Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AL FATAWA WA ISTIFTA’

Tentang :

Fatwa Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Disusun oleh :

Kelompok 4 (empat)

1. Usdha Lifa Mayunda (0202181014)


2. Ashabi Nur Ramadhan (0202181001)
3. Mhd. Ikhsan Hasbullah (0202181012)
4. Adi Jungkar Harahap (0202181015)
5. Fajar Sya’ban Saragih (0202181024)
6. Rizky Alfatan Lubis (0202183095)

Fakultas : Syari’ah dan Hukum


Jurusan : Perbandingan Madzhab
Semester : III (tiga) A

Dosen Pembimbing :
Muhammad Wahyu Ilhami S.Hi, M.Hi

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


(UIN)
SUMATERA UTARA
T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala. atas segala rahmat-Nya, sehingga
makalah ini dapat tersusun dengan sebaik-baiknya . Shalawat serta salam, kami panjatkan
keharibaan junjungan alam Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, Semoga kita semua akan
mendapatkan Syafa’at-Nya di kemudian hari kelak. Aamiin
Makalah dengan judul Fatwa Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini disusun sebagai
bentuk pemenuhan terhadap tugas mata kuliah Fatawa wa Istifta’ yang diampu oleh Bapak
Muhammad Wahyu Ilhami, S.Hi, M.Hi.
Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan
kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan maupun pengalaman bagi para
pembaca, dan untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami meyakini masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian apa yang bisa kami sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari
makalah ini.

Medan, 02 Desember 2019

Penulis
(Kelompok 4)

i
DARTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 2

A. Fatawa, Ifta’ Dan Istifta’......................................................................................... 2


1. Pengertian ........................................................................................................... 2
2. Dasar Hukum dan Kedudukan Fatwa................................................................. 3
3. Tingkatan fatwa................................................................................................... 4
B. Majelis Ulama Indonesia (MUI).............................................................................. 5
1. Sejarah MUI........................................................................................................ 5
2. Metode Pengeluaran Hukum Oleh MUI............................................................. 7
3. Produk Fatwa MUI.............................................................................................. 10
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 13

A. Kesimpulan.............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam, disamping ia merupakan agama yang membawa rahmat, ia juga adalah suatu
lembaga dan wadah dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan sisi
kehidupan umatnya. Yang mana dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut didasarkan
pada sumber-sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Terhadap
permasalahan yang kontemporer saat-saat ini yang memang sangat rumit dan tidak bisa
dibantah, maka diperlukan bantuan ijtihad dari kaum ulama yang yang berkompeten dalam
bidang yang yang menjadi titik permasalahan.
Di indonesia sendiri terdapat lembaga-lembaga perkumpulan sekumpulan ulama yanag
akan membantu terkait menyelesaikan masalah kontemporer yang telah melanda. Diantara
salah satunya ialah Majelis Ulama Indonesia. Majelis ulama indonesia nantinya akan
menyampaikan fatwa atau himbauan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang
memerlukan penyelesaian. Dan terkait dengan fatwa MUI-lah yanag akan kami bahas dalam
penulisan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah dimaksud dengan Fatwa, Ifta’ Dan Istifta’?
2. Apa dan bagaimana sejarah Majelis Ulama Indonesia?
3. Bagaimana metode Majelis Ulama Indonesia dalam mengeluarkan fatwa?
4. Apa-apa saja produk fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia?

C. Tujuan
1. Mampu memahami makna Fatwa, Ifta’ serta Istifta’
2. Mengetahui bagaimana sejarah Majelis Ulama Indonesia
3. Mampu mengetahui dan memahami cara yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia
dalam mengeluarkan fatwanya
4. Mengetahui produk fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. FATAWA, IFTA’ DAN ISTIFTA’


1. Pengertian Fatawa, Ifta’ dan Istifta’
Fatwa berasal dari bahasa Arab, ‫ فتوى‬yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Adapun yag dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang
diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakaui otoritasnya, disampaikan oleh
seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan
demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan
padanya.1
Fatwa dari segi bahasa, sebagaimana yang disebut dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah,
fatwa ialah isim masdar bermaksud Ifta atau mengeluarkan fatwa, dengan jamak nya al-
fatwa atau al-fatawi. Adapun dari segi istilah, fatwa adalah pendapat atau keputusan baik
itu dari alim ulama ataupun ahli hukum islam.2 Dan fatwa menurut syara’ adalah
menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan
maupun kolektif.3
Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam lisan al-arab menyatakan, Aftaahu Fi Al-Amr
Abaanahu Lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah
menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa Aftaa Al-Rajulu Fi Al-Mas’alah (seorang
laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). Wa Astaftainuhu Fiiha Fa Aftaaniy
Iftaa’an Wa Futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia
memberikan kepadaku sebuah fatwa).
Perkataan Wafataay adalah asal dari kata futya atau fatway. Futya dan fatwa adalah
dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al-iftaa’.4 Yang mana iftaa’ berasal
dari kata Iftaay, yang artinya memberikan penjelasan. Secara definitif memang sulit
merumuskan tentang arti ifta’ atau berfatwa itu. Namun dari uraian tersebut dapat di
rumuskan, yaitu: usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya
1
Racmat Taufik dkk., Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hal. 34.
2
http://segudangilmu37.blogspot.com/2018/03/penjelasan-antara-fatwa-mufti-mustafti.html?m=1
3
Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal.
5.
4
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta:Raja Wali, 2013, hal. 373.

2
kepada orang yang belum mengetahui.5 Adapun “al-Istifta” diartikan pula yaitu meminta
jawaban terhadap sesuatu perkara yang dimusykilkan, atau memberikan pertanyaan.

2. Dasar Hukum dan Kedudukan Fatwa


Didalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 43;
َ‫ك إِاَّل ِر َجااًل نُو ِحي إِلَ ْي ِه ْم ۚ فَاسْأَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬
َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبل‬
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanya lah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.”6
Dan dalam Hadits;
‫ﻓﻘﺎل‬, ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ان ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺎ دة اﺳﺘﻔتى رﺳﻮل اﷲ ﺻﻞ اﻟﻠﻬﻌﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎ ل ان اﻣﻰ ﻣﺎ ﺗﺖ وﻟﻴﻬﺎ ﻧﺬر لم ﻧﻘﻀﻪ‬
‫رﺳﻮل اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻗﻀﻪ ﻋﻨﻬﺎ‬

“Dari ibnu abbas r.a. bahwa Sa’ad Bin ‘Ubadah r.a. minta Fatwa kepada Nabi
SAW., yaitu dia mengatakan; sesungguhnya ibuku meninggal dunia padahal beliau
mempunyai kewajiban nadzar yang belum ditunaikanya? Lalu Rasulullah SAW.
Menjawab: “tunaikan nadzar itu atas nama ibumu”. (HR Abu daud dan Nasai)”7
Kemudian terkait dengan kedudukan fatwa, bahwaasnnya kebutuhan atau keperluan
terhadap fatwa ini sendiri sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan
jawaban. Dan untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang
yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu
adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk
membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dalam
sebuah kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa seperti
az-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174).
Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 484
6
https://tafsirweb.com/4391-surat-an-nahl-ayat-43.html
7
Mu’amal Hamidy, et al.Terjemahan Nailul Authar, Himpunan Hadis-Hadis Hukum, jilid 6,
Surabaya: Bina Ilmu, 1986, hal. 597-598.

3
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki
sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama
dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada
juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, maka ditegaskan
bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat
secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila
fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.8

3. Tingkatan-Tingkatan Fatwa
a. Fatwa Rasullah SAW sendiri;
b. Fatwa para sahabat;
c. Fatwa para tabi'in;
d. Fatwa para mujtahid;
e. Fatwa para imam mazhab;9
Pada umumya sejak Islam masuk ke indonesia, maka umat Islam Indonesia adalah
penganut mazhab Syafi'i. Namun demikian sejak munculnya ide-ide pembaharuan dalam
dunia Islam (termasuk dalam masalah-masalah hukum), pengaruhnya juga sampai ke
Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah (18 November 1912 M), Nahdhatul Ulama (1926) dan lain-lain.
Dengan kata lain dapatlah dikatakan pada tahun-tahun berdirinya organisasi-
organisasi Islam ini terjadi pergeseran sikap umat Islam dalam memahami hukum Islam.
Jika pada waktu sebelum adanya organisasi-organisasi ini, para ulama lebih terikat pada
aturan-aturan mazhab Syaf'i saja misalnya, maka sejak munculnya organisasi-organisasi
ini keterikatan kepada mazhab dirasakan melonggar. Organisasi-organisasi ini
mempengaruhi faham hukum Islam yang dianut masyarakat. selain itu Peran ulama-
ulama besar yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri sangat
berpengaruh. Fatwa-fatwa mereka secara pribadi-pribadi dengan taat dan patuh diikuti

8
Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
9
Mukhtar yahya dkk, Fiqih Islam, Bandung: PT Alam’arif , 1886, hal. 14.

4
oleh umat pendengarnya. Hal ini umumnya terdapat disetiap daerah, dengan kharismanya
yang kuat ulama-ulama itu dengan tekun membimbing umat Islam untuk menjalankan
hukum Islam itu dalam kehidupan mereka sehari-hari.

B. MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)


1. Sejarah Majelis Ulama Indonesia
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing,
membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia
berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta, Indonesia.10
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan
dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama
yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al
Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh
perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI” yang ditandatangani
oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada
fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak
terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis
Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim berusaha untuk:
a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu
wa Ta’ala;

10
https://mui.or.id/sejarah-mui/

5
b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta;

c. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal
balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;

d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan


cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi
secara timbal balik.

Disamping itu, sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali
musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:
1) 1981 – 1983 KH. Syukri Ghozali
2) 1983 – 1990 KH. Hasan Basri

3) 1977 – 1981 Prof. Dr. Hamka

4) 1990 – 2000 Prof. KH. Ali Yafie

5) 2000 – 2014 KH. M. Sahal Mahfudz

6) 2014 – 2015 Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin

7) 2015 – Sekarang Prof. Dr. KH. Ma`ruf Amin


Ketua Umum MUI yang pertama, kedua, ketiga, dan kelima telah meninggal dunia
dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan yang keempat dan dua yang terakhir masih
terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Kemudian, sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, maka Majelis
Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia
tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam,
yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian.
Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian — dalam arti tidak tergantung dan
terpengaruh — kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan,
pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.

6
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan
tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat
kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zu’ama dan cendekiawan Muslim dari
berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin
hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak
menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan
kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini
hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh
dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen
bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi
salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh
Alam).

2. Metode Pengeluaran Hukum Oleh Majelis Ulama Indonesia


Pedoman fatwa MUI ditetapkan dalam surat keputusan MUI nomor, U-
596/MUI/X/1997, dalam surat keputusan tersebut, terdapat tiga bagian proses utama
dalam menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum penetapan fatwa, prosedur penetapan
fatwa dan teknik dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa.
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam pasal 2 (1 dan 2). Pada
ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-ahkam yang paling kuat
dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa dasar-
dasar fatwa adalah alquran, hadis, ijma’, qiyas dan dalil-dalil lainnya.
Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Setiap masalah yang diajukan (dihadapi) MUI dibahas dalam rapat komisi untuk
mengetahui subtansi dan duduk masalahnya.
b. Dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah yang akan di
fatwakan untuk di dengarkan pendapatnya untuk dipertimbangkan.
c. Setelah ahli didengar dan dipertimbangkan ulama melakukan kajian terhadap
pendapat para imam mazhab dengan fuqaha dengan memperhatikan dalil-dalil yang

7
digunakan dengan berbagai cara istidlal-nya dan kemaslahatannya bagi umat. Apabila
pendapat ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki pendapat, komisi bisa
menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa.
d. Jika fuqaha memiliki ragam pendapat komisi melakukan pemilihan pendapat melalui
tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.
e. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi bisa melakukan
ijtihad jama’I menggunakan al-Qawaid al-ushuliyyat dan al-qawa’id al-fiqhiyyat.11
Dan adapun kewenangan MUI dalam berfatwa yaitu tentang: (a) masalah-masalah
keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional;
(b) masalah-masalah keagamaan disuatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.
Kemudian berkenaan dengan metode yang digunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam
upaya menetapkan fatwa, didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan, yakni dengan pendekatan
nash qath’i, melalui pendekatan Qauli, dan pendekatan Manhaji.
Yang dimaksud dengan pendekatan yang pertama (nash qath’i) merupakan
pendekatan di dalam upaya dalam menetapkan fatwa yang berpegang pada alQur’an atau
Hadits yang apabila masalahnya secara gamlang telah ada dalam alQur’an dan hadits. 12
Pendekatan nash qath’i yang digunakan oleh MUI dalam istilah lain juga disebut dengan
pendekatan bayani.
Selain Komisi Fatwa MUI pendekatan semacam ini pun juga digunakan oleh Majelis
Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa. Majelis Tarjih Muhammadiyah
memprioritaskan al-Qur’an dan Hadist shahih sebagai sumber primer (utama) dalam
berijtihadnya. Hanya saja Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam memperlakukan teks al-
Qur’an dan al-Hadist berbeda dengan Komisi Fatwa MUI. Majelis Tarjih Muhammadiyah
benar-benar mengkaji teks al-Qur’an dan alHadist dengan memakai pendekatan bayani
(semantik) yakni ijtihad terhadap nash mujmal baik karena masih tidak jelas maknanya,
ataupun pada lafal tertentu bermakna dua/ganda (musytarak), mutasyabih (multi tafsir)
dan sebagainya. Inilah yang menjadi perbedaan antara Muhammadiyah dan dan MUI
yang hanya berpaku pada perbentangan al-Qur’an dan Hadist.
Selanjutnya, jika tidak ditemukan dalam nash al-Qur’an atau hadits maka penentuan
hukumnya melalui pendekatan manhaji dan qauli.13 Pendekatan qauli merupakan
pendekatan dalam upaya menetapkan fatwa melalui berpegangan akan pendangan imam
11
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, hal. 170.
12
Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah Metodologi Dan Implementasinya Di Indonesia. Yogyakarta,
2014, hal. 250
13
Ibid, hal. 252

8
madzhab yang terdapat pada kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), yang
dilakukan seandainya jawaban sudah cukup dalam menyelesaikan dan menjawab
persoalan yang ada. Namun, apabila qaul tersebut dianggap tidak sesuai untuk dipegangi
karena sangat sukar untuk dijalankan, karena adanya perubahan illat maka dilakukan
telaah ulang. Dan terkait dengan pendekatan qaul ini, dalam menetapkan fatwa Komisi
Fatwa MUI tidak hanya menukil pendapat empat imam madzhab saja tapi MUI terkadang
juga menukil pendapat dari luar empat imam madzhab beserta pengikutnya itu seperti
madzhab Imamiyah dan Dzahiriyah. Bahkan terkadang MUI juga menukil pendapat yang
bersifat kolektif. Kitab yang menjadi rujukan MUI pun tidak terbatas pada kitab-kitab
yang dikarang oleh empat imam madzhab beserta para pengikutnya.
Adapun pendekatan Manhaji merupakan suatu cara penyelesaian persoalan hukum
berdasarkan jalan pikiran serta kaidah dalam menetapkan sebuah hukum yang digagas
oleh imam madzhab. Pendekatan manhaji Menurut Abdul Muchith Muzadi sebagaiamana
yang dikutip oleh Ahmad Muhtadi Anshor dalam bukunya menyatakan bahwa sistem
bermadzhab ini merupakan jalan untuk mewariskan ajaran al-Qur’an dan juga al-Hadits
demi terpeliharanya kelurusan serta kemurnian agama. Hal ini juga dikarenakan dalam
kandungan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah harus dipahami juga ditafsiri dengan pola
pemahaman serta metode yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.14
Pendekatan manhaji merupakan suatu pendekatan yang cukup populer di Negara
Indonesia. Dalam proses penetapan fatwa, bukan MUI saja yang menggunakan
pendekatan tersebut, melaikan juga digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan
juga dipakai oleh lembaga Bahtsul Masail NU juga menggunakan pendekatan tersebut
dalam berijtihad atau menetapkan fatwa. Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah
pendektan manhaji digunakan hanya apabilah metode Nash Qoth’i dan Qouli tidak
mampu memberikan jawaban yang memuaskan pada permasalahan yang sedang dikaji
atau tidak tidak sesuai dengan konteks dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Demikian
juga dalam Lembaga Bahtsul Masail NU. Dalam LBM NU pendekatan manhaji
digunakan apabila belum ditemukan satupun pendapat (qaul) dan tidak mungkin
dilakukan ilhaq. Pendekatan manhaji yang dipakai oleh MUI tidak jauh berbeda dengan
yang dipakai oleh Majelis Tarjih Muhamadiyah dan LBM NU.

3. Produk Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Anshor, Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama Melacak Dinamika Pemikiran Mazhab Kaum
14

Tradisionalis, A.M, 2008, hal. 02

9
Dari banyaknya produk fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia
daintaranya ialah;
a. Fatwa MUI tentang rokok
Mengenai hukum merokok, Majelis Ulama Indonesia memutuskan fatwanya dalam
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III tahun 2009  tentang hukum merokok
dijelaskan bahwa: Peserta Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III sepakat bahwa merokok
hukumnya haram jika dilakukan: di tempat umum, oleh anak-anak dan oleh wanita hamil.
Adapun dasar istinbath yang digunakan MUI dalam penerapan hukum rokok adalah:
1) Ayat-ayat al-Quran sebagai berikut
…..‫……يأمر هم بالمعرو ف وينهاهم عن المنكرويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبا ئث‬..
2) Hadis Nabi SAW
‫الضرار والضرار‬
3) Kaidah fiqhiyyah
‫الضرر يزا ل‬
‫الحكم يدور مع علته وجودا وعد ما‬
Dapat dipahami dari pemaparan yang ada bahwa MUI mempunya tujuan
merealisasikan kemaslahatan. Dikatakan oleh Izzudin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan
syariah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, karena maslahat akan
membawa manfaat sedangkan mafsadah membawa kemadaratan. Sejalan dengan hal itu
apabila ada berkumpul antara maslahat dan mafsadah, maka yang harus dipilih adalah
yang maslahatnya lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama
kuatnya maka menolak mafsadah lebih utama dari pada menarik maslahat, hal ini sesuai
dengan kaidah:
‫دفع المفاسد مقد م على جلب المصا لح‬
Pandangan mengenai maslahah dalam pandangan Najamuddin at-Tufi dengan konsep
maslahahnya yang bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi:
‫الضرر والضرار‬
Maksud kata ‫ الضرر والض››رار‬adalah seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya
sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang tidak
membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu
akan terwujud dan terjaga.

Oleh karena itu, Jika hukum merokok dilihat dari segi manfaat dan madaratnya, maka
dalam menentukan status hukumnya sangat sulit karena manfaat dan madarat yang

10
ditimbulakan dari aktifitas merokok akan berbeda-beda antara perokok yang satu dengan
perokok yang lain, sehingga status hukumnyapun  tergantung pada kondisi seorang
perokok. Jika si perokok akan mendapatkan madarat dari aktifitas merokok tersebut,
maka hukumnya bisa menjadi haram, namun sebaliknya jika si perokok tidak terkena
mandarat bahkan mungkin mendapat manfaat dari aktifitas merokok yang dilakukannya,
bisa jadi hukumnya mubah. Bisa juga hukumnya makruh apabila si perokok tidak
mendapatkan manfaat dan madarat yang ditimbulkan dari aktifitas merokok itu, karena
hukum makruh ini dianjurkan untuk ditinggalkan.15
b. Fatwa MUI hukum golput
Negara Indonesia meyakini bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang paling
cocok, namun kekecewaan muncul karena beberapa sebab yang antara lain adalah:
pertama, Pemilu tidak bisa dihindarkan dari politik uang yang dapat dilihat dibanyak
tempat. Kedua, karena ketidak puasan terhadap mekanisme dan proses pemilu tidak
berjalan demokratis dan hasilnya mengecewakan. Sehingga kekecewaan tersebut
melahirkan sikap tidak mau berpartisipasi dalam pemilu, bahkan menolak dalam pemilu
dan menyebut dirinya sebagai golongan putih (golput). Fenomena golput terus terus
terjadi, sehingga MUI mengeluarkan fatwa terkait dengan masalah golput ini. Adapun isi
dari fatwa tersebut adalah:
1) Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin
atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama
sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2) Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan
imarah dalam kehidupan bersama.
3) Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan
ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah),
aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan
memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan
dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang
memenuhi syarat hukumnya adalah haram.16

15
https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2015/01/25/metode-istinbath-hukum-mui/
16
Majelis Ulama Indonesia. Ijma’ Ulama: Keputusan Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009.
Jakarta, 2009, hal. 23-24

11
Permasalahan golput, tergolong permasalahan yang baru dan bersifat ijtihadiah, tidak
terdapat pada al-Qur'an dan Hadits akan ketentuan bagi umat muslim untuk mencoblos
dalam pemilu. Adapun metode yang digunakan dalam memutuskan hukum tersebut
adalah pendekatan Manhaji dengan menggunakan metodologi mashalih al-mursalah.
Dalam menetapkan fatwa tersebut yang menjadi pijakan MUI dalam hal ini adalah al-
Qur’an (An-Nisa: 58-59) dan Hadits HR. Abu Daud yang memerintahkan untuk
mengangkat seorang pemimpin demi menjaga kemaslahatan umat dan keamanan
komunitas.
MUI memaparkan bahwa tujuan utama dalam pemilihan umum ialah penegakan
kemaslahatan yang menjadi salah satu dari tujuan syari’ah. Dengan membentuk
pemerintah dan pengangkatan seorang pemimpin merupakan sebuah
keharusan/kewajiban yang asasi dalam beragama sehingga perilaku golput berstatus
haram hukumnya. Pada dasarnya hukum memilih seorang pemimpin adalah mubah,
tetapi karena sebab tertentu kemudian status hukumnya oleh MUI dirubah menjadi
sebuah perbuatan yang haram apabila ditinggalkan. Fatwa hukum pengaharaman golput
yang dikeluarkan oleh MUI juga telah merubah status hukum akan pemilihan seorang
pemimpin yang semula merupakan kewajiban kifayah (cukup diwakili sebagian orang),
menjadi kewajiban ‘aini (kewajian setiap person).

BAB III
PENUTUP

12
A. Kesimpulan
Fatwa adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga
atau perorangan yang diakaui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama,
sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
(mustafti). Dan menurut syara’ fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu
persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya
maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif. Adapun ifta’ diartikan dengan memberi
penjelasan, dan istifta adalah jawaban terhadap sesuatu perkara yang dimusykilkan, atau
memberikan pertanyaan.
Kemudian adapun lembaga-lembaga fatwa khususnya di Indonesia, salah satunya ialah
Majelis Ulam Indonsia atau MUI. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab
1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. Yaitu sebagai
hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari
berbagai penjuru tanah air.
Metode yang digunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam upaya menetapkan fatwa,
didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan, yakni dengan pendekatan nash qath’i, melalui
pendekatan Qauli, dan pendekatan Manhaji. pendekatan yang pertama (nash qath’i)
merupakan pendekatan di dalam upaya dalam menetapkan fatwa yang berpegang pada
alQur’an atau Hadits yang apabila masalahnya secara gamlang telah ada dalam alQur’an dan
hadits. Pendekatan kedua (qauli) merupakan pendekatan dalam upaya menetapkan fatwa
melalui berpegangan akan pendangan imam madzhab yang terdapat pada kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), yang dilakukan seandainya jawaban sudah cukup dalam
menyelesaikan dan menjawab persoalan yang ada. Dan adapun pendekatan Manhaji
merupakan suatu cara penyelesaian persoalan hukum berdasarkan jalan pikiran serta kaidah
dalam menetapkan sebuah hukum yang digagas oleh imam madzhab.
Selanjutnya, beberapa produk fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Ulama Indinesia
diantaranya ialah: pertama, bahwa merokok hukumnya haram jika dilakukan: di tempat umum,
oleh anak-anak dan oleh wanita hamil. Yang mana penetapan hukum ini oleh MUI didasarkan kan
pada prinsip syariat islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Selain itu ada mashlahah yang
juga menjadi bahan pertimbangan untuk dikeluarkannya hukum tersebut. Contoh fatwa lainnya ialah
diharamkannya golput dalam pemilihan, yang mana metode yang digunakan dalam memutuskan
hukum tersebut adalah pendekatan Manhaji dengan menggunakan metodologi mashalih al-
mursalah. Dalam menetapkan fatwa tersebut yang menjadi pijakan MUI dalam hal ini adalah

13
al-Qur’an (An-Nisa: 58-59) dan Hadits HR. Abu Daud yang memerintahkan untuk
mengangkat seorang pemimpin demi menjaga kemaslahatan umat dan keamanan komunitas.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana, 2008

14
Anshor, Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama Melacak Dinamika Pemikiran Mazhab Kaum
Tradisionalis, A.M, 2008

Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005

Mukhtar yahya dkk, Fiqih Islam, Bandung: PT Alam’arif , 1886,

Racmat Taufik dkk., Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000

Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah Metodologi Dan Implementasinya Di Indonesia.


Yogyakarta, 2014,

Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insani Press,
1997

http://segudangilmu37.blogspot.com/2018/03/penjelasan-antara-fatwa-mufti-mustafti.html?
m=1

https://tafsirweb.com/4391-surat-an-nahl-ayat-43.html.

https://mui.or.id/sejarah-mui/

https://nurrunjamaludin.wordpress.com/2015/01/25/metode-istinbath-hukum-mui/

15

Anda mungkin juga menyukai