia, termasuk ke'adilan di antara rakyat dan pemerintah, di antara dua
pihak yang bersengketa di hadapan pihak pengadilan, di antara pasangan suami isteri
dan di antaxa ibu bapa dan anak anaknya.
3. Kebebasan Prinsip ketiga dalam sistem politik Islam ialah kebebasan. Kebebasan yang
dipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang berteraskan kepada ma'ruf dan
kebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenar adalah di antara tujuan tujuan
terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta asas asas bagi undang
undang perlembagaan negara Islam.
1.

4. Hak Menghisab Pihak Pemerintah Prinsip kelima dalam sistem politik Islam ialah hak
rakyat untuk menghisab pihak pemeriritah dan hak mendapat penjelasan terhadap tindak
tanduknya.

Tujuan Politik Menurut Islam Tujuan sistem politik Islam ialah untuk membangunkan sebuah
sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melaksanakan seluruh hukum
syari'at Islam. Tujuan utamanya ialah untuk menegakkan sebuah negara Islam atau Darul Islam.
Dengan adanya pemerintahan yang mendukung syari'ah, maka akan tertegaklah al Din dan
berterusanlah segala urusan manusia menurut tuntutan tuntutan al Din tersebut.

Anda mungkin juga menyukai