Anda di halaman 1dari 20

LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Kelembagaan Negara yang diampu oleh :
Bapak Abdul Hakam Sholahuddin. M.H.

Disusun oleh :

1. KARUNIA FITRI RAHMADANI (12103193040)


2. AFIFA TYASTITI (12103193062)
3. ANDRE BAGUS PRASETYO (12103193077)
4. DIMAS SULISTYO RESTU (12103193097)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

MEI 2021

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah “Hukum Kelembagaan Negara" dalam bentuk makalah, Sholawat serta
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad,
SAW.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul "LEMBAGA
NEGARA DALAM ISLAM" ini, masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini. Kami berharap dari makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi kami maupun pembaca. Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Tulungagung, Mei 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................................2
BAB II..........................................................................................................................................3
A. Lembaga Negara dalam Sejarah Islam.............................................................................3
B. Jenis, Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Negara dalam Islam.................................5
C. Susunan Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga Negara dalam Islam......................10
D. Kelembagaan Negara Islam dalam Dunia Modern.........................................................13
BAB III......................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama didakwahkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. kepada
umat manusia. Muhammad saw memang secara sengaja dipilih oleh Allah
sebagai utusan untuk membawakan risalah Islam. Dakwah ini dilakukan oleh
Nabi Muhammad s.a.w. selama 23 tahun. Pada awal sejarahnya, dakwah ini
ditujukan atau dilakukan kepada umat manusia yang berada di sekitar Jazirah
Arab. Sepeninggal beliau, dakwah ini dilanjutkan oleh para sahabat dan umat
Islam yang lain hingga kini menyebar ke berbagai penjuru dunia. Perjalanan
sejarah dakwah Islam ini tidak bisa dilepaskan dari ketersentuhannya dengan
ranah negara.
Islam adalah agama yang mengatur segala urusan umatnya, termasuk
dalam hal ketatanegaraan. Dalam sejarah umat Islam, muncul praktik-praktik
ketatanegaraan Islam. Di sini akan banyak ditemukan khazanah praktik ketatanegaraan
yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan. Khazanah ini dapat ditelusuri, mulai
dari masa kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w., Khulafa‘ al-Rasyidun, Daulah
Umayyah di Damaskus dan Spanyol, Abbasiyah di Baghdad sampai Usmaniyah di
Turki. Negara dapat dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah menyatakan
bersedia melaksanakan kehendak Allah SWT sebagaimana tercantum dalam wahyu-
Nya, dan sebagaimana negara yang pernah dibentuk Rasulullah bersama pengikutnya.
Dengan adanya komitmen semacam itu berarti telah terbentuk suatu masyarakat Muslim
dalam arti formal sebagai cikal bakal negara yang utuh. 1 Pembahasan Negara tentu tidak
terlepas dari pembahasan lembaga-lembaga didalamnya. Dalam tulisan ini, penulis akan
mencoba meguraikan lembaga-lembaga negara tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana lembaga negara dalam sejarah Islam?
2. Apa saja jenis, kedudukan dan kewenangan lembaga negara dalam Islam?
3. Bagaimana susunan organisasi dan hubungan antar lembaga negara dalam Islam?

1
Ma’mun Mu’min, “Pemikiran Hukum Tata Negara Fazlur Rahman”, Yudisia, Vol. V No. 2, Desember
2014, hlm. 248-249.
4. Bagaimana kelembagaan negara Islam dalam dunia modern?
C. Tujuan
1. Untuk memahami lembaga negara dalam sejarah Islam.
2. Untuk mengetahui jenis, kedudukan dan kewenangan lembaga negara dalam Islam.
3. Untuk mengetahui susunan organisasi dan hubungan antar lembaga negara dalam
Islam.
4. Untuk memahami kelembagaan negara Islam dalam dunia modern.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lembaga Negara dalam Sejarah Islam


Negara sendiri menurut al-Mawardi dapat didefinisikan sebagai alat atau sarana
untuk menciptakan dan memelihara kemaslahatan. 2 Sedangkan, lembaga negara
dalam kepustakaan Indonesia disebut dengan istilah yang berbeda-beda, seperti
organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara yang berarti badan-badan
negara atau organ negara di lingkungan pemerintahan negara. Badan-badan negara
atau organ negara disini diartikan sebagai alat perlengkapan. Alat perlengkapan
yang dimaksudkan adalah orang atau majelis yang berdasarkan undang-undang
berwenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum.3
Lembaga negara dalam Islam diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Khilafah, Imamah dan Imarat
Dalam kamus al-Munjid, khilafah memiliki makna imamah, imarat dan
ni-yabah ‘an al-ghairi. Yang berarti ketiganya memiliki makna yang sama.
Sedangkan, menurut Moh. E. Hasim, khilafah berarti pengganti, imamah berarti
kepemimpinan, dan imarat berarti pemerintahan. Kata khilafah sendiri dikenal
pada masa pemerintahan Abu Bakar yang diangkat sebagai khalifah, dimana
otoritasnya adalah otoritas kepolitikan dan keagamaan. Kepemimpinan Abu
Bakar disini juga bisa disebut sebagai imamah. Sedangkan, imarat disini adalah
sebagai institusi kenegaraan yang digunakan sebagai sebutan untuk jabatan amir
dalam suatu negara kecil yang berdaulat dan dipimpin oleh amir. Maka dapat
disimpulkan jika ketiganya mengandung makna yang sama yakni sebagai
penyebutan sebuah pemerintahan.4
2. Khalifah, Imam dan Amir

2
Rashda Diana, Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam, Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam,
Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 164
3
Made Nurmawati, SH.MH, I Nengah Suantra, SH.MH, Luh Gde Astaryani, SH.MH, Hukum
Kelembagaan Negara, Fakultas Hukum Unud, 2017, hlm. 3-4
4
Imron Rosyadi, Lembaga-Lembaga Pemerintahan Dalam Sejarah Politik Islam Sunni, Jurnal Suhuf: 24
(2), 2012, hlm. 134.

3
Khalifah, imam dan amir adalah penyebutan untuk orang yang
melaksanakan fungsi kekhilafahan (pemerintahan) dalam Islam. Menurut Ali
Husni dan Hazim Aqbd al-Muth’al al- Saidi, khalifah adalah pemegang
kekuasaan keagamaan sekaligus pemegang kekuasaan politik atau dalam artian
lain yaitu seorang yang menjadi kepala negara atau pemimpin tertinggi dalam
Negara Islam. Akan tetapi, Hazim menyampaikan hal tersebut bukan berarti
seorang khalifah memiliki kekuasaan ketuhanan atau diperoleh atas dasar
kekuasaan Tuhan, melainkan hanya manusia biasa yang tugasnya adalah
memelihara agama dan mengatur urusan dunia.5
Imam dalam pemerintahan Islam adalah sebutan gelar paraler bagi
khilafah. J. Suyuti Pulungan berpendapat bahwa Imam adalah pemimpin atau
tokoh elit dari suatu masyarakat.Penyebutan Imam sendiri popular di kalangan
umat Syi’ah yang ditempatkan dalam posisi yang berfungsi sebagai pemimpin
spiritual dan sebagai pemimpin politik, yang pengangkatannya adalah melalui
nash syariat sreta menempatkannya sebagai pengganti Nabi.6
Dalam pemerintahan Islam amir digunakan dalam kepentingan politik,
khususnya jabatan-jabatan penting. Dalam masa pemerintahan Rasul dan
Khulafa Ar-Rasyidin, penguasa daerah disebut amil yakni sinonim dari amir.
Kata amir dalam pemerintahan di madinah digunakan untuk menyebut
komandan milliter dan komandan divisi militer, yaitu amir al-jaisy. Para
gubernur yakni para jenderal yang menaklukan daerah juga disebut sebagai
amir. Pada saat itu, penyebutan amir sebagai penguasa daerah memiliki fungsi
sebagai pengelola administrasi politik, pengumpulan pajak, dan sebagai
pemimpin agama. Kemudian pada masa pasca Rasul, tugasnya bertambah, yakni
sebagai pemimpin ekspedisi-ekspedisi militer, menandatangani perjanjian
damai, memelihara daerah taklukan Islam, membangun masjid, menjadi imam
shalat dan khatib jum’at, mengurus administrasi pengadilan dan
bertanggungjawab kepada khilafah di Madinah. Sedangkan, kedudukan fungsi

5
Ibid., Imron Rosyadi, Lembaga-Lembaga Pemerintahan Dalam Sejarah Politik Islam Sunni, hlm. 135-
138.
6
Ibid., hlm. 140-141.

4
amir pada masa Daulah Bani Umayyah dan Abassiyah adalah sebagai penguasa
daerah propinsi.7
3. Ahlah Al-Hall Waal-Aqd
Dalam ketatanegaraan Islam Ahlah Al-Hall Waal-Aqd adalah institusi
politik yakni, orang-orang yang memiliki wewenang untuk melonggarkan dan
mengikat. Istilah ini dikaitkan dengan orang-orang yang mewakili umat dalam
menyuarakan hati nurani mereka (penghubung umat dengan khilafah). Abdul
Karim Zaidan mendefiniskan Ahlah Al-Hall Waal-Aqd sebagai para politikus
yang berkerja dalam suatu dewan yang mewakili rakyat yang memberikan
kepercayaan pada mereka. Salah satu tugas dari Ahlah Al-Hall Waal-Aqd adalah
memilih seorang khalifah atau kepala negara. Ahlah Al-Hall Waal-Aqd terdiri
dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda,
namun dapat berlaku adil dalam segala tindakan, berilmu pengetahuan luas, dan
memiliki wawasan juga kearifan.8

B. Jenis, Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Negara dalam Islam


Sebelum adanya ide pemisahan kekuasaan (Trias Politika) yang
dicetuskan oleh Montesquieu. Negara-negara di Eropa semisal di Perancis,
kekuasaan terpusat pada satu tangan raja. Kekuasaan besar yang dimiliki raja
memungkinkan baginya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu,
kritik keras datang dari para sarjana hingga munculnya gagasan untuk adanya
pemisahan kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Gagasan ini berguna
agar kekuasaan yang ada itu tidak cenderung mengarah kepada sistem yang
otoriter.9 ekuasaan tersebut dapat dibagi dalam dua cara yaitu: Pertama, secara
vertikal, yakni pembagian kekuasaan dalam beberapa tingkat pemerintahan.
Memiliki pengertian pembagian kekuasaan secara territorial yang dapat dilihat
dalam bentuk negara kesatuan, negara federal, ataupun negara konfederasi.
Kedua, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal yang
7
Ibid., hlm. 142-143.
8
Ibid., Imron Rosyadi, Lembaga-Lembaga Pemerintahan Dalam Sejarah Politik Islam Sunni, hlm. 144-
146.
9
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde-Baru,(Jakarta: Kencana,
2011), h. 19

5
menunjukkan adanya pembedaan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang dikenal dengan trias politika. Dunia
muslim juga telah mengenal konsep Trias Politika ini secara intisari ajaran,
hanya saja belum berbentuk suatu teori. Pelaksanaan Trias Politika sudah ada
sejak awal-awal berdirinya peradaban Islam itu sendiri. Cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif ini terdapat juga dalam praktik
Rasulullah SAW dan Alquran. Seorang cendekiawan muslim, Masykuri
Abdillah, menjelaskan bahwa ketiga kekuasaan dalam prinsip Trias Politika ada
dalam prkatik Rasulullah SAW dan Alquran, antara lain dalam QS. An-nisā’: 57-
10
59: Dalam penjelasannya, Masykuri Abdillah menerangkan bahwa ayat-ayat
tersebut mengandung pengertian adanya tiga kekuasaan dalam negara, yakni
eksekutif (sulthah tanfîdziyyah), yudikatif (sulthah qadhâiyyah)dan legislatif
(sulthah tasyrî’iyyah). Menurutnya, kekuasaan yudikatif diterangka di ayat 57,
kekuasaan legislative, diterangkan dalam ayat 58 dan eksekutif pada ayat 59 dari
Alquran surah An-nisā’ tersebut
Bentuk trias politika dalam islam :
1. Kekuasaan Legislatif, Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan
legislatif disebut juga dengan majlis syuro ataupunal-sulthah al-tasyri’iyah,
yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum.
Kekuasaan legislatif dalam teori Islam dipandang sebagai lembaga tertinggi
dalam negara. Di samping diwajibkan memilih kepala negara, legislatif juga
menempatkan undang-undang dan ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga
legislatif ini akan dilandaskan secara efektif oleh lembaga eksekutif dan
akan diperintahkan oleh lembaga eksekutif dan akan dipertahankan oleh
lembaga yudikatif atau peradilan.11 Menurut Islam, tidak seorang pun berhak
menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Hal ini
ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Surat al-An’am/6: 57:

10
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2011), h. 4-5
11
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Kontstitusi: sistem politik Islam, Tetj. Drs. Asep Hikmat, Mizan,
Bandung, 1990, h 245

6
َّ P‫ه اِ ِن ْال ُح ْك ُم اِاَّل هّٰلِل ِ ۗيَقُصُّ ْال َح‬Pۗ ٖ Pِ‫ْجلُوْ نَ ب‬
َ Pُ‫ق َوه‬
‫ ُر‬P‫و َخ ْي‬P ِ ‫تَع‬P‫ا ت َْس‬PP‫ ِديْ َم‬P‫ا ِع ْن‬PP‫ه َم‬Pۗ ٖ Pِ‫ َّذ ْبتُ ْم ب‬P‫قُلْ اِنِّ ْي ع َٰلى بَيِّنَ ٍة ِّم ْن َّرب ِّْي َو َك‬
ِ ‫ْالفَا‬
َ‫صلِ ْين‬
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Alquran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang
kamu minta supaya disegerakan kedatangan-nya. Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik” kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam
untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh
masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT. dalam
syari’at Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam meliputi:
a) Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang
akan diberlakukan dalam masyarakat Islam
b) Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya
c) Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai
dasar syari’at Islam.

Menurut Sayyid Abul A’la Maududi bahwa lembaga legislatif dalam suatu Negara
Islam me-miliki sejumlah fungsi yang harus dilakukannya: 12

a) Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasulullah


saw, meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka
hanya legislatif yang akan kompeten untuk menegakkannya dalam
susunan dan bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi yang
relevan dan rincian-rinciannya, serta menciptakan peraturan-peraturan dan
undang-undang untuk mengundangkannya
b) Jika pedoman-pedoman Alquran dan Sunnah mem punyai kemungkinan
interpretasi lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutus kan
penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam Kitab Undang-Undang
Dasar. Untuk tujuan ini tidak ada tawar menawar lagi bahwa lembaga
legislatif ini harus beranggota kan kumpulan orang-orang terpelajar yang
memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menafsirkan perintah-perintah

12
Abul A’la Maududi, The Islamic Law......, h 245-246

7
Alquran dan yang dalam memberikan berbagai keputusan tidak akan
melepaskan diri dari jiwa atau isi Syari’ah.
c) Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Alquran dan Sunnah, fungsi
lembaga legislatif ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang
berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga
jiwa hukum Islam. Jika sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama
yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqh, maka dia bertugas untuk
menganut salah satu di antaranya‫۔‬
d) Jika Alquran dan Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar
sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi
Khulafaurrasyidin, maka harus mengartikan bahwa Tuhan telah memberi
kebebasan melaku-kan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang
terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini, lembaga legislatif
dapat merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan semangat syari’ah.
2. Lembaga Eksekutif, Kekuasaan eksekutif dalam islam di sebut al-sulthah al-
tanfidziyah yang bertugas melaksanakan undang-undang. Di sini negara
memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang-
undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini, negara melakukan
kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang
menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan internasional).
Pelaksana tertinggi kekuasaan ini adalah pemerintah (kepala negara) dibantu
oleh para pembantunya (kabinet atau dewan menteri) yang dibentuk sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan situasi yang berbeda antara satu negara dengan
negara Islam lainnya. Disamping itu, wewenang imam atau kepala negara
adalah:
a) Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi
masyarakat di luar wilayahnya
b) Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik
pada masa perang maupun masa perdamaian.
c) Mengeluarkan perintah perang

8
d) Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki
e) Menghukum umat islam dan nono islam dalam wilayahnya apabila mereka
terbukti melanggar hukum
f) Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan
g) Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui
perdamaian.Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pem-batasannya.
Imam harus menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan
memenuhi sasaran dan tujuan hukum dengan pihak musuh.
3. Yudikatif Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah ke-kuasaan yang
mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam
konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai Sulthah
Qadhaiyyah.Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan perselisihan yang
dilaporkan kepadanya dari orang-orang yang berseteru dan menerapkan
perundang-undangan kepadanya dalam rangka menegakkan keadilan di muka
bumi dan menetapkan kebenaran diantara orang-orang yang meminta
peradilan. Pentingnya kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-
perkara perbantahan dan pemusuhan, pidana dan penganiyaan, melindungi
masyarakat dan mengawasi harta wakaf dan lain-lain pesoalan yang disampaikan
kepada pengadilan.13 Penerapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan. Dalam penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk
penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-Qadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak
dapat diterapkan. Dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-
Qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah, yaituWilayah Qadha, Wilayah Mazhalim,
dan Wilayah Hisbah. Ciri khas peradilan pada masa Rasulullah saw setidaknya
ada lima yaitu :
a) Tidak ada pemisahan kekuasaan di bidang peradilan dengan kekuasaan di
bidang lain, ini disimpulkan dari perkataan Ali, “kalau kamu telah
menerima (keputusan itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau
menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain
(berbuat sesuatu), dan seterusnya
Abul A’la Al-Maududi, Hukum Dan Konstitusi : Sistem Politik Islam, Penerjemah Asep Hikmat,
13

Bandung: Mizan, 1993, h 247

9
b) Kekuasaan di bidang peradilan menyatu dengan kekuasaan di bidang fatwa
c) Hakim memiliki kemerdekaan dalam menetapkan hukum atas perkara-
perkara yang dihadapkan kepadanya
d) Rasulullah saw mendelegasikan kekuasaan di bidang peradilan kepada
sahabat yang memiliki kemampuan secara cepat, tepat dan memiliki
kejujuran untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapkan kepadanya
e) Belum terdapat lembaga pemasyarakatan (penjara) sebagaimana yang
dikenal di masa sekarang.

C. Susunan Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga Negara dalam Islam


Semasa Nabi Muhammad Saw, semenanjung Arabia telah dikuasai. 14
Ekspansi ke daerah-daerah luar dimulai pada zaman Abu Bakar, ekspansi lebih
besar pada masa Umar, hingga pada masa dinasti Umayyah dan puncak
keemasan peradaban Islam pada masa dinasti Abbasiyah. Para yuris Islam
banyak sekali mencatat masalah-masalah kenegaraan pada masa akhir Umayyah
hingga di zaman dinasti Abbasiyah.
Pada masa awal Islam sosok Nabi selain sebagai utusan Allah tetapi juga
sebagai kepala negara dan hakim. Beliau dianggap sebagai kepala negara setelah
mendirikan negara di Madinah dengan konstitusi tertulis yang disebut Piagam
Madinah bersama dengan orang-orang pribumi (Ansar) dan masyarakat
pendatang (Muhajirin), bahkan beliau juga mengirim dan menerima duta-duta. 15
Pada masa awal ini sistem pemerintahan masih sederhana, segala permasalahan
bisa diajukan dan diselesaikan oleh Nabi sebab beliau dituntun oleh wahyu, di
sinilah posisi beliau sebagai hakim. Setelah wilayah Islam meluas barulah para
sahabat yang menjadi kepala daerah dan posisinya sangat jauh dari Madinah
diizinkan menjadi hakim dengan berpedoman pada Al-Qur’an, Sunnah dan
Ijtihad.16

14
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 28-29
15
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 167
16
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 38

10
Pada perkembangan berikutnya barulah terjadi proses perlembagaan
dalam sistem pemerintahan Islam. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, wilayah
kekuasaan Islam semakin meluas sehingga permasalahan kenegaraan pun
semakin kompleks sehingga menghendaki adanya sistem pemerintahan yang
kompleks pula. Bahkan di zaman Khulafa al-Rasyidun sudah melaksanakan
konsep pemisahan/pembagian kekuasaan 17:
a. Ulil Amri (Pelaksana Undang-undang Syariah);
b. Qadhi Syuraih (Pelaksana peradilan);
c. Majelis Syura (Parlemen); dan
d. Ahlul Halli Wal Aqdi (Dewan Pertimbangan).
Pendirian lembaga-lembaga pemerintahan terus mengalami
perkembangan hingga masa dinasti-dinasti. Pada masa dinasti Umayyah
misalnya pendirian lembaga, pengembangan lembaga yang sudah ada
sebelumnya dan perangkat baru pemerintahan dilakukan setelah melihat atau
mendengar pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih mapan dalam tata
laksana pemerintahan semisal pola-pola pemerintahan dari kerajaan Byzantin
yang banyak diadopsi oleh Mu’awiyah.18 Khalifah-khalifah Umawiyah misalnya
telah membentuk lima macam kepaniteraan: urusan korespondensi, urusan
pajak, urusan angkatan bersenjata, urusan kepolisian dan urusan peradilan.19
Meskipun sistem pemerintahannya berganti dari masa Khulafa al-
Rasyidun ke masa dinasti, kepala negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
masih disebut Khalifah. Gelar Khalifah seolah identik dengan sistem
pemerintahan kekhilafahan, sehingga dalam sejarah modern, telah menjadi
kebiasaan untuk memandang masyarakat politik kaum muslim abad pertengahan
secara keseluruhan sebagai kekhalifahan (Chalipate).20
Istilah khalifah berasal dari kata Arab Khalafa, yang berarti datang
setelah atau menggantikan. Menurut catatan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami
Zada, istilah Khalifah pertama kali muncul di Arab pra-Islam berdasarkan
17
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 133
18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2011), h. 37
19
Ibid., h. 38
20
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 227

11
riwayat prasasti Arab abad ke-6 M, yang maknanya mengarah kepada semacam
raja.21 Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang pertama kali mendapat gelar
Khalifah adalah Abu Bakar, dan gelar itu muncul karena spontanitas setelah dia
terpilih sebagai pengganti Nabi di Tsaqifah Bani Sa’idah. Namun gelar Khalifah
ini hanya identik di kalangan umat Islam Sunni.
Umat Islam Syi’ah menggunakan istilah lain lagi untuk menyebut
pemegang kekuasaan eksekutifnya, mereka menggunakan gelar Imam. Sehingga
sebutan untuk sistem pemerintahan Syi’ah sering kali digunakan kata Imamah.
Kata Imam dalam kosakata Arab berasal dari kata Amma yang memiliki
beberapa arti, yaitu maju ke depan, menuju arah tertentu, memberi petunjuk dan
bimbingan, menjadi pemimpin, dan menjadi suri teladan.22 Pada awalnya,
imamah dan khalifah adalah suatu istilah yang netral untuk menyebut sebuah
negara.23
Dalam ketatanegaraan Islam juga dikenal dengan istilah Wazir sebagai
pembantu Khalifah. Wazir atau juga dikenal dengan jabatan Wizarah merupakan
suatu lembaga negara yang memiliki peran penting dalam ketatanegaraan Islam.
Pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar merupakan wazir beliau. Pada
masa Abu Bakar, Umar juga mendapat sebutan wazir Abu Bakar. Baru pada
masa dinasti Umayyah sebutan Wazir diberikan untuk pembantu dan penasihat
Khalifah, bahkan Wizarah merupakan pangkat paling tinggi yang memiliki
wewenang dalam pengawasan umum, pengawasan departemen kemiliteran
hingga membagi gaji militer.24 Wazir baru dilembagakan sebagai lembaga
negara pada masa Abbasiyah.25 Di masa Abbasiyah juga jabatan wizarah terbagi
menjadi wizarah tanfidz (Wazir melaksanakan keputusan-keputusan Khalifah)
dan wizarah tafwiḏ (Wazir diutus untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah).26
Persoalan pengangkatan Khalifah, banyak dari yuris Islam yang
menunjuk ke peristiwa Tsaqifa Bani Sa’idah untuk dijadikan pedoman. Kejadian

21
Ibid., h. 227-228
22
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 233
23
Ibid., h. 211
24
Ibid., h. 310
25
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 37-38
26
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 311

12
diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah itu dirumuskan tentang adanya
lembaga perwakilan (parlemen) di dalam pemerintahan Islam. Lembaga
perwakilan ini memiliki beberapa sebutan di antaranya, Ahl al-‘aqd wa al-hall, 27
Ahl al-Hall wa al-‘aqd, dan Ahl-Syuro.28 Selain itu, ketika Umar membentuk
dewan formatur untuk menentukan khalifah setelahnya juga dirujuk sebagai
adanya pelaksanaan lembaga perwakilan di situ. Lembaga Perwakilan inilah
yang dalam ilmu modern disebut dengan lembaga legislatif.
Sementara itu di lembaga yudikatif (peradilan) jabatan hakim merupakan
tugas dari Khalifah, dan secara umum berada di wilayahnya. 29 Menurut catatan
Munawir Sjadzali, tata laksana laksana peradilan baru diatur pada masa Umar
bin Khattab, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah
hakim, dan atas nama Khalifah menyelesaikan sengketa antara anggota
masyarakat, bersendikan Alquran, Sunnah dan Qiyas, tetapi sampai pada akhir
masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para hakim bekerja sendiri tanpa panitera dan
pembukuan, bahkan peradilan dilangsungkan di rumah mereka dan baru
dipindahkan ke masjid.30 Ketatalaksanaan peradilan semakin disempurnakan
pada masa dinasti Umayyah dan dikembangkan lagi pada masa Abbasiyah.

D. Kelembagaan Negara Islam dalam Dunia Modern


Adanya reformasi pemerintahan terutama pada abad ke-19, membawa
dampak perubahan pada hukum dan kelembagaan Islam. Yang semula
berdasarkan pada legitimasi Islam kini sudah mengalami interaksi dengan pola
pikir Barat. Ada yang menghargai adapula yang menentang. Jamaluddin al-
Afgani menghendaki perubahan bentuk khilafah menjadi republik. Hal ini
berbeda dengan Afgani, salah satu muridnya yang tidak terlalu memperdulikan
bentuk pemerintahan. Menurut dia, jika bentuk pemerintahana yang digunakan
adalah khalifah, maka bentuk ini harus bersifat dinamis (mengikuti

27
Al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Penerjemah Khalifurrahman Fath & Fathurrahman, Ahkam
Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2015), h. 12
28
H. A Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta:
Kencana, cet 5, 2013), h. 76
29
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 315-316
30
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 38-39

13
perkembangan masyarakat). Menurutnya, Islam tidak mengenal adanya
kekuasaan agama, dalam artian:
1. Islam tidak memberi mandat kepada siapapun untuk menindak orang lain
atas nama Tuhan.
2. Islam tidak membenarkan campur tangan penguasa dalam urusan agama.
3. Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan penafsirannya
tentang agama.31
Islam menurut Abduh dianggap memiliki unsur-unsur dinamis yang dapat
disesuaikan dengan dinamikan zaman lewat jalan ijtihad.
Menurut Abul A’la al-Maududi bentuk hubungan antar lembaga negara
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tidak ada aturan yang jelas dalam Islam.
akan tetapi, kebiasaan ketatanegaraan di masa Rasulullah dan empat khalifah
memberi cukup pedoman bahwa Kepala Negara Islam merupakan pimpinan
tertinggi dari semua lembaga negara. Ketiga lembaga tinggi negara berfungsi
secara terpisah serta mandiri satu sama lainnya. Ahl al-hall wa al-‘aqd bertugas
memberi nasihat kepada Kepala Negara mengenai masalah-masalah hukum,
pemerintahan dan kebijaksanaan negara merupakan kesatuan yang terpisah.
Kemudian ada pejabat-pejabat eksekutf yang tidak mengurus masalah-masalah
yudisial yang diurus secara terpisah oleh para hakim (qadhi).
Umat Islam pernah berusaha untuk menghidupkan kembali khilafah melalui
mukhtamar khilafah di Kairo pada 1920 dan kongres khilafah di Mekkah. Di
India timbul pula Gerakan Khilafah dan organisasi Islam di Indonesia
membentuk Komite Khilafah yang berpusat di Surabaya. Di era modern ini,
khilafah, salah satu produk pemikiran politik Islam klasik masih terus
didengungkan hingga kini, meski tidak sepopuler pada masa pembentukannya,
salah satunya adalah yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir.32

31
Vita Fitria, Menilik Perkembangan Pemikiran Politik Islam Masa Modern, Universitas Negeri
Yogyakarta, 2014, hlm. 2.
32
Ibid., Imron Rosyadi, Lembaga-Lembaga Pemerintahan Dalam Sejarah Politik Islam Sunni, hlm. 135.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Negara sendiri menurut al-Mawardi dapat didefinisikan sebagai alat atau
sarana untuk menciptakan dan memelihara kemaslahatan. Sedangkan,
lembaga negara dalam kepustakaan Indonesia disebut dengan istilah yang
berbeda-beda, seperti organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan
negara yang berarti badan-badan negara atau organ negara di lingkungan
pemerintahan negara. Badan-badan negara atau organ negara disini diartikan
sebagai alat perlengkapan. Alat perlengkapan yang dimaksudkan adalah
orang atau majelis yang berdasarkan undang-undang berwenang
mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum
2. Islam juga mengenal trias politika, yang terdiri dari lembaga legislatif,
lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam kajian fiqh siyasah,
legislasi atau kekuasaan legislatif disebut juga dengan majlis syuro
ataupunal-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam
membuat dan menetapkan hukum. Kekuasaan eksekutif dalam islam di
sebut al-sulthah al-tanfidziyah yang bertugas melaksanakan undang-undang.
Dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai
Sulthah Qadhaiyyah.Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan
perselisihan yang dilaporkan kepadanya dari orang-orang yang berseteru
dan menerapkan perundang-undangan kepadanya dalam rangka
menegakkan keadilan di muka bumi dan menetapkan kebenaran diantara
orang-orang yang meminta peradilan.
3. Pada perkembangan berikutnya barulah terjadi proses perlembagaan dalam
sistem pemerintahan Islam. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, wilayah
kekuasaan Islam semakin meluas sehingga permasalahan kenegaraan pun
semakin kompleks sehingga menghendaki adanya sistem pemerintahan yang
kompleks pula. Bahkan di zaman Khulafa al-Rasyidun sudah melaksanakan
konsep pemisahan/pembagian kekuasaan Ulil Amri (Pelaksana Undang-

15
undang Syariah), Qadhi Syuraih (Pelaksana peradilan), Majelis Syura
(Parlemen) dan Ahlul Halli Wal Aqdi (Dewan Pertimbangan).
4. Adanya reformasi pemerintahan terutama pada abad ke-19, membawa
dampak perubahan pada hukum dan kelembagaan Islam. Yang semula
berdasarkan pada legitimasi Islam kini sudah mengalami interaksi dengan
pola pikir Barat. Ada yang menghargai adapula yang menentang.

16
DAFTAR PUSTAKA

A Djazuli, H, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu


Syariah, Jakarta: Kencana, cet 5, 2013.

Abdillah, Masykuri, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Penerjemah Khalifurrahman Fath &
Fathurrahman, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam,
Jakarta: Qisthi Press, 2015.

Diana, Rashda, Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam, Tsaqafah: 13 (1),
Mei 2017.
Fitria, Vita, Menilik Perkembangan Pemikiran Politik Islam Masa Modern, Universitas
Negeri Yogyakarta, 2014.
Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.
Marijan, Kacung, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde-Baru,
Jakarta: Kencana, 2011.
Mu’min, Ma’mun, Pemikiran Hukum Tata Negara Fazlur Rahman, Yudisia: V (2),
Desember 2014.
Nurmawati, Made, Nengah Suantra, SH.MH, Luh Gde Astaryani, SH.MH, Hukum
Kelembagaan Negara, Fakultas Hukum Unud, 2017.
Rosyadi, Imron, Lembaga-Lembaga Pemerintahan Dalam Sejarah Politik Islam Sunni,
Jurnal Suhuf: 24 (2), 2012.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.

Syafi’ie, Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an.

Tetj. Drs. Asep Hikmat, Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Kontstitusi: Sistem Politik
Islam, Mizan, Bandung, 1990

17

Anda mungkin juga menyukai