Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN


MENURUT UNDANG UNDANG

DI SUSUN OLEH :

I PUTU EKA DHARMA YOGIANTARA

19133129

SEMESTER I

PRODI HUKUM AGAMA HINDU

JURUSAN DHARMA SASTRA

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI

GDE PUDJA MATARAM


2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat
dan hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut Undang - Undang” ini walaupun
terlambat pada waktu yang sudah di tentukan saya mohon maaf.Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Penfantar Ilmu
Hukum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut Undang Undang bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak dosen mata kuliah
Pengantar Ilmu Ilmu Hukum yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.Saya
menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritikdan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Mataram, 16 Februari 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………... i

DAFTAR ISI……………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 2
C. Tujuan……………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974 .. . 3
B. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya ……. . 5
C. Kewajiban Orang Tuan Terhadap Anak Setelah Perceraian………... 6
BAB III PENUTUP....................................................................................... 9
A. Kesimpulan…………………………………………………………. 9
B. Saran………………………………………………………………... 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu
sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung
dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya
berakhir dengan jalan perceraian. Saat semua upaya dikerahkan untuk
menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh
pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada
akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas
anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari hubungan dengan orang tua dan
anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak dan
kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang pokok perkawinan
No.1 tahun 1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua. Pemeliharaan anak pada
dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua dalam hal ini meliputi
masalah ekonomi, pendidikan dan segala hal mengenai kebutuhan pokok.
 Saat sedang mengurus hak asuh setelah terjadi perceraian, salah satu
pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk mengasuh anak-
anaknya. Entah itu ibunya, karena merasa ia yang mengandung dan melahirkan.
Atauayahnya, karenamerasaia yang membiayai.
Pada  umumnya  dalam  praktek  di  pengadilan,  anak  yang  berumur 
di  bawah sepuluh  tahun,  pengasuhannya  atau  perwaliannya  diserahkan 
kepada  ibunya, bagi  anak  yang  berumur  di  atas  sepuluh  tahun 
perwaliannya  terserah kepada  pilihan  si  anak  sendiri,  apakah  dia  akan  ikut 
kepada  ibunya  ataukah memilih  ikut  pada  bapaknya  dalam  hal  perwalian 
bagi  si  anak.  Apabila  hal  yang demikian  ini  terjadi  maka  Putusan 

1
Pengadilanlah yang  menentukan  siapakah  yang lebih  berhak  menjadi  wali 
dari  si  anak  tersebut.

B.     Rumusan Masalah


Berdasarka latar belakang diatas,maka dapat ditarik suatu
permasalahan yang muncul sebagai sebuah persoalan yaitu:
1. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974
2.Bagaimana hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahuai hak asuh anak pasca perceraian menurut UU No. 1 Tahun
1974
2. Untuk mengetahui hak dan kedudukan anak setelah perceraian orang tuanya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974
Perkawinan adalah suatu akad antara laki-laki dan perempuan yang
dengan akad tersebut laki-laki dan perempuan dihalalkan untuk berhubungan
suami-istri dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara suami-istri tersebut.
Pada perinsipnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa..
Dalam pasal 41  Undang-Undang perkawinan tahun 1974
menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1. ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik
anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan
yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut
kemudian akan diberikan;
2. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
 Dari penjelasan ini bisa diambil kesimpulan bahwa hak asuh anak
pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut belum berumur 12 tahun. Hak asuh
anak yang terdapat dalam pasal 41 UU Perkawinan dapat dipahami bahwa hak
asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang
dibutuhkan oleh anak tetap menjadi tanggung jawab ayah.
Menafkahi anak yang lahir dari perkawinan merupakan kewajiban
kedua orang tua, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan, yaitu :

3
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya;
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”
Oleh karena itu, hal menafkahi anak merupakan suatu kewajiban yang
akan berlaku terus-menerus, meskipun adanya perceraian yang terjadi antara
orang tua. Kewajiban menafkahi menyangkut juga terhadap biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak, sampai anak dapat membiayai hidupnya sendiri atau kawin.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, tanggung jawab terhadap biaya
pemeliharaan anak dan pendidikannya dibebankan kepada ayah, namun apabila
ayah tidak dapat memenuhi kewajibannya, Pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut serta dalam membiayai pemeliharaan anak dan pendidikannya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yaitu :
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bila mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut”
Maka berdasarkan penjelasan di atas, dalam keadaan apapun, cerai
atau tidak cerai, saudara berkewajiban untuk menafkahi anak saudara, namun
jika saudara tidak mampu, ibu dari anak tersebut turut serta memikul kewajiban
dimaksud. Hanya saja permasalahannya saat ini, istri saudara pergi meninggalkan
saudara dengan membawa serta anak saudara. Olehkarena itu, hal yang
seharusnya pertama saudara lakukan adalah mencari keberadaan istri dan anak
saudara.
Kami sangat menyayangkan, bahwa dalam informasi yang saudara
berikan, saudara tidak menjelaskan apakah saudara sudah bercerai atau tidak,
dikarenakan hak asuh hanya dapat diberikan kepada salah satu dari orang tua

4
setelah mereka diceraikan oleh Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
41 huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
menyebutkan:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1. a Baik ibu
atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan”
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
tidak diatur dengan tegas mengenai siapa yang berhak untuk mendapatkan hak
asuh anak, namun dalam penafsiran kami, apabila terjadi perselisiha nmengenai
hak asuh, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyerahkan
hal tersebut kepada Pengadilan untuk menentukan siapa yang berhak untuk
mengasuh anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 41 huruf a
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di atas.

B. Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya


Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai
elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan
bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga
dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam
mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak
kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari
ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya
meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus.
Masa  mumayyiz  dimulai  sejak  anak   secara sederhana sudah
mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini
dimulai sejak umur 7 (tujuh) tahun sampai menjelang dewasa (balig berakal).
Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan apakah akan memilih
ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak

5
menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah
putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak

C. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian

Perceraian merupakan momok menakutkan bagi setiap keluarga


(suami, istri , dan anak-anak), penyebab perceraian bisa bermacam-macam, yaitu
antara lain gagal berkomunikasi, ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga,
masalah ekonomi, pernikahan usia dini, perubahan budaya, dan lain sebagainya.
Jika didalam keluarga bapak-ibunya baik, rukun dan menyanyangi
maka anak akan mendapatkan unsur positif dari kepribadiannya dan apabila
orangtuanya beragama serta taat melaksanakan agama dalam kehidupan sehari-
hari, maka anak mendapatkan pengalaman keagamaan yang menjadi unsur dalam
kepribadiannya.
Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
menyebutkan bahwa orangtua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas
terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani maupun sosial.
Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan anak mengandung  kewajiban
memelihara  dan  mendidik  anak  sedemikian  rupa,  sehingga anak dapat
tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada
orangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berkemauan, serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa
berdasarkan Pancasila.  Penjelasan Pasal 9 UU No.4 Tahun 1979 Kesejahteraan
Anak.
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab
orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup anak dari orangtuanya, kewajiban untuk melakukan
pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap sampai sianak mampu berdiri sendiri. 
Didalam beberapa aturan Perundang-undangan dapat kita lihat beberapa hal
yang mengatur kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya, yaitu :

6
1. Kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-
Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Secara hukum kewajiban antara suami dan istri akan timbul apabila
perkawinan tersebut telah dilakukan atau dilangsungkan,  dengan  kata  lain
kewajiban  seorang  istri  atau suami tidak akan ada apabila seorang pria atau
wanita belum melangsungkan perkawinan. Adapun kewajiban dan hak yang
seimbang antara suami maupun istri apabila dibarengi dengan kewajiban yang
sama pula yaitu kewajiban untuk membina  dan menegakkan rumah tangga
yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga.
Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam membina dan
menjalin rumah tangga akan luntur apabila rumah tangga yang dibangun
tersebut mengalami goncangan dan terlebih parahnya lagi apabila tatkala
rumah tangga tersebut bubar, perihal mengenai hal ini ini sebelumnya telah
ada dan diatur dalam UU Perkawinan.
Di dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut :

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.
2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai
anak anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut :

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan
diluar pengadilan.

7
Dari beberapa penjelasan UU diatas, maka dapat disimpulkan bahwa UU
Perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sekalipun
rumah tangga telah putus karena perceraian. Kewajiban orang tuatersebut
meliputi :

1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.


2. Orang tua mewakili anak mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar
pengadilan
3. sebagaimana adapun di dalam Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan bapak
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajibannya, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan anak, Kewajiban tersebut
tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut.

8
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam pasal 41  Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan
bahwa salah satu akibat dari putusnya perkawinan adalah:
1. ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak.
Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang
akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian
akan diberikan;
2. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen
masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan
bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga
dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam
mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak
kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari
ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya
meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus.

9
B. Saran
1. Anak adalah penerus bangsa maka dari itu setelah perceraian kedua orangtua
nya, maka anak harus mendapatkan kasih sayang seperti mereka belum
bercerai.
2. Nafkah anak harus diperhatikan untuk kepentingan anak tersebut.
3. Pertengkaran antara kedua orang tua sebaiknya tidak di hadapan anak karena
dapat mengganggu psikologi anak.
4. Bahwa untuk kepentingan anak, anak berhak memilih tinggal bersama ayah
atau ibunya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada,1995.


SudiknoMartikusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,1998.
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer , Yogyakarta,
Prenada Media, 2005.
Inpres No 1 Tahun 1991 TentangKompilasiHukum Islam.
Undang-undang No 1 Tahun 1947 TentangPerkawinan.

11

Anda mungkin juga menyukai